BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Semiotika Teroris

Semiotika Teroris

Written By gusdurian on Rabu, 05 Agustus 2009 | 09.12

Semiotika Teroris

*Zainul Maarif*
DOSEN SEMIOTIKA DAN LOGIKA STIKOM PROSIA, JAKARTA

Spekulasi tentang pelaku dan motif pengeboman Hotel JW Marriott dan
Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta, 17 Juli 2009, mulai menemukan cahaya
terang. Keterangan resmi Tandzim Al-Qaidah Indonesia yang ditandatangani
Abu Muawwidz Noor Din bin Muhammad Top menyingkap tabir misteri di balik
penghancuran itu.

Pada tulisan yang dilansir di Internet pada 26 Juli 2009, Noor Din
mengaku bahwa para pengebom adalah anggota organisasi yang dipimpinnya.
Mereka meluluh-lantakkan dua hotel besar di ibu kota Indonesia demi (1)
membalas tindakan Amerika Serikat (AS) terhadap kaum muslimin dan
mujahidin di penjuru dunia; (2) menghancurkan kekuatan AS di Indonesia;
(3) mengusir AS dari negeri Islam; (4) memberi pelajaran untuk umat
Islam tentang hakikat loyalitas kepada Islam dan umatnya serta
permusuhan terhadap non-Islam; dan (5) memberikan penyejuk hati bagi
kaum muslimin yang terzalimi dan tersiksa di seluruh penjuru dunia.

Noor Din menyebut penghancuran gedung yang membunuh 9 orang dan melukai
sedikitnya 50 orang itu sebagai /amaliyah isytisyhadiyah/ (jihad). Untuk
membenarkan tindakannya, Amir Tandzim Al-Qaidah Indonesia itu menyitir
tiga ayat Al-Quran, yaitu ayat 17 dari surat Al-Anfal, ayat 14 dari
surat At-Taubah, dan ayat 54 surat Ali Imran. Dengan ketiga ayat
tersebut, dia ingin mengesankan bahwa Tuhan berada di balik tindakan
mereka, yang tak lebih dari perantara Tuhan, Sang Maha Makar terhadap
para musuh untuk membahagiakan dan memenangkan orang-orang beriman.

*Noor Din*
Pria yang lahir di Malaysia itu terlihat jelas melakukan penandaan dan
penafsiran atas obyek-obyek sebelum melakukan perusakan atasnya. Dia
tidak semata-mata melihat dua hotel itu sebagai tempat untuk menginap,
makan, minum, pertemuan, dan hiburan. Dia cenderung melihat obyek itu
sebagai representasi AS.

Acap kali tanda AS disebut, Noor Din dkk menafsirkannya sebagai musuh
umat Islam. Argumen mereka untuk sampai ke penafsiran itu adalah
serangan AS terhadap umat Islam di berbagai negara, seperti Afganistan
dan Irak. Karena serangan itu, mereka menyatakan perang terhadap AS.
Celakanya, mereka membalas serangan AS yang kadang membabi-buta dengan
serangan serampangan pula. Akibatnya, segala hal yang terkait dengan AS,
meskipun sedikit, dijadikan sebagai sasaran serangan mereka.

Mengingat hubungan antara obyek, tanda, dan penafsiran merupakan
landasan awal tindakan orang-orang semacam Noor Din, pembongkaran
atasnya pun sangat diperlukan. Pasalnya, penafsiran atas sensasi indrawi
bisa menjadi suatu kepercayaan (atau keraguan) yang mengarah pada
tindakan yang selanjutnya menjadi kebiasaan (Pierce, 1965 [dalam Cahoone
1996]: 145-149). Jika penafsiran destruktif dibiarkan menjadi
kepercayaan, tindakan, bahkan kebiasaan, bisa dipastikan bahwa perusakan
serupa akan berulang.

Karena itu, pembongkaran atas penafsiran itu sangat urgen. Minimal
diperlukan tilikan tajam atas dua hal untuk membongkarnya. Pertama,
apakah penafsiran itu riil ataukah fiksi? Kedua, apa efek lebih lanjut
dari penafsiran tersebut? (Pierce, 1965 [dalam Cahoone 1996]: 150). Noor
Din dkk menafsirkan tindakan mereka sebagai jihad melawan AS untuk
membahagiakan umat Islam dan merepresentasikan Tuhan, Sang Maha
Penghancur dan Maha Makar. Tafsiran itu mungkin riil atau fiksi. Ia
dikatakan riil jika semua yang dinyatakannya benar adanya. Sebaliknya,
kalau bertolak belakang dari fakta, tafsiran itu tak lebih dari fiksi.

Fakta menunjukkan bahwa korban peristiwa bom Kuningan 17 Juli 2009 lebih
banyak orang Indonesia muslim ketimbang orang AS non-muslim. Jelas,
semua korban dan keluarga korban menderita. Tapi, ironisnya, derita juga
menjalar ke keluarga pelaku, negara dan bangsa Indonesia, serta Islam
dan umatnya. Keluarga pelaku pengeboman terlunta-lunta, turut diburu dan
diinterogasi aparat keamanan, dan dikucilkan oleh masyarakat sekitar.

Negara dan bangsa Indonesia rugi besar karena teror itu. Perekonomian
dan pariwisata Indonesia sempat terganggu. Sedangkan perekonomian dan
pariwisata Amerika Serikat, yang menjadi tujuan penyerangan teroris,
nyaris tak tersentuh sama sekali. Lebih lanjut, Islam dan umat Islam
yang konon mereka perjuangkan justru terseok-seok karena tindakan
mereka. Islam diidentikkan dengan terorisme. Secara otomatis, umat Islam
pun distigmatisasi sebagai teroris dan menjadi target interogasi ketat
setiap pergi ke luar negeri. Celakanya, Tuhan versi Islam pun lantas
diasosiasikan sebagai Sang Maha Keras, bukan Sang Maha Pengasih dan
Penyayang.

Berdasarkan fakta tersebut, bisa disimpulkan bahwa penafsiran Noor Din
dkk merupakan fiksi yang berimbas buruk. Ia jauh dari realitas, bahkan
merusak tatanan realitas. Ia merugikan pihak yang katanya dibela, bukan
malah membahagiakannya. Ia dengan kata lain adalah kebohongan yang
benar-benar merugikan liyan di masa kini dan masa mendatang.

Persoalannya, fiksi berefek buruk itu telah menjadi kepercayaan,
tindakan, dan kebiasaan destruktif beberapa orang yang mengaku taat
beragama. Para teroris sudah mencapai taraf yang disebut Erich Fromm
(1973) sebagai "ekstasi penghancuran" lantaran penafsiran fiktif
destruktif tersebut. Antitesis semacam apa yang perlu dikeluarkan untuk
mengatasinya?

Menangkap teroris dan menyetop aliran dana dan gerak mereka memang wajib
dilakukan oleh aparat keamanan yang dibantu masyarakat. Namun, yang tak
kalah penting dan jauh lebih sulit adalah mencegah penyebaran lebih
lanjut fiksi negatif berikut efek-efeknya itu. Demi pencegahan,
diperlukan kritik terus-menerus atas fiksi tersebut hingga masyarakat
(terutama yang awam) sadar akan kebohongannya. Di samping itu,
dibutuhkan penyebaran wacana kebersamaan dalam keberagaman secara massif
baik di lingkup luas (seperti media massa) maupun di lingkup terbatas
seperti (seperti institusi pendidikan). Tanpa pencegahan negatif dan
positif semacam itu, pikiran dan tindakan orang-orang semacam Noor Din
dkk akan terus mengemuka, meskipun upaya penangkapan terhadap mereka
dilancarkan secara gencar oleh aparat keamanan.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/05/Opini/krn.20090805.172976.id.html
Share this article :

0 komentar: