BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kebijakan Pembatasan Pemakaian Kendaraan

Kebijakan Pembatasan Pemakaian Kendaraan

Written By gusdurian on Rabu, 05 Agustus 2009 | 09.32

Kebijakan Pembatasan Pemakaian Kendaraan
Oleh MP Imamsoedjana Asdep Urusan Analisis Kebijakan Publik Iptek Deputi
Bidang Dinamika Masyarakat Kementerian Negara Riset dan Teknologi


KENDARAAN di Jakarta akan sulit bergerak alias macet pada 2014.
Pernyataan itu disampaikan Gubernur DKI pada akhir 2007. Pernyataan itu
didukung alasan klasik, yaitu tidak seimbangnya jumlah kendaraan dan
panjang jalan di DKI Ja karta yang membuat wilayah Ibu Kota akan menjadi
neraka bagi pemilik kendaraan. Saat ini, jumlah kendaraan di DKI Jakarta
mencapai 5,8 juta unit dengan pertumbuhan 9% per tahun dalam lima tahun
terakhir. Sementara itu, ken daraan yang masuk ke Jakarta per harinya
men capai 700 ribu unit. Sayangnya, pertumbuhan kendaraan itu tidak
diimbangi penyediaan atau penambahan infrastruktur jalan yang pertumbu
hannya sangat lambat. Panjang jalan di Jakarta hanya 7.650 km dengan
luas jalan 40,1 km2 atau 6,2% dari luas DKI Jakarta.

Pada sisi lain, dinyatakan bahwa jumlah ang kutan umum hanya 2% dan
harus mampu me layani 56% perjalanan atau 9,6 juta penjalanan per hari.
Sementara itu, kendaraan pribadi yang tingkat perjalanannya 44%
dilakukan kendaraan bermotor yang jumlahnya 98%. Berdasarkan kondisi
itu, ancaman kemacetan total di Jakarta diperkirakan akan terjadi pada
2014. Oleh kare na itu, tidak mengherankan bila Gubernur DKI dan Menteri
Pekerjaan Umum pernah menyam paikan kesimpulan rapat tentang
transportasi yang dipimpin langsung Wapres Jusuf Kalla di Kantor Wapres,
Rabu 12 Desember 2007, antara lain: penegasan aturan pembatasan
penggunaan kendaraan pribadi mutlak dilakukan guna menghindari kebuntuan
persoalan kemacetan di Jakarta. Lebih lanjut Gubernur menambahkan: jika
tidak dilakukan serangkaian langkah ter asi.

masuk pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, Jakarta akan macet total
pada 2011, bu. kan 2014 seperti perkiraan sebelumnya. Itu karena
penambahan jumlah kendaraan pribadi bukan lagi luar biasa, melainkan
pertambahan kendaraan pribadi yang eksplosif.

Pembatasan kendaraan bermotor Dominasi kendaraan pribadi yang lalu
lalang di jalan harus dikendalikan. Tidak mengherankan apabila salah
satu penyebab kemacetan adalah volume kendaraan pribadi yang melebihi
ambang batas daya dukung jalan. Dominasi itu pun merupakan wujud dari
ketidaktersediaan angkutan umum yang memadai, angkutan umum yang belum
mampu mengakomodasi para pengguna jalan. Padahal dominasi kendaraan
pribadi mempunyai fungsi yang sangat rendah dalam mengangkut pengguna
jalan. Oleh karena fungsi kendaraan pribadi yang sangat rendah daya
angkutnya jika dibandingkan dengan kendaraan umum, sudah selayaknya
pemerintah daerah mampu menciptakan keseimbangan kendaraan yang mampu
mengangkut orang dalam melakukan perjalanan. Upaya pembatasan merupakan
salah satu langkah yang paling mudah diucapkan atau ditulis, tetapi
sulit untuk dilaksanakan. Karena upaya pembatasan penggunaan kendaraan
pribadi akan menuai berbagai kendala di lapangan. Salah satunya adalah
pengekangan penggunaan kendaraan pribadi yang melekat dengan hak
kepemilikan kendaraan. Wajar apabila pemilik kendaraan mempunyai hak
dalam memanfaatkan sarana dan prasarana jalan yang ada.

Upaya pembatasan bisa dilakukan dengan tidak mengurangi hak pemilik
kendaraan pribadi. Seperti diketahui, kendaraan memerlukan areal parkir,
baik di sisi jalan, maupun di dalam areal bangunan atau gedung
perkantoran atau pusat aktivitas ekonomi. Areal perparkiran itu bisa
dijadikan salah satu upaya untuk pembatasan penggunaan kendaraan
pribadi. Karena pemilik kendaraan pribadi akan kebingungan manakala
kesulitan mendapatkan areal parkir.
Apalagi beberapa saat yang lalu Pemerintah Daerah Jakarta pernah
menertibkan kendaraan yang parkir tidak pada tempat yang ditentukan.
Kalau tindakan itu dilakukan terus-menerus, tentu akan menciptakan sikap
para pemilik kendaraan pribadi untuk tertib. Akan tetapi, hal itu tidak
dilakukan secara berkelanjutan.

Keterbatasan areal parkir bisa merupakan salah satu kunci untuk
`memaksa' pemilik kendaraan pribadi enggan menggunakan kendaraan.
Apabila areal parkir terbatas, ditambah lagi biaya parkir yang cukup
mahal, akan menjadi pertimbangan tersendiri menggunakan kendaraan
pribadi. Seperti diketahui, pada saat ini untuk memanfaatkan jasa
perparkiran dikenai biaya parkir yang relatif murah. Saat ini biaya
parkir rata-rata Rp2.000 per jam untuk kendaraan roda empat, sedangkan
untuk kendaraan roda dua Rp1.000 per jam. Kalau dihitung lama kerja 6
jam per hari, untuk kendaraan roda empat akan mengeluarkan biaya parkir
6 x Rp2.000 = Rp12.000, sedangkan untuk kendaraan roda dua: 6 x Rp1.000
= Rp6.000. Suatu nilai yang relatif terjangkau jika dibandingkan dengan
dampak yang ditimbulkan dari makin banyaknya penggunaan kendaraan
pribadi. Akan tetapi, bila biaya ini dinaikkan menjadi lima kali atau
lebih mahal menjadi Rp10 ribu per jam per kendaraan roda empat dan
Rp5.000 per jam per kendaraan roda dua, para pemakai kendaraan pribadi
akan berhitung, mana yang lebih efisien, menggunakan kendaraan umum yang
rata-rata jauh dekat hanya Rp3.000 atau menggunakan kendaraan pribadi.

Perlu Kebijakan tersendiri Mengingat kondisi tersebut, sudah selayaknya
pemerintah daerah harus berupaya mengimbau pengurangan pemakaian
kendaraan pribadi.
Pekerjaan itu tidaklah mudah. Perlu kajian yang mendalam untuk
menentukan kebijakan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. Kebijakan
yang bisa dilakukan adalah menentukan biaya parkir per jam per kendaraan
yang tinggi di semua areal parkir. Yang diikuti penghapusan semua areal
parkir yang ilegal, menindak pengelola jasa perparkiran yang tidak
melaksanakan ketentuan yang berlaku. Itu bisa dilakukan. Apalagi dalam
menentukan besaran biaya parkir harus ditentukan atau didasarkan pada
peraturan daerah yang sudah ada sehingga penetapan biaya parkir yang
mahal memiliki payung hukum.

Di samping itu, kebijakan yang ada dalam pembatasan penggunaan kendaraan
pribadi pada kawasan tertentu yang dikenal dengan tiga penumpang pada
satu kendaraan (3 in 1) perlu ditinjau ulang. Berbagai dampak sosial
ekonomi muncul dengan pemberlakuan kawasan 3 in 1 ini. Salah satunya
adalah munculnya `joki' 3 in 1 sehingga upaya meningkatkan kawasan ini
lebih efisien dalam mengangkut penumpang kurang berhasil. Karena jumlah
penumpang yang ada dalam tiap kendaraan adalah penumpang `semu',
sedangkan penumpang sebenarnya yang tidak atau belum tertampung atau
terangkut oleh angkutan umum masih berjubel di pemberhentian angkutan umum.

Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu kajian terhadap kawasan 3 in 1
untuk diubah menjadi kawasan khusus kendaraan umum. Kawasan khusus
kendaraan umum adalah kawasan yang lalu lalang hanya kendaraan umum yang
meliputi: bus Trans-Jakarta, bus patas AC atau nonAC, Kopaja, Mikrolet,
dan taksi. Dengan demikian, kendaraan umum menjadi primadona pada
kawasan khusus angkutan umum. Pemberlakuan kawasan kendaraan umum pun
variatif, seperti yang berlaku pada kawasan 3 in 1, yaitu kawasan khusus
angkutan umum berlaku mulai pukul 07.00 WIB­10.00 WIB dan pukul 16.30
WIB­19.00 WIB setiap hari kerja.
Tentu upaya itu pasti akan banyak menuai pro dan kontra karena banyak
pihak yang diuntungkan maupun dirugikan dengan pemberlakuan kawasan
khusus angkutan umum. Namun, upaya itu wajar guna mengurangi ataupun
membatasi penggunaan kendaraan pribadi.
Walaupun demikian, pasti akan terjadi dampak kemacetan yang luar biasa
di kawasan sekitar kawasan khusus angkutan umum, tapi ini semua
merupakan satu konsekuensi bagi semua penggunaan kendaraan pribadi, jika
setiap kendaraan pribadi adalah pencetus kemacetan, pencetus daya dukung
sarana jalan terlampaui.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/08/05/ArticleHtmls/05_08_2009_011_005.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: