BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Tiga Dosa Media dalam Liputan Bom

Tiga Dosa Media dalam Liputan Bom

Written By gusdurian on Rabu, 05 Agustus 2009 | 09.43

Tiga Dosa Media dalam Liputan Bom

*Arya Gunawan*
PEMERHATI MEDIA, MANTAN WARTAWAN /KOMPAS/ DAN /BBC/ LONDON. KINI BEKERJA
DI UNESCO JAKARTA, DAN MENJADI DOSEN TIDAK TETAP DI JURUSAN JURNALISME
FISIP UNIVERSITAS INDONESIA

Dua pekan berlalu sejak bom kembar mengguncang Hotel JW Marriott dan
Ritz-Carlton di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, namun gegap-gempita
laporan media massa terkait dengan peristiwa tersebut tampak belum
menyurut. Nyaris tak ada media berita yang absen melaporkan
perkembangannya setiap hari. Sebuah kenyataan yang wajar, mengingat
peristiwanya masih terus berkembang dan menyisakan sederet tanda tanya,
termasuk mengenai belum tersingkapnya teka-teki pelaku dan motifnya.

Di satu sisi, "kehebohan" yang berlangsung di kalangan media ini tentu
perlu disambut hangat, karena ini menunjukkan bahwa media tengah
menjalankan fungsi dan menunaikan tugas mereka sebagai penyedia
informasi bagi masyarakat. Dengan kata lain, media tengah melayani
khalayak untuk memenuhi salah satu hak asasi khalayak, yaitu hak untuk
mendapatkan informasi.

Namun, pada sisi lain muncul juga situasi yang mengundang keprihatinan
ditinjau dari sudut disiplin ilmu dan praktek jurnalisme, sebagaimana
tecermin dari judul yang dipakai untuk tulisan ini. Sebelum melangkah
lebih jauh, saya hendak menegaskan bahwa apa yang saya maksudkan dengan
"dosa" dalam konteks ini semata-mata untuk memberikan efek penguatan,
bukan diniatkan untuk menjadikan media sebagai pesakitan. Tulisan ini
juga tidak bermaksud menunjukkan secara terperinci kasus per kasus, dan
tidak pula hendak menuding secara spesifik media mana yang telah
melakukan perbuatan "dosa" tadi. Tulisan ini lebih sebagai sebuah
gambaran umum, dengan niat agar bisa dijadikan alat becermin dan mawas
diri bagi para pemilik, pengelola, dan pekerja media, untuk melakukan
langkah-langkah koreksi dan pembenahan di masa datang.

Tiga "dosa" yang dimaksudkan di sini hampir selalu menghantui dan dapat
memerangkap media jika berhadapan dengan peristiwa pengeboman seperti
yang terjadi di Mega Kuningan ini. Banyak faktor yang menjadi penyebab
munculnya perangkap tersebut, antara lain "perlombaan" mengejar
kecepatan dan eksklusivitas berita sehingga mereka tak terlalu awas lagi
terhadap nilai-nilai yang dikedepankan oleh etika jurnalisme (misalnya
saja pentingnya akurasi, juga sikap untuk selalu mengupayakan
kepatutan//decency/). Di tengah perlombaan yang dipicu oleh iklim
kompetisi sangat ketat semacam ini, yang lebih tampil adalah hal-hal
sensasional, yang bermuara pada aspek komersial, dan tersingkirkanlah
nilai-nilai ideal. Faktor lainnya adalah "kemalasan" wartawan untuk
melakukan verifikasi guna menawarkan sebuah kontra-teori atas apa yang
disampaikan oleh lembaga-lembaga resmi (dalam kasus bom Mega Kuningan,
yang mendominasi adalah versi resmi dari pihak kepolisian).

"Dosa" pertama yang dilakukan media dalam konteks laporan bom Mega
Kuningan ini adalah pengabaian terhadap asas kepatutan. Ini tampak
nyata, terutama pada media televisi, di mana gambar-gambar yang
seharusnya tidak patut ditampilkan (misalnya saja gambar yang
menunjukkan bagian-bagian tubuh yang telah terpenggal terkena bom) tetap
terpampang. Keprihatinan yang serius telah disuarakan oleh Dewan Pers
begitu tayangan tersebut muncul. Sebagian besar media kemudian
mendengarkan kritik ini, namun sebagian lainnya masih sempat berlenggang
kangkung, /business as usual/.

"Dosa" kedua, media telah menempatkan dirinya bukan lagi semata-mata
sebagai pelapor, melainkan telah bergerak terlalu jauh hingga menjadi
interogator, bahkan inkuisitor (salah satu definisi dari istilah
terakhir ini adalah /a questioner who is excessively harsh/ alias
"seorang pewawancara yang amat kasar"). Inilah yang dengan mencolok
diperlihatkan oleh sejumlah stasiun televisi saat para reporternya
melakukan wawancara terhadap sejumlah anggota keluarga atau kerabat dari
nama-nama yang diduga oleh pihak kepolisian terlibat dalam aksi
pengeboman itu. Para sanak keluarga dan kerabat ini seperti tengah
mengalami mimpi buruk: hidup yang semula barangkali aman-tenteram,
seketika terusik oleh kehadiran para juru warta yang dengan agresif
berupaya mendapatkan keterangan--apa pun bentuk keterangan itu--dari
mereka.

Media tentu boleh-boleh saja mencari informasi dari mereka, namun harus
dengan pertimbangan masak, setidaknya untuk dua hal: (a) relevansi
(misalnya, apakah seorang paman dari salah seorang yang disebut-sebut
terlibat dalam aksi itu cukup relevan untuk dijadikan narasumber,
apalagi sang paman kemudian mengaku sudah 10 tahun tak pernah lagi
berhubungan ataupun mendengar kabar mengenai keberadaan sang keponakan);
dan (b) cara mengorek informasi. Untuk butir terakhir ini, yang hadir ke
hadapan khalayak adalah kesan bahwa pihak yang diwawancarai ditempatkan
seolah-olah sebagai pesakitan. Inilah salah satu wujud nyata dari apa
yang disebut sebagai /trial by the press/, bahkan ia telah layak
digolongkan sebagai teror dalam bentuk lain.

Masih terkait dengan "dosa" nomor dua ini, perkembangannya kemudian
malah kian runyam, yakni ketika tiba-tiba pihak berwajib menyebutkan
bahwa nama-nama yang semula diduga terlibat dalam aksi pengeboman itu
ternyata keliru. Tidak tampak rasa bersalah, apalagi permintaan maaf
terbuka, dari kalangan media yang sebelumnya telah menjalankan peran
inkuisitor tadi. Padahal para sanak keluarga dan kerabat itu telah
terpapar begitu terbuka ke publik, telah menjadi buah bibir di mana-mana
dan bukan tak mungkin telah dijauhi oleh lingkungannya. /Damage has been
done/, dan seakan tak ada upaya dari pihak yang merusak untuk menata
kembali kerusakan itu.

Untuk "dosa" pertama dan kedua, obat penawarnya adalah pemahaman
terhadap nilai-nilai dan praktek penerapan etika jurnalisme. Setiap
lembaga media perlu menerbitkan pedoman internal penerapan etika
jurnalisme ini. Setiap wartawan wajib mempelajarinya dan memahami
isinya, bila perlu dengan membuat pelatihan khusus mengenai etika dengan
berbagai studi kasus yang konkret bagi setiap wartawan baru. Bila perlu,
ditambahi pula dengan kontrak kerja yang mencantumkan bahwa si pemegang
kontrak wajib mematuhi etika jurnalisme, dan bisa dikenai sanksi tegas
jika mengabaikannya. Dengan segala cara ini, nilai-nilai etika
jurnalisme menjadi terinternalisasi alias melekat pada diri setiap
wartawan, sehingga mereka tahu persis apa yang mesti dilakukan jika
diperhadapkan dengan berbagai dilema yang terkait dengan etika
jurnalisme dalam tugas mereka sehari-hari.

Adapun "dosa" nomor tiga adalah hal yang sudah lama menjadi keprihatinan
saya dan telah berulang kali pula saya suarakan, yaitu kemalasan media
untuk mencari alternatif versi cerita di luar apa yang disorongkan oleh
lembaga resmi. Untuk mendapatkan versi alternatif ini, tentu saja
diperlukan upaya ekstrakeras dari media untuk terus menggali informasi
dari berbagai sumber, untuk melakukan verifikasi tanpa bosan, untuk
tetap skeptis alias tidak menelan mentah-mentah informasi yang diterima,
termasuk--tepatnya, apalagi--yang datang dari pihak resmi. "Dosa" ketiga
ini sebetulnya terkait dengan "dosa" kedua. Jika media melakukan
pertobatan untuk sekuat tenaga menghindar dari "dosa" ketiga ini, hampir
pasti media juga akan terhindar dari "dosa" kedua. Sebab, media pasti
tidak akan terburu-buru menggeruduk sanak keluarga dari mereka yang
dituduh terlibat dalam aksi pengeboman itu, sebelum diperoleh petunjuk
sangat kuat yang mengarah pada nama-nama tersebut .

Sebetulnya, perangkap tiga "dosa" seperti ini tak perlu lagi terjadi
dalam kasus bom Mega Kuningan ini, karena bukan pertama kalinya media di
Indonesia melaporkan peristiwa pengeboman. Namun, mungkin media luput
menarik pelajaran penting dari kasus-kasus sebelumnya. Atau, kalaupun
sempat melakukan perenungan dan memetik hikmah dari kejadian terdahulu,
ia masih tinggal sebagai pelajaran, bukan sesuatu yang diterapkan pada
tataran praktis.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/05/Opini/krn.20090805.172975.id.html
Share this article :

0 komentar: