BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Hukum Itu Indah

Hukum Itu Indah

Written By gusdurian on Kamis, 12 Agustus 2010 | 13.40

Hukum Itu Indah

Pada edisi Senin 2 Agustus 2010 harian ini menurunkan tajuk berjudul “Kemerdekaan Hukum Kita”.Betapa jelas dipaparkan bahwa kini hukum dimainkan oleh kekuasaan sesuai seleranya.


Penegakan hukum selalu terkontaminasi ego, kepentingan kelompok,dan kepentingan yang aneh-aneh. Padahal kalau hukum dijalankan berdasarkan hati nurani, rakyat kecil, orang kaya, orang yang baru lengser dari jabatan yang benar-benar tidak bersalah akan tetap bisa mendapat keadilan. Dan keadilan benarbenar milik semua. Terinspirasi oleh paparan di atas, ingin disampaikan pula bahwa sebenarnya potret buram hukum kita selama ini terjadi karena ulah (sebagian) manusia Indonesia. Dalam keotentikannya,hukum itu indah. Muncul pertanyaan, mengapa hukum yang indah berubah menjadi buram, dan bagaimana mengembalikan keindahannya?

Nafsu Duniawi

Pada diri setiap manusia terdapat jiwa.Di dalam jiwa itu ada unsur nafsu.Fungsinya sebagai penggerak dan pendorong kemajuan. Tanpa nafsu,manusia akan loyo,pasif,dan statis. Nafsu penting untuk mewujudkan progresivitas kehidupan. Akan tetapi nafsu memiliki potensi merusak.Apabila tidak dikendalikan, nafsu akan berjalan cepat secepat kilat,menerobos semua pembatas. Bagaikan kuda binal lepas dari kandangnya.Kewajiban setiap manusia adalah mengendalikan nafsu, agar berjalan lurus, normal, dan proporsional.

Hukum kita menjadi rusak karena manusia yang ada di belakang hukum mengumbar nafsu dan menjadikan hukum sebagai kuda (tunggangan) untuk mendapatkan kemegahan,harta benda,kekuasaan duniawi.Kekayaan dan kekuasaan dijadikan sarana sekaligus tujuan dalam berhukum. Di sinilah, mereka yang kaya (konglomerat) dan pemegang kekuasaan (politisi dan penegak hukum) merekayasa hukum sedemikian rupa, sehingga wajah hukum berubah total dari indah, cantik, dan elegan; menjadi buram,kelam,dan kejam. Benar adanya bahwa rakyat kecil selalu menjadi korban dari kekejaman dan keganasan hukum.

Hal demikian karena rakyat kecil tidak pernah siap atau dipersiapkan menghadapi rekayasa hukum. Mereka secara formal diakui sebagai subjek hukum,tapi secara substantif selalu ditempatkan sebagai objek hukum. Dalam peradilan, mereka (selalu) dikalahkan walaupun belum tentu salah. Dalam kebijakan, mereka diinjak dan diperas untuk memuluskan kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan bahan bakar minyak,kenaikan pajak dan retribusi, dan sejenisnya.Dalam hukum sumber daya alam, rakyat kecil dilarang melakukan penambangan liar, sementara investor diberi keleluasaan menguras emas, batu bara, pasir besi, mengelola air, perkebunan, hutan, dan sejenisnya.

Bagi rakyat kecil,hukum tampil sebagai alat penindas kehidupannya. Pebisnis dan politisi serta penegak hukum hitam,berkolaborasi ”menjajah” rakyat kecil dalam segala aspek kehidupan.Rakyat kecil kini sulit mendapatkan hukum yang merdeka, apalagi memihak kepada nasibnya. Produk hukum yang berkarakter responsif dan fasilitatif bagi rakyat kecil, ibarat pepatah,”jauh panggang dari api.”

Hati Nurani

Ada sisi lain dari jiwa manusia yang perlu secara terus-menerus dilekatkan dengan hukum, yaitu hati nurani. Dalam keasliannya, hati manusia jernih. Bagaikan air, sinar matahari akan menembus kejernihannya.Manusia yang kejernihan hatinya terjaga akan bersih pula sikap dan perilaku hukumnya. Atas dasar nur Ilahi yang menerangi, menjadi sangat mudah membedakan antara yang salah dan benar. Atas bimbingan Ilahi pula kemudian manusia selalu berjalan pada kebenaran.

Tidak pernah terpikir (apalagi berbuat) untuk korupsi, kolusi, maupun nepotisme (KKN) Psikologi hukum humanisme mengajarkan agar manusia dalam berhukum menggunakan seluruh potensi jiwa dan raga secara utuh dan terpadu.Dalam bahasa akademis, hendaknya manusia berhukum secara holistis. Bermula dari spiritual quotion (SQ), didorong dengan intellectual quotion (IQ) dan diperlengkapi dengan emosional quotion (EQ), maka semua sikap dan perbuatan lahiriah dalam membuat, menjalankan dan menegakkan hukum akan menghasilkan keadilan substantif yang dapat diterima semua pihak, bahkan dapat dipertanggungjawabkan dunia-akhirat.

Filsafat hukum organisme mengajarkan agar hubungan hukum di antara sesama manusia,(bahkan terhadap semua entitas) dilakukan atas dasar prinsip pansubjektivitas. Artinya, semua pihak dihormati sebagai subjek dan tabu untuk mengobjekkan pihak lain.Walaupun seseorang telah dinyatakan bersalah dan dimasukkan ke hotel prodeo, misalnya, dia tetap subjek hukum, dan tidak boleh diobjekkan dengan diperas melalui keluarganya. Pluralisme hukum mengajarkan agar kemajemukan hukum dijadikan sebagai modal membangun dialog hukum sehingga terwujud keutuhan hukum yang lebih besar, lebih adil, dan lebih berkualitas.

Betapa indah ketika hukum adat yang bersifat lokal-kedaerahan diterima sebagai bagian dari hukum agraria positif, sehingga kesaksian kepala adat atau secarik girik diakui sebagai alat bukti kepemilikan tanah. Betapa indah pula ketika beraneka ragam adat perkawinan diterima sebagai kekayaan budaya hukum yang dibingkai dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Budaya hukum mengajarkan bahwa hukum bekerja dan tertanam dalam sebuah matriks sosialkultural. Ketika hukum melakukan pengaturan terhadap perilaku manusia,maka hukum tidak pernah untuk dirinya sendiri, melainkan membawa manusia ke arah keteraturan, ketertiban dan berperadaban.

Bahkanketikamanusiadihadapkan pada konflik,hukum tampil sebagai sarana untuk penyelesaian sehingga konflik dapat diakhiri dengan damai, adil, dan kehidupan kembali berproses normal. Integrasi masyarakat dan bangsa menjadi tetap terjaga.Dalam kedudukannya sebagai institusi pengintegrasian proses kehidupan, hukum terbuka menerima asupan-asupan dari segala aspek kehidupan, baik bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, psikologi dan sebagainya. Jadilah hukum sebagai ”pelangi” kehidupan.Alangkah indahnya! Moralitas hukum mengajarkan agar setiap manusia berlomba-lomba dalam kebaikan dan keteladanan dalam ketaatan pada hukum. Segalanya dimulai dari hati nurani.

Hukum tidak boleh mengandung perintah dan kewajiban yang melebihi kekuatan manusia untuk menunaikannya.Dilarang merekayasa hukum untuk kepentingan sendiri atau kelompok. Moralitas hukum demikian menjadikan hukum berkesesuaian dengan harapan masyarakat.Jelaslah,ketika hukum diterima dan diperlakukan secara utuh maka akan muncul estetika hukum. Bukankah hukum demikian itu indah?

Pencitraan Hukum

Kita semua berkepentingan agar seluruh aspek hukum di negara ini kembali menjadi indah. Undangundang dasar kita dari awal telah meletakkan dasar-dasar pencitraan diri (self defining) untuk sistem hukum Indonesia yang indah itu. Pencitraan diri tersebut dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai komunalistik-religius dan tradisi musyawarah. Kita sadar bahwa keindahan hukum yang berwatak komunalistis- religius kini telah rusak.

Kita pun sadar bahwa tradisi musyawarah telah bergeser menjadi persaingan bebas. Dalam pemilihan kepala daerah,misalnya,semua individu baik yang berwatak malaikat maupun yang berwatak setan, diberi kesempatan sama untuk memilih dan dipilih sebagai kepala daerah. Kelihatannya egaliterdemokratis, tetapi tidak etis. Sejak determinasi bangsa ini lemah ketika berhadapan dengan bangsa asing, maka pencitraan hukum gagal dipertahankan, dan seiring dengan masuknya paham individual-liberalisme maka watak hukum kita pun menjadi egois,kejam, bahkan ganas. Sistem hukum kita tidak lagi indah melainkan profan,kotor,dan banal.

Untuk mengembalikan keindahan hukum,ada baiknya kita belajar dari pengalaman negara lain, yakni Jepang. Sejak kalah oleh Sekutu pada Perang Dunia II, Jepang dipaksa dunia Barat untuk membuka diri dan menerima sistem hukum Barat yang berwatak individual- liberalistis. Pemaksaan hukum asing itu disikapi secara kreatif dengan menciptakan struktur hukum yang berwajah ganda. Struktur luar (wajah depan) adalah hukum Barat, struktur dalamnya (perilaku internal sebagai bangsa) tradisi kekeluargaan. Dengan struktur hukum demikian, ketika berhadapan dengan bangsa asing digunakanlah kontrak-kontrak tertulis serta perhitungan rasional, impersonal sebagaimana layaknya hukum modern.

Akan tetapi pelaksanaan kontrak-kontrak tersebut selalu dibelokkan ke dalam tradisi kekeluargaan, sementara dokumen kontrak disimpan di dalam laci. Dengan kata lain, Jepang tetap berkomitmen menjaga tradisi dan nilai-nilai yang mengakar pada budaya bangsa sendiri, yaitu hukum kekeluargaan. Itulah cerdiknya Jepang,dan dengan hukum kekeluargaan itu pula Jepang disegani bangsa-bangsa lain.

Sebagaimana Jepang, saya yakin, bangsa ini bisa mengembalikan keindahan sistem hukum yang berwatak komunalistik-religius dan tradisi musyawarah.Kuncinya: kendalikan nafsu, maksimalkan penggunaan akal dan hati nurani, serta cintai negeri sendiri.Wallahu a’lam.(*)

Prof Dr Sudjito, SH MSi
Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum UGM

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/343845/
Share this article :

0 komentar: