BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Cost Recovery, Penerimaan Negara, Harapan terhadap BP Migas

Cost Recovery, Penerimaan Negara, Harapan terhadap BP Migas

Written By gusdurian on Rabu, 05 Agustus 2009 | 09.35

Cost Recovery, Penerimaan Negara, Harapan terhadap BP Migas
Oleh Tjatur Sapto Edy Anggota Komisi VII DPR


D ALAM beberapa tahun terakhir, isu tentang cost recovery-­pengembalian
biaya kegiatan hulu migas-­menjadi sorotan yang cukup menyita perhatian
publik. Gejolak harga minyak yang terjadi dan fakta bahwa penerimaan
negara hingga saat ini masih sangat bergantung pada penerimaan migas
menjadi faktor pendorong bagi masyarakat untuk memberi perhatian lebih
terhadap isu-isu migas, utamanya menyangkut masalah cost recovery.
Bahkan dalam proses penyusunan anggaran penerimaan dan belanja negara
(APBN), cost recovery yang sebelumnya tidak mendapatkan tempat, kini
menjadi salah satu pokok bahasan utama. Yang terkini adalah adanya
permintaan Panitia Anggaran DPR kepada pemerintah untuk menurunkan cost
recovery dari US$11,05 miliar menjadi US$10 miliar.

Pemangku kebijakan migas dan pelaku industri migas pada umumnya
cenderung berkeberatan dengan permintaan tersebut. Pasalnya, dengan
ketentuan tersebut aktivitas hulu--eksplorasi dan produksi--migas dapat
terhambat dan dikhawatirkan pada gilirannya akan menyulitkan pencapaian
target produksi migas yang ditetapkan pemerintah dan DPR dalam APBN itu
sendiri. Sementara itu, permintaan DPR untuk menurunkan besaran cost
recovery tersebut juga bukan tanpa alasan. Besar kecilnya cost recovery
sangat menentukan besaran akhir penerimaan negara dari sektor migas.
Sebagaimana kita ketahui, pada pola bagi hasil yang diterapkan dalam
pengusahaan migas yang ada, pendapatan kotor (gross revenue) migas akan
dikurangi terlebih dahulu dengan cost recovery, baru kemudian sisanya
dibagi antara pemerintah dan kontraktor. Dengan demikian, semakin besar
cost recovery semakin kecil pula pendapatan migas yang akan dibagi, yang
artinya semakin kecil pula pendapatan yang akan diterima negara dari
sektor migas.

Kondisi yang ada dalam beberapa tahun terakhir adalah ketika cost
recovery terus meningkat, justru produksi dan cadangan minyak nasional
terus menurun. Terlepas dari berbagai argumentasi yang mungkin ada,
peningkatan cost recovery dalam kurun empat-lima tahun terakhir tanpa
disertai dengan peningkatan produksi dan cadangan minyak (dan bahkan
menunjukkan kecenderungan menurun yang terus-menerus), tentu tidak saja
memunculkan berbagai pertanyaan, tetapi juga kekhawatiran--karena
penerimaan negara dalam APBN masih sangat bergantung pada penerimaan
migas. Itulah yang agaknya menjadi pertimbangan utama sebagian anggota
dewan untuk meminta besaran cost recovery diturunkan.

Ketergantungan terhadap migas Ketergantungan penerimaan negara terhadap
penerimaan migas sebenarnya sudah terjadi sejak pertama kali dibukanya
keran investasi asing pada awal pemerintahan Orde Baru melalui UU No 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang diikuti UU No 11 Tahun
1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, dan berlakunya
sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract) pada 1971.
Selama periode pembangunan lima tahun (pelita) yang dilaksanakan pada
Orde Baru, rata-rata persentase penerimaan sektor migas dari periode
Pelita I hingga Pelita VI masing-masing mencapai 22,13%; 48,49%; 59,54%;
41,57%; 28,36%; dan 16,71% dari total penerimaan negara dan hibah. Dalam
lima tahun terakhir, rata-rata persentase penerimaan migas terhadap
total penerimaan negara dalam APBN kembali meningkat menjadi 30,08%.
Fluktuasi pada besaran yang tinggi ini tidak saja menunjukkan bahwa
selama lebih dari tiga dekade, penerimaan negara kita tidak saja
memiliki ketergantungan yang cukup tinggi, tetapi juga sangat sensitif
terhadap penerimaan migas.

