BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Refleks(i) Pemerintah dan Penyehatan Demokrasi

Refleks(i) Pemerintah dan Penyehatan Demokrasi

Written By gusdurian on Kamis, 12 Agustus 2010 | 13.01

Refleks(i) Pemerintah dan Penyehatan Demokrasi

Catatan aksi pemerintah cenderung hanya pada perayaan seremonial, lahirnya kebijakan dan peraturan, pidato kenegaraan, dan pertemuan dengan elite-elite, baik nasional maupun daerah.


Namun sedikit yang mengingat momen ini sebagai tindakan pemerintah karena tokohnya adalah seorang anak kecil dari sebuah kabupaten miskin di Jawa. Eka Agustina,seorang anak asal SMP I Wonosari, Gunung Ki-dul, Yogyakarta menangis tersedusedan di panggung Istana Tampak Siring, Bali, pada puncak perayaan Hari Anak Nasional beberapa waktu lalu. Permasalahannya, acara Lomba Cipta Seni Pelajar yang diusung Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Kementerian Pendidikan Nasional itu telah salah menyebut nama pemenang, yang sebelumnya dinyatakan dimenanginya.

Kontan acara yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ani Yudhoyono ini menjadi kacau-balau dan hiruk-pikuk serta mempermalukan Agustina. Kekacauan sebenarnya bisa sedikit reda jika SBY spontan menyatakan Agustina pemenang sebenarnya di samping yang telah diumumkan panitia. Namun, mempermalukan anak kecil mungkin tidak masuk dalam hitungan pemerintah. Jika kita refleksi kejadian sebelumnya, ada seorang pejabat ekonomi merasa dipermalukan karena janji diangkat sebagai wakil menteri, tapi saat pengumuman yang dipilih orang lain.

Ada banyak sikap pemerintah yang tidak cepat-tanggap atas “tragedi” yang menjadi fokus nasional: dua janda purnawirawan TNI yang terkatung-katung nasibnya dan hampir dipidana karena menetap di rumah dinas; perayaan Sail Banda di Ambon,padahal Banda Naira sendiri terletak di Maluku Utara,sehingga menyakiti hati masyarakat Ternate; korban kompor gas 3 kg yang terus bertambah karena tidak ada keputusan antisipatif yang sigap. Malah kabar terakhir harga gas tabung 3 kg akan dinaikkan di tengah sengkarut terorisme resmi ini.

Kasus-kasus ini akhirnya direspons oleh SBY atau berakhir happy ending tatkala protes publik telah mengemuka di udara. Kalaulah publik tidak merespons, tetap saja nasibnya sebagai warga kelas dua karena keadilan tak kunjung menyapa. Sebenarnya tidak semua tindakan Presiden SBY sangat birokratis. Ada dua tindakan SBY yang mencitrakan populisme: pertama, ketika meminta kepolisian menghentikan kasus Bibit-Chandra akhir tahun lalu dan kedua, mengunjungi aktivis ICW, Tama S Lakun, ke rumah sakit, yang luka dikeroyok oleh orang tak dikenal.

Apakah tindakan SBY ini salah? Tentu saja tidak, bahkan mulia. Akan tetapi ada banyak kasus yang berhubungan dengan keadilan masyarakat yang terhambat respons atau memang tidak direspons sama sekali diserahkan pada mekanisme hukum dan impersonalitas prosedur, birokratis, dan arogan bagi masyarakat kecil.

Penyehatan Demokrasi

Dalam kamus Wikipedia, refleks diartikan sebagai gerakan tanpa sadar dengan respons segera setelah terjadinya rangsangan.Tindakan refleks manusia menunjukkan bahwa dia masih memiliki kesehatan pada sistem syarafnya. Refleks bukan semata tindakan instingtif, bisa dilatih dengan kedisiplinan dan olahraga. Seperti juga tubuh, negara seharusnya memiliki sikap refleks ketika ada rangsangan dari publik. Kehadiran negara di era modern saat ini bukan saja menjamin adanya kedaulatan atas masyarakat, tetapi juga adanya jaminan politik dan kebebasan untuk melakukan perumusan atas tindakan yang adil bagi dirinya dan komunitasnya, yang selanjutnya diikuti respons positif dari negara (Alain Touraine, What is Democracy,1997).

Sebenarnya tak perlu mempermasalahkan apakah negara kita ini demokratis atau tidak karena dunia ikut mengakui demokrasi Indonesia telah tumbuh dengan cepat. Pada pertemuan Community of Democracy di Krakow, Polandia, 2–3 Juli lalu, Indonesia disebut sebagai champion of democracies dan menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Terpilihnya SBY sebagai presiden hingga dua periode adalah proses demokratis.Logika proseduralisme untuk Indonesia yang plural dan sangat besar ini telah memenuhi syarat untuk menyatakan SBY adalah presiden pilihan rakyat meski ada saja “piring pecah” dalam kenduri akbar atau politik citra yang lebih memainkan peran dibandingkan persona.

Perdebatan SBY tidak terpilih demokratis karena hanya 60% masyarakat yang memberikan suara lebih tidak masuk akal.Di atas kandidat lainnya,dia jelas masih terbaik. Namun, saat memerintah, kemenangan 60% atau lebih itu tidak lagi masuk hitungan.Barack Obama dipermasalahkan kredibilitasnya karena tidak melakukan tindakan konsisten dalam penyelesaian konflik di Afghanistan dan Irak serta pendekatan antagonistis kepada “negara-negara musuh” serta bukanpadamasalahdiapresiden Afro- Amerika pertama.Demokrasi substansial sebenarnya bekerja untuk menghancurkan mitos pemilu sebagai legitimasi selamanya (once for the all time).

Pemilu hanya memiliki legitimasi untuk mengambil alih kekuasaan dan ti-dak otomatis memberikan leg-itimasi etis atas seluruh tindakan pemerintahan yang dijalankan. Adolf Hitler menjadi kanselir Jerman melalui pemilu yang sah. Siapa sangka kemudian hari menjadi manusia paling bejat abad ke-20?

Sosok Simbolis

Dengan segala instrumen yang dimiliki untuk memperkuat praktik demokrasi, seharusnya posisi SBY semakin aktif dan progresif sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan bapak seluruh rakyat. Yang diperlukan saat ini adalah refleks kekuasaan yang cepat merespons ketimpangan sistem, kesenjangan ekonomi, dan diskriminasi sosial-budaya yang membangkrutkan demokrasi. Demokrasi harus menjadi nilai dan etika presiden dalam menjalankan fungsi eksekutorialnya.

Citra baik SBY bukan karena dia dianggap korban dari pemerintahan sebelumnya, gagah, pintar mencipta lagu, tapi komitmennya untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu.Itu perlu ditambah,dari satu kabinet pemerintahan ke kabinet pemerintahan selanjutnya. DialamyangdemokratisiniSBY harus menjamin democratic dividend seperti ruang publik yang semakin terbuka, penghormatan pada warga yang aktif (active citizen), peminggiran keangkuhan mayoritas, dan pembatasan instrumen kuasa yang dimilikinya agar terhindar dari jebakan oligarkisme. Dan semuanya harus tersimbolkan pada perilaku responsif, cerdas, berani, lugas,dan humanis.

Demokrasi adalah jalan untuk mengetahui kehendak publik (res-public) dengan baik dan itu hanya akan terjadi jika ada sikap timbal-balik yang ditunjukkan melalui respons pemimpin atas keluhan warganya.Tidak perlu menunggumesinbirokrasibekerja. Ketika Presiden menemukan sendiri kasus dan ia bisa menyelesaikannya tanpa harus mengikuti proseduralbirokrasi, mengapa tidak? Itulah sebabnya kita masih memerlukan presiden manusia, bukan robot yang refleksnya tidak humanis. So, bertindak cepatlah untuk kebaikan dan keadilan Pak SBY. Jangan lagi ragu-ragu atau pikir dua kali!(*)

Teuku Kemal Fasya
Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/344129/
Share this article :

0 komentar: