BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Moh. Mahfud M.D.: Politik Pilkada vs. Money Politic

Moh. Mahfud M.D.: Politik Pilkada vs. Money Politic

Written By gusdurian on Kamis, 12 Agustus 2010 | 12.21

Moh. Mahfud M.D.: Politik Pilkada
KETIKA dulu pada 2003 muncul gagasan agar pemilihan umum kepala daerah (pilkada) dilakukan secara langsung oleh rakyat, saya sangat mendukung. Alasannya, pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD ditengarai sangat koruptif, kolutif, dan manipulatif. Pada saat itu, ditengarai banyak kepala daerah yang tiba-tiba muncul dan terpilih hanya karena kedekatan tertentu dengan pimpinan parpol atau bahkan karena mempunyai uang untuk membeli suara sejumlah anggota DPRD.

Banyak orang baik-baik, kapabel, dan berintegritas yang tak bisa terpilih menjadi kepala daerah hanya karena tak punya hubungan dengan pimpinan parpol serta tak punya uang dan tak mau membeli suara para anggota DPRD. Calon yang hanya bermodal uang dan berkolusi politik dengan pimpinan parpol bahkan bisa menempuh cara kotor dengan mengarantina sejumlah anggota DPRD beberapa hari sebelum pemilihan. Mereka dikarantina agar tidak berhubungan dengan orang lain yang bisa membayar lebih mahal dan dapat mengubah pilihan melalui transaksi. Pada saat pemilihan, mereka diantar ke gedung DPRD dan diharuskan menulis kode-kode tertentu pada kertas pilihannya agar tidak memilih selain orang yang telah membayarnya. Pernah juga diberitakan, seorang calon kepala daerah dan sejumlah anggota DPRD melakukan transaksi tersebut secara terang-terangan di lobi sebuah hotel, tanpa risi atau malu sedikit pun. Itu sungguh merusak moralitas politik dan mencederai demokrasi yang hendak kita bangun.

Karena itulah, pemilihan langsung oleh rakyat di daerah pada saat itu dianggap sebagai politik hukum yang tepat. Maksudnya, biarlah rakyat menentukan sendiri pemimpin daerahnya tanpa melalui agen atau calo-calo di DPRD. Lahirlah UU No 32 Tahun 2004 yang memberlakukan pilkada secara langsung.

Tetapi, kenyataannya sungguh mengagetkan. Ternyata, terjadi pukulan balik yang lebih dahsyat terhadap pembangunan demokrasi kita. Setelah pilkada dilakukan secara langsung, keadaan bukan menjadi lebih baik. Kepala daerah yang dilahirkan juga tidak lebih baik. Bahkan, ada yang lebih jelek. Virus kerusakan menjadi lebih masif karena tidak lagi terbatas pada anggota DPRD dan si calon. Biaya uang, sosial, dan politiknya menjadi jauh lebih mahal karena rakyat bukan hanya dilibatkan untuk memilih langsung, melainkan juga dilibatkan untuk melakukan transaksi kolutif yang juga langsung.

Bukan rahasia lagi bahwa untuk menjadi calon melalui parpol, si peminat harus membayar mahar yang sangat mahal. Setelah resmi menjadi calon pun, mereka masih diperas lagi untuk biaya kampanye atau sosialisasi yang dibungkus dengan berbagai program bakti sosial. Biayanya menjadi puluhan kali lipat jika dibandingkan dengan seandainya seseorang harus membayar sejumlah anggota DPRD. Jangan heran, kemudian ada berita tentang orang yang stres berat, menjadi gila atau bunuh diri, setelah ikut berlaga dalam pilkada.

Selain menyeret rakyat ke arena politik transaksional yang tidak sehat, berdasar pengaduan-pengaduan yang bisa dilihat secara jelas pada sidang-sidang terbuka di MK, kecurangan yang terstruktur kerap terjadi. Ada laporan penggunaan institusi pemerintah dan dana negara untuk meraih kemenangan dengan berbagai rekayasa. Bahkan, dalam beberapa kasus, ada penyelenggara pemilu yang dilaporkan bermain mata dengan pasangan calon tertentu. Misalnya, ada yang tidak diloloskan secara tidak fair untuk menjadi calon karena berpotensi mengalahkan calon tertentu. Ada juga calon yang tidak memenuhi syarat, tetapi diloloskan secara ajaib untuk memecah suara calon tertentu yang dianggap kuat.

Rakyat pemilih bukan hanya dididik untuk menerima uang agar memilih calon tertentu, tetapi juga ada yang ditekan dan diteror karena sudah mempunyai pilihan yang dijagokannya. Bukan hanya itu, banyak terjadi konflik keluarga atau warga yang tidak bisa sembuh sampai lama setelah pilkada selesai. Di satu daerah, ada pasangan suami istri pejabat yang bercerai dan menjadi musuh antarkeluarga karena sang suami mendukung saudaranya sendiri, sedangkan si istri mendukung saudaranya sendiri. Konon, perpecahan antarjamaah tertentu yang timbul setelah pilkada di Jawa Timur hingga sekarang masih terasa karena banyak yang belum sembuh. Kita pun sering melihat dengan ngeri keberingasan massa karena pilkada langsung.

Nah, ketika muncul gagasan agar pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, saya termasuk yang tertarik. Berdasar pengalaman, pemilihan oleh DPRD memang merusak. Tetapi, daya rusaknya terbatas pada puluhan orang anggota DPRD dan oknum tertentu. Itu pun masih ada yang bersih dan bisa diminimalisasi melalui pengawasan yang ketat oleh hukum, pers, dan LSM. Sedangkan, kerusakan yang ditimbulkan oleh pilkada langsung seperti sekarang sudah bersifat masif, mengancam moralitas politik, demokrasi, dan harmoni dalam masyarakat kita.

Jadi, tak ada salahnya kita mengkaji ulang politik hukum pemilihan kepala daerah yang telah kita pilih. Tidaklah terlalu salah juga kalau politik hukum pemilihan kepala daerah selalu kita perbaiki melalui proses eksperimen yang tak cepat selesai atau melalui trial and error. Pencarian yang seperti itu tak salah, apalagi pada era transisi seperti sekarang. (*)

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=149498
Share this article :

0 komentar: