BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Rencana Aksi Muslim untuk Perubahan Iklim

Written By gusdurian on Rabu, 05 Agustus 2009 | 10.13

Rencana Aksi Muslim untuk Perubahan Iklim

*Fachruddin M. Mangunjaya*
PENCINTA LINGKUNGAN

Fenomena perubahan iklim memang menjadi kepedulian semua pihak tidak
terkecuali para pemimpin agama. Kita semua telah tahu, keburukan yang
terjadi sehingga bumi menjadi tidak seimbang dan perubahan yang ada di
alam dapat mengakibatkan bencana adalah akibat perilaku manusia. Jadi
untuk mengelola bumi yang sehat dan lebih baik ke depan diperlukan
perubahan perilaku manusia dalam mengelola, mengayomi, dan melindungi
bumi dari kerusakan.

Pada 6-7 Juli lalu, di Istanbul, Turki, telah diadakan Konferensi Islam
dan Lingkungan. Acara itu dilengkapi respons negara-negara muslim dengan
deklarasi rencana Aksi Muslim untuk Perubahan Iklim Global Selama Tujuh
Tahun (Moslem Seven Year Action Plan to Deal with Global Climate Change).

Mereka yang hadir dalam konferensi ini dari berbagai kalangan. Misalnya
para akademisi, aktivis lingkungan, ahli syariah Islam, perwakilan
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan media muslim dari
negara-negara muslim, seperti Kuwait, Uni Emirat, Qatar, Bahrain, Arab
Saudi, Maroko, Malaysia, Aljazair, Tunisia, India, Indonesia, Mesir,
Senegal, dan Turki. Selain itu, jaringan pimpinan muslim Eropa, Amerika,
serta ulama terkemuka dan mufti, seperti Dr Ali Juma'a (Mufti Agung
Mesir), Dr Ekrema Sabri (Mufti Palestina), Dr Salman Alouda (ulama Arab
Saudi), Ali Mohamad Hussein Fadlallah (ulama Syiah Libanon), termasuk
juga ulama terkemuka Dr Yusuf Qardhawi, yang menyampaikan makalahnya
tentang Islam dan penataan lingkungan.

Agama menjadi salah satu faktor yang dapat mengubah perilaku manusia
dalam bersikap dan memberikan penghargaan terhadap lingkungan. Selain
itu, faktor yang lain yang dianggap dapat mempengaruhi perilaku adalah
pendidikan, kekuatan hukum (/law enforcement/), dan kekuatan pasar.

Negara-negara muslim termasuk negara yang harus siaga terhadap perubahan
iklim dan kini tengah merasakan perubahan tersebut. Kawasan yang paling
banyak terkena dampak tentunya negara-negara kepulauan, seperti
Indonesia, Bangladesh, dan negara sub-Sahara di Afrika. Beberapa negara
di Afrika tengah mengalami dampak perubahan iklim karena panjangnya
waktu kekeringan, sehingga mengakibatkan kelangkaan air dan peperangan
karena perebutan sumber-sumber air, seperti yang terjadi di Sudan dan
Somalia.

Dalam tahun terakhir ini saja ada 25 juta penduduk di sub-Sahara Afrika
telah mengalami krisis pangan. Adanya pemanasan global ini artinya akan
lebih banyak lagi kawasan kering semakin tandus dan semakin memburuk.
Pemanasan global bermakna kawasan yang kering akan bertambah kering dan
kawasan yang basah akan semakin bertambah kuyup. Pada November 2007,
terjadi banjir di Somalia, Kenya, dan Ethiopia, yang menghanyutkan 1,8
juta orang.

Menghadapi perubahan iklim, diperlukan aksi nyata yang harus dilakukan
dengan berbagai pendekatan, termasuk dalam pendekatan Islam. Islam telah
mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi yang diberi
amanah untuk merawat dan memelihara bumi. Di dalam al-Quran disebutkan
bahwa Allah menata matahari dan bulan yang beredar menurut perhitungan.
Tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan tunduk kepada-Nya dan Allah
meninggikan langit dan Dia meletakkannya secara seimbang (QS 55: 4-7)
dan Dia menciptakan sesuatu menurut ukuran (QS 54:49). Karena itu,
manusia (yang beriman) diperintahkan selalu memohon doa dengan rendah
hati dan rasa takut dan tidak membuat kerusakan di bumi (QS 7:55-56).

*Green Hajj*
Rencana Aksi Muslim untuk Perubahan Iklim merupakan rencana yang
terintegrasi dan bersinergi dengan aktivitas lingkungan lain, yang
tentunya dapat dilakukan di masing-masing negara muslim, khususnya
dengan penekanan pada kegiatan muslim dalam keseharian praktis. Namun,
yang paling menarik adalah ibadah haji, yang dilakukan oleh 3 juta
muslim sedunia setiap tahun.

Maka dalam rencana itu disebutkan tentang rencana menerapkan berhaji
yang ramah lingkungan (/green hajj/), dengan cara mendorong agar
pelaksanaan haji dapat lebih efisien, baik dalam penyelenggaraan,
penghematan bahan bakar, maupun penataan kemasan yang dibawa jemaah
haji. Di segi lain, /green hajj/ juga dapat dikembangkan pada upaya
standar Islami atau kodifikasi pemanfaatan energi secara efisien (rendah
karbon).

Hal lain yang mungkin juga dikembangkan di dunia muslim adalah
pengembangan model kota-kota besar muslim sebagai kota yang ramah
lingkungan (/green cities/) sebagai model bagi kawasan urban Islam yang
lain. Selain itu, pengembangan label untuk standar barang yang ramah
lingkungan dengan standar Islam dan penerapan praktis dengan membuat
pedoman ramah lingkungan untuk bisnis yang berasaskan syariat Islam.

Pendidikan Islam, baik formal maupun nonformal, seperti madrasah dan
masjid, dapat menjadi sarana yang sangat baik untuk memberikan bekal
penyadaran serta aksi terhadap perubahan iklim. Tentu saja para aktivis
masjid, madrasah, dan ustad perlu diberikan pelatihan dan pengaderan
untuk memahami soal perubahan iklim serta jenis aksi yang dapat dilakukan.

Pendanaan merupakan hal yang sangat penting untuk diletakkan. Rencana
aksi ini juga memasukkan rencana pendirian yayasan wakaf dan penunjukan
dewan pengawas (/board of trust/) untuk implementasi rencana aksi ini.
Sedang dicari jalan untuk pendiriannya dan imbauan untuk memberikan
pendanaan. Untuk keperluan jangka panjang, studi Islam dan ekologi akan
diperkuat. Dalam matriks rencana aksi disebutkan target-target untuk
membiayai mahasiswa dunia muslim untuk memperdalam bidang studi Islam
dan perubahan iklim, termasuk studi ekologi yang luas diangkat dalam
perspektif Islam.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/04/Opini/krn.20090804.172888.id.html

Rahasia Negara dan Kepentingan Asing

Rahasia Negara dan Kepentingan Asing



Oleh *Agus Sudibyo*

Desember 2004, surat kabar The Guardian di Inggris melaporkan proyek
pembelian 100 unit tank Scorpion oleh Pemerintah Indonesia kepada
perusahaan senjata Alvis Vehicle Limited tahun 1994-1996.

Dalam laporan ini diungkapkan, ada seseorang yang berperan besar dalam
memuluskan alokasi APBN untuk proyek itu menerima ”insentif” 16,5 juta
poundsterling dari Alvis Vehicle Limited. Pemerintah Indonesia juga
cedera janji karena tank Scorpion sebenarnya tidak boleh digunakan dalam
konflik bersenjata, seperti terjadi pada konflik Timor Timur dan Aceh.

Skandal pembelian tank Scorpion memantik kontroversi di Tanah Air.
Laporan The Guardian diulas lebih jauh oleh media-media nasional. Namun,
peristiwa seperti ini akan sulit terulang jika Rancangan Undang-Undang
Rahasia Negara yang sedang dalam pembahasan disahkan tanpa perubahan
signifikan.

Dalam RUU ini (Pasal 6) disebutkan, rahasia negara mencakup informasi,
”rencana alokasi dan laporan pembelanjaan yang berkaitan dengan misi dan
tugas nyata pertahanan... dan informasi berkaitan dengan impor dan
ekspor persenjataan, teknologi perang dan amunisi untuk penggunaan
(perbekalan) TNI”.

Dengan demikian, informasi tentang impor tank Scorpion adalah rahasia
negara. Mengutip The Guardian adalah tindakan ilegal. Media yang
melakukan akan didakwa melakukan pidana pembocoran rahasia negara dengan
hukuman minimal lima tahun kurungan penjara.

Aneh tapi nyata, sesuatu yang bersifat transparan bagi publik luar
negeri bersifat tertutup untuk publik dalam negeri. Orang asing bisa
leluasa mengetahui skandal suap dalam kasus Scorpion, sementara publik
negeri sendiri dilarang bahkan dikriminalkan jika mengetahui hal itu.

*Membatasi akses*

Kasus lain. Surat kabar Sydney Morning Herald, 14 Maret 2002, melaporkan
keterlibatan intelijen Australia-AS dalam kasus lepasnya Timor Timur.
Diceritakan pada tahun 1999, dengan fasilitas militer canggih, Australia
menyadap komunikasi seluler Jakarta- Dili. Jika RUU Rahasia Negara
disahkan tanpa perbaikan berarti, bisa jadi tak ada media nasional
berani mengutip laporan Sydney Morning Herald itu.

Dengan formula yang ada sejauh ini, UU Rahasia Negara akan efektif untuk
membatasi akses pers nasional terhadap isu-isu strategis pertahanan,
tetapi tidak efektif mereduksi kemungkinan pers asing memberitakan
isu-isu tersebut. UU Rahasia Negara hanya akan efektif untuk membatasi
akses publik atas aneka informasi pemerintahan, tetapi tidak cukup
efektif mengatasi problem difusi informasi, penyadapan, dan operasi
mata-mata pihak asing.

Jelas, merujuk laporan Sydney Morning Herald, difusi informasi terutama
bukan karena masalah lemahnya regulasi, tetapi karena kecanggihan
teknologi pihak asing dalam membobol sistem informasi kita.

Persoalannya lebih karena keterbatasan teknologi dan SDM kita untuk
mengatasi difusi informasi. Atau jangan-jangan di zaman serba teknologi
ini, difusi informasi menjadi keniscayaan tiap negara! Namun, RUU
Rahasia Negara tidak menawarkan formula apa-apa untuk mengatasi masalah
ini. Fokus utama RUU Rahasia Negara adalah pembatasan hak publik untuk
mengakses aneka informasi pemerintahan. Lalu siapa yang benar-benar
mengancam sistem kerahasiaan negara, operasi intelijen asing atau warga
negara biasa dengan hak-hak atas informasinya?

*Menghambat akses publik*

RUU Rahasia Negara cenderung mengatur hal-hal yang tidak membutuhkan
pengaturan. Klasifikasi rahasia negara terhadap ”informasi impor dan
ekspor persenjataan dan, teknologi perang dan amunisi untuk penggunaan
(perbekalan) TNI” misalnya, tidak akan efektif karena UN Register of
Conventional Arm and UN Standarized of Reporting on Military Expenditure
mewajibkan transparansi transfer senjata konvensional antarnegara.

Sebagai anggota PBB, Indonesia juga terikut Guidelines for International
Arms Transfer—dikeluarkan Disarmament Commision Mei 1996—yang juga
mewajibkan pelaporan transaksi transfer senjata antarnegara. Maka,
sekali lagi UU Rahasia Negara akan membuat kita ”buka-bukaan” di hadapan
pihak asing, tetapi penuh kerahasiaan di hadapan publik sendiri.

Dalam konteks ketahanan ekonomi nasional, juga hendak dirahasiakan
”dokumen negosiasi dalam persetujuan finansial... rencana, proyeksi,
atau informasi yang berkaitan dengan perdagangan imbal balik
perlengkapan khusus, teknologi khusus dengan negara lain” (Pasal 6).

Tanpa rincian jelas, klausul ini akan menghambat akses publik atas
informasi tentang sumber daya alam dan tata kelolanya. Bangsa sendiri
tidak akan tahu seberapa berharga kekayaan alam yang terkandung dalam
perut bumi pertiwi, sementara pihak asing dapat mengetahuinya lewat
pengindraan satelit.

Ketertutupan informasi tentang kekayaan alam hanya menguntungkan para
pemodal besar yang dekat dengan kekuasaan, serta akan melahirkan kontrak
karya dengan pihak asing yang justru merugikan kepentingan ekonomi
nasional seperti terjadi pada Blok Tangguh, Freeport, dan lain-lain.

Jika demikian, kepentingan apa yang hendak dilindungi jika formula RUU
Rahasia Negara justru lebih favourable bagi kepentingan asing?

*Agus Sudibyo* /Aliansi Masyarakat Menentang Rezim Kerahasiaan
/

/http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/05/0333106/rahasia.negara.dan.kepentingan.asing
/

Hanya Kenal Minuman Kopi

Hanya Kenal Minuman Kopi

PENYEBAB meninggalnya penyanyi nyentrik Mbah Surip diduga karena
serangan jantung. Gaya hidup Mbah Surip memang rawan serangan jantung.

Satu-satunya minuman yang dia kenal adalah kopi! Urip Akhmad Riyanto,
52, alias Mbah Surip meninggal dalam perjalanan ke RS Pusat Pendidikan
Kesehatan (Pusdikkes), Kramat Jati, Jakarta Timur.Tiba sekitar pukul
10.30 WIB jenazah Urip sudah tidak bernyawa lagi. Menurut dokter umum RS
Pusdikkes, Satyaningtyas, perkiraan kematian pria yang disapa Mbah Surip
ini sekitar 15–30 menit sebelum diperiksa tim dokter.“Dari hasil
pemeriksaan luar, pupil sudah melebar, jantung tidak berdetak, tiupan
napas tidak ada, termasuk denyut nadi,”ungkapnya.

Tim dokter menduga kematiannya disebabkan serangan jantung, tapi untuk
memastikannya perlu pemeriksaan dalam (autopsi) dan laboratorium.“Namun
pihak keluarga tidak menginginkannya,” lanjut Satyaningtyas. Menurut
pihak keluarga dan kerabat, Mbah Surip sebelumnya pernah mengeluhkan
kondisinya yang kelelahan. Selain diare, dia mengeluhkan sesak napas dan
sakit di dadanya.

Tetangga sekitar kontrakannya seluas 3 x 10 meter di Jalan SMA
64,Cipayung,Jakarta Timur, hafal betul kebiasaan Mbah Surip yang tidak
lepas dari kopi dan rokok.“Kopinya selalu kental dan rokoknya tidak
pernah bisa lepas setiap hari,”ungkap Acong,37,pemilik kontrakan. Dia
bersama anak angkatnya tinggal di rumah petak tiga sejak 2003 dan setiap
bulannya membayar Rp300.000.

Popularitas tidak mengubah gaya hidup Mbah Surip. Bedanya kini jadwal
tidurnya sehari hanya tiga jam. Malam sebelum kematiannya, dia diketahui
tidur dengan memeluk guling di atas kasur tebal. Mengenai kebiasaan
minum kopi,putra keduanya,Farid,punya cerita lain.Satu-satunya minuman
yang dikonsumsi oleh Mbah Surip memang hanya kopi. Untuk kopi dan rokok,
Mbah Surip bisa mengonsumsi dalam jumlah yang sangat banyak dalam
sehari.“Bisa sampai 10 gelas kopi,”kenangnya.

Farid menduga penyebab kematian ayahnya adalah sesak napas yang beberapa
hari lalu kambuh. Pemicunya, pada 1 Agustus lalu Mbah Surip minum es.
Padahal, bapaknya sebelum itu tidak pernah minum air es sama sekali.
“Sesak napasnya kambuh sejak 1 Agustus lalu. Gara-garanya minum
es,”ungkap Farid. Sepengetahuan Farid, Mbah Surip sama sekali tidak
pernah meminum es,bahkan minum air putih saja dia tidak mau.Alasannya
pasti, jika minum air es sesak napas Mbah Surip kambuh. “Saya tidak tahu
kenapa bisa kecolongan,”sesalnya.

Dokter Spesialis Penyakit Dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Ary Fahrialsyam mengatakan gaya hidup yang tidak sehat berhubungan erat
dengan naiknya risiko serangan jantung. Gaya hidup tidak sehat tersebut
di antaranya istirahat yang tidak teratur yang dikombinasikan dengan
konsumsi kopi yang berlebihan. Mengonsumsi kopi berlebihan akan menambah
beban kerja jantung. “Minum kopi di atas tiga gelas sehari dapat
dikategorikan sudah berlebihan.Kafeinnya menyebabkan denyut jantung
meningkat sekaligus memperberat kerja jantung.

Belum lagi jika ditambah minuman suplemen,”ujarnya. Risiko serangan
jantung pun dapat semakin tinggi jika penderita juga merupakan seorang
perokok yang sangat aktif. “Jika faktor-faktor tersebut terakumulasi,
maka risiko serangan jantung pun akan semakin tinggi,” tambahnya. Dengan
penjelasan itu, Ary menduga besar kemungkinan kematian Mbah Surip
disebabkan oleh serangan jantung. (isfari hikmat/ fahri hidayat/pasti
liberti)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/260139/38/

Tiga Dosa Media dalam Liputan Bom

Tiga Dosa Media dalam Liputan Bom

*Arya Gunawan*
PEMERHATI MEDIA, MANTAN WARTAWAN /KOMPAS/ DAN /BBC/ LONDON. KINI BEKERJA
DI UNESCO JAKARTA, DAN MENJADI DOSEN TIDAK TETAP DI JURUSAN JURNALISME
FISIP UNIVERSITAS INDONESIA

Dua pekan berlalu sejak bom kembar mengguncang Hotel JW Marriott dan
Ritz-Carlton di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, namun gegap-gempita
laporan media massa terkait dengan peristiwa tersebut tampak belum
menyurut. Nyaris tak ada media berita yang absen melaporkan
perkembangannya setiap hari. Sebuah kenyataan yang wajar, mengingat
peristiwanya masih terus berkembang dan menyisakan sederet tanda tanya,
termasuk mengenai belum tersingkapnya teka-teki pelaku dan motifnya.

Di satu sisi, "kehebohan" yang berlangsung di kalangan media ini tentu
perlu disambut hangat, karena ini menunjukkan bahwa media tengah
menjalankan fungsi dan menunaikan tugas mereka sebagai penyedia
informasi bagi masyarakat. Dengan kata lain, media tengah melayani
khalayak untuk memenuhi salah satu hak asasi khalayak, yaitu hak untuk
mendapatkan informasi.

Namun, pada sisi lain muncul juga situasi yang mengundang keprihatinan
ditinjau dari sudut disiplin ilmu dan praktek jurnalisme, sebagaimana
tecermin dari judul yang dipakai untuk tulisan ini. Sebelum melangkah
lebih jauh, saya hendak menegaskan bahwa apa yang saya maksudkan dengan
"dosa" dalam konteks ini semata-mata untuk memberikan efek penguatan,
bukan diniatkan untuk menjadikan media sebagai pesakitan. Tulisan ini
juga tidak bermaksud menunjukkan secara terperinci kasus per kasus, dan
tidak pula hendak menuding secara spesifik media mana yang telah
melakukan perbuatan "dosa" tadi. Tulisan ini lebih sebagai sebuah
gambaran umum, dengan niat agar bisa dijadikan alat becermin dan mawas
diri bagi para pemilik, pengelola, dan pekerja media, untuk melakukan
langkah-langkah koreksi dan pembenahan di masa datang.

Tiga "dosa" yang dimaksudkan di sini hampir selalu menghantui dan dapat
memerangkap media jika berhadapan dengan peristiwa pengeboman seperti
yang terjadi di Mega Kuningan ini. Banyak faktor yang menjadi penyebab
munculnya perangkap tersebut, antara lain "perlombaan" mengejar
kecepatan dan eksklusivitas berita sehingga mereka tak terlalu awas lagi
terhadap nilai-nilai yang dikedepankan oleh etika jurnalisme (misalnya
saja pentingnya akurasi, juga sikap untuk selalu mengupayakan
kepatutan//decency/). Di tengah perlombaan yang dipicu oleh iklim
kompetisi sangat ketat semacam ini, yang lebih tampil adalah hal-hal
sensasional, yang bermuara pada aspek komersial, dan tersingkirkanlah
nilai-nilai ideal. Faktor lainnya adalah "kemalasan" wartawan untuk
melakukan verifikasi guna menawarkan sebuah kontra-teori atas apa yang
disampaikan oleh lembaga-lembaga resmi (dalam kasus bom Mega Kuningan,
yang mendominasi adalah versi resmi dari pihak kepolisian).

"Dosa" pertama yang dilakukan media dalam konteks laporan bom Mega
Kuningan ini adalah pengabaian terhadap asas kepatutan. Ini tampak
nyata, terutama pada media televisi, di mana gambar-gambar yang
seharusnya tidak patut ditampilkan (misalnya saja gambar yang
menunjukkan bagian-bagian tubuh yang telah terpenggal terkena bom) tetap
terpampang. Keprihatinan yang serius telah disuarakan oleh Dewan Pers
begitu tayangan tersebut muncul. Sebagian besar media kemudian
mendengarkan kritik ini, namun sebagian lainnya masih sempat berlenggang
kangkung, /business as usual/.

"Dosa" kedua, media telah menempatkan dirinya bukan lagi semata-mata
sebagai pelapor, melainkan telah bergerak terlalu jauh hingga menjadi
interogator, bahkan inkuisitor (salah satu definisi dari istilah
terakhir ini adalah /a questioner who is excessively harsh/ alias
"seorang pewawancara yang amat kasar"). Inilah yang dengan mencolok
diperlihatkan oleh sejumlah stasiun televisi saat para reporternya
melakukan wawancara terhadap sejumlah anggota keluarga atau kerabat dari
nama-nama yang diduga oleh pihak kepolisian terlibat dalam aksi
pengeboman itu. Para sanak keluarga dan kerabat ini seperti tengah
mengalami mimpi buruk: hidup yang semula barangkali aman-tenteram,
seketika terusik oleh kehadiran para juru warta yang dengan agresif
berupaya mendapatkan keterangan--apa pun bentuk keterangan itu--dari
mereka.

Media tentu boleh-boleh saja mencari informasi dari mereka, namun harus
dengan pertimbangan masak, setidaknya untuk dua hal: (a) relevansi
(misalnya, apakah seorang paman dari salah seorang yang disebut-sebut
terlibat dalam aksi itu cukup relevan untuk dijadikan narasumber,
apalagi sang paman kemudian mengaku sudah 10 tahun tak pernah lagi
berhubungan ataupun mendengar kabar mengenai keberadaan sang keponakan);
dan (b) cara mengorek informasi. Untuk butir terakhir ini, yang hadir ke
hadapan khalayak adalah kesan bahwa pihak yang diwawancarai ditempatkan
seolah-olah sebagai pesakitan. Inilah salah satu wujud nyata dari apa
yang disebut sebagai /trial by the press/, bahkan ia telah layak
digolongkan sebagai teror dalam bentuk lain.

Masih terkait dengan "dosa" nomor dua ini, perkembangannya kemudian
malah kian runyam, yakni ketika tiba-tiba pihak berwajib menyebutkan
bahwa nama-nama yang semula diduga terlibat dalam aksi pengeboman itu
ternyata keliru. Tidak tampak rasa bersalah, apalagi permintaan maaf
terbuka, dari kalangan media yang sebelumnya telah menjalankan peran
inkuisitor tadi. Padahal para sanak keluarga dan kerabat itu telah
terpapar begitu terbuka ke publik, telah menjadi buah bibir di mana-mana
dan bukan tak mungkin telah dijauhi oleh lingkungannya. /Damage has been
done/, dan seakan tak ada upaya dari pihak yang merusak untuk menata
kembali kerusakan itu.

Untuk "dosa" pertama dan kedua, obat penawarnya adalah pemahaman
terhadap nilai-nilai dan praktek penerapan etika jurnalisme. Setiap
lembaga media perlu menerbitkan pedoman internal penerapan etika
jurnalisme ini. Setiap wartawan wajib mempelajarinya dan memahami
isinya, bila perlu dengan membuat pelatihan khusus mengenai etika dengan
berbagai studi kasus yang konkret bagi setiap wartawan baru. Bila perlu,
ditambahi pula dengan kontrak kerja yang mencantumkan bahwa si pemegang
kontrak wajib mematuhi etika jurnalisme, dan bisa dikenai sanksi tegas
jika mengabaikannya. Dengan segala cara ini, nilai-nilai etika
jurnalisme menjadi terinternalisasi alias melekat pada diri setiap
wartawan, sehingga mereka tahu persis apa yang mesti dilakukan jika
diperhadapkan dengan berbagai dilema yang terkait dengan etika
jurnalisme dalam tugas mereka sehari-hari.

Adapun "dosa" nomor tiga adalah hal yang sudah lama menjadi keprihatinan
saya dan telah berulang kali pula saya suarakan, yaitu kemalasan media
untuk mencari alternatif versi cerita di luar apa yang disorongkan oleh
lembaga resmi. Untuk mendapatkan versi alternatif ini, tentu saja
diperlukan upaya ekstrakeras dari media untuk terus menggali informasi
dari berbagai sumber, untuk melakukan verifikasi tanpa bosan, untuk
tetap skeptis alias tidak menelan mentah-mentah informasi yang diterima,
termasuk--tepatnya, apalagi--yang datang dari pihak resmi. "Dosa" ketiga
ini sebetulnya terkait dengan "dosa" kedua. Jika media melakukan
pertobatan untuk sekuat tenaga menghindar dari "dosa" ketiga ini, hampir
pasti media juga akan terhindar dari "dosa" kedua. Sebab, media pasti
tidak akan terburu-buru menggeruduk sanak keluarga dari mereka yang
dituduh terlibat dalam aksi pengeboman itu, sebelum diperoleh petunjuk
sangat kuat yang mengarah pada nama-nama tersebut .

Sebetulnya, perangkap tiga "dosa" seperti ini tak perlu lagi terjadi
dalam kasus bom Mega Kuningan ini, karena bukan pertama kalinya media di
Indonesia melaporkan peristiwa pengeboman. Namun, mungkin media luput
menarik pelajaran penting dari kasus-kasus sebelumnya. Atau, kalaupun
sempat melakukan perenungan dan memetik hikmah dari kejadian terdahulu,
ia masih tinggal sebagai pelajaran, bukan sesuatu yang diterapkan pada
tataran praktis.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/05/Opini/krn.20090805.172975.id.html

Cost Recovery, Penerimaan Negara, Harapan terhadap BP Migas

Cost Recovery, Penerimaan Negara, Harapan terhadap BP Migas
Oleh Tjatur Sapto Edy Anggota Komisi VII DPR


D ALAM beberapa tahun terakhir, isu tentang cost recovery-­pengembalian
biaya kegiatan hulu migas-­menjadi sorotan yang cukup menyita perhatian
publik. Gejolak harga minyak yang terjadi dan fakta bahwa penerimaan
negara hingga saat ini masih sangat bergantung pada penerimaan migas
menjadi faktor pendorong bagi masyarakat untuk memberi perhatian lebih
terhadap isu-isu migas, utamanya menyangkut masalah cost recovery.
Bahkan dalam proses penyusunan anggaran penerimaan dan belanja negara
(APBN), cost recovery yang sebelumnya tidak mendapatkan tempat, kini
menjadi salah satu pokok bahasan utama. Yang terkini adalah adanya
permintaan Panitia Anggaran DPR kepada pemerintah untuk menurunkan cost
recovery dari US$11,05 miliar menjadi US$10 miliar.

Pemangku kebijakan migas dan pelaku industri migas pada umumnya
cenderung berkeberatan dengan permintaan tersebut. Pasalnya, dengan
ketentuan tersebut aktivitas hulu--eksplorasi dan produksi--migas dapat
terhambat dan dikhawatirkan pada gilirannya akan menyulitkan pencapaian
target produksi migas yang ditetapkan pemerintah dan DPR dalam APBN itu
sendiri. Sementara itu, permintaan DPR untuk menurunkan besaran cost
recovery tersebut juga bukan tanpa alasan. Besar kecilnya cost recovery
sangat menentukan besaran akhir penerimaan negara dari sektor migas.
Sebagaimana kita ketahui, pada pola bagi hasil yang diterapkan dalam
pengusahaan migas yang ada, pendapatan kotor (gross revenue) migas akan
dikurangi terlebih dahulu dengan cost recovery, baru kemudian sisanya
dibagi antara pemerintah dan kontraktor. Dengan demikian, semakin besar
cost recovery semakin kecil pula pendapatan migas yang akan dibagi, yang
artinya semakin kecil pula pendapatan yang akan diterima negara dari
sektor migas.

Kondisi yang ada dalam beberapa tahun terakhir adalah ketika cost
recovery terus meningkat, justru produksi dan cadangan minyak nasional
terus menurun. Terlepas dari berbagai argumentasi yang mungkin ada,
peningkatan cost recovery dalam kurun empat-lima tahun terakhir tanpa
disertai dengan peningkatan produksi dan cadangan minyak (dan bahkan
menunjukkan kecenderungan menurun yang terus-menerus), tentu tidak saja
memunculkan berbagai pertanyaan, tetapi juga kekhawatiran--karena
penerimaan negara dalam APBN masih sangat bergantung pada penerimaan
migas. Itulah yang agaknya menjadi pertimbangan utama sebagian anggota
dewan untuk meminta besaran cost recovery diturunkan.

Ketergantungan terhadap migas Ketergantungan penerimaan negara terhadap
penerimaan migas sebenarnya sudah terjadi sejak pertama kali dibukanya
keran investasi asing pada awal pemerintahan Orde Baru melalui UU No 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang diikuti UU No 11 Tahun
1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, dan berlakunya
sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract) pada 1971.
Selama periode pembangunan lima tahun (pelita) yang dilaksanakan pada
Orde Baru, rata-rata persentase penerimaan sektor migas dari periode
Pelita I hingga Pelita VI masing-masing mencapai 22,13%; 48,49%; 59,54%;
41,57%; 28,36%; dan 16,71% dari total penerimaan negara dan hibah. Dalam
lima tahun terakhir, rata-rata persentase penerimaan migas terhadap
total penerimaan negara dalam APBN kembali meningkat menjadi 30,08%.
Fluktuasi pada besaran yang tinggi ini tidak saja menunjukkan bahwa
selama lebih dari tiga dekade, penerimaan negara kita tidak saja
memiliki ketergantungan yang cukup tinggi, tetapi juga sangat sensitif
terhadap penerimaan migas.

Dengan kondisi seperti itu, dan dengan mengingat bahwa besar kecilnya
penerimaan negara dari sektor migas sangat ditentukan besar kecilnya
cost recovery, menjadi tak salah bila banyak komponen masyarakat dari
berbagai kalangan saat ini memberikan perhatian yang lebih terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan, pelaksanaan dan pengawasan cost
recovery ini.
Termasuk di dalamnya menyoroti peran dan posisi institusi yang memiliki
otoritas dalam hal tersebut, BP Migas.

Peran BP Migas Sebagai sebuah badan pemerintah yang berdasarkan UU Migas
22/2001 diberikan management right untuk kegiatan hulu migas, BP Migas
sesungguhnya adalah sebuah institusi yang memiliki peran dan posisi
sangat strategis. Dalam konteks mengawal dan mengamankan penerimaan
Negara dari sektor migas, BP Migas adalah institusi yang `bersentuhan'
langsung-­-dan oleh karenanya dapat dikatakan merupakan penanggung
jawab--terhadap efisien-tidaknya atau optimal-tidaknya hal-hal yang
berkaitan dengan pengaturan, pelaksanaan, dan pengawasan cost recovery.
Dalam konteks ini, posisi BP Migas sejatinya dapat dikatakan independen,
dalam arti bukan merupakan subordinat dari suatu departemen pemerintahan
tertentu. Dengan posisi itu harapannya adalah agar BP Migas dapat
bergerak lebih lincah dan leluasa dalam melaksanakan fungsi manajerial
terhadap kegiatan hulu migas­ -termasuk dalam pengawasan cost
recovery-­tanpa intervensi dari pihak-pihak lain. Dengan independensi
yang dimiliki itu pula, BP Migas diharapkan benar-benar mampu mengelola,
mengendalikan, mengefisienkan, dan mengawasi cost recovery agar
penerimaan negara dapat dioptimalkan.

Dalam kaitan dengan apa yang diminta Panitia Anggaran DPR saat ini
terhadap BP Migas untuk menurunkan besaran cost recovery, harus diakui
hal itu di satu sisi mencerminkan semacam ketidakpercayaan Panitia
Anggaran DPR terhadap (kinerja) BP Migas itu sendiri. Namun, di sisi
lain, sesungguhnya ada semacam harapan atau barangkali yang lebih
tepat-­tuntutan--agar BP Migas berbenah diri secara sungguh-sungguh. BP
Migas tidak hanya dituntut untuk memiliki dan menjalankan suatu sistem
yang mampu mengidentifikasi secara cermat dan efisien tentang struktur
dan komponen biaya eksplorasi dan biaya produksi dalam industri hulu
migas--sehingga dapat secara cepat dan tepat memfilter biayabiaya yang
dapat atau tidak dapat dimasukkan sebagai cost recovery, tetapi juga
dituntut untuk memiliki sumber daya manusia yang andal yang benar-benar
memahami dan mampu melaksanakan fungsi tersebut. Dengan demikian, dalam
perwujudannya, BP Migas tidak hanya berperan sebagai `pemberi stempel'
terhadap cost recovery yang diajukan kontraktor, namun dapat menjadi
pengawas dan pengendali yang sebenarnya. Jika itu dapat terwujud, pada
gilirannya bukan hanya negara yang memetik manfaat dari penerimaan
negara yang lebih optimal, melainkan juga semua stakeholders yang
terkait-­termasuk kontraktor migas-­dengan terciptanya industri migas
yang efisien dan kompetitif.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/08/05/ArticleHtmls/05_08_2009_011_001.shtml?Mode=0

Kebijakan Pembatasan Pemakaian Kendaraan

Kebijakan Pembatasan Pemakaian Kendaraan
Oleh MP Imamsoedjana Asdep Urusan Analisis Kebijakan Publik Iptek Deputi
Bidang Dinamika Masyarakat Kementerian Negara Riset dan Teknologi


KENDARAAN di Jakarta akan sulit bergerak alias macet pada 2014.
Pernyataan itu disampaikan Gubernur DKI pada akhir 2007. Pernyataan itu
didukung alasan klasik, yaitu tidak seimbangnya jumlah kendaraan dan
panjang jalan di DKI Ja karta yang membuat wilayah Ibu Kota akan menjadi
neraka bagi pemilik kendaraan. Saat ini, jumlah kendaraan di DKI Jakarta
mencapai 5,8 juta unit dengan pertumbuhan 9% per tahun dalam lima tahun
terakhir. Sementara itu, ken daraan yang masuk ke Jakarta per harinya
men capai 700 ribu unit. Sayangnya, pertumbuhan kendaraan itu tidak
diimbangi penyediaan atau penambahan infrastruktur jalan yang pertumbu
hannya sangat lambat. Panjang jalan di Jakarta hanya 7.650 km dengan
luas jalan 40,1 km2 atau 6,2% dari luas DKI Jakarta.

Pada sisi lain, dinyatakan bahwa jumlah ang kutan umum hanya 2% dan
harus mampu me layani 56% perjalanan atau 9,6 juta penjalanan per hari.
Sementara itu, kendaraan pribadi yang tingkat perjalanannya 44%
dilakukan kendaraan bermotor yang jumlahnya 98%. Berdasarkan kondisi
itu, ancaman kemacetan total di Jakarta diperkirakan akan terjadi pada
2014. Oleh kare na itu, tidak mengherankan bila Gubernur DKI dan Menteri
Pekerjaan Umum pernah menyam paikan kesimpulan rapat tentang
transportasi yang dipimpin langsung Wapres Jusuf Kalla di Kantor Wapres,
Rabu 12 Desember 2007, antara lain: penegasan aturan pembatasan
penggunaan kendaraan pribadi mutlak dilakukan guna menghindari kebuntuan
persoalan kemacetan di Jakarta. Lebih lanjut Gubernur menambahkan: jika
tidak dilakukan serangkaian langkah ter asi.

masuk pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, Jakarta akan macet total
pada 2011, bu. kan 2014 seperti perkiraan sebelumnya. Itu karena
penambahan jumlah kendaraan pribadi bukan lagi luar biasa, melainkan
pertambahan kendaraan pribadi yang eksplosif.

Pembatasan kendaraan bermotor Dominasi kendaraan pribadi yang lalu
lalang di jalan harus dikendalikan. Tidak mengherankan apabila salah
satu penyebab kemacetan adalah volume kendaraan pribadi yang melebihi
ambang batas daya dukung jalan. Dominasi itu pun merupakan wujud dari
ketidaktersediaan angkutan umum yang memadai, angkutan umum yang belum
mampu mengakomodasi para pengguna jalan. Padahal dominasi kendaraan
pribadi mempunyai fungsi yang sangat rendah dalam mengangkut pengguna
jalan. Oleh karena fungsi kendaraan pribadi yang sangat rendah daya
angkutnya jika dibandingkan dengan kendaraan umum, sudah selayaknya
pemerintah daerah mampu menciptakan keseimbangan kendaraan yang mampu
mengangkut orang dalam melakukan perjalanan. Upaya pembatasan merupakan
salah satu langkah yang paling mudah diucapkan atau ditulis, tetapi
sulit untuk dilaksanakan. Karena upaya pembatasan penggunaan kendaraan
pribadi akan menuai berbagai kendala di lapangan. Salah satunya adalah
pengekangan penggunaan kendaraan pribadi yang melekat dengan hak
kepemilikan kendaraan. Wajar apabila pemilik kendaraan mempunyai hak
dalam memanfaatkan sarana dan prasarana jalan yang ada.

Upaya pembatasan bisa dilakukan dengan tidak mengurangi hak pemilik
kendaraan pribadi. Seperti diketahui, kendaraan memerlukan areal parkir,
baik di sisi jalan, maupun di dalam areal bangunan atau gedung
perkantoran atau pusat aktivitas ekonomi. Areal perparkiran itu bisa
dijadikan salah satu upaya untuk pembatasan penggunaan kendaraan
pribadi. Karena pemilik kendaraan pribadi akan kebingungan manakala
kesulitan mendapatkan areal parkir.
Apalagi beberapa saat yang lalu Pemerintah Daerah Jakarta pernah
menertibkan kendaraan yang parkir tidak pada tempat yang ditentukan.
Kalau tindakan itu dilakukan terus-menerus, tentu akan menciptakan sikap
para pemilik kendaraan pribadi untuk tertib. Akan tetapi, hal itu tidak
dilakukan secara berkelanjutan.

Keterbatasan areal parkir bisa merupakan salah satu kunci untuk
`memaksa' pemilik kendaraan pribadi enggan menggunakan kendaraan.
Apabila areal parkir terbatas, ditambah lagi biaya parkir yang cukup
mahal, akan menjadi pertimbangan tersendiri menggunakan kendaraan
pribadi. Seperti diketahui, pada saat ini untuk memanfaatkan jasa
perparkiran dikenai biaya parkir yang relatif murah. Saat ini biaya
parkir rata-rata Rp2.000 per jam untuk kendaraan roda empat, sedangkan
untuk kendaraan roda dua Rp1.000 per jam. Kalau dihitung lama kerja 6
jam per hari, untuk kendaraan roda empat akan mengeluarkan biaya parkir
6 x Rp2.000 = Rp12.000, sedangkan untuk kendaraan roda dua: 6 x Rp1.000
= Rp6.000. Suatu nilai yang relatif terjangkau jika dibandingkan dengan
dampak yang ditimbulkan dari makin banyaknya penggunaan kendaraan
pribadi. Akan tetapi, bila biaya ini dinaikkan menjadi lima kali atau
lebih mahal menjadi Rp10 ribu per jam per kendaraan roda empat dan
Rp5.000 per jam per kendaraan roda dua, para pemakai kendaraan pribadi
akan berhitung, mana yang lebih efisien, menggunakan kendaraan umum yang
rata-rata jauh dekat hanya Rp3.000 atau menggunakan kendaraan pribadi.

Perlu Kebijakan tersendiri Mengingat kondisi tersebut, sudah selayaknya
pemerintah daerah harus berupaya mengimbau pengurangan pemakaian
kendaraan pribadi.
Pekerjaan itu tidaklah mudah. Perlu kajian yang mendalam untuk
menentukan kebijakan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. Kebijakan
yang bisa dilakukan adalah menentukan biaya parkir per jam per kendaraan
yang tinggi di semua areal parkir. Yang diikuti penghapusan semua areal
parkir yang ilegal, menindak pengelola jasa perparkiran yang tidak
melaksanakan ketentuan yang berlaku. Itu bisa dilakukan. Apalagi dalam
menentukan besaran biaya parkir harus ditentukan atau didasarkan pada
peraturan daerah yang sudah ada sehingga penetapan biaya parkir yang
mahal memiliki payung hukum.

Di samping itu, kebijakan yang ada dalam pembatasan penggunaan kendaraan
pribadi pada kawasan tertentu yang dikenal dengan tiga penumpang pada
satu kendaraan (3 in 1) perlu ditinjau ulang. Berbagai dampak sosial
ekonomi muncul dengan pemberlakuan kawasan 3 in 1 ini. Salah satunya
adalah munculnya `joki' 3 in 1 sehingga upaya meningkatkan kawasan ini
lebih efisien dalam mengangkut penumpang kurang berhasil. Karena jumlah
penumpang yang ada dalam tiap kendaraan adalah penumpang `semu',
sedangkan penumpang sebenarnya yang tidak atau belum tertampung atau
terangkut oleh angkutan umum masih berjubel di pemberhentian angkutan umum.

Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu kajian terhadap kawasan 3 in 1
untuk diubah menjadi kawasan khusus kendaraan umum. Kawasan khusus
kendaraan umum adalah kawasan yang lalu lalang hanya kendaraan umum yang
meliputi: bus Trans-Jakarta, bus patas AC atau nonAC, Kopaja, Mikrolet,
dan taksi. Dengan demikian, kendaraan umum menjadi primadona pada
kawasan khusus angkutan umum. Pemberlakuan kawasan kendaraan umum pun
variatif, seperti yang berlaku pada kawasan 3 in 1, yaitu kawasan khusus
angkutan umum berlaku mulai pukul 07.00 WIB­10.00 WIB dan pukul 16.30
WIB­19.00 WIB setiap hari kerja.
Tentu upaya itu pasti akan banyak menuai pro dan kontra karena banyak
pihak yang diuntungkan maupun dirugikan dengan pemberlakuan kawasan
khusus angkutan umum. Namun, upaya itu wajar guna mengurangi ataupun
membatasi penggunaan kendaraan pribadi.
Walaupun demikian, pasti akan terjadi dampak kemacetan yang luar biasa
di kawasan sekitar kawasan khusus angkutan umum, tapi ini semua
merupakan satu konsekuensi bagi semua penggunaan kendaraan pribadi, jika
setiap kendaraan pribadi adalah pencetus kemacetan, pencetus daya dukung
sarana jalan terlampaui.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/08/05/ArticleHtmls/05_08_2009_011_005.shtml?Mode=0

Dari Jutawan Beralih Jadi Pemimpin Uighur

Dari Jutawan Beralih Jadi Pemimpin Uighur

Rebiya Kadeer dikenal dunia internasional sebagai pemimpin kaum Uighur
di pengungsian.Namanya pun mencuat sejak kekerasan antaretnis yang
terjadi di Provinsi Xinjiang,China,beberapa waktu lalu.

NAMUN, banyak pihak tak menduga bahwa sosok Kadeer sebelumnya terjun ke
dunia aktivis. Dia seorang pengusaha yang kaya raya. Kadeer mengawali
bisnis dengan mendirikan tempat cuci otomatis pada 1976.Ketika itu
jarang sekali pengusaha yang membuka bisnis tersebut.

Dia pun jarang mendapatkan pesaing. Dari bisnis tempat cuci otomatis
tersebut, kekayaannya makin bertambah dan menggurita.Dia pun menjadi
salah pengusaha yang dipertimbangkan di Xinjiang pada 1980-an. Dari
lingkungan yang didominasi kaum lelaki, ibu 11 anak ini sukses menjadi
pebisnis pusat perbelanjaan dengan spesialisasi pakaian adat etnis
Uighur di Urumqi. Kadeer termasuk orang yang menekankan agar warga etnis
Uighur tetap mempertahankan adat dan budaya terutama dalam pakaian.
Hingga pada 1985, dia memiliki gedung seluas 14.000 meter persegi yang
khusus menjual pakaian etnis Uighur.

Belum cukup sampai di situ, Kadeer pun pernah menggerakkan sebuah
program di mana memberikan kredit bagi ribuan ibu rumah tangga. Melalui
proyek ini, dia membantu para wanita itu untuk membuka
bisnis.Hebatnya,semua dibiayai dari dana pribadi. Semua program tersebut
didanai dari keuntungan yang didapatkan dari bisnisnya. Dia menyediakan
lapangan kerja bagi warga Uighur dan memberikan pelatihan keterampilan
kepada mereka. Dia ingin Uighur mampu memiliki kesejahteraan hidup.
Kadeer ingin menghapus stigma bahwa pengusaha hanya berjuang untuk
dirinya sendiri dan kepentingannya.

Dia ingin memberikan teladan bahwa pengusaha juga bisa bermanfaat dan
mendorong perubahan bagi orang-orang di sekitarnya. Untuk melakukan
perubahan, bagi Kadeer, tidak hanya membutuhkan program dan proposal.
Perubahan dapat digerakkan dengan aksi nyata, termasuk berbisnis. Bukan
hanya bisnis di dalam negeri yang dijalani Kadeer. Ketika Uni Soviet
hancur,Kadeer pun membuka jaringan bisnis lintas negara. Perusahaan
perdagangannya beroperasi di Rusia dan Kazakstan.

Hingga kejayaannya, dia pernah mengumpulkan pundi-pundi kekayaan lebih
dari 200 juta yuan. Tak ayal, dia pun menjadi salah satu dari lima orang
terkaya di China. Atas kesuksesannya, banyak orang menyebutnya Sang
Jutawan. Dalam buku biografinya yang berjudul Dragon Fighter: One
Woman’s Epic Struggle for Peace With China, Kadeer menceritakan tentang
kehidupannya.Dia mengungkapkan, perjuangan bukan hanya dilancarkan
dengan kritik yang tajam.

Perjuangan baginya adalah bagaimana bisa berbagi kekuasaan dan kekayaan
dengan uang yang dimiliki. Tak mengherankan, atas perjuangan Kadeer,dia
pun disebut sebagai ibu bagi rakyat Uighur. Seorang perempuan yang penuh
semangat, tidak pernah takut,berani mengambil risiko, dan berbagi
kekayaan dengan orang-orang yang membutuhkan. Dalam bisnis dan aksi
filantropinya,Kadeer menjadi fenomena yang mengguncang orang-orang di
seluruh dunia.

Hanya saja,kini harta kekayaan miliknya telah diambil paksa oleh
Pemerintah China. Kadeer mengungkapkan, semua bisnis dan usaha yang
telah dirintis dengan keringatnya telah diakuisisi paksa oleh rezim
komunis. Namun, dia tetap tidak menyesal karena ingin melanjutkan
perjuangannya membela rakyat Uighur. “Orang Uighur menganggap saya
sebagai ibu spiritual mereka. Mereka melihat saya untuk membantu mereka
dari penderitaan mereka di bawah peraturan kejam China di Xinjiang.

Saya akan melakukan dengan seluruh kemampuan saya untuk membantu mereka
sehingga suatu hari mereka dapat hidup dengan martabat manusia dan
kemerdekaan.Agama sangatlah penting bagi saya dan rakyat saya.Tapi
perjuangan damai kami bukanlah perjuangan agama,”ujar Kadeer seperti
dikutip dari Epoch Times. Hingga tak kuat melihat penderita rakyat
Uighur, Kadeer pun mengikuti jejak sang suami terjun ke dunia aktivis
politik.

Sebenarnya Kadeer migrasi ke Urumqi pada 1981 setelah menikah dengan
suami keduanya,Sidik Rouzi.Sidik Rouzi dikenal sebagai penulis dan
aktivis Uighur yang terkemuka. Perjuangannya dalam membela etnisnya
banyak mendapatkan tantangan dan kecaman. Perempuan yang dilahirkan pada
21 Januari 1947 di lingkungan miskin kota Altay, Provinsi Xinjiang itu
bahkan pernah ditahan oleh Pemerintah China karena tuduhan melakukan
subversi pada Agustus 1999.

Ketika itu dia ditangkap dalam perjalanan untuk bertemu delegasi dari
Asyang guna melakukan klarifikasi terkait banyaknya tahanan politik di
Xinjiang. Partai Komunis China membebaskan dia pada 2005 untuk bergabung
bersama suaminya di Amerika Serikat,yang sejak saat itu menjadi tempat
pengasingan. Meski berbagai ancaman menghadang dan klaim bahwa
Pemerintah China menyimpan dendam pada keluarganya, Kadeer justru kian
berani dalam menyuarakan ketidakadilan kaum Uighur.

Alhasil, perjuangannya mendapatkan simpati dunia internasional. Hingga
Kadeer masuk nominasi peraih Hadiah Nobel Perdamaian pada 2006 dan
menjadi Presiden Kongres Uighur Dunia. Berulang kali, Kadeer membantah
tudingan Pemerintah Cina bahwa dirinyalah yang menjadi arsitek di
belakang amuk massa di Urumqi, Xinjiang, 5 Juli lalu.Kerusuhan ini
menyebabkan 184 orang tewas.“‘Saya memperjuangkan hak-hak dasar Uighur
dan penentuan nasib sendiri,”katanya seperti dikutip BBC.

“Perdamaian yang sebenarnya tak akan bisa dicapai jika tak ada pengakuan
adanya diskriminasi etnik di Xinjiang,”imbuhnya. Kini Kadeer berkeliling
ke berbagai dunia untuk mencari dukungan. Di setiap pidatonya di selalu
berkata, “Saya Rebiya Kadeer. Saya seorang Uighur.” Dalam berbagai
kesempatan dan forum dia bercerita tentang dirinya dan tentang kaumnya.
“Kaum Uighur hidup di China seperti di dalam sebuah penjara raksasa,”
paparnya.

Ketika bepergian keliling dunia dalam balutan pakaian tradisional
Uighur, dia selalu berbicara dengan bahasa kaumnya. Dia bahkan telah
bertemu banyak politisi internasional, termasuk mantan Presiden AS
George W Bush. “Kaum Uighur adalah korban pemusnahan etnis,”tegas
Rebiya. (andika hendra m)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/259934/

Dari Jutawan Beralih Jadi Pemimpin Uighur

Dari Jutawan Beralih Jadi Pemimpin Uighur

Rebiya Kadeer dikenal dunia internasional sebagai pemimpin kaum Uighur
di pengungsian.Namanya pun mencuat sejak kekerasan antaretnis yang
terjadi di Provinsi Xinjiang,China,beberapa waktu lalu.

NAMUN, banyak pihak tak menduga bahwa sosok Kadeer sebelumnya terjun ke
dunia aktivis. Dia seorang pengusaha yang kaya raya. Kadeer mengawali
bisnis dengan mendirikan tempat cuci otomatis pada 1976.Ketika itu
jarang sekali pengusaha yang membuka bisnis tersebut.

Dia pun jarang mendapatkan pesaing. Dari bisnis tempat cuci otomatis
tersebut, kekayaannya makin bertambah dan menggurita.Dia pun menjadi
salah pengusaha yang dipertimbangkan di Xinjiang pada 1980-an. Dari
lingkungan yang didominasi kaum lelaki, ibu 11 anak ini sukses menjadi
pebisnis pusat perbelanjaan dengan spesialisasi pakaian adat etnis
Uighur di Urumqi. Kadeer termasuk orang yang menekankan agar warga etnis
Uighur tetap mempertahankan adat dan budaya terutama dalam pakaian.
Hingga pada 1985, dia memiliki gedung seluas 14.000 meter persegi yang
khusus menjual pakaian etnis Uighur.

Belum cukup sampai di situ, Kadeer pun pernah menggerakkan sebuah
program di mana memberikan kredit bagi ribuan ibu rumah tangga. Melalui
proyek ini, dia membantu para wanita itu untuk membuka
bisnis.Hebatnya,semua dibiayai dari dana pribadi. Semua program tersebut
didanai dari keuntungan yang didapatkan dari bisnisnya. Dia menyediakan
lapangan kerja bagi warga Uighur dan memberikan pelatihan keterampilan
kepada mereka. Dia ingin Uighur mampu memiliki kesejahteraan hidup.
Kadeer ingin menghapus stigma bahwa pengusaha hanya berjuang untuk
dirinya sendiri dan kepentingannya.

Dia ingin memberikan teladan bahwa pengusaha juga bisa bermanfaat dan
mendorong perubahan bagi orang-orang di sekitarnya. Untuk melakukan
perubahan, bagi Kadeer, tidak hanya membutuhkan program dan proposal.
Perubahan dapat digerakkan dengan aksi nyata, termasuk berbisnis. Bukan
hanya bisnis di dalam negeri yang dijalani Kadeer. Ketika Uni Soviet
hancur,Kadeer pun membuka jaringan bisnis lintas negara. Perusahaan
perdagangannya beroperasi di Rusia dan Kazakstan.

Hingga kejayaannya, dia pernah mengumpulkan pundi-pundi kekayaan lebih
dari 200 juta yuan. Tak ayal, dia pun menjadi salah satu dari lima orang
terkaya di China. Atas kesuksesannya, banyak orang menyebutnya Sang
Jutawan. Dalam buku biografinya yang berjudul Dragon Fighter: One
Woman’s Epic Struggle for Peace With China, Kadeer menceritakan tentang
kehidupannya.Dia mengungkapkan, perjuangan bukan hanya dilancarkan
dengan kritik yang tajam.

Perjuangan baginya adalah bagaimana bisa berbagi kekuasaan dan kekayaan
dengan uang yang dimiliki. Tak mengherankan, atas perjuangan Kadeer,dia
pun disebut sebagai ibu bagi rakyat Uighur. Seorang perempuan yang penuh
semangat, tidak pernah takut,berani mengambil risiko, dan berbagi
kekayaan dengan orang-orang yang membutuhkan. Dalam bisnis dan aksi
filantropinya,Kadeer menjadi fenomena yang mengguncang orang-orang di
seluruh dunia.

Hanya saja,kini harta kekayaan miliknya telah diambil paksa oleh
Pemerintah China. Kadeer mengungkapkan, semua bisnis dan usaha yang
telah dirintis dengan keringatnya telah diakuisisi paksa oleh rezim
komunis. Namun, dia tetap tidak menyesal karena ingin melanjutkan
perjuangannya membela rakyat Uighur. “Orang Uighur menganggap saya
sebagai ibu spiritual mereka. Mereka melihat saya untuk membantu mereka
dari penderitaan mereka di bawah peraturan kejam China di Xinjiang.

Saya akan melakukan dengan seluruh kemampuan saya untuk membantu mereka
sehingga suatu hari mereka dapat hidup dengan martabat manusia dan
kemerdekaan.Agama sangatlah penting bagi saya dan rakyat saya.Tapi
perjuangan damai kami bukanlah perjuangan agama,”ujar Kadeer seperti
dikutip dari Epoch Times. Hingga tak kuat melihat penderita rakyat
Uighur, Kadeer pun mengikuti jejak sang suami terjun ke dunia aktivis
politik.

Sebenarnya Kadeer migrasi ke Urumqi pada 1981 setelah menikah dengan
suami keduanya,Sidik Rouzi.Sidik Rouzi dikenal sebagai penulis dan
aktivis Uighur yang terkemuka. Perjuangannya dalam membela etnisnya
banyak mendapatkan tantangan dan kecaman. Perempuan yang dilahirkan pada
21 Januari 1947 di lingkungan miskin kota Altay, Provinsi Xinjiang itu
bahkan pernah ditahan oleh Pemerintah China karena tuduhan melakukan
subversi pada Agustus 1999.

Ketika itu dia ditangkap dalam perjalanan untuk bertemu delegasi dari
Asyang guna melakukan klarifikasi terkait banyaknya tahanan politik di
Xinjiang. Partai Komunis China membebaskan dia pada 2005 untuk bergabung
bersama suaminya di Amerika Serikat,yang sejak saat itu menjadi tempat
pengasingan. Meski berbagai ancaman menghadang dan klaim bahwa
Pemerintah China menyimpan dendam pada keluarganya, Kadeer justru kian
berani dalam menyuarakan ketidakadilan kaum Uighur.

Alhasil, perjuangannya mendapatkan simpati dunia internasional. Hingga
Kadeer masuk nominasi peraih Hadiah Nobel Perdamaian pada 2006 dan
menjadi Presiden Kongres Uighur Dunia. Berulang kali, Kadeer membantah
tudingan Pemerintah Cina bahwa dirinyalah yang menjadi arsitek di
belakang amuk massa di Urumqi, Xinjiang, 5 Juli lalu.Kerusuhan ini
menyebabkan 184 orang tewas.“‘Saya memperjuangkan hak-hak dasar Uighur
dan penentuan nasib sendiri,”katanya seperti dikutip BBC.

“Perdamaian yang sebenarnya tak akan bisa dicapai jika tak ada pengakuan
adanya diskriminasi etnik di Xinjiang,”imbuhnya. Kini Kadeer berkeliling
ke berbagai dunia untuk mencari dukungan. Di setiap pidatonya di selalu
berkata, “Saya Rebiya Kadeer. Saya seorang Uighur.” Dalam berbagai
kesempatan dan forum dia bercerita tentang dirinya dan tentang kaumnya.
“Kaum Uighur hidup di China seperti di dalam sebuah penjara raksasa,”
paparnya.

Ketika bepergian keliling dunia dalam balutan pakaian tradisional
Uighur, dia selalu berbicara dengan bahasa kaumnya. Dia bahkan telah
bertemu banyak politisi internasional, termasuk mantan Presiden AS
George W Bush. “Kaum Uighur adalah korban pemusnahan etnis,”tegas
Rebiya. (andika hendra m)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/259934/

UNESCO Putuskan Batik Indonesia Sebagai Pusaka Dunia

UNESCO Putuskan Batik Indonesia Sebagai Pusaka Dunia


*TEMPO /Interaktif/*, *Yogyakarta * - Meski batik telah bermunculan di
berbagai belahan dunia, Indonesia boleh bernafas lega, karena akhirnya
memperoleh pengakuan dari United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
Kebudayaan PBB yang memutuskan batik Indonesia sebagai warisan pusaka
dunia. Pengakuan akan diberikan pada 2 Oktober 2009 mendatang. “Sudah
diproses dan diputuskan bahwa batik Indonesia sebagai pusaka dunia, yang
akan diumumkan pada 2 Oktober mendatang,” kata Ketua Umum Yayasan Sekar
Jagad, Suliantoro Sulaiman kepada /Tempo,/ dalam acara peragaan busana
dalam rangka Jogja Fashion Week di Pagelaran, Keraton, Yogyakarta, Rabu,
(5/8).

Yayasan Sekar Jagad adalah salah satu organisasi pecinta batik yang ikut
menyiapkan risalah data dan memberikan pernyataan mengenai keberadaan
batik kepada UNESCO. Pihak lain yang ikut mengajukan dan menandatangani
soal kepemilikan batik Indoneisa ini adalah pemerintah pusat melalui
Kantor Dagang Indonesia dan Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku
Buwono sebagai pemilik Museum Batik Indonesia serta berbagai pihak yang
selama ini konsen dengan batik Indonesia.

Hanya saja, Suliantoro memberi catatan, batik yang diakui UNESCO ini
adalah batik tulis. “Jadi batik sebagai pusaka dunia adalah batik tulis,
bukan batik printing,” katanya. Sebab, bila batik printing, maka belahan
negara lain, seperti Hongkong, Malaysia, dan Cina juga telah memilikinya.

Dengan pengakuan ini, dia berharap batik tulis bisa mendunia dan menjadi
cenderamata bagi pariwisata Indonesia, khususnya Yogyakarta. Mengenai
batik Yogyakarta sendiri, Suliantoro menyatakan batik Yogyakarta kaya
akan motif dan salah satu yang unik dan kuno. “Sudah ada sejak zaman
Mataram Kuno dan tetap lestari hingga saat ini,” kata Suliantoro.
Apalagi Yogyakarta selama ini, juga dikenal sebagai kota budaya.

Dengan pengakuan batik tulis mendunia, berarti juga akan mensejahterakan
para pengrajin batik. “Soalnya pengrajin batik tulis sebagian besar
tinggal di pesisir, di desa-desa, dan di kampung-kampung. Semoga kini
bisa lebih sejahtera,” kata Suliantoro.

Terpisah, Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengaku
belum mendengar soal keputusan UNESCO ini. Namun Sultan mengatakan
pengajuan batik Indonesia sebagai kekayaan budaya Indonesia merupakan
bentuk proteksi terhadap kekayaan asli Indonesia. “Negara lain
berproduksi silahkan saja, tetapi batik Indonesia tetap mendapat
pengakuan dunia,” kata Sultan.

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/08/05/brk,20090805-190930,id.html

Semiotika Teroris

Semiotika Teroris

*Zainul Maarif*
DOSEN SEMIOTIKA DAN LOGIKA STIKOM PROSIA, JAKARTA

Spekulasi tentang pelaku dan motif pengeboman Hotel JW Marriott dan
Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta, 17 Juli 2009, mulai menemukan cahaya
terang. Keterangan resmi Tandzim Al-Qaidah Indonesia yang ditandatangani
Abu Muawwidz Noor Din bin Muhammad Top menyingkap tabir misteri di balik
penghancuran itu.

Pada tulisan yang dilansir di Internet pada 26 Juli 2009, Noor Din
mengaku bahwa para pengebom adalah anggota organisasi yang dipimpinnya.
Mereka meluluh-lantakkan dua hotel besar di ibu kota Indonesia demi (1)
membalas tindakan Amerika Serikat (AS) terhadap kaum muslimin dan
mujahidin di penjuru dunia; (2) menghancurkan kekuatan AS di Indonesia;
(3) mengusir AS dari negeri Islam; (4) memberi pelajaran untuk umat
Islam tentang hakikat loyalitas kepada Islam dan umatnya serta
permusuhan terhadap non-Islam; dan (5) memberikan penyejuk hati bagi
kaum muslimin yang terzalimi dan tersiksa di seluruh penjuru dunia.

Noor Din menyebut penghancuran gedung yang membunuh 9 orang dan melukai
sedikitnya 50 orang itu sebagai /amaliyah isytisyhadiyah/ (jihad). Untuk
membenarkan tindakannya, Amir Tandzim Al-Qaidah Indonesia itu menyitir
tiga ayat Al-Quran, yaitu ayat 17 dari surat Al-Anfal, ayat 14 dari
surat At-Taubah, dan ayat 54 surat Ali Imran. Dengan ketiga ayat
tersebut, dia ingin mengesankan bahwa Tuhan berada di balik tindakan
mereka, yang tak lebih dari perantara Tuhan, Sang Maha Makar terhadap
para musuh untuk membahagiakan dan memenangkan orang-orang beriman.

*Noor Din*
Pria yang lahir di Malaysia itu terlihat jelas melakukan penandaan dan
penafsiran atas obyek-obyek sebelum melakukan perusakan atasnya. Dia
tidak semata-mata melihat dua hotel itu sebagai tempat untuk menginap,
makan, minum, pertemuan, dan hiburan. Dia cenderung melihat obyek itu
sebagai representasi AS.

Acap kali tanda AS disebut, Noor Din dkk menafsirkannya sebagai musuh
umat Islam. Argumen mereka untuk sampai ke penafsiran itu adalah
serangan AS terhadap umat Islam di berbagai negara, seperti Afganistan
dan Irak. Karena serangan itu, mereka menyatakan perang terhadap AS.
Celakanya, mereka membalas serangan AS yang kadang membabi-buta dengan
serangan serampangan pula. Akibatnya, segala hal yang terkait dengan AS,
meskipun sedikit, dijadikan sebagai sasaran serangan mereka.

Mengingat hubungan antara obyek, tanda, dan penafsiran merupakan
landasan awal tindakan orang-orang semacam Noor Din, pembongkaran
atasnya pun sangat diperlukan. Pasalnya, penafsiran atas sensasi indrawi
bisa menjadi suatu kepercayaan (atau keraguan) yang mengarah pada
tindakan yang selanjutnya menjadi kebiasaan (Pierce, 1965 [dalam Cahoone
1996]: 145-149). Jika penafsiran destruktif dibiarkan menjadi
kepercayaan, tindakan, bahkan kebiasaan, bisa dipastikan bahwa perusakan
serupa akan berulang.

Karena itu, pembongkaran atas penafsiran itu sangat urgen. Minimal
diperlukan tilikan tajam atas dua hal untuk membongkarnya. Pertama,
apakah penafsiran itu riil ataukah fiksi? Kedua, apa efek lebih lanjut
dari penafsiran tersebut? (Pierce, 1965 [dalam Cahoone 1996]: 150). Noor
Din dkk menafsirkan tindakan mereka sebagai jihad melawan AS untuk
membahagiakan umat Islam dan merepresentasikan Tuhan, Sang Maha
Penghancur dan Maha Makar. Tafsiran itu mungkin riil atau fiksi. Ia
dikatakan riil jika semua yang dinyatakannya benar adanya. Sebaliknya,
kalau bertolak belakang dari fakta, tafsiran itu tak lebih dari fiksi.

Fakta menunjukkan bahwa korban peristiwa bom Kuningan 17 Juli 2009 lebih
banyak orang Indonesia muslim ketimbang orang AS non-muslim. Jelas,
semua korban dan keluarga korban menderita. Tapi, ironisnya, derita juga
menjalar ke keluarga pelaku, negara dan bangsa Indonesia, serta Islam
dan umatnya. Keluarga pelaku pengeboman terlunta-lunta, turut diburu dan
diinterogasi aparat keamanan, dan dikucilkan oleh masyarakat sekitar.

Negara dan bangsa Indonesia rugi besar karena teror itu. Perekonomian
dan pariwisata Indonesia sempat terganggu. Sedangkan perekonomian dan
pariwisata Amerika Serikat, yang menjadi tujuan penyerangan teroris,
nyaris tak tersentuh sama sekali. Lebih lanjut, Islam dan umat Islam
yang konon mereka perjuangkan justru terseok-seok karena tindakan
mereka. Islam diidentikkan dengan terorisme. Secara otomatis, umat Islam
pun distigmatisasi sebagai teroris dan menjadi target interogasi ketat
setiap pergi ke luar negeri. Celakanya, Tuhan versi Islam pun lantas
diasosiasikan sebagai Sang Maha Keras, bukan Sang Maha Pengasih dan
Penyayang.

Berdasarkan fakta tersebut, bisa disimpulkan bahwa penafsiran Noor Din
dkk merupakan fiksi yang berimbas buruk. Ia jauh dari realitas, bahkan
merusak tatanan realitas. Ia merugikan pihak yang katanya dibela, bukan
malah membahagiakannya. Ia dengan kata lain adalah kebohongan yang
benar-benar merugikan liyan di masa kini dan masa mendatang.

Persoalannya, fiksi berefek buruk itu telah menjadi kepercayaan,
tindakan, dan kebiasaan destruktif beberapa orang yang mengaku taat
beragama. Para teroris sudah mencapai taraf yang disebut Erich Fromm
(1973) sebagai "ekstasi penghancuran" lantaran penafsiran fiktif
destruktif tersebut. Antitesis semacam apa yang perlu dikeluarkan untuk
mengatasinya?

Menangkap teroris dan menyetop aliran dana dan gerak mereka memang wajib
dilakukan oleh aparat keamanan yang dibantu masyarakat. Namun, yang tak
kalah penting dan jauh lebih sulit adalah mencegah penyebaran lebih
lanjut fiksi negatif berikut efek-efeknya itu. Demi pencegahan,
diperlukan kritik terus-menerus atas fiksi tersebut hingga masyarakat
(terutama yang awam) sadar akan kebohongannya. Di samping itu,
dibutuhkan penyebaran wacana kebersamaan dalam keberagaman secara massif
baik di lingkup luas (seperti media massa) maupun di lingkup terbatas
seperti (seperti institusi pendidikan). Tanpa pencegahan negatif dan
positif semacam itu, pikiran dan tindakan orang-orang semacam Noor Din
dkk akan terus mengemuka, meskipun upaya penangkapan terhadap mereka
dilancarkan secara gencar oleh aparat keamanan.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/05/Opini/krn.20090805.172976.id.html

Mengapa BI Rate Turun Jadi 6,5 Persen

Mengapa BI Rate Turun Jadi 6,5 Persen
Perekonomian Indonesia berpotensi terus membaik seiring dengan
perkembangan global.


*VIVAnews -* Perekonomian Indonesia berpotensi terus membaik seiring
dengan perkembangan yang terjadi pada perekonomian global. Setelah
menunjukkan tanda-tanda penguatan dalam beberapa bulan terakhir,
pemulihan ekonomi dunia terus berlangsung hingga Juli 2009.

Kebijakan yang ditempuh oleh otoritas di berbagai negara telah berdampak
positif pada perekonomian dunia, tercermin dari membaiknya permintaan
domestik di sejumlah negara, termasuk negara maju.

Perbaikan ini juga dirasakan di kawasan Asia seiring mulai bergeraknya
ekonomi China, India, dan Korea. Bahkan, ekonomi Singapura, yang semula
diperkirakan masih terkontraksi, juga mulai membaik. Gerak permintaan
domestik di beberapa negara Asia tersebut, pada gilirannya mendorong
peningkatan kinerja perekonomian negara kawasan, termasuk Indonesia.

Hingga Juli 2009, pasar keuangan terus membaik. Bursa saham negara maju
kembali mencatat perbaikan indeks harga. Itu terkait sentimen positif
yang dipicu oleh membaiknya kinerja laporan keuangan beberapa lembaga
keuangan dan perusahaan berskala global.

Optimisme juga mewarnai perkembangan di pasar uang dunia. Persepsi
risiko dan tingkat kepercayaan di kalangan perbankan yang membaik
mendorong turunnya intensitas keketatan likuiditas di pasar uang.

Keyakinan terhadap membaiknya kondisi ekonomi dunia tersebut, khususnya
kawasan Asia telah mendorong arus modal asing kembali masuk ke pasar
keuangan regional. Indeks harga di bursa saham regional meningkat yang
diikuti oleh penguatan nilai tukar.

Perkembangan global yang lebih kondusif tersebut mendukung perbaikan
kinerja perekonomian Indonesia. Asesmen terkini menunjukkan bahwa laju
ekspansi ekonomi domestik pada triwulan III-2009 berpotensi tumbuh lebih
tinggi dari perkiraan.

Hal itu didukung oleh pengeluaran konsumsi dan kinerja ekspor yang lebih
kuat dari perkiraan sebelumnya. Membaiknya perekonomian kawasan,
terutama China dan India, mendorong peningkatan komoditas ekspor
Indonesia, seperti crude palm oil, batubara, dan tembaga.

Di sisi permintaan domestik, indikator konsumsi seperti penjualan
barang-barang tahan lama (durables) dan barang eceran menunjukkan
tanda-tanda penguatan. Pengeluaran konsumsi masyarakat yang lebih baik
dari perkiraan tersebut selain bersumber dari tabungan masyarakat, juga
ditopang oleh pembiayaan perbankan.

Selain itu, pendapatan masyarakat yang relatif mulai membaik turut
mendukung peningkatan konsumsi masyarakat. Meski demikian, tingkat
investasi belum membaik sepenuhnya. Hal tersebut mengingat belum
pulihnya kondisi permintaan domestik maupun sektor eksternal kembali ke
kondisi normal. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi tahun
2009 diprakirakan cenderung menuju batas atas kisaran proyeksi 3,5% - 4,0%.

Di sisi harga, tren penurunan inflasi diperkirakan masih terus berlanjut
di tahun 2009. Selama bulan Juli 2009, inflasi IHK sebesar 0,45% (mtm)
atau 2,71% (yoy), lebih rendah dibanding bulan sebelumnya sebesar 3,65%
(yoy).

Dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya, laju inflasi pada periode
tersebut relatif tinggi. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh faktor
musiman terkait dengan dimulainya tahun ajaran baru serta berakhirnya
panen raya yang pada gilirannya mendorong tertahannya penurunan harga
beras yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir.

Kendati demikian, secara tahunan laju inflasi masih berada pada tren
menurun. Selain penguatan rupiah, lemahnya permintaan domestik, serta
membaiknya ekspektasi inflasi sejalan dengan tren penurunan inflasi yang
masih berlangsung, turut mendukung penurunan tekanan inflasi.

Sentimen positif di pasar keuangan global telah mendorong apresiasi
nilai tukar. Penguatan nilai tukar ditopang oleh meningkatnya pasokan
valas sejalan dengan aliran masuk modal asing.

Optimisme akan pemulihan ekonomi global, yang disertai dengan terjaganya
kondisi fundamental domestik sebagaimana tercermin pada transaksi
berjalan yang surplus, cadangan devisa yang memadai, imbal hasil rupiah
yang tetap menarik, persepsi risiko yang membaik, serta kondisi sosial
politik pasca Pilpres yang terkendali, telah menumbuhkan minat investasi
terhadap aset di pasar keuangan emerging markets, termasuk Indonesia.

Sentimen negatif yang sempat mencuat akibat aksi peledakan bom di
Jakarta memengaruhi pergerakan nilai tukar namun hanya berlangsung sesaat.

Dengan perkembangan tersebut, selama Juli 2009 nilai tukar rupiah secara
rata-rata terapresiasi sebesar 0,82% menjadi Rp 10.098, dan pada akhir
periode ditutup pada level Rp 9.925 atau menguat 2,85% (p-t-p) dari
akhir bulan Juni 2009. Bank Indonesia memandang bahwa apresiasi rupiah
tersebut masih mendukung daya saing produk ekspor Indonesia dibandingkan
dengan beberapa negara Asia lainnya.

Dengan mempertimbangkan perkembangan-perkembangan tersebut di atas,
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 5 Agustus 2009 memutuskan untuk
menurunkan BI rate sebesar 25 basis poin dari 6,75% menjadi 6,5%.

Keputusan ini diambil setelah Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia
mempertimbangkan bahwa tren penurunan inflasi masih berlanjut seiring
dengan masih terbatasnya permintaan domestik dan terus menurunnya
ekspektasi inflasi.

Kami juga berpandangan bahwa penurunan BI rate ini masih konsisten
dengan sasaran inflasi Bank Indonesia ke depan. Namun demikian, Bank
Indonesia mencermati munculnya tekanan inflasi di tahun 2010 yang
bersumber dari meningkatnya permintaan domestik dan kenaikan harga-harga
komoditas di pasar internasional.

****

/*Darmin Nasution* adalah Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Analisis ini disarikan dari Laporan Tinjauan Kebijakan Moneter mengacu
dari hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada Rabu, 5 Agustus 2009
di Jakarta. /

• VIVAnews

http://bisnis.vivanews.com/news/read/80524-mengapa_bi_rate_turun_jadi_6_5_persen

NU dan Muhammadiyah Kompak Minta Pemilihan Kepala Daerah Dihapus

NU dan Muhammadiyah Kompak Minta Pemilihan Kepala Daerah Dihapus



*TEMPO /Interaktif/*, *Jakarta* - Ketua Umum Pengurus Besar Nadlatul
Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi mengusulkan pemilihan langsung dalam
pemilihan kepala daerah dihapuskan. Alasannya, pilkada telah menumbuhkan
pragmatisme yang kuat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. "Pilkada
langsung dihapus saja. Sistem demokratisasi ini akan membangun
pragmatisme yang akan menghancurkan tata nilai sosial," kata Hasyim
dalam Seminar Nasional "Masyarakat Sipil dan Demokratisasi di Indonesia
: Belajar dari Pengalaman Pemilu dan Pilkada" di Hotel Gran Mahakam,
Rabu (5/8).

Hasyim menuturkan, masyarakat lebih memilih /cash and carry/ dalam
kehidupan berdemokrasi. Hal itu, kata dia, akibat kuatnya para politisi
menggunakan pragmatisme dalam berpolitik. Dia melanjutkan, pragmatisme
yang mulai marak ini akan berakibat sistem kontrol hilang. "Politisi pun
berpikir kewajibannya kepada masyarakat sudah dibayar /cash and carry/,"
ujarnya.

Kondisi ini, kata Hasyim, akan mempersulit pembangunan nilai agama dan
kearifan lokal. Pragmatisme telah memotong garis tata nilai. "Ketokohan
seorang kiai tidak akan diikuti masyarakat, akibat pragmatisme yang
berkembang di masyarakat," ujarnya, "Kepercayaan itu akan semakin pupus."

Hal senada disampaikan Ketua Lembaga Hikmah Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
Bachtiar Effendy. Menurut Bachtiar, pemilihan secara langsung bisa
dihapuskan untuk tingkat provinsi. "Kalau (pemilihan langsung) provinsi
kami dukung (dihapuskan). Pemilihan di kabupaten/kota tetap perlu sesuai
dengan semangat otonomi daerah," ujarnya.

Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto mengatakan gubernur sebagai
kepanjangan tangan dari pemerintah pusat tidak perlu dengan pemilihan
langsung. Dia mengingatkan efektifitas dari gubernur itu masih kurang.
"Konsolidasi ke pemerintah tingkat II masih kurang," katanya. Herry
mengusulkan, posisi gubernur itu diganti dengan menteri tingkat wilayah
yang setingkat gubernur. "Otda yang diperkuat. Dengan opsi itu birokrasi
pemerintah akan sangat ramping," katanya. Sehingga pemilihan langsung,
kata dia, cukup di tingkat pemerintahan kabupaten/kota.

http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2009/08/05/brk,20090805-190947,id.html

Hasyim Muzadi: Syarat Jadi Anggota DPR Cukup Ber-'Manohara'

Hasyim Muzadi: Syarat Jadi Anggota DPR Cukup Ber-'Manohara'
*Aprizal Rahmatullah* - detikNews
*Jakarta* - Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi menilai tidak sulit bagi siapa
pun untuk menjadi wakil rakyat. Menurutnya, syarat menjadi anggota DPR
cukup 'Manohara'.

"Ya, cukup Manohara saja. Pintar bermanover dan membuat huru-hara," canda
Hasyim saat diskusi 'Masyarakat Sipil dan Demokratisasi' yang
diselenggarakan Jaringan Pendidikan dan Pemilu Untuk Rakyat (JPPR) di
Hotel Grand Mahakam, Jl Mahakam, Jakarta Selatan, Rabu (5/8/2009).

Guyonan ala Hasyim itu bukan tanpa alasan. Ia melihat tradisi
ber-'Manohara' sudah tercermin dari perilaku anggota DPR saat ini.

"(Anggota) DPR itu bak penjahit yang tidak membawa meteran mengukur
lembaga lain, padahal dia (DPR) sendiri tidak (punya standar) jelas.
Akhirnya hanya bermanuver ke sana kemari dan membuat huru-hara," imbuh
mantan cawapres Megawati tahun 2004 lalu ini.

Perilaku ber-'Manohara' ini dipengaruhi oleh praktek politik kita yang
masih
berpandangan pragmatisme. "Ketika seseorang masuk dalam politik,
pandangannya sudah terbentuk seperti jual beli. Beli rakyat, beli kiai,
menjadi seperti cash and carry. Makanya amanat rakyat bukan lagi
prioritas," kritiknya.

* (ape/nrl)*

http://www.detiknews.com/read/2009/08/05/152541/1177981/10/hasyim-muzadi-syarat-jadi-anggota-dpr-cukup-ber-manohara