Dengan kondisi seperti itu, dan dengan mengingat bahwa besar kecilnya
penerimaan negara dari sektor migas sangat ditentukan besar kecilnya
cost recovery, menjadi tak salah bila banyak komponen masyarakat dari
berbagai kalangan saat ini memberikan perhatian yang lebih terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan ketentuan, pelaksanaan dan pengawasan cost
recovery ini.
Termasuk di dalamnya menyoroti peran dan posisi institusi yang memiliki
otoritas dalam hal tersebut, BP Migas.

Peran BP Migas Sebagai sebuah badan pemerintah yang berdasarkan UU Migas
22/2001 diberikan management right untuk kegiatan hulu migas, BP Migas
sesungguhnya adalah sebuah institusi yang memiliki peran dan posisi
sangat strategis. Dalam konteks mengawal dan mengamankan penerimaan
Negara dari sektor migas, BP Migas adalah institusi yang `bersentuhan'
langsung-­-dan oleh karenanya dapat dikatakan merupakan penanggung
jawab--terhadap efisien-tidaknya atau optimal-tidaknya hal-hal yang
berkaitan dengan pengaturan, pelaksanaan, dan pengawasan cost recovery.
Dalam konteks ini, posisi BP Migas sejatinya dapat dikatakan independen,
dalam arti bukan merupakan subordinat dari suatu departemen pemerintahan
tertentu. Dengan posisi itu harapannya adalah agar BP Migas dapat
bergerak lebih lincah dan leluasa dalam melaksanakan fungsi manajerial
terhadap kegiatan hulu migas­ -termasuk dalam pengawasan cost
recovery-­tanpa intervensi dari pihak-pihak lain. Dengan independensi
yang dimiliki itu pula, BP Migas diharapkan benar-benar mampu mengelola,
mengendalikan, mengefisienkan, dan mengawasi cost recovery agar
penerimaan negara dapat dioptimalkan.

Dalam kaitan dengan apa yang diminta Panitia Anggaran DPR saat ini
terhadap BP Migas untuk menurunkan besaran cost recovery, harus diakui
hal itu di satu sisi mencerminkan semacam ketidakpercayaan Panitia
Anggaran DPR terhadap (kinerja) BP Migas itu sendiri. Namun, di sisi
lain, sesungguhnya ada semacam harapan atau barangkali yang lebih
tepat-­tuntutan--agar BP Migas berbenah diri secara sungguh-sungguh. BP
Migas tidak hanya dituntut untuk memiliki dan menjalankan suatu sistem
yang mampu mengidentifikasi secara cermat dan efisien tentang struktur
dan komponen biaya eksplorasi dan biaya produksi dalam industri hulu
migas--sehingga dapat secara cepat dan tepat memfilter biayabiaya yang
dapat atau tidak dapat dimasukkan sebagai cost recovery, tetapi juga
dituntut untuk memiliki sumber daya manusia yang andal yang benar-benar
memahami dan mampu melaksanakan fungsi tersebut. Dengan demikian, dalam
perwujudannya, BP Migas tidak hanya berperan sebagai `pemberi stempel'
terhadap cost recovery yang diajukan kontraktor, namun dapat menjadi
pengawas dan pengendali yang sebenarnya. Jika itu dapat terwujud, pada
gilirannya bukan hanya negara yang memetik manfaat dari penerimaan
negara yang lebih optimal, melainkan juga semua stakeholders yang
terkait-­termasuk kontraktor migas-­dengan terciptanya industri migas
yang efisien dan kompetitif.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/08/05/ArticleHtmls/05_08_2009_011_001.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: