BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » I G.G. Maha Adi, DIREKTUR EKSEKUTIF THE SOCIETY OF INDONESIAN ENVIRONMENTAL

I G.G. Maha Adi, DIREKTUR EKSEKUTIF THE SOCIETY OF INDONESIAN ENVIRONMENTAL

Written By gusdurian on Sabtu, 12 Maret 2011 | 15.51

JOURNALISTS (SIEJ) Korporasi trans-nasional harus diyakinkan untuk ikut bertanggung jawab terhadap komunitas terdekat mereka di pantai dan pesisir Laut Timor sebagai basis penguat bisnis mereka agar berkelanjutan, agar niat baik untuk meningkatkan kesejahteraan manusia benar-benar direalisasi, dan proses-proses ekologis terlanjutkan.
Pencemaran minyak mentah dari anjungan minyak Montara di lepas pantai Laut Timor dua tahun lalu memasuki babak negosiasi. Pemerintah Indonesia dan PTTEP, pemilik anjungan Montara yang meluberkan minyak mentah itu, sepakat mulai menegosiasikan kompensasi dan ganti rugi. Niat baik (good will) adalah modal utama para pihak yang bernegosiasi, sehingga permainan menang-kalah (zero sum game) dapat dihindari karena satu pihak tidak perlu kehilangan muka bila kalah serta pihak kedua mengakui apa yang terjadi merupakan bagian dari tanggung jawabnya dan bersedia ikut mengambil tindakan.

Di kalangan aktivis konservasi, Laut Timor dijuluki Jalan Tol Samudra atau marine superhighway karena menjadi habitat dan perlintasan satwa laut yang melakukan migrasi, seperti paus abu-abu, penyu, dan beberapa spesies lumba-lumba. Perairan yang termasuk ekoregion Sunda Kecil ini juga sangat subur karena menjadi pertemuan berbagai arus laut, sehingga memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Dalam lima hari survei saja, pemerintah Australia mendata 462 mamalia laut (cetaceans), 23 jenis burung, 62 ular laut, dan 25 penyu sekaligus kawasan budi daya rumput laut.

Apakah pemerintah Indonesia telah memperlakukan kasus pencemaran di Laut Timor sepadan dengan potensi kelautannya? Cara pemerintah menangani krisis lingkungan tidak menunjukkan bahwa krisis itu telah dikelola dengan baik. Pencemaran, pertama-tama, adalah persoalan pembuktian ilmiah, walaupun dalam banyak kasus memiliki dimensi sosial politik yang sangat kuat. Pembuktian itu akan meliputi asal polutan, jenis dan volume, cara penyebaran, luas kawasan terkena dampak, serta uraian dampaknya. Hanya isu
terakhir yang menyangkut aspek sosial, dan biasanya berbobot besar, tapi tanpa memenuhi aspekaspek teknisnya apa pun ujung negosiasi itu sulit disepakati.

Perkembangan negosiasi kasus Montara memberi petunjuk bahwa banyak faktor eksternal dan internal yang dapat mempengaruhi hasil negosiasi. Faktor eksternal yang jarang diberi perhatian cukup adalah faktor komunikasi lingkungan dan pengkondisian (conditioning) publik.
Suasana di luar ruang negosiasi harus diupayakan kondusif dengan berfokus pada aliran informasi lingkungan kepada publik yang transparan dan memiliki alas ilmiah yang memadai. Dalam kasus Montara, komunikasi lingkungan tampaknya menjadi barang yang diremehkan. Pemerintah dengan cepat mengumumkan telah menghitung nilai ganti rugi dan meminta PTTEP membayar Rp 23 triliun, tapi beberapa bulan kemudian muncul nilai Rp 500-an miliar atau sekitar 2,5 persen dari perkiraan semula. Tidak ada informasi yang disampaikan kepada khalayak luas bagaimana nilai itu dielaborasi dan kenapa harus diumumkan kepada publik jauh sebelum kesepakatan dan verifikasi sesungguhnya diperoleh.
Dalam negosiasi, maka diseminasi informasi sepihak, apalagi disertai ancaman membawa ke pengadilan, merupakan cara yang kurang elok karena arogan, fait-accompli, dan dapat memukul balik dengan sangat keras. Dampaknya segera terlihat, masyarakat, terutama aktivis lingkungan, menilai pemerintah Indonesia tidak mampu menilai sumber dayanya secara benar dan menegosiasikannya di hadapan para kontraktor minyak asing. Masyarakat telanjur digiring untuk meyakini bahwa nilai ganti rugi yang lebih besar adalah nilai yang sepatutnya mereka terima, bukan yang lebih kecil, apalagi yang "terlalu kecil". Pemerintah sebagai komunikator sebaiknya menyadari bahwa pesan utama yang hendak disampaikan dalam setiap kasus pencemaran adalah pesan bermuatan ilmiah. Para pihak tidak bo MACHFOED GEMBONG (TEMPO) leh mengambil "angka dari langit"hanya karena angka itu dipersepsikan secara su byektif sebagai jumlah yang sesuai untuk mengganti kerugian. Setinggi-tingginya langit dari mana angka Rp 23 triliun itu jatuh, tetap harus diuji dan disepakati para pakar.

Faktor kedua adalah prinsipprinsip di lingkup internal negosiasi. Prinsip pertama, proses itu harus berlangsung rasional, dan pemakaian basis ilmu pengetahuan sebagai landasan negosiasi merupakan bentuk penggunaan rasionalitas terbaik. Para pihak yang menegosiasikan dampak pencemaran harus memakai prinsip-prinsip berdasarkan ilmu pengetahuan untuk menentukan besaran, luasan, kedalaman, dan dampak pencemaran.

Prinsip kedua negosiasi adalah verifikasi dan validasi. Para pihak yang berkepentingan dapat memeriksa dan menguji kembali bila perlu seluruh data dan kesepakatan yang telah dihasilkan oleh kedua belah pihak.Valuasi sumber daya alam serta analisis terhadap data citra satelit atau pemodelan matematika tumpahan minyak harus dapat diuji kembali di lain kesempatan oleh pihak lain dengan memakai standar yang baku dan dapat diterima, sehingga keputusan yang dihasilkan benar. Karena itulah usulan memakai pihak ketiga yang independen menjadi jalan keluar untuk menuntaskan masalah metode dan pemodelan ini.

Prinsip ketiga, nilai ganti rugi harus menimbulkan efek jera (deterrence effect). Prinsip ini membawa konsekuensi bahwa nilai ganti rugi tidak boleh terlalu kecil, sehingga muncul efek bagi korporasi untuk tidak mengulangi lagi kejadian yang sama, dan mereka selalu diingatkan agar lebih berhati-hati dalam melaksanakan prosedur operasi serta semakin menguatkan program perlindungan lingkungan hidup. Bila kesepakatan melakukan audit lingkungan semacam Analisis Risiko Lingkungan (ERA) dipenuhi PTTEP, akan menjadi sistem peringatan dini cukup efektif untuk menilai potensi bencana di masa depan.

Prinsip berikutnya yang tidak kalah penting adalah lengkap, termasuk semua data fisik dan nonfisik. Kerugian sosial, seperti terganggunya proses-proses sosial, merenggangnya kohesi sosial, dan keputusasaan, harus pula tercakup di dalamnya. Korporasi dapat dipersuasi memakai dana corporate social responsibility dalam program ini. Prinsip kelima adalah post-disaster rehabilitation. Nilai ganti rugi harus juga mencakup pertanggungan kegiatan perlindungan lingkungan Laut Timor di masa depan.

Setelah kesepakatan ganti rugi, pemerintah Indonesia harus memilih mekanisme termudah dan tercepat untuk memberikan ganti rugi itu kepada masyarakat dan kawasan yang terkena dampak. Karena PTTEP saat ini juga memiliki beberapa konsesi lapangan minyak lepas pantai di perairan Indonesia, seharusnya negosiasi akan berjalan lebih lancar. Korporasi trans-nasional harus diyakinkan untuk ikut bertanggung jawab terhadap komunitas terdekat mereka di pantai dan pesisir Laut Timor sebagai basis penguat bisnis mereka agar berkelanjutan, agar niat baik untuk meningkatkan kesejahteraan manusia benar-benar direalisasi, dan proses-proses ekologis terlanjutkan.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/03/12/ArticleHtmls/12_03_2011_010_003.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: