BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Diskriminasi Pendidikan Semakin Lebar...

Written By gusdurian on Kamis, 12 Agustus 2010 | 13.45

Oleh Try Hariyono

Pertanyaannya sangat sederhana, tetapi tidak mudah menjawabnya. Mengapa saat Orde Lama dan Orde Baru anggaran pendidikan tak sampai 20 persen dari APBN, tetapi masyarakat bisa menikmati pendidikan murah?

Semua lapisan masyarakat, asalkan ada kemauan, bisa sekolah di mana pun sesuai keinginan. Uang sumbangan penyelenggaraan pendidikan atau SPP sangat murah, suasana pendidikan menyenangkan, dan berbagai buku paket pelajaran tersedia.

Di jenjang pendidikan tinggi, seleksi sangat adil (fair) dan tak ada diskriminasi, uang kuliah terjangkau, beasiswa melimpah, dan asrama putra-putri tersedia. Dosen pun disediakan perumahan yang cukup layak.

Kini, setelah anggaran pendidikan dipatok 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), keadaannya justru serba terbalik. Uang sekolah sangat besar dan berbagai buku mahal harus dibeli. Ironisnya, keadaan ini justru direstui negara dengan mengizinkan sekolah negeri berlomba-lomba memungut dana dari masyarakat tanpa batas. Untuk ”mengelabui” masyarakat, dibentuklah rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).

Secara tak langsung, terjadilah diskriminasi pendidikan. Hanya keluarga kaya yang bisa menikmati pendidikan bermutu karena sangat mahalnya biaya pendidikan. Pemerintah pun secara sadar dan terencana menciptakan diskriminasi pendidikan ini, antara lain dengan mengucurkan dana Rp 300 juta per sekolah berstatus RSBI pada tahun 2008 dan naik menjadi Rp 500 juta per sekolah RSBI pada 2009.

Kucuran dana ini alasannya, untuk meningkatkan mutu pendidikan agar siswa mampu bersaing secara global. Alasan yang terkesan dicari-cari karena mutu pendidikan cuma diukur dari tersedianya fasilitas pendingin ruangan, layar proyektor, dan berbagai fasilitas fisik lainnya. Bukan dari aspek pembentukan karakter siswa.

Menjadi pertanyaan pula, jika dana itu untuk meningkatkan mutu pendidikan, mengapa justru bukan sekolah ”tertinggal” yang dibantu dari segi finansial? Jika sudah diizinkan memungut dana dari masyarakat, mengapa pula dana itu tidak dialihkan untuk sekolah yang kualitasnya tertinggal?

Keprihatinan Unesco

Rendahnya mutu pendidikan Indonesia menjadi keprihatinan mendalam Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB, Unesco. Dalam laporan Unesco soal pencapaian target Education for All 2015, misalnya, posisi Indonesia berada jauh di bawah Malaysia. Ironisnya, sejak akhir tahun 1960-an, Malaysia justru belajar mengelola pendidikan dari Indonesia.

Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia juga tidak terlepas dari rendahnnya kualitas tenaga pendidik. Dari sekitar 2,7 juta guru di berbagai jenjang pendidikan, hanya sekitar 900.000 guru yang bependidikan D-4 atau S-1. Sisanya lulusan D-3, bahkan banyak yang lulusan SMA.

Di sisi kesejahteraan, persoalan kesejahteraan guru tetap tak beranjak dari puluhan tahun lalu. Meski sudah ada program sertifikasi guru dengan konsekuensi pemberian tambahan tunjangan untuk guru, jumlahnya baru sekitar 350.000 orang. Bagian terbesar guru, gajinya sangat minim, bahkan banyak yang honornya lebih rendah dari buruh pabrik.

Kondisi ini diperparah lagi dengan infrastruktur yang belum memadai. Ruang kelas SD yang rusak, misalnya, masih sekitar 200.000 ruang kelas, sedangkan untuk SMP masih sekitar 12.000 ruang kelas yang rusak. Ini masih ditambah lagi dengan kenyataan sekitar 34,3 persen SMP/madrasah tsanawiyah (MTs) tidak mempunyai perpustakaan dan 38,2 persen sekolah tidak memiliki laboratorium.

Tantangan di bidang pendidikan tidak berhenti sampai di situ. Angka putus sekolah untuk berbagai jenjang pendidikan masih cukup tinggi. Setiap tahun, misalnya, 211.643 siswa SMP dan MTs putus sekolah karena sejumlah faktor. Selain itu, sekitar 452.000 tamatan SD dan madrasah ibtidaiyah (MI) tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Sampai akhir 2007, angka partisipasi murni SD/MI sederajat sebesar 94,90 persen. Angka partisipasi murni adalah rasio murid SD berusia 7-12 tahun terhadap penduduk kelompok umur 7-12 tahun.

Adapun angka partisipasi kasar SMP/MTs sederajat sebesar 92,52 persen. Angka partisipasi kasar adalah rasio jumlah siswa yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia tersebut.

Jadi, di satu sisi berbagai persoalan mendasar pendidikan masih membelit, di sisi lain pemerintah mengucurkan dana jorjoran untuk RSBI.

Diskriminasi pendidikan tingi

Jika di jenjang pendidikan dasar dan menengah diskriminasi terjadi dalam bentuk RSBI, di jenjang pendidikan tinggi, diskriminasi itu juga kini terjadi. Kuota kursi yang diperebutkan secara adil dalam seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN ), misalnya, hanya 10-20 persen dari kapasitas yang ada.

Sebagian besar kursi itu justru ”dilelang” dengan beragam nama yang sasaran utamanya mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari calon mahasiswa. Membayar uang masuk resmi Rp 200 juta-Rp 600 juta per mahasiswa ke perguruan tinggi negeri (PTN) sudah lazim sekarang ini.

Pungutan dana ini, lagi-lagi dalihnya untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Kenyataannya, kebijakan ini melahirkan diskriminasi. Hanya mahasiswa dari keluarga kaya yang peluangnya terbuka lebar masuk perguruan tinggi negeri. Adapun mahasiswa miskin hanya bisa gigit jari.

Kondisi inilah yang antara lain dicemaskan para guru besar dan dokter-dokter senior lulusan tahun 1960-an Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), saat mengunjungi Kompas, Senin (9/8). ”Kami bisa menjadi guru besar juga karena banyak mendapat beasiswa dari negara,” kata Prof Iskandar Wahidiyat, Guru Besar Fakultas Kedokteran UI. Karena merasa banyak dibantu negara, para guru besar pun dengan sepenuh hati ingin membaktikan ilmunya bagi kemajuan negara.

”Ditempatkan di mana pun, asal bisa membaktikan hidup buat bangsa dan kemanusiaan, tidak masalah,” kata Dr Boedihartono MHA yang lama bertugas di Papua.

Namun, dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi, termasuk kedokteran, mereka khawatir, jiwa nasionalisme, kemanusiaan, dan pengabdian dokter-dokter muda lulusan perguruan tinggi negeri akan luntur. ”Kami khawatir, nasionalisme dan semangat pengabdian itu luntur oleh kalkulasi kapitalistik,” kata Dr Abdoel Djalal AR, dokter senior FKUI.

Tampaknya, persoalan pendidikan harus segera dibenahi mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Tidak semestinya di usia 65 tahun kemerdekaan RI, masyarakat masih kesulitan mendapatkan pendidikan berkualitas. Bukan cuma pendidikan berkualitas, masyarakat bahkan menghadapi persoalan yang lebih menyakitkan, yakni diskriminasi pendidikan yang makin lebar....
http://cetak.kompas.com/read/2010/08/11/03370313/diskriminasi.pendidikan.semakin.lebar...

Korupsi Kemanusiaan, Kemanusiaan yang Terkorupsi

Korupsi Kemanusiaan, Kemanusiaan yang Terkorupsi


OLEH AHMAD ARIF

Tak seorang pun yang meragukan kekayaan negeri ini. Itu pula yang menggerakkan para penjajah dari Eropa silih berganti datang ke negeri ini. Demikian halnya tak seorang pun mungkin akan membantah bahwa sejak dulu kala korupsi telah merajalela dan menyengsarakan rakyat di negeri ini.

Untaian zamrud khatulistiwa, yang menggambarkan kekayaan alam yang terhampar sejak dari Pulau Rondo di barat Sabang, Aceh, hingga ke Merauke di Papua, memang tak terbantahkan. Akan tetapi, kenapa rakyat negeri ini masih tetap miskin?

Pertanyaan sederhana ini mestinya menggelitik nalar kita untuk kemudian mencari apa yang salah karena dari beberapa kali perjalanan menelusuri pelosok negeri ini senantiasa bertemu dengan kisah tentang rakyat yang gigih berjuang untuk hidup.

Jika bukan karena kemalasan rakyat, lalu apa?

Persekongkolan penguasa dan pengusaha korup patut menjadi tumpuan kesalahan atas kemelaratan rakyat di negeri kaya sumber daya alam ini.

Pengisapan dan korupsi memang dimulai sejak dulu kala, bahkan sebelum negara ini bernama Indonesia. Dalam catatan Cliford Geertz (Agricultural Involution, 1963), upaya Belanda meraih pasar dunia dilakukan dengan mempertahankan pribumi tetap pribumi. Sistem yang dikenal sebagai ekonomi mendua: pembangunan dengan mengisap pihak lain.

Peter Boomgaard (Children of the Colonial State, Amsterdam, 1989) menyebutkan, di tingkat desa, pengisapan dilakukan pemilik tanah dan perangkat desa yang menjadi pemungut pajak dan mandor. Jawa menjadi perkebunan besar dengan aristokrasi pribumi dan elite desa yang korup, sebagai kaki tangan Belanda.

Boomgaard juga menyebutkan, citra Jawa pada awal abad ke-19 adalah kemiskinan dan kemandekan rakyatnya. Dan sebaliknya, kegemilangan para penguasa Belanda dan priayi pribumi.

Dua ratus tahun kemudian, gambaran suram itu tak beranjak pergi.

Bahkan, kini, semakin menegas dengan kesenjangan yang makin tinggi, dan gambaran tentang birokrat yang korup juga makin menguat. Kini, semua sendi birokrasi di negeri ini tak bebas dari korupsi. Bahkan, korupsi juga menjerat para penegak hukum, mulai dari pengacara, polisi, jaksa, hingga hakim.

Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) soal tren korupsi pada semester I-2010 menyebutkan, kalangan eksekutif menjadi aktor utama korupsi. Sebanyak 280 pejabat dari berbagai tingkatan menjadi tersangka korupsi (63,49 persen). Disusul pihak swasta sebanyak 85 orang yang menjadi tersangka korupsi (19.27 persen), lalu anggota Dewan sebanyak 52 orang yang jadi tersangka korupsi (11,79 persen).

Dan yang lebih mengkhawatirkan, korupsi telah menjadi suatu yang lumrah di negeri ini. Korupsi tak lagi memalukan. Nyatanya, para koruptor tak lagi risih memamerkan kemewahan yang mereka dapatkan dari korupsi kepada rakyat yang miskin, dan rakyat pun nyatanya tak menghukum para pejabat yang korup dengan memilih kembali para pejabat tersangka korupsi dalam pemilihan kepala daerah baru-baru ini. Artinya, korupsi telah menyusup ke dalam kebudayaan.

Lima incumbent (petahana) tersangka korupsi yang memenangi pilkada periode 2010-2015 itu adalah Bupati Rembang (Jawa Tengah) Moch Salim, Bupati Kepulauan Aru (Maluku) Theddy Tengko, Bupati Lampung Timur (Lampung) Satono, Wakil Bupati Bangka Selatan (Bangka Belitung) Jamro H Jalil, dan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin.

Korupsi dana sosial

Korupsi di negeri ini bahkan telah menjadi pukulan langsung terhadap kemanusiaan melalui tren korupsi terhadap dana yang seharusnya disalurkan kepada rakyat miskin. Penelitian oleh ICW menyebutkan, kasus korupsi yang paling sering muncul selama tahun 2009 adalah korupsi dana bantuan sosial (bansos) dengan total merugikan negara Rp 215.57 miliar.

Kasus dugaan korupsi pengadaan sarung, mesin jahit, dan sapi impor di Kementerian Sosial pada tahun 2004-2006, yang menyeret mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, juga menjadi contoh menarik bagaimana bantuan untuk rakyat miskin ternyata dikorup hingga senilai Rp 38,6 miliar.

Kasus lain adalah korupsi pengadaan alat kesehatan untuk 32 rumah sakit umum daerah di daerah tertinggal dan kawasan timur Indonesia pada 2003 sehingga merugikan negara hingga Rp 104,47 miliar. Mantan Menteri Kesehatan Achmad Sujudi telah divonis dua tahun tiga bulan atau 27 bulan oleh Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, terkait kasus ini. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kemudian menambah hukuman Achmad Sujudi menjadi empat tahun penjara.

Tak hanya melibatkan aktor dari pusat, koruptor di daerah ternyata tak kalah mengerikan. Bahkan, tren korupsi terbaru, korupsi paling banyak dilakukan terhadap dana keuangan daerah. Dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi salah satu contoh klasik bagaimana korupsi turut menyumbang kemiskinan, bahkan juga penderitaan rakyat.

Berdasarkan data dari Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT sepanjang 2009 terhadap 16 dari 21 kabupaten/kota di NTT, ada 125 kasus dugaan korupsi dengan total indikasi kerugian negara Rp 256,3 miliar. Padahal, dana sejumlah itu jika digunakan untuk melakukan intervensi pemulihan gizi buruk anak balita yang dalam 90 hari membutuhkan Rp 1,5 juta per anak balita bisa menjangkau sekitar 170.000 anak balita. Jumlah anak balita penderita gizi buruk di NTT mencapai 60.616 dari total 504.900 anak balita di sana.

Kejahatan kemanusiaan

Almarhum Prof Mubyarto dalam Jurnal Ekonomi Rakyat, 1 September 2004, pernah mengatakan, kunci dari pemecahan masalah korupsi adalah keberpihakan pemerintah pada keadilan.

”Korupsi harus dianggap menghambat perwujudan keadilan sosial, pembangunan sosial, dan pembangunan moral. Jika sekarang korupsi telah menghinggapi anggota-anggota legislatif di pusat dan di daerah, bahayanya harus dianggap jauh lebih parah karena mereka (anggota DPR/DPRD) adalah wakil rakyat,” kata dia.

Jika sudah begini, agaknya kategorisasi dari Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) tentang korupsi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan perlu disikapi lebih serius. Misalnya, dengan menciptakan hukuman lebih berat terhadap para koruptor.

Namun, anehnya, ancaman hukuman berat buat terpidana korupsi justru diamputasi. Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tipikor versi Agustus 2008 menghilangkan ketentuan Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto No 20/2001. Ayat tersebut secara tegas menyebutkan, koruptor bisa dihukum mati.

Bahkan, secara keseluruhan, semangat RUU yang saat ini menjadi prioritas Legislasi Nasional 2010 memang memberikan angin surga kepada para koruptor. Misalnya, Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor yang selama ini cukup digdaya menjerat koruptor justru dihilangkan. Akibatnya, banyak koruptor diperkirakan akan lolos dari jerat hukum jika pasal seperti ini tidak ada di RUU.

Ancaman pidana maksimal dalam RUU ini secara keseluruhan juga menurun.
Barangkali, kemanusiaan para penguasa negeri ini memang telah terkorupsi.

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/11/03380121/korupsi..kemanusiaan.kemanusiaan.yang.terkorupsi

Perbaiki Tata Kelola Hukum

Perbaiki Tata Kelola Hukum

Keyakinan publik terhadap komitmen dan konsistensi penegakan hukum anjlok. Alih-alih percaya, publik kini justru mencibir.


Karena itu saya mengimbau Presiden agar menjadikan tata kelola hukum sebagai agenda rapat kerja (raker) pemerintah berikutnya, setelah tata kelola keuangan menjadi fokus raker pemerintah di Istana Bogor,5- 6 Agustus 2010. Ada beberapa persoalan strategis yang harus mendapat penanganan segera dari pemerintah, terutama yang terkait langsung dengan kepentingan sehari-hari rakyat. Misalnya soal pengen-dalian harga kebutuhan pokok, identifikasi dan penarikan segera kompor gas yang tak memenuhi SNI berikut perlengkapannya,tentang pro-kontra publik atas eksistensi Ahmadiyah yang mulai meruncing, sampai persoalan ekses kemiskinan yang menyebabkan sebagian warga miskin putus asa dan mengakhiri persoalan mereka dengan jalan pintas sangat ekstrem: bunuh diri.

Kritik mantan Presiden Megawati Soekarnoputri terhadap pemerintah atas penanganan beberapa masalah tersebut rasanya sudah cukup mewakili aspirasi orang kebanyakan. Di tengah rentetan persoalan beban hidup itu, perhatian masyarakat terhadap masalah atau isu-isu penegakan hukum tak pernah surut.Bisa dimaklumi karena penegakan hukum, diminta atau tak diminta, langsung menyentuh rasa keadilan rakyat,sesuatu yang kodrati. Tak jarang orang melupakan rasa lapar dan haus demi memenuhi rasa keadilan, at all cost. Ada banyak contoh kasus tentang hal ini. Ada baiknya Presiden juga mengkaji masalah tata kelola hukum pada tingkat pemerintah, karena persoalan-persoalan yang mengemuka di sektor hukum tak kalah seriusnya dibanding persoalan pengelolaan keuangan negara dewasa ini.

Bagi banyak orang,arah penegakan hukum tampak membingungkan. Tetapi,untuk meringkas uraian saya sebut saja beberapa contoh kasus yang menjadi pusat perhatian masyarakat akhirakhir ini.Arah penanganan kasus rekening gendut belum jelas. Dalam persidangan perkara mafia kasus dengan terdakwa Gayus Tambunan terungkap bahwa penegak hukum melakukan rekayasa penyidikan yang berujung pada vonis bebas Gayus dalam perkara penggelapan pajak. Dalam perkara percobaan penyuapan pimpinan KPK yang diduga melibatkan Bibit-Chandra, penegak hukum ternyata belum bisa menghadirkan bukti tentang rekaman pembicaraan antara Ade Rahardja dengan Ari Muladi.

Rekaman pembicaraan kedua orang ini dinilai sebagai salah satu faktor kunci kasus ini.Padahal, baik Polri maupun Kejaksaan Agung sebelumnya mengklaim sudah mempunyai rekaman pembicaraan itu, dan siap diperdengarkan manakala majelis hakim memerintahkannya. Kasus ini menjadi tontonan yang tak lucu,bahkan memalukan. Kegagalan menghadirkan bukti rekaman pembicaraan Ade-Ari justru makin menguatkan dugaan tentang adanya persekongkolan untuk mengkriminalisasi KPK beserta pimpinannya. Lagi-lagi tumbuh kesan di benak publik bahwa kasus Bibit-Chandra tak lebih dari produk rekayasa penegak hukum.

Contoh kasus lain yang juga masih dibincangkan berbagai kalangan hari-hari ini adalah jalannya proses seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Muncul keraguan bahwa kita memang ingin membangun KPK yang kuat dan independen. Panitia seleksi dinilai terlalu menyederhanakan masalah. Soalnya, persyaratan sosok pemimpin KPK yang begitu complicated hanya diseleksi melalui lomba tulis.Menurut persepsi saya, proses seleksi calon pemimpin KPK harus fokus mendalami aspek integritas dan kapabilitas para calon. Sehingga, Panitia Seleksi Calon Ketua KPK harus lebih konsisten mendalami dua aspek itu, agar publik yakin bahwa pemerintah dan panitia sungguh-sungguh ingin menguatkan peran dan fungsi KPK.

Kami di DPR mencium bau tak sedap dari jalannya proses seleksi calon ketua KPK tahap pertama yang sudah menghasilkan 12 nama itu.Menu atau mata acara seleksi mencerminkan perilaku Panitia Seleksi menyederhanakan persoalan tentang urgensi calon ketua KPK yang integritasnya teruji dan kapabilitasnya tak diragukan. Misalnya para calon hanya diminta mengikuti “lomba” menulis tentang korupsi dan strategi pemberantasannya. Cara ini ibarat mencari pemain bola lewat lomba tulis tentang bola. Sudah barang tentu yang terbaik pastilah pengamat atau wartawan spesialis sepak bola yang belum tentu bisa menendang bola. Anehnya, selama ujian itu Panitia Seleksi ceroboh.Para calon diperbolehkan menggunakan laptop, tapi semua laptop calon tidak diperiksa,termasuk kemungkinan calon menggunakan USB atau tersambung dengan internet.

Progres Reformasi

Contoh-contoh kasus yang saya sebutkan tadi sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa tata kelola hukum di negara kita masih sarat masalah. Sebagai tambahan contoh kasus, kita bisa menyebut penanganan skandal Bank Century, perlakuan terhadap Susno Duadji sebagai whistle blower, penanganan kasus penggelapan pajak Paulus Tumewu sampai kasus penganiayaan aktivis ICW. Dalam kasus Gayus, kita diberi gambaran tentang bagaimana para penyidik bisa seenaknya membelokan konstruksi kasus, sehingga pengadilan mempunyai alasan yang masuk akal untuk menjatuhkan vonis bebas bagi Gayus.

Kesimpulannya, para penyidik bisa memainkan sebuah kasus sesuai kehendak dan kepentingannya. Muncul juga kesan yang sama dalam kasus Bibit-Chandra versus Anggodo Widjaja.Ternyata klaim tentang adanya rekaman pembicaraan Ari-Ade masih ditelusuri polisi. Kalau masih ditelusuri,berarti rekaman itu belum di tangan penegak hukum.Persoalannya,kenapa Kapolri dan Jaksa Agung secara terbuka berani membuat klaim bahwa rekaman itu memang sudah ada? Dalam konteks ini, Kapolri dan Jaksa Agung sudah dipermalukan oleh bawahan mereka.

Berkait dengan pencarian sosok pimpinan KPK, publik tak tertarik lagi untuk menunggu hasil kerja Panitia Seleksi. Soalnya, sudah muncul anggapan bahwa Pansel sesungguhnya sudah mengantongi dua nama yang akan diajukan ke DPR. Banyak kalangan yakin Panitia Seleksi akan menjagokan mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie dan Ketua Komisi Yudisial M Busyro Muqqoddas. Mengacu pada dua nama itu, banyak kalangan mulai membuat kalkulasi berdasarkan latar belakangkeduanya. Tentusajakalkulasi mengenai strategi pendekatan kepada pimpinan KPK terpilih untuk mengamankan kepentingan masing- masing. Jimly dilihat sebagai sosok yang sangat populer, dan sebaliknya mengenal dengan baik berbagai kelompok dalam masyarakat kita.

Berbeda dengan Muqqoddas yang berlatar belakang aktivis dari daerah.Derajat kedekatannya dengan berbagai komponen masyarakat masih sangat terbatas. Siapa yang akhirnya tampil sebagai calon terpilih pimpinan KPK akan menentukan hitam-putih tata kelola hukum di negara ini.Kecenderungannya akan mengarah pada memilih sosok pimpinan KPK yang kompromistis. Dengan fakta dan kecenderungan seperti itu,masuk akal jika derajat keyakinan publik terhadap komitmen dan konsistensi di bidang penegakan hukum terus merosot. Pertama, karena penegak hukum nyaris telah kehilangan kredibilitasnya.

Kedua, rangkaian pernyataan pejabat negara tentang penegakan hukum tidak lagi dipercaya Sebaliknya, ada bukti bahwa tak sedikit penegak hukum yang menggunakan wewenangnya untuk melakukan kejahatan.Ketiga,praktik tebang pilih atau diskriminasi penegakan hukum masih terjadi. Keempat, peran mafia hukum masih dominan. Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) ternyata hanya kosmetik istana.Kita belum pernah mendengar Satgas PMH mengungkap praktik mafia kasus. Kehadirannya malah berpotensi merusak tatanan,karena bisa memperlemah kinerja Polri, Kejaksaan, maupun lembaga peradilan.Banyak orang menilai Satgas PMH hanya menekan lawan politik pemerintah dan untuk kepentingan pencitraan.

Mengacu pada respons penegak hukum terhadap beberapa kasus, rasa keadilan rakyat sesungguhnya sudah terusik. Keterusikan ini tentunya harus dihentikan dengan kerja nyata. Persoalannya kini di tangan Presiden.Karena itulah saya melihat sangat relevan jika Presiden juga mengagendakan aspek tata kelola hukum dalam forum rapat kerja pemerintah berikutnya. Selain menyimak pemaparan tentang kinerja penegakan hukum dari para pembantunya, Presiden hendaknya menyimak juga sikap dan aspirasi publik tentang hal yang sama. Tak kalah pentingnya adalah mempertanyakan progres reformasi di masing-masing institusi penegak hukum.

Perkembangan reformasi di semua institusi penegak hukum patut dipertanyakan lagi oleh Presiden karena baik buruknya tata kelola hukum ditentukan oleh kinerja dan perilaku penegak hukum.(*)

Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/343890/

Kenapa Kontra-terorisme Gagal?

Kenapa Kontra-terorisme Gagal?

Setelah sekian lama kurang mendapat sorotan masalah terorisme kembali menyusupi tajuk utama berbagai media cetak nasional.


Kehebohan ini terutama berkat tiga poin peristiwa yang terjadi 7 Agustus 2010. Pertama, penangkapan lima tersangka terorisme di Bandung,Bandung Barat, dan Subang.Kedua, pernyataan Presiden SBY (untuk kedua kalinya) bahwa dirinya mendapat ancaman terorisme. Ketiga, penangkapan pemimpin Jamaah Ansharut Tauhid Abu Bakar Baasyir (untuk keempat kalinya dalam sejarah hidupnya) oleh Polri terkait dengan keterlibatannya latihan terorisme di Aceh yang ditumpas Polri pada awal tahun ini. Melihat perkembangan terorisme dan radikalisme belakangan ini tampak kewibawaan negara, khususnya penegak hukum, pada titik nadir.

Laporan intelijen Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI barubaru ini memperlihatkan bagaimana kelompok-kelompok Islam radikal telah mengindoktrinasi anggota-anggotanya untuk tidak gentar menghadapi sanksi-sanksi hukum yang diancamkan oleh negara. Para penegak hukum mereka kategorikan sama dengan musuh Islam yang layak, bahkan wajib diperangi.Hukuman pemenjaraan justru mereka pandang sebagai “liburan” di tengah-tengah tugas mereka dalam organisasi.

Kelompok Islam radikal juga leluasa melakukan latihan bergaya militer,meski polisi telah berusaha menghentikan, seperti terjadi di Tawangmangu, Jawa Tengah, Juni lalu. Sebagian kalangan masyarakat kembali melontarkan pertanyaan, mengapa teroris baru kerap bermunculan meski penangkapan atau pengeliminasian anggota jaringan maupun pemimpinnya telah dilakukan?

Sejarah Panjang

Sedikit reintroduksi tentang siapakah teroris dalam tulisan ini. Ancaman terorisme di Indonesia saat ini berasal dari gerakan pendukung Islamisme yang telah memilih jalan kekerasan sejak masa awal kemerdekaan RI. Islamisme sendiri adalah ideologi politik yang menempatkan Islam pada prinsip sentral yang mendasari pengendalian terhadap berbagai aspek bangsa.

Perlu diingat bahwa kata kunci yang mengategorisasikan suatu kelompok atau individu sebagai teroris adalah kekerasan dan ideologi politik, keduanya harus hadir bersamaan.Dalam hal ini ada kelompok yang meyakini jihad sebagai perjuangan fisik melawan rezim atau pemerintahan yang tidak mau mewujudkan Islamisme. Kelompok yang disebut ”jihadis” ini di Indonesia termanifestasikan sebagai Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia yang diteruskan oleh kelompok Negara Islam Indonesia. Sejak 1980 Indonesia merupakan lahan subur perkembangan Islamisme dan salafisme (pemurnian Islam).

Sejak pertengahan 1990-an gagasan jihad berevolusi menjadi perlawanan terhadap sumber kekuatan rezim kafir,yaitu AS, Israel, dan sekutu-sekutunya. Untuk itu dibentuk Front for Jihad against Jews and Crusaders (yang selanjutnya kita kenal sebagai Al- Qaeda) pada 1998 yang terdiri atas berbagai kelompok dan individu lain dari Aljazair, Mesir, Bangladesh, dan Pakistan, yang saling independen tetapi berbagi kemiripan ideologi. Jemaah Islamiyah merupakan bagian dari entitas ini,dan ia membangun afiliasi nonformal dengan berbagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia.Hanya sebagian alumni lembaga ini yang terlibat aksi terorisme.

Tapi jaringan di antara mereka tidak terputus, begitu pula jaringan antaralumni Afghanistan, yang kemudian meluas dengan alumni dari pusat pelatihan di Mindanao dan konflik di Ambon dan Poso.Pelaksana terorisme saat ini berasal dari kelompok Islamisme radikal yang beraliran nasionalis seperti FPI maupun antinegara seperti Ring Banten. Meski sejarah Islamisme di Indonesia bukanlah sejarah para pemenang,melainkan sejarah pergerakan yang diremukkan oleh rezim dan terfragmentasi, tapi kelompok masyarakat yang meyakini gagasan ini tidak pernah hilang.

Tanpa kepemimpinan atau koordinasi pun gerakan Islamisme di Indonesia mampu melibatkan operator-operator individual atau sel-sel kecil yang berfungsi secara independen dalam mengejar tujuan yang telah dipahami,dalam studi terorisme ini lazim disebut leaderless resistance.

Memutus Rantai

Studi terorisme internasional melihat bahwa kelompok terorisme tidak selalu bisa berakhir hanya dengan penangkapan atau pengeliminasian pemimpinnya. Sejarah terorisme internasional memperlihatkan hanya kelompok dengan struktur organisasi yang jelas dan daya mobilisasi massa yang terbatas saja, yang dapat diakhiri dengan cara seperti ini.

Tercatat kelompok Partai Pekerja Kurdi (PKK),Aum Shinrikyo, Real Irish Republican Army,dan Sendero Luminoso, sebagai kelompok-kelompok dengan metode terorisme yang berakhir atau pecah dan melemah secara drastis setelah pemimpinnya ditangkap atau dibunuh.Mereka semua memiliki struktur organisasi yang jelas. Kelompok terorisme Indonesia, yang menyerupai rangkaian buah anggur tidak bisa diperlakukan sebagai organisasi dengan struktur kepemimpinan yang jelas, melainkan terdiri atas individu- individu yang siap bergerak kapan pun ada yang mengoordinasikan. Kita masih ingat bagaimana pada 2005 Noordin M Top dapat bergerak leluasa di sekitar Jawa Tengah, bahkan di tempat-tempat yang memasang poster dirinya sebagai buronan polisi.

Dia memanfaatkan individu-individu yang setiap saat dapat ditemukan oleh orang-orang lingkaran dalamnya, dan diajak untuk melakukan “aksi amaliah”. Dengan kondisi jaringan terorisme seperti ini, penangkapan dan pembunuhan gembong teroris saja bisa menimbulkan kejutan balik (backfire) berupa peningkatan publisitas dari para teroris yang tewas sebagai martir yang akan menarik anggota-anggota baru.Ini sebabnya mengapa teroris lebih baik ditangkap,bukan dibunuh; tidak semata-mata demi penegakan HAM, tetapi demi efektivitas kontra-terorisme itu sendiri dalam menghancurkan organisasi terorisme.

Pemimpin atau organisator terorisme yang tertangkap pun harus diisolasikan secara total dari interaksi dengan dunia luar, termasuk dengan sesama tersangka lain, mereka dilucuti dari segala bentuk kredibilitas kepemimpinan dan komunikasi, agar pengikut atau calon pengikutnya mengalami demoralisasi. Ada dua cara lain yang bisa mengakhiri petualangan kelompok terorisme. Pertama,memutus regenerasi kepemimpinan dan menghilangkan kemampuan memobilisasi pendukung.Tanpa kemampuan untuk mengartikulasikan visi yang jernih dari tujuan akhir pergerakan kepada para penerus,kelompok terorisme akan tereliminasikan.

Kedua, kelompok teroris tidak akan selamat tanpa dukungan dari populasi di sekitarnya. Itu termasuk menyembunyikan buron, menggalang dana,ikut serta dalam persiapan dan eksekusi, hingga yang pasif berupa ketidakpedulian terhadap tanda-tanda aktivitas terorisme,menurunnya kerja sama dengan penyidik kepolisian, dan ekspresi dukungan terhadap tujuan kelompok teroris.Ini tidak akan sulit bila pemerintah mau berusaha, karena sebagian besar masyarakat secara alamiah lebih memilih ketiadaan ancaman terorisme maupun pemberlakuan keadaan darurat dalam kontra-terorisme. Sesungguhnya gerakan Islamisme radikal Indonesia sudah berkali- kali melakukan kesalahan serius karena pemilihan metode dan korban.

Aksi bom bunuh diri dengan korban massal (mass casualty) yang mereka lakukan sejak 2002 hingga 2009 telah mengorbankan banyak warga sipil yang hanya karena kebetulan ada di lokasi kejadian, tapi sedikit sekali usaha yang dilakukan pemerintah untuk memanfaatkan kesalahan. Respons multimedia terkoordinasi semestinya dilakukan sebagai bagian dari operasi kontraterorisme, untuk membentuk ketidaksukaan publik terhadap kelompok terorisme.Ini dilakukan dengan memperlihatkan perspektif korban-korban tak berdosa, ketidaksetujuan terhadap visi kelompok yang melakukan aksi, sempit dan sesat pikir dari para pendukung dan partisipan terorisme, dan kesediaan kelompok teroris menghalalkan penjagalan dan pembunuhan korban-korban sipil.

Publikasi pengejaran, penggerebekan, penangkapan dan pembunuhan tersangka terorisme justru membuat rakyat semakin resah akan operasi kontra-terorisme yang tak berkesudahan. Terlebih publikasi Presiden akan ancaman terorisme yang ditujukan kepadanya, yang justru meningkatkan moralitas terorisme karena mereka melihat aksinya berhasil menciptakan ancaman yang berkredibilitas. Memutus mobilisasi dukungan terhadap kelompok terorisme juga dilakukan dengan memberikan alternatif yang lebih baik kepada mereka yang berpikir ingin bergabung dengan terorisme, melalui gerakan reformasi membersihkan birokrasi, meningkatkan pengeluaran untuk kesejahteraan dan pendidikan,menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan di wilayahwilayah yang kurang mendapat perhatian pembangunan.

Penelitian empirik telah membuktikan bahwa rasa kehilangan martabat (indignation) atau kefrustrasian pada segmen-segmen tertentu dalam masyarakat bisa menjadi faktor krusial pada keputusan bergabung dengan kelompok teroris.(*)

Ali Abdullah Wibisono
Manajer Program Studi Terorisme dalam Keamanan Internasional UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/343891/

Hukum Itu Indah

Hukum Itu Indah

Pada edisi Senin 2 Agustus 2010 harian ini menurunkan tajuk berjudul “Kemerdekaan Hukum Kita”.Betapa jelas dipaparkan bahwa kini hukum dimainkan oleh kekuasaan sesuai seleranya.


Penegakan hukum selalu terkontaminasi ego, kepentingan kelompok,dan kepentingan yang aneh-aneh. Padahal kalau hukum dijalankan berdasarkan hati nurani, rakyat kecil, orang kaya, orang yang baru lengser dari jabatan yang benar-benar tidak bersalah akan tetap bisa mendapat keadilan. Dan keadilan benarbenar milik semua. Terinspirasi oleh paparan di atas, ingin disampaikan pula bahwa sebenarnya potret buram hukum kita selama ini terjadi karena ulah (sebagian) manusia Indonesia. Dalam keotentikannya,hukum itu indah. Muncul pertanyaan, mengapa hukum yang indah berubah menjadi buram, dan bagaimana mengembalikan keindahannya?

Nafsu Duniawi

Pada diri setiap manusia terdapat jiwa.Di dalam jiwa itu ada unsur nafsu.Fungsinya sebagai penggerak dan pendorong kemajuan. Tanpa nafsu,manusia akan loyo,pasif,dan statis. Nafsu penting untuk mewujudkan progresivitas kehidupan. Akan tetapi nafsu memiliki potensi merusak.Apabila tidak dikendalikan, nafsu akan berjalan cepat secepat kilat,menerobos semua pembatas. Bagaikan kuda binal lepas dari kandangnya.Kewajiban setiap manusia adalah mengendalikan nafsu, agar berjalan lurus, normal, dan proporsional.

Hukum kita menjadi rusak karena manusia yang ada di belakang hukum mengumbar nafsu dan menjadikan hukum sebagai kuda (tunggangan) untuk mendapatkan kemegahan,harta benda,kekuasaan duniawi.Kekayaan dan kekuasaan dijadikan sarana sekaligus tujuan dalam berhukum. Di sinilah, mereka yang kaya (konglomerat) dan pemegang kekuasaan (politisi dan penegak hukum) merekayasa hukum sedemikian rupa, sehingga wajah hukum berubah total dari indah, cantik, dan elegan; menjadi buram,kelam,dan kejam. Benar adanya bahwa rakyat kecil selalu menjadi korban dari kekejaman dan keganasan hukum.

Hal demikian karena rakyat kecil tidak pernah siap atau dipersiapkan menghadapi rekayasa hukum. Mereka secara formal diakui sebagai subjek hukum,tapi secara substantif selalu ditempatkan sebagai objek hukum. Dalam peradilan, mereka (selalu) dikalahkan walaupun belum tentu salah. Dalam kebijakan, mereka diinjak dan diperas untuk memuluskan kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan bahan bakar minyak,kenaikan pajak dan retribusi, dan sejenisnya.Dalam hukum sumber daya alam, rakyat kecil dilarang melakukan penambangan liar, sementara investor diberi keleluasaan menguras emas, batu bara, pasir besi, mengelola air, perkebunan, hutan, dan sejenisnya.

Bagi rakyat kecil,hukum tampil sebagai alat penindas kehidupannya. Pebisnis dan politisi serta penegak hukum hitam,berkolaborasi ”menjajah” rakyat kecil dalam segala aspek kehidupan.Rakyat kecil kini sulit mendapatkan hukum yang merdeka, apalagi memihak kepada nasibnya. Produk hukum yang berkarakter responsif dan fasilitatif bagi rakyat kecil, ibarat pepatah,”jauh panggang dari api.”

Hati Nurani

Ada sisi lain dari jiwa manusia yang perlu secara terus-menerus dilekatkan dengan hukum, yaitu hati nurani. Dalam keasliannya, hati manusia jernih. Bagaikan air, sinar matahari akan menembus kejernihannya.Manusia yang kejernihan hatinya terjaga akan bersih pula sikap dan perilaku hukumnya. Atas dasar nur Ilahi yang menerangi, menjadi sangat mudah membedakan antara yang salah dan benar. Atas bimbingan Ilahi pula kemudian manusia selalu berjalan pada kebenaran.

Tidak pernah terpikir (apalagi berbuat) untuk korupsi, kolusi, maupun nepotisme (KKN) Psikologi hukum humanisme mengajarkan agar manusia dalam berhukum menggunakan seluruh potensi jiwa dan raga secara utuh dan terpadu.Dalam bahasa akademis, hendaknya manusia berhukum secara holistis. Bermula dari spiritual quotion (SQ), didorong dengan intellectual quotion (IQ) dan diperlengkapi dengan emosional quotion (EQ), maka semua sikap dan perbuatan lahiriah dalam membuat, menjalankan dan menegakkan hukum akan menghasilkan keadilan substantif yang dapat diterima semua pihak, bahkan dapat dipertanggungjawabkan dunia-akhirat.

Filsafat hukum organisme mengajarkan agar hubungan hukum di antara sesama manusia,(bahkan terhadap semua entitas) dilakukan atas dasar prinsip pansubjektivitas. Artinya, semua pihak dihormati sebagai subjek dan tabu untuk mengobjekkan pihak lain.Walaupun seseorang telah dinyatakan bersalah dan dimasukkan ke hotel prodeo, misalnya, dia tetap subjek hukum, dan tidak boleh diobjekkan dengan diperas melalui keluarganya. Pluralisme hukum mengajarkan agar kemajemukan hukum dijadikan sebagai modal membangun dialog hukum sehingga terwujud keutuhan hukum yang lebih besar, lebih adil, dan lebih berkualitas.

Betapa indah ketika hukum adat yang bersifat lokal-kedaerahan diterima sebagai bagian dari hukum agraria positif, sehingga kesaksian kepala adat atau secarik girik diakui sebagai alat bukti kepemilikan tanah. Betapa indah pula ketika beraneka ragam adat perkawinan diterima sebagai kekayaan budaya hukum yang dibingkai dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Budaya hukum mengajarkan bahwa hukum bekerja dan tertanam dalam sebuah matriks sosialkultural. Ketika hukum melakukan pengaturan terhadap perilaku manusia,maka hukum tidak pernah untuk dirinya sendiri, melainkan membawa manusia ke arah keteraturan, ketertiban dan berperadaban.

Bahkanketikamanusiadihadapkan pada konflik,hukum tampil sebagai sarana untuk penyelesaian sehingga konflik dapat diakhiri dengan damai, adil, dan kehidupan kembali berproses normal. Integrasi masyarakat dan bangsa menjadi tetap terjaga.Dalam kedudukannya sebagai institusi pengintegrasian proses kehidupan, hukum terbuka menerima asupan-asupan dari segala aspek kehidupan, baik bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, psikologi dan sebagainya. Jadilah hukum sebagai ”pelangi” kehidupan.Alangkah indahnya! Moralitas hukum mengajarkan agar setiap manusia berlomba-lomba dalam kebaikan dan keteladanan dalam ketaatan pada hukum. Segalanya dimulai dari hati nurani.

Hukum tidak boleh mengandung perintah dan kewajiban yang melebihi kekuatan manusia untuk menunaikannya.Dilarang merekayasa hukum untuk kepentingan sendiri atau kelompok. Moralitas hukum demikian menjadikan hukum berkesesuaian dengan harapan masyarakat.Jelaslah,ketika hukum diterima dan diperlakukan secara utuh maka akan muncul estetika hukum. Bukankah hukum demikian itu indah?

Pencitraan Hukum

Kita semua berkepentingan agar seluruh aspek hukum di negara ini kembali menjadi indah. Undangundang dasar kita dari awal telah meletakkan dasar-dasar pencitraan diri (self defining) untuk sistem hukum Indonesia yang indah itu. Pencitraan diri tersebut dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai komunalistik-religius dan tradisi musyawarah. Kita sadar bahwa keindahan hukum yang berwatak komunalistis- religius kini telah rusak.

Kita pun sadar bahwa tradisi musyawarah telah bergeser menjadi persaingan bebas. Dalam pemilihan kepala daerah,misalnya,semua individu baik yang berwatak malaikat maupun yang berwatak setan, diberi kesempatan sama untuk memilih dan dipilih sebagai kepala daerah. Kelihatannya egaliterdemokratis, tetapi tidak etis. Sejak determinasi bangsa ini lemah ketika berhadapan dengan bangsa asing, maka pencitraan hukum gagal dipertahankan, dan seiring dengan masuknya paham individual-liberalisme maka watak hukum kita pun menjadi egois,kejam, bahkan ganas. Sistem hukum kita tidak lagi indah melainkan profan,kotor,dan banal.

Untuk mengembalikan keindahan hukum,ada baiknya kita belajar dari pengalaman negara lain, yakni Jepang. Sejak kalah oleh Sekutu pada Perang Dunia II, Jepang dipaksa dunia Barat untuk membuka diri dan menerima sistem hukum Barat yang berwatak individual- liberalistis. Pemaksaan hukum asing itu disikapi secara kreatif dengan menciptakan struktur hukum yang berwajah ganda. Struktur luar (wajah depan) adalah hukum Barat, struktur dalamnya (perilaku internal sebagai bangsa) tradisi kekeluargaan. Dengan struktur hukum demikian, ketika berhadapan dengan bangsa asing digunakanlah kontrak-kontrak tertulis serta perhitungan rasional, impersonal sebagaimana layaknya hukum modern.

Akan tetapi pelaksanaan kontrak-kontrak tersebut selalu dibelokkan ke dalam tradisi kekeluargaan, sementara dokumen kontrak disimpan di dalam laci. Dengan kata lain, Jepang tetap berkomitmen menjaga tradisi dan nilai-nilai yang mengakar pada budaya bangsa sendiri, yaitu hukum kekeluargaan. Itulah cerdiknya Jepang,dan dengan hukum kekeluargaan itu pula Jepang disegani bangsa-bangsa lain.

Sebagaimana Jepang, saya yakin, bangsa ini bisa mengembalikan keindahan sistem hukum yang berwatak komunalistik-religius dan tradisi musyawarah.Kuncinya: kendalikan nafsu, maksimalkan penggunaan akal dan hati nurani, serta cintai negeri sendiri.Wallahu a’lam.(*)

Prof Dr Sudjito, SH MSi
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/343845/

Miliarder Sumbangkan Rp1.380 Triliun

Miliarder Sumbangkan Rp1.380 Triliun

NEW YORK (SI) – Sebanyak 40 miliarder Amerika Serikat (AS) berkomitmen menyerahkan separuh kekayaan mereka ke lembaga amal.

Langkah itu pun bakal diikuti para miliarder lain di dunia. Aksi amal dalam jumlah luar biasa besar ini dipimpin pendiri Microsoft, Bill Gates, dan investor saham kenamaan,Warren Buffett.Majalah Forbes memperkirakan dana yang terkumpul bakal mencapai lebih dari USD150 miliar atau Rp1.380 triliun, bahkan dalam hitunganWallStreetJournaldanaamal yang terkumpul bisa mencapai USD600 miliar atau Rp5.451 triliun. Aksi filantropi itu digalakkan Gates dan Buffett melalui program The Giving Pledge. Aksi amal itu digelar kedua miliarder ternama itu sejak Juni lalu.Tujuannya hanya mengajak.

Program itu tidak mengumpulkan dana dari para miliarder, tapi hanya menagih komitmen filantropi semata. Buffett,Gates bersama istri Melinda Gates, telah berbicara di depan 20% orang terkaya di AS yang berjumlah sekitar 70 hingga 80 orang. Jumlah ini belum seberapa karena berdasarkan data Forbes, terdapat 403 taipan yang tinggal di AS.Baik Buffett dan Gates membujuk orang kaya itu untuk menyumbangkan separuh hartanya.Dalam setiap makan malam bersama para miliarder, Buffett meminta keluarga kaya untuk berbicara tentang apa yang akan mereka lakukan dengan kekayaan tersebut. “Dalam banyak kasus,saya memiliki alasan yang dipercaya bahwa orang-orang itu punya kepentingan untuk beramal.

Hingga kini 40 pengusaha telah menandatangani kesepakatan,”ujar Buffett. Target Buffett dan Gates bukan hanya orang kaya di AS.Mereka juga mengincar para miliarder di China dan India. Mereka bakal bertemu para miliarder China September mendatang. Setelah itu mereka akan bertemu para pengusaha India pada bulan Maret tahun depan. Buffett membantah bahwa aksi filantropi itu untuk menghindari pajak. Menurut dia, tak ada seorang pun yang ingin mendapatkan pengurangan pajak.“Saya pikir motivasinya lebih jauh, bukan masalah pajak,”ujarnya. Menurut Melinda Gates,tujuan The Giving Pledge adalah membantu menciptakan harapan di masyarakat bahwa orang kaya harus memberikan harta kekayaan mereka.

Lembaga itu juga menciptakan kelompok orang kaya yang dapat memberikan bantuan filantropi. Di antara mereka yang menyumbangkan harta terdapat nama Wali Kota New York Michael Bloomberg, pendiri CNNTed Turner, dan eksekutif perusahaan hiburan Barry Diller.Kemudian,produser film George Lucas,filantrop David Rockefeller,dan pengusaha minyak T Boone Pickens. Ada beragam alasan para miliarder itu bergabung dalam “The Giving Pledge”. “Saya menyumbang kekayaan saya untuk membantu kualitas pendidikan. Karena itu adalah kunci manusia untuk bertahan hidup,”ujar Lucas.

Lain lagi dengan alasan Picken, “Sejak lama saya mengatakan kalau saya menikmati membuat uang dan saya juga menikmatinya saat saya menyumbangkan uang tersebut.” Dia mengaku bukan penggemar berat kekayaan warisan. Nama lain yang menyumbangkan hartanya adalah pengusaha konstruksi Eli Broad, investor John Doerr,pengusaha media Gerry Lenfest dan mantan komisaris Cisco Systems John Morgridge. Broad dan istrinya,Edythe, misalnya, berjanji menyumbangkan 75% dari kekayaan. Majalah Forbes memprediksi nilai kekayaan Broad mencapai USD5,7 miliar. Adapun Lenfest telah memberikan lebih dari USD800 juta atau Rp7,26 triliun, sekitar 65% dari kekayaannya.

George Soros juga merupakan salah pengusaha yang bakal memberikan separuh kekayaannya. Wali Kota New York Michael Bloomberg telah pula menyumbangkan USD254 juta atau Rp2,30 triliun kepada 1.400 lembaga nirlaba di seluruh dunia. ”Saya orang yang sangat percaya bahwa memberi dan selalu memberi adalah rencana keuangan terbaik,”paparnya. Tidak semua miliarder mendukung aksi amal besar-besaran ini. Miliarder asal Jerman Peter Kramer mengkritik bahwa The Giving Pledge merupakan sebuah inisiatif yang sangat sarat masalah. “Ada dapat menuliskan janji beramal seiring tingginya pajak di AS.

Orang kaya di AS pun memiliki pilihan: apakah saya akan menyumbang atau membayar pajak?” ujar Kramer yang terkenal dengan program sekolah untuk Afrika itu. Kramer menganggap aksi filantropi itu hanya pengalihan uang dari negara kepada para miliarder. Jadi bukannya negara yang menentukan uang para miliarder itu, justru mereka sendiri yang bakal memutuskan ke mana uang tersebut akan mengalir. “40 miliarder itu ingin mengalirkan uang mereka untuk melawan negara yang memiliki legitimasi.

Pada akhirnya para miliarder itu akan sekehendak hati mengalirkan uang itu sesuai kehendak hati mereka, tetapi itu urusan yang sangat personal,” katanya kepada Spiegel. (Rtr/WSJ/Spiegel/andika hm)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/343909/

Kegenitan Online dan Terenggutnya Hak Warga Negara

Kegenitan Online dan Terenggutnya Hak Warga Negara
Sumber:firdaus_c@yahoo.com

Tiada hari tanpa online. Itu mungkin ungkapan yang tepat untuk menggambarkan aktivitas sebagaian besar masyarakat kita terutama yang tinggal di perkotaan. Bahkan di tengah sesaknya bus kota dan kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta-Bogor-Depok-Tengerang-Bekasi (Jabodetabek) sering kita lihat pera penumpangnya mengupdate status di facebook melalui handphone.


Memang dengan internet ini, informasi dapat segera dibagi secara cepat dan meluas. Bahkan video porno pun juga dengan cepat dan meluas tersebar di masyarakat melalui internet ini. Heboh video mesum yang diduga dilakukan oleh para pesohor di negeri ini dapat dijadikan contoh dalam hal ini.


Kehebatan internet itu pula yang menarik para politisi untuk menulis di blog, twitter, web interaktif (web 2.0) dan menjadi fecebooker. Dengan internet mereka dapat menyosialisasikan pemikiran dan juga berinteraksi dengan publik. Praktis, efisien dan murah.


Hal itu tidak disia-siakan oleh produsen handphone. Kini iklan-iklan handphone, selalu menawarkan kemampuannya untuk berselancar di dunia maya. Jika sebuah handphone tidak memiliki kemampuan itu maka, dianggap tidak gaul.


Masyarkat kita seperti mengalami euforia terhadap internet. Euforia dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti perasaan gembira yang berlebihan. Celakanya, euforia itu juga menjangkiti lembaga-lembaga negara yang memiliki kewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hampir semua hal yang semula bisa dilakukan secara tatap muka atau offline tiba-tiba kini diarahkan secara online atau dengan menggunakan teknologi internet.


Pendaftaran Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2010 ini misalnya, hanya dilakukan secara online. Bahkan di beberapa Sekolah Dasar (SD) negeri, pendaftarannya juga sudah mulai dilakukan secara online.


Bukan hanya pendidikan, pemilihan umum pun rencananya juga akan dilakukan secara online atau dikenal dengan e-voting. Bahkan Mahkamah Konstitusi dalam putusan sidang uji materi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membolehkan pemilu dengan metode e-voting.


Nah pertanyaannya kemudian adalah, siapa yang akan rentan untuk ditinggalkan dalam gegap gempita euforia internet tersebut? Untuk mengetahui siapa pihak yang rentan ditinggalkan kita harus terlebih dahulu melihat para pihak yang memanfaatkan internet dalam masyarakat kita.


Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada akhir 2004 menunjukan, terdapat sekitar 1.087.428 pelanggan dan sekitar 11.226.143 pengguna internet. Dengan populasi 257,76 juta, berarti sekitar 4,6% masyarakat adalah pengguna internet dan 0,4% pelanggan internet. APJII juga mencatat bahwa sebanyak 75% pelanggan dan pengguna internet berlokasi di Jakarta, 15% di Surabaya, 5% di daerah lain di pulau Jawa dan 5% sisanya di propinsi lainnya.


Artinya secara geografis terjadi kesenjangan antar daerah di Indonesia dalam pemanfaatan internet. Pengguna internet di wilayah perkotaan dan di Jawa mendominasi pemanfaatan internet di Indonesia. Kesenjangan digital itu bukan hanya secara geografis, secara gender (jenis kelamin) pun pemanfaatan internet juga mengalami kesenjangan. Data dari iptek.net pada tahun 2004 menyebutkan bahwa secara gender di Indonesia diperkirakan lebih banyak pengguna internet adalah pria (75.86%) daripada wanita (24.14%).


Sementara bila kelas sosial di masyarakat kita dapat dikaitkan dengan tingkat pendidikan, maka pemanfaatan internet di Indonesia juga didominasi oleh kelas sosial menengah-atas. Ditinjau dari jenjang pendidikan, menurut indikator telematika yang ditulis iptek.net menyebutkan, tingkat sarjana adalah pengguna terbanyak (43%) selanjutnya tingkat SLTA (41%). Berdasarkan profesi menunjukkan bahwa mahasiswa yang paling banyak menggunakan internet (39%).


Fakta-fakta kesenjangan digital tersebut di atas memperlihatkan bahwa kelompok-kelompok yang rentan ditinggalkan oleh euforia internet ini adalah kelompok kelas sosial menengah-bawah, perempuan, penduduk di pelosok desa dan tentu saja saudara-saudara kita yang memiliki keterbatasan penglihatan (tuna netra).


Efisiensi menjadi alasan utama penggunaan internet dalam pendaftaran sekolah dan juga pemilu. Konon biaya dan waktu dapat ditekan seminimal mungkin bila penyelenggaraan pendaftaran sekolah dan pemilu menggunakan internet. Dan bagi masyarakat pun pemanfaatan internet untuk kegiatan itu lebih memudahkan.


Mungkin biaya dan waktu bisa ditekan dengan menggunakan internet dalam pendaftaran sekolah atau pemilu. Namun apa artinya penghematan biaya dan waktu bila itu berarti menyingkirkan hak-hak warga kelas sosial menengah-bawah, perempuan, penduduk di pelosok dan warga dengan keterbatasan tertentu?


Memperoleh pendidikan yang layak adalah hak asasi warga negara. Negara berkewajiban menghormati dan memenuhi hak tersebut. Begitu pula berpartisipasi dalam sebuah pemilu. Memilih wakil rakyat, kepala daerah hingga presiden adalah bagian dari hak sipil dan politik warga. Alangkah naifnya bila pemenuhan hak-hak tersebut justru terganjal oleh kegenitan lembaga-lembaga negara terhadap teknologi internet.


Penggunaan internet sah-sah saja bila hal itu tetap menjamin kelompok masyarakat rentan untuk mendapatkan hak-hak sosial dan politiknya. Alangkah baiknya bila penggunaan internet dalam pendaftaran sekolah dan pemilu hanya diposisikan sekedar pelengkap saja, bukan satu-satunya cara, sehingga pintu bagi masyarakat rentan untuk memperoleh hak-haknya tetap terbuka lebar.


Sumber: http://politikana.com/baca/2010/08/11/copas-kegenitan-online-dan-terenggutnya-hak-warga-negara.html

Ramadan dalam Bingkai TV

Ramadan dalam Bingkai TV
Oleh Catur Suratnoaji

RAMADAN merupakan bulan penyucian diri umat muslim dari segala dosa yang pernah diperbuat dalam kehidupannya. Karena itu, perlu ada dukungan lingkungan sosial yang kondusif agar tercipta sebuah kekhusyukan ibadah puasa. Penutupan tempat-tempat hiburan malam seperti kafe, spa, dan lokalisasi merupakan tindakan untuk menciptakan lingkungan sosial yang kondusif.

Namun, lebih dari itu, perlu juga diwaspadai penyebaran pesan media massa televisi, radio, surat kabar, dan majalah. Media massa, terutama televisi, mempunyai kontribusi besar dalam menciptakan lingkungan sosial yang buruk, terutama penyebaran gosip, mistis, pornografi, serta kekerasan di setiap rumah tangga.

Ramadan merupakan sarana media TV untuk mengeruk iklan sebesar-besarnya. Semua media TV berlomba memproduksi program siaran semenarik mungkin dengan tujuan membatu menghibur khalayak dalam menjalankan ibadah puasa. Namun, hal itu perlu diwaspadai karena tidak semua televisi memberikan program berkualitas pada bulan puasa.

Perubahan Konfigurasi

Dalam menyongsong Ramadan ini, media televisi telah merombak mata acara dan jam siaran dengan harapan bisa mengeruk pemirsa sebanyak-banyaknya. Beberapa pola perombakan yang dilakukan media televisi, antara lain, (1) mengubah konfigurasi acara. Perubahan tersebut dilakukan dengan memunculkan acara-acara baru, menghilangkan beberapa acara seperti infotainment saat siang.

Juga, ada penghalusan program acara. Jika pada hari biasa artis menggunakan busana pendek dan goyangannya vulgar, pada Ramadan ini diperhalus dengan artis berbusana muslim dan bergoyang santun. Upaya tersebut merupakan strategi televisi untuk tetap eksis mengeruk iklan sebesarnya-besarnya tapi tetap menghormati bulan puasa.

(2) Mengubah jenis produk yang diiklankan. Produk-produk yang berkaitan dengan nuansa Lebaran dan puasa lebih banyak diiklankan daripada produk sehari-hari. Tampilan-tampilan iklan akan disesuaikan dengan konteks Ramadan seperti artis iklan berbusana muslim.

(3) Perubahan performance televisi. Artis-artis atau presenter yang semula berbusana tanpa memperhitungkan aurat beramai-ramai menggunakan busana muslim ketika membawakan mata acara tertentu, meski acara itu tidak bersentuhan langsung dengan konteks Ramadan.

Pelanggaran Televisi

Penayangan program-program Ramadan di televisi tidak hanya mengundang apresiasi pemirsa, tapi juga mengundang kritik. Misalnya, program-program acara televisi pada masa Ramadan sebatas upaya mengejar ''rating'' semata. Program Ramadan cenderung miskin kreativitas dalam mengemas program Ramadan serta tidak ada konsistensi makna dan filosofi Ramadan yang direpresentasikan dalam teks maupun visualnya.

Berdasar hasil pemantauan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur 2009, program-program televisi yang ditayangkan menjelang buka puasa maupun sahur lebih didominasi hiburan daripada edukasi religius. Nilai entertainment tecermin mulai format programnya, pemilihan aktor/aktris, setting panggung, sampai formulasi teks dan visualisasinya.

Jika ada unsur religiusnya, itu pun tetap saja dikemas sebagai formula hiburan yang penuh canda tawa. Akibatnya, dalam membawakan acara, presenter masih berperilaku tidak santun, termasuk dalam menata kata yang cenderung kasar dan vulgar.

Gosip yang dikemas dalam acara infotainment juga masih mendominasi pada Ramadan dan tetap disiarkan saat siang. Infotainment sebagai warta hiburan mengandung perdebatan antara fakta dan sebuah isu. Hal tersebut dapat mengakibatkan disinformation atau missinformation khalayak dan akhirnya bisa menghilangkan esensi makna Ramadan di tengah khalayak.

Wacana Puasa

Kegagalan media televisi menstranfer pesan agama secara serius dalam program yang berkualitas dan sesuai konteks Ramadan disebabkan beberapa hal. Di antaranya, (1) media televisi lebih memilih mencari revenue (keuntungan) sebesar-besarnya daripada memberikan acara yang berkualitas dan dapat menambah pahala dalam bulan puasa. Media televisi seharusnya membuat program seperti sinetron Para Pencari Tuhan (PPT) di SCTV. Program itu sukses mencari revenue dan sukses memberikan nilai-nilai religiusitas.

(2) Kurang tegasnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam memberikan sanksi terhadap media penyiaran televisi yang melanggar standar program siaran (SPS) dan pedoman perilaku penyiaran (PPP). (3) Lemahnya peran dai dalam menjalankan peran penjaga gawang (gatekeeper) yang senantiasa mengingatkan bagaimana hendaknya agama diwacanakan dalam media televisi.

Menurut riset Santi Indra Astuti (2005), subtansi ibadah puasa di media televisi sering diwacanakan sebagai sebuah ritual yang menahan lapar dan haus. Menahan hawa nafsu diwujudkan dengan berbusana menutup aurat. Tapi, ketika Ramadan berlalu, busana muslim ditanggalkan dan para bintang kembali malang-melintang di layar kaca dengan busana yang biasa mereka kenakan.

Dalam upaya membatasi program acara media televisi yang bisa mengurangi esensi makna Ramadan, dibutuhkan pemantauan intensif oleh regulator (KPI) dan ketegasan dalam memberikan sanksi pelanggaran dalam bulan Ramadan. Selain itu, diperlukan masukan-masukan yang kondusif dari para ulama dalam memformulasikan program siaran saat Ramadan.

Yang terakkhir, diperlukan keihklasan pemilik media televisi untuk tidak mengejar revenue semata, tapi juga ikut memikirkan program televisi yang bisa menambah nilai-nilai Ramadan bagi khalayak. (*)

*) Dr Catur Suratnoaji MSi , dosen ilmu komunikasi UPN Veteran Jatim dan anggota KPID Jatim

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

Kendur, Pemberantasan Korupsi

Oleh Frenky Simanjuntak

Pemerintah telah gagal memenuhi janji membersihkan Indonesia dari korupsi. Ini adalah kesimpulan sementara yang saya ambil dari hasil kajian Indonesia Corruption Watch yang baru saja diluncurkan (Kompas, 5/8).

Menurut kajian ICW, tren korupsi di Indonesia pada semester I-2010 meningkat, diindikasikan naiknya jumlah kasus, tersangka, dan kerugian negara akibat korupsi dibandingkan semester I-2009. Laporan ICW menyatakan, pada semester I-2010 terungkap 176 kasus korupsi, 441 orang ditetapkan sebagai tersangka, dan kerugian negara akibat korupsi Rp 2,1 triliun. Sementara semester I-2009 hanya 86 kasus yang disidik, 217 tersangka, dan kerugian negara Rp 1,17 triliun.

Data ini sebenarnya bisa dibaca sebagai indikator keberhasilan pengungkapan kasus korupsi oleh aparat penegak hukum. Namun, ICW justru menyatakan ini adalah indikator respons penegak hukum yang lambat karena kasus korupsi yang terungkap rata-rata berumur dua tahun.

Hal ini tentunya terbuka untuk diperdebatkan. Yang lebih menarik sebenarnya adalah membahas temuan lain dari kajian ini, yaitu bahwa keuangan daerah masih menjadi sumber potensi korupsi terbesar. Biaya politik daerah yang sangat tinggi, kontrol yang lemah terhadap pendanaan kandidat pilkada, dan pengawasan yang lemah terhadap penggunaan dana pembangunan di daerah, semua membuat potensi korupsi di daerah semakin tinggi.

Agenda reformasi bangsa ini meletakkan fondasi awal pelaksanaan otonomi daerah. Sejak ditetapkannya otonomi daerah yang diatur UU No 32/2004, Pemerintah Indonesia seakan telah berada pada jalur yang benar untuk menuju tata kelola pemerintahan yang lebih baik.

Namun, sejak awal, penerapan otonomi daerah (otda) telah menunjukkan banyak masalah. UU yang lemah dan penerapan yang setengah hati telah menciptakan raja-raja kecil di daerah. Penyalahgunaan anggaran dan penggelapan jadi tren yang berulang di berbagai kabupaten. Korupsi yang pada Orde Baru terpusat dan terorganisasi rapi, ironisnya, ikut terdesentralisasi dan menyebar seperti kanker.

Tidak mengherankan bila di masa awal berdirinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap banyak sekali kasus korupsi di daerah. Ini semata-mata menunjukkan, sejak pelaksanaan otda, oknum eksekutif, legislatif, dan pengusaha daerah telah memanfaatkan kesempatan memperkaya diri. Sejak berdirinya KPK pada 2003, puluhan pejabat pemerintah masuk bui atas tuduhan korupsi. Ini sepertinya belum menimbulkan efek jera yang diharapkan. Korupsi masih marak, bahkan semakin merajalela.

Susan Rose-Ackerman dalam buku Corruption and Government: Causes, Consequences and Reform menyatakan, contoh terbaik reformasi adalah ketika perubahan dasar yang dilakukan menciptakan penerima manfaat baru yang kemudian mendukung reformasi lebih lanjut. Sementara, contoh terburuk reformasi adalah ketika korupsi menjadi mengakar dan menyebar sejalan perjalanan waktu.

Rose-Ackerman menjelaskan, korupsi tak dapat hilang begitu saja hanya karena pemerintah yang reformis berkuasa dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena korupsi tidak bekerja di ruang kosong.

Perubahan tidak bisa hanya bersifat kosmetik, permukaan, dan tidak menyasar akar permasalahan. Selama masa reformasi ini, pemerintah terpaku pada perubahan-perubahan yang sifatnya kosmetik, ad hoc, image building oriented, tapi tak mengakar. KPK dengan segala kekuatan yang dimandatkan ke dalamnya tidak bisa diharapkan mampu menuntaskan korupsi sendirian di negeri ini.

Sementara itu, pembentukan tim-tim ad-hoc dalam rangka penegakan hukum (misalnya: Satgas Anti Mafia Hukum) ataupun untuk reformasi birokrasi (misalnya: Unit Kerja Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) adalah kosmetik. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari unit-unit seperti ini karena perubahan mendasar tak pernah terjadi.

Arah belum jelas

Arah reformasi kita memang sampai saat ini belum jelas. Pemerintah menggunakan prinsip tambal sulam dalam usahanya membuat tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Kebijakan yang sifatnya reformis tidak didukung oleh keberanian dalam membuat perubahan struktural yang diperlukan. Contohnya, pembentukan KPK tidak didukung usaha pembersihan serius terhadap institusi peradilan dan kepolisian dari para mafia kasus. Akibatnya, KPK terkepung dan tidak dapat berfungsi optimal. Pengalaman tahun lalu membuktikan bahwa KPK secara sistematis dicoba dilemahkan.

Dalam kondisi seperti ini, memang sulit membayangkan Indonesia bisa mencapai target pemberantasan korupsi, yang oleh pemerintah telah ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2009-2014, yang menyatakan tahun 2014 skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia akan mencapai angka lima. Naiknya tren korupsi seperti yang dilaporkan ICW membuktikan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia masih jauh dari berhasil, bahkan bisa dikatakan menurun.

Untuk mencapai target pembangunannya, pemerintah harus membuat perubahan struktural radikal. Pemerintah seharusnya tak melihat pemberantasan korupsi sebagai tujuan akhir, tapi sebagai prasyarat terciptanya tata kelola pemerintahan yang lebih baik untuk kesejahteraan masyarakat.

Penindakan kasus korupsi yang meningkat harusnya bisa dilihat sebagai suatu capaian yang harus ditingkatkan terus oleh aparat penegak hukum. Di sisi lain, beberapa sektor yang harus menjadi fokus perhatian pemerintah adalah tata kelola keuangan politik (political financing), tata kelola penerimaan pemerintah dari sumber daya alam, dan reformasi birokrasi dalam memulai dan melakukan usaha.

Reformasi total di ketiga sektor akan menciptakan situasi pemerintahan yang lebih kondusif, penerimaan negara yang stabil, dan iklim investasi yang menarik. Kegagalan pemerintah memberantas korupsi bisa diperbaiki bila pemerintah tak melulu fokus pada persoalan korupsi, tapi juga sektor pembangunan lain.

Frenky Simanjuntak Manajer Divisi Tata Kelola Ekonomi, Transparency International Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/12/0307010/.kendur.pemberantasan.korupsi

Bung Hatta dalam Tiga Kasus

Bung Hatta dalam Tiga Kasus

Ada tiga kasus menyangkut Bung Hatta yang perlu diklarifikasi. Pria kelahiran Bukittinggi 12 Agustus 1902 ini pernah diremehkan perannya saat proklamasi tahun 1945 oleh Soekarno. Benarkah demikian?


Pimpinan PKI menuding Hatta memprovokasi meletusnya Peristiwa Madiun 1948. Bagaimana duduk perkaranya? Sejauh mana keterlibatan Hatta dalam kasus Sawito tahun 1976?

Buku Cindy Adams

Dalam buku autobiografi Soekarno sebagaimana diceritakan kepada Cindy Adams tertulis,“Tidak ada yang berteriak ‘Kami menghendaki Bung Hatta’.Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Syahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaanproklamasi.… Sebenarnya aku dapat melakukannya seorang diri dan memang aku melakukannya sendirian.Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu, maka peran Hatta dalam sejarah tidak ada.” Alinea itu dilanjutkan dengan nada kesukuan.

“Peranannya yang tersendiri selama perjuangan kami tidak ada. Hanya Soekarnolah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan ‘pemimpin’ ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatera dan di hari-hari yang demikian aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatera. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesar di Indonesia.” Soekarno tidak memerlukan Hatta (dan Sjahrir), bahkan peran Hatta dalam sejarah tidak ada.

Betapa arogannya Bung Karno, demikian kesan orang yang membaca kedua alinea tersebut,termasuk Prof Dr Sjafii Maarif.Namun ketika menerjemahkan ulang buku Cindy Adams tersebut tahun 2007, Syamsul Hadi menemukan bahwa kedua alinea tersebut tidak ada dalam buku edisi Inggrisnya. Berarti ada orang yang sengaja menambahkan dua paragraf yang mengadu domba antarpemimpin Indonesia, siapa dia? Yang jelas dalam terbitan terbaru buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat tersebut (2007),kedua alinea hasil rekayasa itu telah dihapuskan.

Provokasi Madiun

Pimpinan PKI sejak tahun 1957 mengatakan bahwa Peristiwa Madiun 1948 terjadi karena provokasi Hatta. Bahkan dikatakan bahwa Hatta meminjam mulut Soekarno untuk membasmi Amir Sjarifuddin. Sebetulnya di dalam pidato radionya Bung Karno mengatakan dengan tegas “Pilih Soekarno- Hatta atau Musso-Amir Syarifuddin”. Kenapa Bung Karno tidak dikecam? Alasannya jelas,karena dia ingin didekati oleh PKI,sementara Hatta yang baru mengundurkan diri sebagai wakil presiden adalah sasaran empuk untuk dijadikan kambing hitam.

Menurut Anthony Reid, dalam peristiwa Madiun 1948,sebetulnya jumlah korban bisa berkurang bila saran Jenderal Sudirman didengar, agar pihak yang bertikai berunding lagi. Namun bila Soekarno- Hattta tidak bertindak tegas, mereka kehilangan kesempatan untuk memperoleh bantuan dari AS/ negara Barat.Kekuatan Indonesia tidak kuat menghadapi Belanda, oleh sebab itu diperlukan dukungan diplomasi dari AS.Walau dilematis, Soekarno-Hatta telah mengambil pilihan menumpas kelompok komunis.Maka tahun 1948 korban berjatuhan dari golongan kiri dan kanan.

Kasus Sawito

Tanggal 22 September 1976, tiga hari sebelum Lebaran, pemerintah mengeluarkan pengumuman sangat penting dalam siaran TVRI, satu-satunya siaran televisi saat itu.Tiga pejabat, Mensesneg Sudharmono, Jaksa Agung Ali Said,dan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Yoga Sugama, menyampaikan bahwa pemerintah telah membongkar upaya penggantian kepala negara secara inkonstitusional. Dua jam sebelumnya Presiden Soeharto telah mengundang seluruh pimpinan lembaga tinggi dan tertinggi negara ke Bina Graha. Ini memperlihatkan bahwa kasus yang dihadapi sangat serius.

Ditemukan dokumen “Jalan Keselamatan” yang ditandatangani oleh Sawito Kartowibowo,M Hatta (proklamator kemerdekaan RI), Justinus Darmojuwono (Kardinal, Ketua Majelis Wali Gereja Indonesia), TB Simatupang (Dewan Gereja-Gereja Indonesia),HAMKA (Ketua Majelis Ulama Indonesia),R Said Sukanto Tjokrodiatmojo (Ketua Umum Sekretariat Kerja Sama Kepercayaan Indonesia). Dokumen itu menilai sangat negatif keadaan saat itu dan menyerukan kepada masyarakat agar mengambil langkah penyelamatan.

Dalam dokumen lain yang dirancang oleh Sawito terdapat “Surat Pelimpahan” tugas dan wewenang Presiden Suharto kepada Dr Mohammad Hatta. Sawito Kartowibowo (lahir di Blitar, 6 Maret 1932) adalah pegawai tinggi Departemen Pertanian yang mengenal Bung Hatta sebagai peserta olahraga senam pernapasan “Orhiba (Olahraga Hidup Baru)”. Menurut SK Trimurti (hasil wawancara dengan Rukardi, “Gerakan Sawito,Perlawanan Mesianistik terhadap Rezim Orde Baru tahun 1972–1976”, skripsi pada Jurusan Sejarah Undip Semarang, 2002) Sawito masih kerabat jauh Bung Karno.Nenek Sawito adalah kakak sulung dari kakek Bung Karno.

Para tokoh masyarakat yang menandatangani dokumen Jalan Keselamatan mengakui melakukan hal tersebut karena sudah ada sebelumnya tanda tangan Bung Hatta. Mengapa Hatta mau dibujuk oleh Sawito? Apakah karena dia melihat ini sebagai suatu peluang untuk menyelamatkan negara yang sudah mengalami krisis? Jelas Hatta bukanlah orang yang mau merebut kekuasaan secara tidak sah. Bahkan dalam sejarah dia tercatat sebagai tokoh yang menolak bergabung degan PRRI meskipun dia berbeda pendapat dengan Soekarno. Dia mengkritik Bung Karno dengan menulis surat secara langsung, bukan dengan memberontak.

Sawito dijatuhi hukuman delapan tahun penjara, dia naik banding dan mengajukan kasasi, tapi tidak dikabulkan. Sawito dibebaskan 20 September 1983.Dalam peninjauan kembali yang dilakukan pada masa pemerintahan Abdurrachman Wahid, melalui Keputusan Presiden No 93 Tahun 2000, Sawito diberi abolisi dan rehabilitasi. Bagaimana dengan Hatta dan tokoh masyarakat lain? Mereka tidak dikenai hukuman. Hatta menulis kepada Presiden Soeharto bahwa dia mau menandatangani Jalan Keselamatan itu karena “isinya mempertahankan Pancasila” dan bukan untuk disiarkan kepada khalayak.

Dokumen Sawito itu tidak berarti, tetapi malah diberi “bobot” oleh pemerintah.Namun surat Hatta itu dianggap tidak cukup oleh penguasa. Emil Salim berusaha menjembatani antara Presiden Soeharto dengan Bung Hatta. Rancangan yang dibawa Emil Salim yang memuji-muji Orde Baru dicoret oleh Hatta.Namun Hatta bersedia menandatangani tiga pernyataan yang salah satunya berbunyi,“Saya menyesalkan perbuatan yang telah menyalahgunakan tanda tangan saya untuk maksud-maksud jahat yang tidak bertanggung jawab,yang akan menggunakan naskah yang saya tanda tangani itu untuk melakukan tindakan-tindakan inkonstitusionil.

Sebagai orang yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945, saya tidak dapat membenarkan dan sebagaimana biasa menentang perbuatan-perbuatan yang inkonstitusionil itu.” Hatta tetap konsisten sampai akhir hayatnya.(*)

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/344130/

Refleks(i) Pemerintah dan Penyehatan Demokrasi

Refleks(i) Pemerintah dan Penyehatan Demokrasi

Catatan aksi pemerintah cenderung hanya pada perayaan seremonial, lahirnya kebijakan dan peraturan, pidato kenegaraan, dan pertemuan dengan elite-elite, baik nasional maupun daerah.


Namun sedikit yang mengingat momen ini sebagai tindakan pemerintah karena tokohnya adalah seorang anak kecil dari sebuah kabupaten miskin di Jawa. Eka Agustina,seorang anak asal SMP I Wonosari, Gunung Ki-dul, Yogyakarta menangis tersedusedan di panggung Istana Tampak Siring, Bali, pada puncak perayaan Hari Anak Nasional beberapa waktu lalu. Permasalahannya, acara Lomba Cipta Seni Pelajar yang diusung Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Kementerian Pendidikan Nasional itu telah salah menyebut nama pemenang, yang sebelumnya dinyatakan dimenanginya.

Kontan acara yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ani Yudhoyono ini menjadi kacau-balau dan hiruk-pikuk serta mempermalukan Agustina. Kekacauan sebenarnya bisa sedikit reda jika SBY spontan menyatakan Agustina pemenang sebenarnya di samping yang telah diumumkan panitia. Namun, mempermalukan anak kecil mungkin tidak masuk dalam hitungan pemerintah. Jika kita refleksi kejadian sebelumnya, ada seorang pejabat ekonomi merasa dipermalukan karena janji diangkat sebagai wakil menteri, tapi saat pengumuman yang dipilih orang lain.

Ada banyak sikap pemerintah yang tidak cepat-tanggap atas “tragedi” yang menjadi fokus nasional: dua janda purnawirawan TNI yang terkatung-katung nasibnya dan hampir dipidana karena menetap di rumah dinas; perayaan Sail Banda di Ambon,padahal Banda Naira sendiri terletak di Maluku Utara,sehingga menyakiti hati masyarakat Ternate; korban kompor gas 3 kg yang terus bertambah karena tidak ada keputusan antisipatif yang sigap. Malah kabar terakhir harga gas tabung 3 kg akan dinaikkan di tengah sengkarut terorisme resmi ini.

Kasus-kasus ini akhirnya direspons oleh SBY atau berakhir happy ending tatkala protes publik telah mengemuka di udara. Kalaulah publik tidak merespons, tetap saja nasibnya sebagai warga kelas dua karena keadilan tak kunjung menyapa. Sebenarnya tidak semua tindakan Presiden SBY sangat birokratis. Ada dua tindakan SBY yang mencitrakan populisme: pertama, ketika meminta kepolisian menghentikan kasus Bibit-Chandra akhir tahun lalu dan kedua, mengunjungi aktivis ICW, Tama S Lakun, ke rumah sakit, yang luka dikeroyok oleh orang tak dikenal.

Apakah tindakan SBY ini salah? Tentu saja tidak, bahkan mulia. Akan tetapi ada banyak kasus yang berhubungan dengan keadilan masyarakat yang terhambat respons atau memang tidak direspons sama sekali diserahkan pada mekanisme hukum dan impersonalitas prosedur, birokratis, dan arogan bagi masyarakat kecil.

Penyehatan Demokrasi

Dalam kamus Wikipedia, refleks diartikan sebagai gerakan tanpa sadar dengan respons segera setelah terjadinya rangsangan.Tindakan refleks manusia menunjukkan bahwa dia masih memiliki kesehatan pada sistem syarafnya. Refleks bukan semata tindakan instingtif, bisa dilatih dengan kedisiplinan dan olahraga. Seperti juga tubuh, negara seharusnya memiliki sikap refleks ketika ada rangsangan dari publik. Kehadiran negara di era modern saat ini bukan saja menjamin adanya kedaulatan atas masyarakat, tetapi juga adanya jaminan politik dan kebebasan untuk melakukan perumusan atas tindakan yang adil bagi dirinya dan komunitasnya, yang selanjutnya diikuti respons positif dari negara (Alain Touraine, What is Democracy,1997).

Sebenarnya tak perlu mempermasalahkan apakah negara kita ini demokratis atau tidak karena dunia ikut mengakui demokrasi Indonesia telah tumbuh dengan cepat. Pada pertemuan Community of Democracy di Krakow, Polandia, 2–3 Juli lalu, Indonesia disebut sebagai champion of democracies dan menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Terpilihnya SBY sebagai presiden hingga dua periode adalah proses demokratis.Logika proseduralisme untuk Indonesia yang plural dan sangat besar ini telah memenuhi syarat untuk menyatakan SBY adalah presiden pilihan rakyat meski ada saja “piring pecah” dalam kenduri akbar atau politik citra yang lebih memainkan peran dibandingkan persona.

Perdebatan SBY tidak terpilih demokratis karena hanya 60% masyarakat yang memberikan suara lebih tidak masuk akal.Di atas kandidat lainnya,dia jelas masih terbaik. Namun, saat memerintah, kemenangan 60% atau lebih itu tidak lagi masuk hitungan.Barack Obama dipermasalahkan kredibilitasnya karena tidak melakukan tindakan konsisten dalam penyelesaian konflik di Afghanistan dan Irak serta pendekatan antagonistis kepada “negara-negara musuh” serta bukanpadamasalahdiapresiden Afro- Amerika pertama.Demokrasi substansial sebenarnya bekerja untuk menghancurkan mitos pemilu sebagai legitimasi selamanya (once for the all time).

Pemilu hanya memiliki legitimasi untuk mengambil alih kekuasaan dan ti-dak otomatis memberikan leg-itimasi etis atas seluruh tindakan pemerintahan yang dijalankan. Adolf Hitler menjadi kanselir Jerman melalui pemilu yang sah. Siapa sangka kemudian hari menjadi manusia paling bejat abad ke-20?

Sosok Simbolis

Dengan segala instrumen yang dimiliki untuk memperkuat praktik demokrasi, seharusnya posisi SBY semakin aktif dan progresif sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan bapak seluruh rakyat. Yang diperlukan saat ini adalah refleks kekuasaan yang cepat merespons ketimpangan sistem, kesenjangan ekonomi, dan diskriminasi sosial-budaya yang membangkrutkan demokrasi. Demokrasi harus menjadi nilai dan etika presiden dalam menjalankan fungsi eksekutorialnya.

Citra baik SBY bukan karena dia dianggap korban dari pemerintahan sebelumnya, gagah, pintar mencipta lagu, tapi komitmennya untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu.Itu perlu ditambah,dari satu kabinet pemerintahan ke kabinet pemerintahan selanjutnya. DialamyangdemokratisiniSBY harus menjamin democratic dividend seperti ruang publik yang semakin terbuka, penghormatan pada warga yang aktif (active citizen), peminggiran keangkuhan mayoritas, dan pembatasan instrumen kuasa yang dimilikinya agar terhindar dari jebakan oligarkisme. Dan semuanya harus tersimbolkan pada perilaku responsif, cerdas, berani, lugas,dan humanis.

Demokrasi adalah jalan untuk mengetahui kehendak publik (res-public) dengan baik dan itu hanya akan terjadi jika ada sikap timbal-balik yang ditunjukkan melalui respons pemimpin atas keluhan warganya.Tidak perlu menunggumesinbirokrasibekerja. Ketika Presiden menemukan sendiri kasus dan ia bisa menyelesaikannya tanpa harus mengikuti proseduralbirokrasi, mengapa tidak? Itulah sebabnya kita masih memerlukan presiden manusia, bukan robot yang refleksnya tidak humanis. So, bertindak cepatlah untuk kebaikan dan keadilan Pak SBY. Jangan lagi ragu-ragu atau pikir dua kali!(*)

Teuku Kemal Fasya
Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/344129/

Pentingnya Mutu Proses Pendidikan

Pentingnya Mutu Proses Pendidikan
Dr Djuwari, MHum DOSEN STIE PERBANAS SURABAYA

Guru besar pendidikan Prof Kasiani Kasbolah, PhD, pernah bertutur dalam kelas.“Input jelek, proses jelek, hasilnya pasti jelek. Input baik, proses jelek, hasilnya belum tentu baik. Input jelek, proses baik, hasilnya bisa lebih baik. Input baik, proses baik, hasilnya pasti baik.” Berbicara tentang pendidikan, bisa saja dalam situasi di lapangan terjadi empat kondisi seperti di atas. Hanya, jika kita disuruh memilih, pilihan yang tepat memang input baik, proses baik. Kondisi ini bisa dikategorikan pendidikan yang ideal. Mungkinkah pendidikan di seluruh Tanah Air bisa menggapai kondisi tersebut? Kondisi yang masih lebih baik adalah jika input jelek tapi prosesnya baik. Di sinilah terjadi usaha besar dan serius dalam pendidikan. Proses baik menggambarkan pendidikan yang benar-benar memberikan manfaat kepada peserta didik. Dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tidak terampil menjadi terampil. Dari tidak cerdas menjadi cerdas.

Yang paling berbahaya adalah jika input jelek, proses jelek. Sebab, di dalam suasana ini, sekolah ibarat kumpulan siswa yang tidak memiliki masa depan. Mereka berkumpul dalam suasana yang tidak menentu untuk nasib hidupnya. Kita tidak mengharapkan model pendidikan ini.

Kondisi yang konyol adalah jika input baik tapi proses jelek. Sebab, kondisi ini menggambarkan sebuah sekolah yang tidak bisa memberikan perubahan kepada anak didik. Justru nasib peserta didik seperti ini jelas menjadi korban. Pendidikan yang tidak mengandalkan inovasi proses akan terjebak pada kondisi ini.

Nah, bagaimanakah kondisi input sekolah di seluruh Tanah Air? Sekolah di mana saja, baik sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, maupun perguruan tinggi swasta (PTS) dan perguruan tinggi negeri (PTN), berbondong-bondong menggapai siswa atau mahasiswa sebanyak-banyaknya. Ini utamanya sekolah swasta. Namun, khusus PTN, sejak diundangkanya Badan Hukum Pendidikan (BHP), juga turut serta bergerilya.

Dalam wacana pendidikan saat ini, ada kecenderungan mereka sangat mengandalkan kuantitas siswa. Ada yang serius menyaring input sebaik-baiknya. Bisa saja ada yang berpotensi sekadar dapat jumlah

titik impas (BEP) biaya penyelenggaraan pendidikan. Jika kuantitas yang diutamakan, ada kecenderungan mendapatkan input yang tidak baik.

Kondisi input yang tidak baik di sekolah sangat krusial jika proses pendidikan tidak maksimal. Di sinilah kondisi sekolah sekadar sebagai kumpulan manusia tanpa pengalaman dan perubahan. Jika kondisi input baik tapi proses baik tidak bisa digapai, input jelek tapi proses baik merupakan pilihan yang tidak bisa dihindarkan.

Jika tidak, sekolah tak memberikan manfaat sama sekali.

John Lock (1632-1704), filsuf dan tokoh pendidikan, adalah penganut teori tabula rasa. Pengalaman secara empiris membe

rikan dampak perubahan kepada manusia. Sekolah, sebagai proses formal pengalaman peserta didik, jelas sangat bermakna dalam pendidikan. Menurut Lock, proses pendidikanlah yang memberikan banyak hal kepada peserta didik. Sama halnya dengan proses dalam kehidupan individu sebagai manusia di lingkungannya. Sebuah lingkungan salah satunya adalah sekolah.

Otak manusia, termasuk jiwanya, diibaratkan sehelai kertas putih yang masih kosong. Intinya bahwa pengamatan dengan pancaindra senantiasa mengisi jiwa manusia. Proses ini terjadi dengan kesan-kesan (sensation). Setelah terjadi sintesis, analisis, dan perbandingan, kemudian diolah menjadi pengetahuan (reflection).

Sekolah sebagai tempat proses pendidikan formal akan lebih baik jika mereka mengutamakan mutu proses pendidikannya. Jika tidak, sekolah tidak bisa memberi pengalaman belajar kepada siswa. Selama ini sekolah-sekolah cenderung mencari siswa atau mahasiswa sebanyak-banyaknya sebagai input untuk diproses melalui pendidikan yang diselenggarakan.

Bagi orang tua (masyarakat), akan lebih baik jika informasi sekolah atau PTS dan PTN diketahui. Bila perlu, mereka bisa mengunjungi sekolah atau kampus yang dituju. Dengan demikian, bisa diketahui sejauh mana proses pendidikan yang diberikan oleh sekolah atau kampus.

Khusus pemerintah dan penyelenggara pendidikan, mereka sangat dinanti untuk menitikberatkan program program peningkatan mutu sekolah pada proses pendidikannya. Ini dimulai dari peningkatan mutu pengajarnya, kurikulumnya, media pengajarannya, sampai pada proses evaluasinya. Program ini tentunya sangat mengandalkan alokasi dana pendidikan pada proses.

Selama ini pemerintah sangat getol dalam hal proses evaluasi, khususnya SD, SMP, dan SMA. Lebih celaka lagi, evaluasi itu pada akhir proses pendidikan, misalnya ujian nasional. Menurut Imai Massaki (1984), dalam manajemen Kaizen, evaluasi itu dimulai pada input, proses, dan output.

Bahkan sesudah itu masih ada proses evaluasi outcome, sejauh mana lulusan, khususnya PTS dan PTN, itu terserap di dunia industri.

Intinya, proses evaluasi itu terjadi sebelum, selama, dan sesudah proses. Dengan demikian, proses pendidikan sangat menentukan mutu pendidikan. Jika proses jelek, input yang diproses tidak mengalami perubahan sama sekali. Jadi mutu proses pendidikan tidak bisa diabaikan. Jika pemerintah berniat meningkatkan mutu pendidikan, akan lebih baik jika mereka sangat peduli pada mutu proses pendidikan.

Model sertifikasi bisa dikaji ulang, misalnya dibarengi dengan pemantapan upgrading. Jadi bukan sekadar menitikberatkan pada administrasi dokumen belaka. Jika suasana proses pendidikan bermutu baik, idealisme John Lock pada proses pendidikan untuk kertas putih nan kosong akan menjadi harapan kita bersama. ●

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/08/12/ArticleHtmls/12_08_2010_011_007.shtml?Mode=1

Politik Uang, Siapa Salah?

Politik Uang, Siapa Salah?
POLITIK uang paling diminati rakyat. Begitu hasil survei yang dilakukan oleh Universitas Paramadina dan Pride Indonesia. Kendati membuat kita mengelus dada, hasil itu sejatinya tidaklah mengejutkan.

Dikatakan mengelus dada karena hasil itu memprihatinkan untuk masa depan demokrasi negeri ini. Kita tidak dapat membayangkan dampaknya bila rakyat lantas menerjemahkan pilkada atau pemilu lain sebagai politik bagi-bagi uang. Apalagi itu bukan hal yang tidak mungkin ketika politik uang menjadi kultur. Sama halnya dengan ketika korupsi menjadi kultur, korupsi hal biasa. Mereka yang tidak korup justru dianggap aneh.

Di sisi lain, hasil survei itu bukan hal yang membuat kita terkejut. Artinya, politik uang tersebut sudah merupakan hal yang biasa dalam pemilu. Setiap ada pemilihan, entah itu pemilihan legislatif, pemilihan presiden, pemilihan gubernur, pemilihan bupati/wali kota, hingga pemilihan kepala desa, isu money politics selalu mengemuka. Bahkan, pemilihan ketua organisasi profesi atau pemilihan pimpinan ormas sekalipun tidak pernah steril dari isu tersebut. Apalagi pemilihan ketua umum partai politik, bau politik uang begitu menyengat.

Hampir semua sengketa pilkada yang masuk ke Mahkamah Konstitusi mempersoalkan praktik politik uang. Mereka yang bersengketa selalu sama-sama mempunyai bukti bahwa lawan politik mereka telah melakukan praktik yang dilarang oleh aturan pilkada. Tidak jarang, panwas pilkada mengambil kesimpulan semua kontestan pemilu terlibat praktik bagi-bagi uang saat merayu pemilih. Bentuk politik uangnya pun beragam. Ada yang berbentuk uang cash (tunai), ada juga yang dibungkus dengan bentuk lain seperti sembako atau sandang.

Dalam survei Universitas Paramadina dan Pride Indonesia yang diberitakan Jawa Pos kemarin itu, politik uang menempati 14,9 persen. Artinya, 14,9 responden bersedia memilih calon tertentu bila calon tersebut memberi mereka uang. Peminat politik uang itu menempati peringkat teratas.

Responden yang mementingkan visi dan misi calon hanya 5,9 persen. Responden yang lebih mengutamakan pemimpin jujur jauh lebih rendah lagi, hanya 4,3 persen.

Bila mengacu hasil survei itu, pilkada akan selalu dimenangkan oleh calon tajir atau calon yang didukung oleh kelompok/individu yang mempunyai dana besar. Pilkada akan menjadi arena bagi mereka yang bermodal. Peluang untuk mempunyai pemimpin yang jujur, amanah, atau merakyat akan semakin kecil.

Kita harus prihatin pada kondisi itu. Alasannya, pertama, praktik politik uang dalam pilkada mempunyai korelasi yang kuat dengan korupsi. Pemimpin yang terpilih dengan biaya tinggi tentu akan mencari pintu untuk mengembalikan modal yang telah dia keluarkan. Dari mana dana untuk membuat modal pilkada menjadi impas? Di situlah akan lahir berbagai ide kreatif kepala daerah terpilih dalam mencari modus korupsi.

Terhadap kondisi seperti itu, siapa yang disalahkan? Bisakah menyalahkan rakyat yang "doyan" politik uang? Tentu tidak bisa karena masih banyak rakyat yang terjebak dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Yang harus bertanggung jawab adalah para pelaku politik itu. Terutama pengurus partai politik.

Salah satu tugas pengurus partai politik adalah melakukan pendidikan politik. Maksudnya, mendidik rakyat agar melek politik. Parpol harus mengajar rakyat tentang sikap baik memilih pemimpin. Rakyat harus diajar agar tidak silau dengan taburan uang.

Tetapi, harapan menciptakan rakyat melek politik itu masih jauh. Sebab, sebagian besar pengurus partai politik tidak memiliki kapasitas mengajarkan itu. Kemampuan mereka ya hanya membagi-bagi uang itu. (*)

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=149863


Rabu, 11 Agustus 2010 ]
Survei Pilkada Politik Uang Paling Diminati Rakyat
Hasil Survei Pilkada

JAKARTA - Politik uang selalu marak pada setiap pilkada. Apakah itu mengganggu publik? Survei ternyata menunjukkan sebaliknya. Hasil survei yang dilakukan Universitas Paramadina bersama Pride Indonesia menunjukkan bahwa persentase keinginan warga yang paling tinggi adalah agar pasangan calon memberikan uang kepada mereka.

Dalam survei yang mengambil sampel pilkada di Kabupaten Mojokerto tersebut, 14,9 persen warga berharap peserta pilkada itu memberikan uang jika ingin dipilih. "Ini adalah angka yang mengkhawatirkan," kata Abd Rohim Ghazali, peneliti senior Pride, dalam keterangan pers di Gedung Energy, Jakarta, kemarin (10/8).

Warga yang menginginkan calon memberikan sembako mencapai 10,6 persen. Sedangkan warga yang berharap sang calon memberikan modal usaha sebanyak 5,3 persen. Survei tersebut dilakukan 20-25 Mei 2010 dengan melibatkan 400 responden di 18 kecamatan di wilayah Mojokerto.

Menurut Ghazali, hasil survei itu menunjukkan dengan jelas bahwa praktik politik uang bukan hanya direstui, tapi juga diminati masyarakat. Sementara itu, jawaban pertanyaan terkait dengan penegakan idealisme demokrasi oleh pasangan calon sangat rendah. "Jawaban seperti menepati janji, merakyat, memiliki visi-misi, dan jujur kurang diminati publik," papar Ghazali.

Jika data itu tidak cukup, jawaban responden terhadap pertanyaan yang ditujukan ke parpol ternyata juga seragam. Jika parpol ingin dipilih (dalam pemilu legislatif), 11,5 persen responden berharap parpol tersebut memberikan uang. Sebanyak 9,3 persen responden meminta parpol memberikan sembako. Lagi-lagi, persentase jawaban responden yang ingin diberi uang adalah tertinggi jika dibandingkan dengan jawaban lain.

Ghazali menyatakan, hasil itu tentu memprihatinkan. Pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga antikorupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata belum menunjukkan hasil. Keberhasilan KPK dalam memberantas korupsi hanya bersifat preventif atau pencegahan. "Itu pun kalau ada," kata Ghazali.

Ketua Yayasan Paramadina Didik J. Rachbini menambahkan, praktik politik uang itu bisa terjadi antarpribadi maupun secara kolektif. Namun, pada perkembangan saat ini, politik uang telah bermetamorfosis dalam berbagai bentuk. Seperti jalan, jembatan, sekolah, sembako, obat-obatan, bahkan rumah ibadah. "Politik uang yang sudah bermetamorfosis sulit dibuktikan," kata Didik. Itu bisa sebagai dalih wujud bakti sosial pasangan calon kepada warga.

Didik menyatakan, jawaban warga Mojokerto dalam survei tersebut memang tidak bisa dianggap sebagai representasi seluruh warga Indonesia. Namun, hasil survei itu relevan dengan data bahwa pilkada adalah salah satu penyebab praktik korupsi di Indonesia. "Belum lagi ditambah dengan efek kerusuhan sosial yang juga terjadi di pilkada," kata mantan ketua DPP PAN tersebut. Pilkada Mojokerto tercatat sebagai pilkada yang rusuh. Pada 21 Mei lalu, terjadi kerusuhan dengan perusakan fasilitas daerah oleh mereka yang tak bertanggung jawab.

Berdasar hasil pantauan ICW, sebagaimana disampaikan juga dalam survei itu, setidaknya ada lima incumbent yang sudah menjadi tersangka korupsi, namun mereka masih terpilih kembali pada pilkada periode berikutnya. Mereka adalah Bupati Rembang Mochamad Salim, Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko, Bupati Lampung Timur Sartono, Wabup Bangka Selatan Jamro H. Jalil, dan Gubernur Bengkulu Agusrin M. Najamudin.

Apa yang disimpulkan dalam hasil survei itu? Ghazali menambahkan, perlu adanya perubahan aturan dalam tata cara pilkada. Usul agar pilkada dikembalikan ke pola lama, yakni dipilih langsung oleh DPR, bisa dipertimbangkan. Namun, usul agar ada revisi mengenai mekanisme pilkada dalam UU Pemda adalah wacana yang lebih baik. "Persyaratan dan sanksi harus diperketat, perlu juga diatur batasan dana kampanye." (bay/c3/tof)

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=149827

Korupsi (Tidak) Ada Matinya

Oleh Saldi Isra

Tidak terbantahkan, korupsi benar-benar menjadi ancaman laten terhadap keberlangsungan negeri ini. Agar bahaya itu tidak mudah hilang dari ingatan, aturan hukum menambahkan predikat ”baru” bagi korupsi, yaitu sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Tidak berhenti sampai di situ, melihat dampak buruk yang ditimbulkannya pada sisi kemanusiaan, sejumlah kalangan tidak pernah ragu menyebut korupsi sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).

Selain melekatkan simbol baru itu, tindak pidana korupsi juga diancam dengan hukuman yang tidak dapat dikatakan ringan. Misalnya, tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam masa krisis ekonomi dapat dijatuhi dengan pidana mati.

Begitu pula dengan lembaga, untuk maksud memberikan akselerasi dalam memberantas korupsi, dibentuk lembaga independen bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kewenangan sangat ekstra. Sebagai institusi super, KPK dapat melakukan langkah-langkah yang extraordinary pula.

Tambahan simbol, ancaman hukuman dan pembentukan lembaga super, sepertinya tidak mampu menahan laju korupsi di negeri ini. Buktinya, merujuk tren korupsi semester I tahun 2010 yang dilansir Indonesia Corruption Watch (ICW), terjadi peningkatan tajam (Kompas, 5/8) jika dibandingkan dengan tahun 2009.

Untuk jumlah kasus, misalnya, terjadi peningkatan lebih dari dua kali lipat: 86 kasus (2009) menjadi 176 kasus (2010). Bukan tidak mungkin, sekiranya ada data yang lebih komprehensif, angka korupsi hampir dapat dipastikan akan jauh lebih masif. Tidak hanya pada kenaikan jumlah kasus, kerugian negara yang ditimbulkan serta jumlah tersangka juga berada pada kelipatan yang nyaris sama.

Dalam hal kerugian, tahun 2009 kerugian mencapai Rp 1,17 triliun, lalu meningkat mencapai Rp 2,1 triliun. Begitu pula dengan pelaku, terjadi peningkatan dari 217 menjadi 441 tersangka. Sekiranya ditambahkan dengan kasus-kasus korupsi yang selama ini terbengkalai, jumlah kasus korupsi pasti lebih mencengangkan. Jangan-jangan tren korupsi yang dirilis ICW hanya seujung kuku dari semua praktik korupsi yang sesungguhnya terjadi.

Menjual kewenangan

Dengan segala keterbatasan data ICW, secara jujur harus diakui, tren yang kian meningkat menunjukkan bahwa praktik korupsi di negeri ini seperti tidak ada matinya. Karena itu, masalah mendasar yang harus dipertanyakan: apa yang salah dengan agenda pemberantasan korupsi?

Disadari sepenuhnya, tidak mudah mengurai secara tuntas akar masalah penegakan hukum pemberantasan korupsi. Namun, mencermati tiga faktor utama yang selama ini dinilai berpengaruh signifikan dalam penegakan hukum, yaitu aturan hukum, penegak hukum, dan perilaku hukum masyarakat, ketiganya memberikan kontribusi atas meluasnya praktik korupsi selama ini.

Namun, jika ditelusuri lebih komprehensif, faktor penegak hukum dapat dikatakan memberikan kontribusi paling signifikan. Bukti paling nyata, dalam banyak kasus kejadian yang terungkap, sebagian penegak hukum begitu mudah menukar kewenangan yang dimiliki untuk meraih keuntungan pribadi.

Banyak contoh yang dapat dikemukakan, sebut saja kasus yang pernah mengguncang Gedung Bundar ketika jaksa Urip Tri Gunawan ditangkap KPK menerima uang ”tanda terima kasih” dari Artalyta Suryani dalam penanganan skandal BLBI. Atau contoh lain, betapa ”mesranya” hubungan Anggodo Widjojo dengan sejumlah petinggi hukum di negeri ini.

Tidak hanya pengalaman yang terjadi di proses awal, sebagai benteng terakhir untuk mendapatkan keadilan, sejumlah hakim pun terbukti amat mudah menukar kemuliaan hakim untuk segala kepentingan di luar hukum. Padahal, dengan predikat sebagai ”wakil Tuhan” di muka bumi, hakim harus mampu menjaga integritas. Bagaimanapun, kewibawaan pengadilan sangat ditentukan oleh integritas hakim. Karena itu, sulit berharap wajah penegakan hukum akan berwibawa jika hakim banyak yang menggadaikan integritas.

Dalam agenda pemberantasan korupsi, tidak mungkin mengharapkan kemajuan jika penegak hukum gagal mempertahankan integritas pribadi. Bagi para pelaku dan mereka yang terkait dengan praktik korupsi, penegak hukum yang tidak berintegritas adalah lahan empuk untuk menjaga keberlanjutan praktik korupsi. Karena itu, semakin mudah penegak hukum menjual dan menggadaikan kewenangannya, praktik korupsi akan makin menemukan lahan subur.

Toleransi

Gagasan menyikapi secara ekstrem (Kompas, 6/8) untuk mengurangi praktik korupsi tidak mungkin terjadi sekiranya semua pihak masih tetap memberikan toleransi bagi mereka yang tersangkut dengan kasus korupsi. Dalam banyak contoh, dari hulu sampai hilir, penegakan hukum dikenal sangat toleran bagi mereka yang terkait dengan kasus korupsi. Pada tingkat yang paling rendah saja, misalnya, banyak dari mereka yang telah ditetapkan menjadi tersangka tidak ditahan. Padahal, penahanan akan memberikan pesan jelas bagi para pelaku korupsi.

Tidak hanya dalam soal itu, hukuman yang dijatuhkan terbilang rendah untuk praktik korupsi yang begitu masif. Sebagaimana dikemukakan di atas, ketentuan hukum memberikan ruang untuk menjatuhkan hukuman mati. Namun, sejauh ini, belum satu pun pelaku korupsi yang dihukum mati.

Kalau untuk mereka yang terkait dengan narkoba dan terorisme banyak yang dihukum mati, mengapa bagi koruptor seperti diharamkan? Padahal, dampak yang ditimbulkan korupsi tidak kalah dibandingkan narkotika dan terorisme.

Toleransi semakin kelihatan jelas setelah mereka menjalankan hukuman di lembaga permasyarakatan (LP). Jamak diketahui, di antara mereka yang dihukum, LP seperti hanya mengalihkan suasana dari rumah sendiri. Dengan segala kemudahan dan ditambah hukuman yang terbilang ringan, pemidanaan seperti kehilangan makna hakikinya.

Yang lebih sulit dipahami, kemudahan itu masih ditambah dengan fasilitas lain berupa pengurangan hukuman pada saat- saat tertentu. Dengan toleransi sistemik itu, mengurangi praktik korupsi jelas seperti burung pungguk merindukan bulan.

Tidak hanya di wilayah penegakan hukum, parpol juga memberikan toleransi bagi mereka yang terkait korupsi. Bahkan, untuk target politik tertentu, sejumlah parpol menutup mata semua itu. Sulit dibantah, mencari proteksi ke parpol (terutama yang besar) telah menjadi modus baru bagi mereka yang terkait korupsi.

Tidak hanya itu, sejumlah fakta menunjukkan, hubungan parpol dengan mereka yang tersangkut korupsi menjadi semacam simbiosis mutualisme. Karena itu, tak perlu heran jika banyak tersangka dicalonkan menjadi anggota legislatif dan kepala daerah.

Disadari, penyakit mati rasa merupakan ancaman laten dalam memberantas korupsi di negeri ini. Karena itu, praktik korupsi hanya bisa mati (setidaknya dikurangi) jika kesadaran kolektif kita bisa siuman. Tanpa itu, jangan pernah bermimpi keluar dari kubangan korupsi.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

http://cetak.kompas.com/read/2010/08/11/02525398/korupsi.tidak.ada.matinya

Moh. Mahfud M.D.: Politik Pilkada vs. Money Politic

Moh. Mahfud M.D.: Politik Pilkada
KETIKA dulu pada 2003 muncul gagasan agar pemilihan umum kepala daerah (pilkada) dilakukan secara langsung oleh rakyat, saya sangat mendukung. Alasannya, pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD ditengarai sangat koruptif, kolutif, dan manipulatif. Pada saat itu, ditengarai banyak kepala daerah yang tiba-tiba muncul dan terpilih hanya karena kedekatan tertentu dengan pimpinan parpol atau bahkan karena mempunyai uang untuk membeli suara sejumlah anggota DPRD.

Banyak orang baik-baik, kapabel, dan berintegritas yang tak bisa terpilih menjadi kepala daerah hanya karena tak punya hubungan dengan pimpinan parpol serta tak punya uang dan tak mau membeli suara para anggota DPRD. Calon yang hanya bermodal uang dan berkolusi politik dengan pimpinan parpol bahkan bisa menempuh cara kotor dengan mengarantina sejumlah anggota DPRD beberapa hari sebelum pemilihan. Mereka dikarantina agar tidak berhubungan dengan orang lain yang bisa membayar lebih mahal dan dapat mengubah pilihan melalui transaksi. Pada saat pemilihan, mereka diantar ke gedung DPRD dan diharuskan menulis kode-kode tertentu pada kertas pilihannya agar tidak memilih selain orang yang telah membayarnya. Pernah juga diberitakan, seorang calon kepala daerah dan sejumlah anggota DPRD melakukan transaksi tersebut secara terang-terangan di lobi sebuah hotel, tanpa risi atau malu sedikit pun. Itu sungguh merusak moralitas politik dan mencederai demokrasi yang hendak kita bangun.

Karena itulah, pemilihan langsung oleh rakyat di daerah pada saat itu dianggap sebagai politik hukum yang tepat. Maksudnya, biarlah rakyat menentukan sendiri pemimpin daerahnya tanpa melalui agen atau calo-calo di DPRD. Lahirlah UU No 32 Tahun 2004 yang memberlakukan pilkada secara langsung.

Tetapi, kenyataannya sungguh mengagetkan. Ternyata, terjadi pukulan balik yang lebih dahsyat terhadap pembangunan demokrasi kita. Setelah pilkada dilakukan secara langsung, keadaan bukan menjadi lebih baik. Kepala daerah yang dilahirkan juga tidak lebih baik. Bahkan, ada yang lebih jelek. Virus kerusakan menjadi lebih masif karena tidak lagi terbatas pada anggota DPRD dan si calon. Biaya uang, sosial, dan politiknya menjadi jauh lebih mahal karena rakyat bukan hanya dilibatkan untuk memilih langsung, melainkan juga dilibatkan untuk melakukan transaksi kolutif yang juga langsung.

Bukan rahasia lagi bahwa untuk menjadi calon melalui parpol, si peminat harus membayar mahar yang sangat mahal. Setelah resmi menjadi calon pun, mereka masih diperas lagi untuk biaya kampanye atau sosialisasi yang dibungkus dengan berbagai program bakti sosial. Biayanya menjadi puluhan kali lipat jika dibandingkan dengan seandainya seseorang harus membayar sejumlah anggota DPRD. Jangan heran, kemudian ada berita tentang orang yang stres berat, menjadi gila atau bunuh diri, setelah ikut berlaga dalam pilkada.

Selain menyeret rakyat ke arena politik transaksional yang tidak sehat, berdasar pengaduan-pengaduan yang bisa dilihat secara jelas pada sidang-sidang terbuka di MK, kecurangan yang terstruktur kerap terjadi. Ada laporan penggunaan institusi pemerintah dan dana negara untuk meraih kemenangan dengan berbagai rekayasa. Bahkan, dalam beberapa kasus, ada penyelenggara pemilu yang dilaporkan bermain mata dengan pasangan calon tertentu. Misalnya, ada yang tidak diloloskan secara tidak fair untuk menjadi calon karena berpotensi mengalahkan calon tertentu. Ada juga calon yang tidak memenuhi syarat, tetapi diloloskan secara ajaib untuk memecah suara calon tertentu yang dianggap kuat.

Rakyat pemilih bukan hanya dididik untuk menerima uang agar memilih calon tertentu, tetapi juga ada yang ditekan dan diteror karena sudah mempunyai pilihan yang dijagokannya. Bukan hanya itu, banyak terjadi konflik keluarga atau warga yang tidak bisa sembuh sampai lama setelah pilkada selesai. Di satu daerah, ada pasangan suami istri pejabat yang bercerai dan menjadi musuh antarkeluarga karena sang suami mendukung saudaranya sendiri, sedangkan si istri mendukung saudaranya sendiri. Konon, perpecahan antarjamaah tertentu yang timbul setelah pilkada di Jawa Timur hingga sekarang masih terasa karena banyak yang belum sembuh. Kita pun sering melihat dengan ngeri keberingasan massa karena pilkada langsung.

Nah, ketika muncul gagasan agar pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, saya termasuk yang tertarik. Berdasar pengalaman, pemilihan oleh DPRD memang merusak. Tetapi, daya rusaknya terbatas pada puluhan orang anggota DPRD dan oknum tertentu. Itu pun masih ada yang bersih dan bisa diminimalisasi melalui pengawasan yang ketat oleh hukum, pers, dan LSM. Sedangkan, kerusakan yang ditimbulkan oleh pilkada langsung seperti sekarang sudah bersifat masif, mengancam moralitas politik, demokrasi, dan harmoni dalam masyarakat kita.

Jadi, tak ada salahnya kita mengkaji ulang politik hukum pemilihan kepala daerah yang telah kita pilih. Tidaklah terlalu salah juga kalau politik hukum pemilihan kepala daerah selalu kita perbaiki melalui proses eksperimen yang tak cepat selesai atau melalui trial and error. Pencarian yang seperti itu tak salah, apalagi pada era transisi seperti sekarang. (*)

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=149498