Politik Uang, Siapa Salah?
POLITIK uang paling diminati rakyat. Begitu hasil survei yang dilakukan oleh Universitas Paramadina dan Pride Indonesia. Kendati membuat kita mengelus dada, hasil itu sejatinya tidaklah mengejutkan.
Dikatakan mengelus dada karena hasil itu memprihatinkan untuk masa depan demokrasi negeri ini. Kita tidak dapat membayangkan dampaknya bila rakyat lantas menerjemahkan pilkada atau pemilu lain sebagai politik bagi-bagi uang. Apalagi itu bukan hal yang tidak mungkin ketika politik uang menjadi kultur. Sama halnya dengan ketika korupsi menjadi kultur, korupsi hal biasa. Mereka yang tidak korup justru dianggap aneh.
Di sisi lain, hasil survei itu bukan hal yang membuat kita terkejut. Artinya, politik uang tersebut sudah merupakan hal yang biasa dalam pemilu. Setiap ada pemilihan, entah itu pemilihan legislatif, pemilihan presiden, pemilihan gubernur, pemilihan bupati/wali kota, hingga pemilihan kepala desa, isu money politics selalu mengemuka. Bahkan, pemilihan ketua organisasi profesi atau pemilihan pimpinan ormas sekalipun tidak pernah steril dari isu tersebut. Apalagi pemilihan ketua umum partai politik, bau politik uang begitu menyengat.
Hampir semua sengketa pilkada yang masuk ke Mahkamah Konstitusi mempersoalkan praktik politik uang. Mereka yang bersengketa selalu sama-sama mempunyai bukti bahwa lawan politik mereka telah melakukan praktik yang dilarang oleh aturan pilkada. Tidak jarang, panwas pilkada mengambil kesimpulan semua kontestan pemilu terlibat praktik bagi-bagi uang saat merayu pemilih. Bentuk politik uangnya pun beragam. Ada yang berbentuk uang cash (tunai), ada juga yang dibungkus dengan bentuk lain seperti sembako atau sandang.
Dalam survei Universitas Paramadina dan Pride Indonesia yang diberitakan Jawa Pos kemarin itu, politik uang menempati 14,9 persen. Artinya, 14,9 responden bersedia memilih calon tertentu bila calon tersebut memberi mereka uang. Peminat politik uang itu menempati peringkat teratas.
Responden yang mementingkan visi dan misi calon hanya 5,9 persen. Responden yang lebih mengutamakan pemimpin jujur jauh lebih rendah lagi, hanya 4,3 persen.
Bila mengacu hasil survei itu, pilkada akan selalu dimenangkan oleh calon tajir atau calon yang didukung oleh kelompok/individu yang mempunyai dana besar. Pilkada akan menjadi arena bagi mereka yang bermodal. Peluang untuk mempunyai pemimpin yang jujur, amanah, atau merakyat akan semakin kecil.
Kita harus prihatin pada kondisi itu. Alasannya, pertama, praktik politik uang dalam pilkada mempunyai korelasi yang kuat dengan korupsi. Pemimpin yang terpilih dengan biaya tinggi tentu akan mencari pintu untuk mengembalikan modal yang telah dia keluarkan. Dari mana dana untuk membuat modal pilkada menjadi impas? Di situlah akan lahir berbagai ide kreatif kepala daerah terpilih dalam mencari modus korupsi.
Terhadap kondisi seperti itu, siapa yang disalahkan? Bisakah menyalahkan rakyat yang "doyan" politik uang? Tentu tidak bisa karena masih banyak rakyat yang terjebak dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Yang harus bertanggung jawab adalah para pelaku politik itu. Terutama pengurus partai politik.
Salah satu tugas pengurus partai politik adalah melakukan pendidikan politik. Maksudnya, mendidik rakyat agar melek politik. Parpol harus mengajar rakyat tentang sikap baik memilih pemimpin. Rakyat harus diajar agar tidak silau dengan taburan uang.
Tetapi, harapan menciptakan rakyat melek politik itu masih jauh. Sebab, sebagian besar pengurus partai politik tidak memiliki kapasitas mengajarkan itu. Kemampuan mereka ya hanya membagi-bagi uang itu. (*)
http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=149863
Rabu, 11 Agustus 2010 ]
Survei Pilkada Politik Uang Paling Diminati Rakyat
Hasil Survei Pilkada
JAKARTA - Politik uang selalu marak pada setiap pilkada. Apakah itu mengganggu publik? Survei ternyata menunjukkan sebaliknya. Hasil survei yang dilakukan Universitas Paramadina bersama Pride Indonesia menunjukkan bahwa persentase keinginan warga yang paling tinggi adalah agar pasangan calon memberikan uang kepada mereka.
Dalam survei yang mengambil sampel pilkada di Kabupaten Mojokerto tersebut, 14,9 persen warga berharap peserta pilkada itu memberikan uang jika ingin dipilih. "Ini adalah angka yang mengkhawatirkan," kata Abd Rohim Ghazali, peneliti senior Pride, dalam keterangan pers di Gedung Energy, Jakarta, kemarin (10/8).
Warga yang menginginkan calon memberikan sembako mencapai 10,6 persen. Sedangkan warga yang berharap sang calon memberikan modal usaha sebanyak 5,3 persen. Survei tersebut dilakukan 20-25 Mei 2010 dengan melibatkan 400 responden di 18 kecamatan di wilayah Mojokerto.
Menurut Ghazali, hasil survei itu menunjukkan dengan jelas bahwa praktik politik uang bukan hanya direstui, tapi juga diminati masyarakat. Sementara itu, jawaban pertanyaan terkait dengan penegakan idealisme demokrasi oleh pasangan calon sangat rendah. "Jawaban seperti menepati janji, merakyat, memiliki visi-misi, dan jujur kurang diminati publik," papar Ghazali.
Jika data itu tidak cukup, jawaban responden terhadap pertanyaan yang ditujukan ke parpol ternyata juga seragam. Jika parpol ingin dipilih (dalam pemilu legislatif), 11,5 persen responden berharap parpol tersebut memberikan uang. Sebanyak 9,3 persen responden meminta parpol memberikan sembako. Lagi-lagi, persentase jawaban responden yang ingin diberi uang adalah tertinggi jika dibandingkan dengan jawaban lain.
Ghazali menyatakan, hasil itu tentu memprihatinkan. Pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga antikorupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata belum menunjukkan hasil. Keberhasilan KPK dalam memberantas korupsi hanya bersifat preventif atau pencegahan. "Itu pun kalau ada," kata Ghazali.
Ketua Yayasan Paramadina Didik J. Rachbini menambahkan, praktik politik uang itu bisa terjadi antarpribadi maupun secara kolektif. Namun, pada perkembangan saat ini, politik uang telah bermetamorfosis dalam berbagai bentuk. Seperti jalan, jembatan, sekolah, sembako, obat-obatan, bahkan rumah ibadah. "Politik uang yang sudah bermetamorfosis sulit dibuktikan," kata Didik. Itu bisa sebagai dalih wujud bakti sosial pasangan calon kepada warga.
Didik menyatakan, jawaban warga Mojokerto dalam survei tersebut memang tidak bisa dianggap sebagai representasi seluruh warga Indonesia. Namun, hasil survei itu relevan dengan data bahwa pilkada adalah salah satu penyebab praktik korupsi di Indonesia. "Belum lagi ditambah dengan efek kerusuhan sosial yang juga terjadi di pilkada," kata mantan ketua DPP PAN tersebut. Pilkada Mojokerto tercatat sebagai pilkada yang rusuh. Pada 21 Mei lalu, terjadi kerusuhan dengan perusakan fasilitas daerah oleh mereka yang tak bertanggung jawab.
Berdasar hasil pantauan ICW, sebagaimana disampaikan juga dalam survei itu, setidaknya ada lima incumbent yang sudah menjadi tersangka korupsi, namun mereka masih terpilih kembali pada pilkada periode berikutnya. Mereka adalah Bupati Rembang Mochamad Salim, Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko, Bupati Lampung Timur Sartono, Wabup Bangka Selatan Jamro H. Jalil, dan Gubernur Bengkulu Agusrin M. Najamudin.
Apa yang disimpulkan dalam hasil survei itu? Ghazali menambahkan, perlu adanya perubahan aturan dalam tata cara pilkada. Usul agar pilkada dikembalikan ke pola lama, yakni dipilih langsung oleh DPR, bisa dipertimbangkan. Namun, usul agar ada revisi mengenai mekanisme pilkada dalam UU Pemda adalah wacana yang lebih baik. "Persyaratan dan sanksi harus diperketat, perlu juga diatur batasan dana kampanye." (bay/c3/tof)
http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=149827
Politik Uang, Siapa Salah?
Written By gusdurian on Kamis, 12 Agustus 2010 | 12.56
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar