Kegenitan Online dan Terenggutnya Hak Warga Negara
Sumber:firdaus_c@yahoo.com
Tiada hari tanpa online. Itu mungkin ungkapan yang tepat untuk menggambarkan aktivitas sebagaian besar masyarakat kita terutama yang tinggal di perkotaan. Bahkan di tengah sesaknya bus kota dan kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta-Bogor-Depok-Tengerang-Bekasi (Jabodetabek) sering kita lihat pera penumpangnya mengupdate status di facebook melalui handphone.
Memang dengan internet ini, informasi dapat segera dibagi secara cepat dan meluas. Bahkan video porno pun juga dengan cepat dan meluas tersebar di masyarakat melalui internet ini. Heboh video mesum yang diduga dilakukan oleh para pesohor di negeri ini dapat dijadikan contoh dalam hal ini.
Kehebatan internet itu pula yang menarik para politisi untuk menulis di blog, twitter, web interaktif (web 2.0) dan menjadi fecebooker. Dengan internet mereka dapat menyosialisasikan pemikiran dan juga berinteraksi dengan publik. Praktis, efisien dan murah.
Hal itu tidak disia-siakan oleh produsen handphone. Kini iklan-iklan handphone, selalu menawarkan kemampuannya untuk berselancar di dunia maya. Jika sebuah handphone tidak memiliki kemampuan itu maka, dianggap tidak gaul.
Masyarkat kita seperti mengalami euforia terhadap internet. Euforia dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti perasaan gembira yang berlebihan. Celakanya, euforia itu juga menjangkiti lembaga-lembaga negara yang memiliki kewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hampir semua hal yang semula bisa dilakukan secara tatap muka atau offline tiba-tiba kini diarahkan secara online atau dengan menggunakan teknologi internet.
Pendaftaran Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2010 ini misalnya, hanya dilakukan secara online. Bahkan di beberapa Sekolah Dasar (SD) negeri, pendaftarannya juga sudah mulai dilakukan secara online.
Bukan hanya pendidikan, pemilihan umum pun rencananya juga akan dilakukan secara online atau dikenal dengan e-voting. Bahkan Mahkamah Konstitusi dalam putusan sidang uji materi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membolehkan pemilu dengan metode e-voting.
Nah pertanyaannya kemudian adalah, siapa yang akan rentan untuk ditinggalkan dalam gegap gempita euforia internet tersebut? Untuk mengetahui siapa pihak yang rentan ditinggalkan kita harus terlebih dahulu melihat para pihak yang memanfaatkan internet dalam masyarakat kita.
Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada akhir 2004 menunjukan, terdapat sekitar 1.087.428 pelanggan dan sekitar 11.226.143 pengguna internet. Dengan populasi 257,76 juta, berarti sekitar 4,6% masyarakat adalah pengguna internet dan 0,4% pelanggan internet. APJII juga mencatat bahwa sebanyak 75% pelanggan dan pengguna internet berlokasi di Jakarta, 15% di Surabaya, 5% di daerah lain di pulau Jawa dan 5% sisanya di propinsi lainnya.
Artinya secara geografis terjadi kesenjangan antar daerah di Indonesia dalam pemanfaatan internet. Pengguna internet di wilayah perkotaan dan di Jawa mendominasi pemanfaatan internet di Indonesia. Kesenjangan digital itu bukan hanya secara geografis, secara gender (jenis kelamin) pun pemanfaatan internet juga mengalami kesenjangan. Data dari iptek.net pada tahun 2004 menyebutkan bahwa secara gender di Indonesia diperkirakan lebih banyak pengguna internet adalah pria (75.86%) daripada wanita (24.14%).
Sementara bila kelas sosial di masyarakat kita dapat dikaitkan dengan tingkat pendidikan, maka pemanfaatan internet di Indonesia juga didominasi oleh kelas sosial menengah-atas. Ditinjau dari jenjang pendidikan, menurut indikator telematika yang ditulis iptek.net menyebutkan, tingkat sarjana adalah pengguna terbanyak (43%) selanjutnya tingkat SLTA (41%). Berdasarkan profesi menunjukkan bahwa mahasiswa yang paling banyak menggunakan internet (39%).
Fakta-fakta kesenjangan digital tersebut di atas memperlihatkan bahwa kelompok-kelompok yang rentan ditinggalkan oleh euforia internet ini adalah kelompok kelas sosial menengah-bawah, perempuan, penduduk di pelosok desa dan tentu saja saudara-saudara kita yang memiliki keterbatasan penglihatan (tuna netra).
Efisiensi menjadi alasan utama penggunaan internet dalam pendaftaran sekolah dan juga pemilu. Konon biaya dan waktu dapat ditekan seminimal mungkin bila penyelenggaraan pendaftaran sekolah dan pemilu menggunakan internet. Dan bagi masyarakat pun pemanfaatan internet untuk kegiatan itu lebih memudahkan.
Mungkin biaya dan waktu bisa ditekan dengan menggunakan internet dalam pendaftaran sekolah atau pemilu. Namun apa artinya penghematan biaya dan waktu bila itu berarti menyingkirkan hak-hak warga kelas sosial menengah-bawah, perempuan, penduduk di pelosok dan warga dengan keterbatasan tertentu?
Memperoleh pendidikan yang layak adalah hak asasi warga negara. Negara berkewajiban menghormati dan memenuhi hak tersebut. Begitu pula berpartisipasi dalam sebuah pemilu. Memilih wakil rakyat, kepala daerah hingga presiden adalah bagian dari hak sipil dan politik warga. Alangkah naifnya bila pemenuhan hak-hak tersebut justru terganjal oleh kegenitan lembaga-lembaga negara terhadap teknologi internet.
Penggunaan internet sah-sah saja bila hal itu tetap menjamin kelompok masyarakat rentan untuk mendapatkan hak-hak sosial dan politiknya. Alangkah baiknya bila penggunaan internet dalam pendaftaran sekolah dan pemilu hanya diposisikan sekedar pelengkap saja, bukan satu-satunya cara, sehingga pintu bagi masyarakat rentan untuk memperoleh hak-haknya tetap terbuka lebar.
Sumber: http://politikana.com/baca/2010/08/11/copas-kegenitan-online-dan-terenggutnya-hak-warga-negara.html
Kegenitan Online dan Terenggutnya Hak Warga Negara
Written By gusdurian on Kamis, 12 Agustus 2010 | 13.32
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar