BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Kehormatan Pemilu

Written By gusdurian on Sabtu, 11 April 2009 | 14.35

Kehormatan Pemilu


Kehormatan pemilihan umum (Pemilu)kali ini tampaknya akan sedikit terluka.Tentu akan menjadi suatu masalah, seringan apa pun masalah itu.


Walaupun ringan, sebaiknya luka itu dikenali dengan secermat-cermatnya dan diobati dengan sebaikbaiknya sejak dini. Luka itu sekali lagi,seringan apa pun,tidak bisa dibiarkan, bukan karena terlalu banyak uang negara yang dikucurkan untuk menyelenggarakannya dan begitu banyak orang terlibat di dalamnya, tetapi sejatinya pemilu memiliki kehormatan tersendiri.

Disebabkan oleh kehormatannya itulah pemilu menjadi tak bermakna kalau didengungkan hanya sebagai pesta-pestaan walaupun diembel-embeli dengan demo krasi. Sebagai sebuah perkara serius bagi bangsa, bagi rakyat, bukan bagi partai, juga bukan bagi mereka yang berkontes di panggung ini untuk dipilih menjadi wakil rakyat, pemilu merupakan wadah orang-orang berakal budi mengekspresikan cita-cita mulia mereka tentang hari esoknya.

Keagungan Kita

Pemilu di negeri yang kita cintai ini telah mulai diselenggarakan sejak 1955, karena esensinya, terlalu berisiko untuk disederhanakan menjadi sebuah perkara rutin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Sebagai cara mengisi jabatan-jabatan publik yang bersifat kolektif dan politis,menggantikan cara feodal klasik,pemilu merupakan ekspresi dari hasrathasrat luhur, seluhur cita dan budi manusia beradab dan bermartabat.

Karena itu, dapat dikatakan bahwa pemilu sejatinya merupakan pencapaian gemilang dari cita dan budi mulia orang-orang beradab dan bermartabat untuk tidak hanya menolak cara pengisian jabatan-jabatan kolektif ala feodalisme klasik,yang main angkat dan tunjuk, disertai dengan upetiupeti kepada sang pemilik negeri: raja.

Main tunjuk dan main angkat dalam tradisi feodal, sesuai sejarahnya dalam pemerintahan-pemerintahan klasik, cuma menghasilkan satu hal: pendalaman despotisme, otokratisme, bahkan kleptokratisme ganas terhadap kehidupan orang banyak. Dalam tradisi ini, sekali lagi, sesuai sejarahnya, tidak pernah muncul cerita anggun tentang kemanusiaan.

Kesejahteraan rakyat, kalaupun ada, cuma menjadi cerita nomor sekian karena rakyat yang banyak jumlahnya itu hanya bernilai sebagai budak dan tidak layak untuk dihargai sebagai manusia, sesuai kodratnya yang hakiki. Mestilah dicatat bahwa pemilu, betapapun tidak semuanya, merupakan penghargaan tentang betapa agungnya manusia yang sesuai kodratnya adalah merdeka sejak lahir.

Kodrat itu,begitulah yang diyakini oleh orang-orang bernalar dan berjiwa besar serta agung itu, bukanlah sesuatu yang diperoleh dari belas kasih penguasa, melainkan dipatrikan oleh Sang Pencipta. Inggris pada 1688 dan satu abad kemudian Prancis, tepatnya pada 1789, dengan derajat yang berbeda, adalah dua contoh menarik.

Kericuhan, bahkan darah, harus mengalir membasahi bumi, hanya demi memuliakan harkat dan martabat manusia yang agung dan suci itu. Cara memilih, yang kelak berkembang menjadi pemilihan umum, yang sekali lagi kita kenali dan laksanakan pada saat ini adalah hasil yang pantas diperoleh untuk mematrikan kemuliaan itu.

Tidak serta-merta karena per-tumbuhannya harus melewati fase yang agak lama, berliku, dan berbiaya mahal sebelum akhirnya,dalam derajat tertentu, disepakati menjadi cara yang paling selaras dengan nilai-nilai keagungan kemanusiaan untuk urusan menduduki jabatan kolektif dan politis. Itulah kehormatan pemilu.

Terhormat, selain karena cara mencapainya, juga––dan ini yang penting–– adalah esensinya itu. Itulah sebabnya, dada kemanusiaan kita terusik, sakit, bila kehormatan itu dinodai, apalagi kalau nodanya itu disengaja.Sakit bukan karena ada yang akan memperoleh ke-untungan yang tidak semestinya dan ada yang menderita kerugian yang tidak semestinya––betapapun hal itu juga patut dipertimbangkan––, tetapi karena kesengajaan itu sama maknanya dengan menghina keagungan kita sebagai manusiamanusia yang bermartabat.

Jalan Terhormat

Berkali-kali sudah pemilu diselenggarakan, tetapi sepanjang itu pula masalah demi masalah harus dihadapi oleh bangsa ini.Jujur dan adil adalah dua hal––kalau mau sedikit berkeringat membuka file demi filepemberitaan media cetak sejak 1972––tampaknya belum mampu diwujudkan oleh bangsa ini.Susah betul untuk jujur dalam soal sepenting ini.

Susah betul untuk adil dalam soal sepenting ini walaupun tetap saja ada yang merindukannya. Kerinduan terhadap kedua hal itu yang mengantarkan bangsa ini ke titik pikir bahwa organ penyelenggaraan pemilu harus diubah, begitu pengawasnya.Sebab di titik penyelenggara khas Orde Baru–– begitulah yang dapat dikenali- ––ditandai sebagai pangkal malapetaka dalam pemilu.

Tak terlalu mengherankan kalau, sekalipun sulit, kata-kata jujur dan adil terus saja dijadikan asas berpemilu, yang sesuai sifatnya merupakan roh atau spirit sakral dari setiap tindakan. Membahananya berita tentang orang yang telah meninggal dunia masih juga terdaftar dalam daftar pemilih tetap, atau orang yang namanya dua kali terdaftar dalam daftar pemilih tetap dan anakanak di bawah umur pun ikut terdaftar di dalam daftar pemilih tetap, patut dicemaskan.

Kecemasan terhadap cara seperti itu bukan karena nama-nama itu kelak berpotensi diubah menjadi suara, sah lagi, lalu diberikan kepada calon, siapa pun dan dari partai apa pun, tetapi lebih dari itu. Cara itu sama nilainya dengan memberikan hak kepada mereka yang tidak berhak dan melukai hak mereka yang berhak untuk terpilih.

Tidak ada waktu untuk saling menyalahkan, begitu juga berapologi, apalagi cara seperti itu sudah terlalu sering hadir dalam kehidupan politik mutakhir.Sebaiknya percepat tindakan korektif. Siapa pun yang telah dewasa hendaknya mau secara aktif menunaikan tanggung jawab konstitusionalnya untuk secara sukarela memberitahukan kepada para penyelenggara pemilu tentang keadaan lingkungan mereka yang sesungguhnya.

Jangan menyerahkan dan menjadikan soal seserius ini sebagai soal partai. Partai mungkin akan merasa dirugikan, tetapi kerugian sejati adalah terlukanya masa depan kita. Itulah cara terhormat yang paling mudah ditempuh. Andaikan ini bisa dilakukan oleh setiap warga negara, apa pun partai pilihannya dan siapa pun calon yang dijagokan,akan terasa indah sekali buat bangsa ini karena satu hal: cara itu menandai bahwa ada hasrat yang kuat, agung,dan anggun agar kehormatan pemilu tak ternoda.

Berpemilu, seperti disebutkan di muka, bukan soal pesta-pestaan, bukan pula soal kalah dan menang,tetapi soal adanya ekspresi esensial kita sebagai manusia merdeka dalam masyarakat beradab.Pemilu yang tak terhormat hanya akan melahirkan tatanan sosial politik,hukum, ekonomi, dan budaya, serta pada akhirnya tatanan kehidupan berbangsa yang tak terhormat pula.(*)

Margarito Kamis
Doktor Hukum Tata Negara


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/227760/

Kecenderungan Peta Koalisi Pilpres

Kecenderungan Peta Koalisi Pilpres
Oleh Hanta Yuda AR Analis Politik dan Peneliti The Indonesian Institute, Jakarta


G AYUNG politik bersambut, seolah ingin menandingi Golden Triangle Politics. Anas Urbaningrum (ketua DPP Partai Demokrat) juga meng gelindingkan wacana koalisi jembatan emas (golden bridge politics). Partai Demokrat pun gencar melakukan road show ke beberapa parpol papan tengah, seperti PKS, PKB, dan PAN.
Sebelumnya, sudah ada pertemuan elite Golkar dan PDIP, pertemuan PPP dan Golkar, serta pertemuan PPP dan PDIP. Pascapertemuan PPP dengan PDIP itulah ketua umum PPP Surya dharma Ali meluncurkan istilah golden triangle politics (Golkar PDIP-PPP). Kedua kubu itu sama-sama menginginkan koalisi yang akan dibangun untuk mewujudkan pemerintah an yang kuat pada periode 20092014.

Arah kecenderungan peta koalisi memang belum begitu jelas. Namun, fenomena dua ‘koalisi emas’ ini setidaknya bisa dijadikan petunjuk awal, bagaimana kira-kira peta koalisi yang akan muncul menjelang pilpres mendatang?

Kecenderungan koalisi Meskipun semua parpol menjadikan hasil pemilu legislatif sebagai landasan utama untuk menentukan strategi berkoalisi, komunikasi politik untuk penjajakan membentuk blok politik juga tidak salah sepenuhnya jika dilakukan sebelum pemilu legislatif. Hal itu setidaknya dapat dijadikan sebagai petunjuk awal ke mana kecenderungan arah koalisi partai-partai.

Mengenai kecenderungan koalisi ini, setidaknya ada dua analisis sederhana. Pertama, kecenderungan peta koalisi akan terbelah ke dalam tiga atau maksimal empat blok politik. Keempat blok politik itu, antara lain Blok S (Susilo Bambang Yudhoyono), Blok M (Megawati Soekarnoputri), Blok J (Jusuf Kalla) dan Blok X (blok alternatif). Blok X ini berpeluang muncul dari koalisi partai-partai kelas menengah yang memenuhi persyaratan mengusung pasangan capres-cawapres. Di antara sejumlah nama yang beredar, Wiranto (Hanura) dan Prabowo Subianto (Gerindra) tampaknya cukup berpeluang. Di antara keduanya Prabowo memilki peluang terbesar, sebab dengan mesin politik dan dukungan dana yang kuat, Gerindra berpeluang merangkul partai-partai kecil untuk berkoalisi mengusung Prabowo Subianto.

Kedua, kecenderungan koalisi akan mengkristal ke dalam dua blok politik. Karena, arah kon?gurasi politik yang terbentuk tampaknya akan memosisikan Partai Demokrat dengan blok politiknya di satu sisi, berhadapan dengan PDI Perjuangan dengan blok politiknya di sisi lain. Dengan pola ini, dinamika politik yang muncul tidak sefragmentatif kecenderungan pertama dan peta koalisi akan lebih sederhana.

Karena itu, wacana penggalangan koalisi golden triangle antara PDIP, Partai Golkar, dan PPP bisa saja terjadi meskipun probabilitasnya relatif kecil. Namun, seandainya koalisi partai berbasis nasionalis-Islam ini terwujud bisa menjadi kekuatan besar di Pilpres 2009. Karena, PDIP, Golkar, dan PPP memiliki infrastruktur mesin partai dan jejaring yang cukup kuat dan solid karena tiga partai ini sudah eksis sejak Orde Baru.

Namun, bangunan koalisi semacam ini berjalan efektif jika ada titik kesepakatan antara PDIP dengan Partai Golkar. Karena problem dan ancaman paling mendasar dalam koalisi golden triangle adalah, apakah Me gawati bersedia mengalah menj a d i cawapres j i k a s u a r a PDIP le b ih rendah dari Golkar. Pada titik inilah potensi terbesar aliansi golden triangle akan layu sebelum berkembang, dan PDIP dan Golkar pun akan terpisah.

Karena itu, seandainya yang maju hanya SBY dan Megawati, peluang Jusuf Kalla tetap belum tertutup rapat. Situasi politik boleh jadi berbalik jika suara Golkar ternyata anjlok pada pemilu legislatif. Katakanlah ‘Partai Beringin’ ini berada di posisi ketiga setelah PDIP dan Demokrat. Keka lahan Golkar ini justru akan membuka jalan bagi Kalla untuk kembali berduet dengan SBY.

Untuk Golkar, dalam situasi demikian tentu pilihan ini terbilang paling realistis agar Golkar tetap berada dalam lingkaran inti kekuasaan. Ka rena, dalam sejarahnya Golkar tidak terbiasa untuk menjadi oposisi seperti PDIP s a a t ini. Setidaknya Golkar akan kembali bermain di dua blok, seperti halnya di Pilpres 2004 lalu.

Seandainya kekuatan politik benar-benar ter belah dalam dua blok politik (Blok S dan Blok M) seperti itu, tampaknya partai-partai menengah, terutama PKS, lebih cenderung berkoalisi dengan Partai Demokrat ketimbang PDIP. PKS, misalnya, secara tersirat sudah memberi sinyal lebih cenderung bergabung dengan Blok S. Karena, masukan dari akar rumput menginginkan PKS menjalin koalisi dengan Partai Demokrat.

Karena itu, cikal bakal kedua koalisi tersebut (golden triangle dan golden bridge) memiliki probabilitas yang sama dalam konteks memperoleh dukungan partai-partai. Partai-partai menengah tentunya akan membaca blok mana yang memiliki kans menang lebih besar, serta faktor komposisi pasangan capres cawapres juga akan menjadi faktor yang menentukan.

Koalisi rapuh Jika merujuk pada klasi?kasi sistem kepartaian, Giovanni Sartori yang melihat sistem kepartaian ber dasarkan jarak ideologi- membaginya menjadi tiga bagian, yaitu pluralisme sederhana, pluralisme moderat, dan pluralisme ekstrem--maka sistem kepartaian di Indonesia dapat dika tegorikan pluralisme ekstrem. Ketika secara teoritis sistem ini berpotensi besar melahirkan partai dengan jumlah besar dan masing-masing memiliki ideologi yang bertentangan sehingga konsensus sulit dica pai.

Jika ideologi partai-partai di Indonesia memang masih hidup, secara teoritis memang akan mengalami hambatan secara ideologis untuk berkoalisi. Namun, bila dilihat dari variasi isu dan program partai, jarak ideologi partai partai di Indonesia semakin memudar. Kita kian kesulitan dalam mencari perbedaan antara partai satu dengan yang lain nya. Partai-partai itu justru lebih mu dah dipertemukan persamaan kepentingan yang bersifat pragmatis ketimbang kedekatan ideologi. Pendekatan ideologi pun semakin tidak relevan untuk memetakan koalisi partai di Indo nesia. Karena, ideo logi formal partai-partai sebenarnya semakin tidak jelas perbedaannya. Hal itu semakin menguatkan bahwa internalisasi ideologi parpol sangat lemah dan ideologi partai hampir tidak kita temukan dalam implementasinya. Karena itu, koalisi yang akan terbangun adalah koalisi tanpa ideologi. Koalisikoalisi itu ditentukan persilangan kepentingan, bukan pertimbangan ideologi.

Namun, risiko terbesar dari koalisi model ini akan bersifat sangat rapuh. Karena itu, koalisi Golkar-PKS, Demokrat-PKS, Demokrat-Golkar, PDIP-Golkar, atau koalisi-koalisi lainnya akan rapuh. Kerapuhan koalisi tersebut disebabkan karena di dalam koalisi tidak menjadi kan kedekatan ideologi partai atau common platform sebagai faktor deter minan. Namun, lebih didasarkan pada political interest kekuasaan jangka pendek saja sehingga kalaupun koalisi-koalisi ini memenangkan pilpres, koalisi pemerintahan akan memiliki daya rekat rendah dan rapuh.

Koalisi permanen Terlepas dari konstelasi dan pertarungan wacana golden triangle dan golden bridge. Setidaknya ada dua pedoman (secara kuantitas dan kualitas) yang dapat dijadikan pertimbangan bagi partai-partai dalam berkoalisi. Pertama, secara kuantitas jumlah koalisi yang terbangun mestinya tidak terlalu besar, tetapi juga tidak kekecilan, yaitu pas-terbatas (minimal winning coalition). Koalisi pas-terbatas adalah koalisi pemerintahan yang hanya terdiri dari mayoritas sederhana kursi di DPR. Jika Pemilu Legislatif 2009 menghasilkan kursi DPR sebanyak 560, koalisi pas-terbatas ini hanya terdiri dari parpol yang menguasai sekitar 300-an kursi di DPR.

Menurut Arendt Lijphard, koalisi pas-terbatas ini berada di antara koalisi kekecilan (undersized coalition) dan koalisi kebesaran (oversized coalition). koalisi kekecilan terjadi jika presiden hanya ditopang minoritas kekuatan politik di parlemen, sedangkan koalisi kebesaran terjadi jika presiden menguasai mayoritas kursi parlemen dan hanya menyisakan minoritas partai oposisi, seperti terjadi di era pemerintahan SBY-JK. Namun, problemnya koalisi pendukung pemerintahan SBY-JK memiliki daya rekat yang rendah sehingga koalisinya tetap rapuh kendatipun secara kuantitas kebesaran.

Kedua, secara kualitas koalisi yang terbangun memiliki daya rekat yang kuat dan solid (permanen). Koalisi itu mestinya dibangun di atas konsensus platform yang sama atau kedekatan ideologi untuk dijadikan semacam semen pengikat bagi semua anggota koalisi. Komitmen itu perlu dibangun sejak awal dan tidak bisa dibubarkan di tengah jalan.



http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/08/ArticleHtmls/08_04_2009_021_002.shtml?Mode=1

Nasib Penunggu Undangan ke TPS

Nasib Penunggu Undangan ke TPS

Oleh : Rohman Budijanto*)

PENCONTRENGAN besok, saya terpaksa jadi ''golput'' alias ''golongan penunggu undangan ke TPS''. Kemarin pagi saya bertemu petugas pengedar undangan ke tempat pemungutan suara. Dia memberi tahu nama saya dan istri saya tak termasuk dapat undangan pemilu. Padahal, pada Pemilu 1999, Pemilu 2004, pilbup, dan pilgub, kami selalu dapat undangan ke TPS.

Selain saya dan istri, kata petugas yang ramah ini, tiga tetangga saya tak dapat undangan mencontreng. Seperti kami, nama mereka hilang dan tak masuk DPT (daftar pemilih tetap) dalam pemilu kali ini.

Petugas itu bercerita, dia berusaha menawar kepada ketua KPPS (kelompok panitia pemungutan suara). Dia meminta agar yang tak dapat undangan bisa datang ke TPS dengan KTP. Tapi, petugas itu diberi tahu ketua KPPS, cara itu bisa membuat dia ''kena''. Mungkin kena pidana pemilu atau sanksi hukum lain. Ngeri, tentunya.

Lalu bagaimana nasib orang-orang yang tak dapat undangan? Ketua KPPS menitipkan ''salam''. ''Katakan kepada mereka: mohon maaf sebesar-besarnya,'' tiru petugas itu. Heran juga saya. Tempat tinggal saya tak pelosok amat, yakni di Kecamatan Kota Sidoarjo.

Percakapan pagi itu mengingatkan diskusi Jumat (3/4) lalu di redaksi Jawa Pos dengan Menko Kesra Aburizal Bakrie, Mensesneg Hatta Radjasa, serta Menkominfo Mohammad Nuh. Kebetulan saya hadir dalam diskusi itu. Dengan menyebut bukan berarti mencari alasan pemaaf, Pak Nuh bilang, ''Kalau secara statistik 95 persen beres dan 5 persen tidak beres, itu sudah baik.'' Mungkin saya termasuk dalam statistik 5 persen yang harus dimaklumi itu.

Logika itu betul. Meski kurang tepat untuk pemilu. Pemilu sedapat mungkin harus beres 100 persen. Seratus persen. Ini mengingat setiap suara warga negara harganya sama. Mulai presiden sampai pesinden, hartawan sampai karyawan, pedagang sampai peladang, petani sampai pencuri, pelajar sampai pelacur, pemuda sampai ''petua'', dan segenap warga berhak pilih punya satu suara.

Negara, dalam hal ini KPU, harus menyiapkan kemungkinan 100 persen pemilih mendatangi TPS. Karena itulah, logistik kertas suara selalu dilebihkan 2 persen untuk mengantisipasi yang rusak. Padahal, dalam sejarah pemilu di mana pun, termasuk ''pemilu-pemiluan'' di negara otoriter, tak ada ceritanya pemilih sampai 100 persen. Pemilu 1999 ada 10,21 persen yang tak menggunakan hak pilih. Pada Pemilu Legislatif 2004, gairah konstituen menurun. Jumlah pemilih abstain membubung ke 23,34 persen. Meski antusiasme pemilu menurun, kertas suara selalu dibuat 102 persen.

Undang-undang pun sangat berhati-hati dalam menetapkan siapa yang dicabut atau tak mendapat hak pilihnya. Misal, orang yang tak sehat rohani, orang yang dicabut hak pilihnya oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan TNI-Polri. Bahkan, mantan napi pun kini sudah dipulihkan hak pilihnya dan pasal dalam UU Pemilu terkait itu dibatalkan. Yakni, setelah gugatan mantan perampok Robertus asal Sumsel, yang gagal jadi caleg, dikabulkan Mahkamah Konstitusi.

Begitu luar biasanya hak pilih warga dalam negara demokrasi. Sebab, di bilik suara inilah suara rakyat menjelma jadi suara bangsa (vox populi vox natio). Pemungutan suara ini juga mengandung kesakralan, karena hanya dirinya sendiri dan Tuhan yang tahu (asas rahasia). Inilah keindahan demokrasi, termasuk demokrasi kita. Hasil pemilu alias kehendak rakyat menjadi teka-teki yang mengasyikkan. Menjadi tes bagi pemerintah incumbent apakah masih dipercaya.

Demokrasi bisa menjadi pesta (party) yang seru. Kebetulan pesertanya juga terdiri atas para party alias partai. Kalau zaman Orde Baru, pestanya tak asyik, karena terlalu tertib, terlalu hening, dan tak ada kejutan. Pesta pemilu yang mestinya ''reality show'' dijadikan ''sinetron berskenario''. Tak heran hasil pemilu waktu itu sudah bisa diprediksi lima tahun sebelumnya.

Pesta demokrasi setelah Orde Baru berlalu lebih asyik. Pada 1999 rakyat begitu antusias mengikuti rangkaian pesta ini. Sayang, terlalu banyak yang kebablasan ''mabuk'' pemilu, sehingga darah tercecer-cecer. Pemilu 2004 juga asyik. Yang ''mabuk'' mulai berkurang. Jumlah party-nya juga berkurang dari 48 ke 24 partai. Dan, Pemilu 2009 ini benar-benar asyik, meski party-nya membengkak jadi 38. Makin tak terdengar rakyat kebablasan sampai ''mabuk'' politik. Rakyat ikut pesta dengan pikiran lebih jernih. Sekarang yang pusing, selain bintang pesta (para caleg), tapi juga penyelenggara pesta itu, KPU.

KPU yang sekarang terasa jauh lebih menurun kualitasnya. Ketika dua KPU sebelumnya sangat serius merancang pemilu sejak awal dan mendengarkan masukan publik. Sedih sekali, bahwa akhirnya sebagian anggota KPU harus masuk penjara.

KPU yang sekarang terlihat grogi sejak awal. Di tengah sorotan itu, ketika dulu dikritik jangan jalan-jalan ke luar negeri, tetap saja nekat. Ada juga yang nyelonong nonton pemilu Amerika, yang entah apa faedahnya buat pemilu kita. Tak heran kemudian muncul banyak keraguan, termasuk dalam membereskan masalah daftar pemilih tetap (DPT).

Di tengah keraguan ini, cukup mengherankan juga ketika ketua KPU bilang, kurang dua hari pencoblosan, persiapan sudah 98 persen. Ini seperti logika asal kena, berarti kalau kurang sehari 99 persen, lalu pas pencoblosan sudah 100 persen. Tapi, meski kelihatan asal-asalan, saya harap memang begitu.

Meski agak kecewa tak dapat undangan ke TPS, saya tetap mengharapkan hasil pemilu sekarang bisa meningkatkan kualitas kehidupan berbangsa. Toh saya, istri, dan tetangga saya yang tak dapat undangan itu tak sendiri. Rasanya, kalau yang ''tak diajak pesta'' semacam ini banyak, lebih enteng ditanggung.

Kemarin sore, Jawa Pos kedatangan tamu Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. untuk diskusi antisipasi perkara pemilu pascapencontrengan. Di sana disinggung, Mahfud ternyata juga belum dapat undangan ke TPS. ''Pak Sekjen sudah terima undangan?'' katanya menoleh kepada Sekjen MK, Janedjri M. Gaffar, yang di sebelahnya. Pak Sekjen juga menyatakan belum. Boleh jadi, para pembesar itu belum termasuk 2 persen persiapan pemilu yang belum beres itu.

Sebelum pencontrengan, saya akan berusaha bertanya ke petugas pemilu apakah saya benar-benar tak diundang ke TPS. Tapi, mencontreng atau tidak, saya tetap sangat bahagia bila pemilu tenteram dan sukses. Walaupun saya tetap beranggapan suara partai yang akan saya pilih mestinya bertambah satu.

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=62105

Misteri Kursi Dewan

Misteri Kursi Dewan
Amiruddin al-Rahab, Pemerhati politik dan hak asasi manusia di Jakarta

Menjadi calon legislator (caleg) dalam Pemilu 2009 ini seperti menghadapi sebuah lotre massal. Caleg DPR RI seakan berjudi dengan dirinya sendiri dan pemilih. Situasi mirip perjudian itu terjadi akibat adanya dua putusan Mahkamah Konstitusi yang saling tak mendukung, yaitu putusan tentang sistem suara terbanyak dan putusan tentang pemberlakuan parliamentary threshold.

Dua putusan MK yang berpunggungan itu membuat cara menentukan peraih kursi DPR RI dalam pemilu kali ini sungguh sangat rumit dan penuh misteri. Ada 11.225 caleg yang memperebutkan 560 kursi. Semua caleg tersebar di 77 daerah pemilihan di 33 provinsi. Sementara itu, jumlah pemilih 171.068.667 orang, yang akan memberikan suaranya di 527.344 tempat pemungutan suara (TPS) dalam negeri dan 873 buah TPS luar negeri.

MK dalam putusan perkara nomor 3/PUU-VII/2009 tanggal 13 Februari 2009 menyatakan bahwa parliamentary threshold tidak bertentangan dengan UUD 1945 hasil amendemen. Artinya, Pasal 202 dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR berlaku secara sah dan mengikat seluruh partai politik dan penyelenggara pemilu.

Seturut Pasal 202, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, seorang caleg hanya bisa menduduki salah satu dari 560 kursi yang tersedia di DPR RI jika partainya mendapatkan sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional. Dua setengah persen dari jumlah suara sah nasional itu setara dengan 4.276.717 suara. Artinya, para caleg yang partainya tidak meraih suara mencapai 2,5 persen suara sah nasional harus gigit jari meskipun mereka berhasil meraih suara terbanyak di daerah pemilihannya (pasal 203 [1-2]).

Jika demikian putusan baru MK, lantas bagaimana dengan putusan MK Nomor 24/PUU-IV/2008/, yang mengukuhkan sistem suara terbanyak? Bukankah MK, ketika menetapkan sistem suara terbanyak, menganulir Pasal 214 UU No. 10/2008 tentang Pemilu, yang mengandaikan setiap caleg memiliki

kesempatan yang sama untuk duduk di DPR RI asalkan ia mendapatkan suara terbanyak di daerah pemilihan tertentu. Artinya, total suara perolehan partai tidak menjadi penentu penetapan seorang caleg menduduki kursi DPR RI.

Membandingkan dasar pengandaian logika dua putusan itu, tampak MK tidak konsisten dalam melihat hukum pemilu. Akibatnya, Pemilu 2009 dilaksanakan dengan UU yang telah tercabik-cabik, dan kian membebani Komisi Pemilihan Umum.

Potensi perseteruan

Namun, di lapangan, putusan MK yang menegaskan berlakunya parliamentary threshold itu mendatangkan pekerjaan rumah baru bagi KPU, Badan Pengawas Pemilu, dan Polri. Sebab, putusan itu akan banyak menuai perseteruan antarcaleg dan antarpengurus partai. Perseteruan bisa terjadi oleh beberapa kondisi. Pertama, belum jelasnya korelasi antara pemberlakuan penghitungan suara terbanyak dan ketentuan parliamentary threshold. Kasus perseteruan jenis ini bisa timbul ketika seorang caleg mendapatkan suara terbanyak di daerah pemilihannya tapi partainya tidak lolos parliamentary threshold secara nasional, apakah kursinya raib secara otomatis. Jika raib secara otomatis, bagaimana kepastian hukum dari sistem suara terbanyak sebagaimana yang telah di putuskan MK sendiri?

Perlu diingat prinsip suara terbanyak adalah semua caleg memiliki kesempatan yang sama masuk ke DPR RI sejauh dirinya memperoleh suara terbanyak (popular vote) di daerah pemilihannya. Jika prinsip ini dibuldoser oleh pemberlakuan parliamentary threshold, caleg dan pengurus partai bisa memperkarakan KPU.

Kedua, caleg dan pengurus partai merasa dipermainkan oleh MK dan KPU. Partai-partai baru dan kecil, yang sebelumnya merasa mendapat angin, seketika mati kutu ketika parliamentary threshold diberlakukan. Jerih payah dan biaya yang dikeluarkan sejak tujuh bulan lalu (masa kampanye delapan bulan) seakan terbuang sia-sia. Akibatnya, militansi pengurus, caleg, dan kader di jajaran bawah bisa langsung loyo.

Jika partai dan caleg dari partai kelas ini bergabung memperkarakan KPU, hasil pemilu bisa kacau di tataran bawah. Gejalanya sudah tampak. Saat ini telah terbentuk Forum Partai-partai yang diinisiatifi oleh 23 pemimpin partai baru dan kecil. Niat memperkarakan MK dan KPU jika memberlakukan parliamentary threshold telah mereka rancang (SP, 4/3/2009). Forum 23 partai ini menilai sistem parliamentary threshold merupakan upaya membunuh mereka.

Padukan langkah

Mengingat adanya potensi masalah di atas, KPU, Bawaslu, dan polisi harus duduk bersama segera untuk mengambil langkah yang padu dan membuat aturan main yang jernih. Komunikasi intensif ketiga badan itu dengan seluruh jajaran partai perserta pemilu harus dilakukan sedini mungkin untuk mereduksi bahaya laten pemberlakuan parliamentary threshold di atas sistem suara terbanyak.

Maka dari itu, KPU harus segera menyiapkan aturan main dan mensosialisasi implikasi dari putusan MK tentang pemberlakuan parliamentary threshold, yang bersilangan dengan sistem suara terbanyak dalam pengisian kursi DPR RI, kepada segenap pengurus partai politik di daerah dan kepada seluruh jajaran petugas KPU, mulai PPS sampai KPU provinsi.

Kepada pemilih juga harus diberitahukan tentang konsekuensi sistem pemberlakuan parliamentary threshold ini terhadap pilihan mereka agar tidak terjadi salah paham dengan petugas KPU di lapangan. Ketika pemilih tidak paham sistem parliamentary threshold, mereka bisa menjadi ancaman terbesar bagi hasil pemilu.

Bawaslu perlu mengambil langkah responsif dengan mengaktifkan seluruh kemampuan untuk memantau kemungkinan terjadinya main sabun petugas KPU dengan caleg dan pengurus dari partai-partai besar. Jika Bawaslu tidak jeli, partai baru dan kecil serta pemilih akan menjadi pihak yang paling dirugikan.

Kepala Polri dan jajarannya, khususnya satuan Intelkam Polri dan Bareskrim Polri, harus bekerja ekstrakeras untuk mengamankan jalannya proses detik-detik penghitungan kertas suara setelah waktu pencontrengan. Di rentang waktu inilah tindak pidana dan potensi kekerasan dan kekacauan bisa terpicu oleh aksi-aksi para caleg dan pengurus partai yang merasa dicurangi.

Jika sinergi antara KPU, Bawaslu, dan Polri bisa koheren dan padu, beberapa faktor destruktif dari persilangan sistem suara terbanyak dan pemberlakuan parliamentary threshold mungkin bisa diatasi tanpa kekerasan. Dengan demikian, misteri pengisian kursi DPR RI bisa dirasionalisasi. Semoga.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/08/Opini/krn.20090408.161818.id.html

Via Dolorosa

Via Dolorosa
Ada tiga kemungkinan yang menjadi rute Jalan Salib Yesus lebih dari 2.000 tahun lalu.
YERUSALEM -- Penderitaan, wafat, dan kebangkitan Yesus adalah bagian terpenting dalam kalender umat Kristen. Berawal dari Rabu Abu, tepat 40 hari lalu, penderitaan Yesus berpuncak hari ini, Jumat Agung--sebelum Minggu lusa bangkit dari kuburnya (Paskah).

Hari ini umat Kristen mengenang Via Dolorosa atau Jalan Salib yang dilakukan Yesus lebih dari 2.000 tahun lalu. Saat itu beban yang ditanggung Yesus bukan cuma kayu salibnya sendiri, melainkan juga siksaan serta hinaan yang menghunjam tubuhnya.

Tidak ada bagian lain dalam keempat Injil Kitab Perjanjian Baru yang sedetail perjalanan sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus. Namun, dengan hanya Kitab Suci sebagai petunjuk, rute pasti jalan-jalan yang ditapaki Yesus itu masih menjadi subyek perdebatan di antara para ahli agama dan arkeologi selama berabad-abad.

Ada tiga rute Jalan Salib yang mungkin diambil para tentara Romawi yang mengawal "penderitaan" Yesus itu menuju Golgotha--berdasarkan proses rekonstruksi bukti-bukti arkeologisnya. Ketiganya adalah yang berpangkal dari Benteng Antonia, Istana Hasmonea, dan Istana Raja Herodes, yang seluruhnya dianggap sebagai bangunan paling mewah saat itu di Yerusalem.

Bukti arkeologi, yang dibantu analisis DNA, dua tahun lalu juga terbukti bisa membantu menunjuk kuburan yang diduga pernah dihuni jasad Yesus dan keluarganya. Temuan atas kuburan goa yang pertama kali diekskavasi 1980 itu berpeluang membuka sebuah bab baru yang amat penting dalam sejarah arkeologis Kitab Suci.

Namun, arkeologi juga bisa mengkritik isi Kitab Suci. Hingga saat ini, misalnya, beberapa ilmuwan menganggap deskripsi yang ada tentang penyaliban Yesus keliru. Menurut mereka, tidak mungkin seseorang bisa tergantung hanya karena paku yang ditembuskan pada kedua telapak tangan dan kaki. "Daging tak cukup kuat dan cenderung akan robek," kata arkeolog Randall Price, "Kecuali tubuh juga disangga ikatan tali atau yang dipaku adalah pergelangan kaki."

Bentuk pasti salib atau palang kayu yang digunakan juga belum bisa dipastikan. Menurut Price, bangsa Romawi menggunakan beberapa macam kayu salib. Lagian, kata asli untuk salin dalam bahasa Yunani adalah "stauros" yang lebih tepat diterjemahkan tonggak atau tiang yang berdiri tegak.wuragil

Jalan Salib

Perhentian Pertama

Ponsius Pilatus, Gubernur Yudea dari pemerintahan pendudukan Romawi, memvonis Yesus dengan hukuman mati. Ruang peradilan atau lokasi dikeluarkannya vonis itu, Praetorium, adalah kediaman Pilatus "di sebuah tempat yang tertata dengan bebatuan". Berdasarkan deskripsi itu, ada tiga lokasi berbeda yang pantas menjadi lokasi itu.

Ketiga kemungkinan lokasi Praetorium

Situs penyaliban Golgotha (sekarang menjadi Gereja Makam Suci)

Gerbang keluar kota menuju situs eksekusi

Pos Jaga Benteng

Istana Raja Herodes, bangunan paling mewah se-Yerusalem

Batas perluasan Kota Tua saat ini

Benteng Antonia: Benteng Herodes--pangkal dari rute tradisional yang diidentifikasi pejuang Perang Salib di abad ke-14. Saat ini menjadi kompleks sekolah (El Omariye).

Temple Mount: situs tersuci umat Yahudi (Yudaisme). Kompleks seluas seperenam dari total luas Kota Tua Yerusalem saat ini juga berisi Masjid Al-Aqsa dan Kubah Batu yang membuatnya menjadi situs religius dengan sejarah konflik perebutan paling pelik di dunia.

Dinding kota di masa Yesus

Sisa-sisa bangunan pemerintahan dan Palatial Mansion ditemukan di sini. Gereja Byzantine menandainya hingga abad ke-7

Wilayah yang diperluas
Dataran Tinggi Kota
Dataran Rendah Kota

Perhentian Kedua

Yesus memikul salibnya. Pilatus lalu menyerahkan Yesus kepada massa dan berteriak, "Lihatlah Manusia Ini!"

Saat ini hanya dua bagian yang masih tersisa dari Ecce Homo Arch, nama tempat yang berarti Lihatlah Manusia Ini, (B)--yang dibangun Kaisar Hadrian (Romawi) di abad ke-2.

Bagian dalam Convent of the Sisters of Sion

Bagian di atas Via Dolorosa

Perhentian Ketiga

Yesus jatuh untuk pertama kalinya.

Perhentian Keempat

Yesus bertemu dengan ibunya.

Di lokasi ini kini berdiri Gereja Armenia (D) dengan jejak sandal Maria yang diabadikan di ruang bawah tanah.

Perhentian Kelima

Simon dari Kirene menolong Yesus.

Jejak tapak tangan Yesus masih ada di dinding sekitar lokasi ini.

Perhentian Keenam

Veronika mengusap wajah Yesus.

Gambaran wajah Yesus yang asli tercetak dengan darah di sapu tangan Veronika ini.

Perhentian Ketujuh

Yesus jatuh untuk kedua kalinya.

Perhentian Kedelapan

Yesus menghibur wanita-wanita Yerusalem yang menangis.

Di tempat ini ditandai dengan gambar salib dan huruf Yunani NIKA yang berarti kemenangan.

Perhentian Kesembilan

Yesus jatuh untuk ketiga kalinya.

Gerbang Coptic Patriarchate (E)

Perhentian Kesepuluh

Pakaian Yesus dilucuti.

Penyaliban

Empat perhentian terakhir adalah, masing-masing, Yesus disalib, Yesus wafat, Jenazah Yesus diturunkan dari salib, dan Yesus dimakamkan. Beberapa jemaat ada yang menambah prosesi Jalan Salib dengan satu perhentian lagi, yakni Yesus bangkit (Paskah)

Golgotha dan makam (Yesus) Kristus

Golgotha: situs di luar tembok kota tua yang biasa menjadi tambang batu, tempat eksekusi, dan areal pekuburan sejak 1000 sebelum Masehi. Golgotha sendiri adalah bahasa Ibrani yang berarti 'bukit tengkorak'.

Makam

Golgotha

33 Masehi: Penyaliban Yesus

70 Masehi: Revolusi Yahudi: Pemerintah Romawi menghancurkan kota.

135 Masehi: Rekonstruksi: Di masa kekuasaan Kekaisaran Hadrian, Romawi, Golgotha diratakan dan Kuil Aphrodite dibangun di atasnya.

Basilika Konstantin: makam Yesus digali lagi pada 325 Masehi

Makam

323 Masehi: Periode Romawi Timur (Byzantine): Di bawah kekuasaan Kaisar Konstantin menjadi kota Kristen

1149 Masehi: Periode Perang Salib: gereja dibangun kembali setelah pasukan Kristen kembali menguasai kota, mengakhiri 400 tahun kekuasaan Islam.

Gereja Makam Suci: Basilika dan kapel-kapel disatukan di bawah satu atap.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/10/Ilmu_dan_Teknologi/krn.20090410.161996.id.html

Partai Demokrat Unggul


Partai Demokrat Unggul


JAKARTA(SI) – Partai Demokrat unggul sementara dalam perolehan suara nasional Pemilu 2009 berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei.


Hasil quick count Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) hingga pukul 23.00 WIB menunjukkan Partai Demokrat masih memimpin dengan perolehan suara 19,6%, disusul PDIP 14,9%, Partai Golkar 14,8%, dan PKS 7,7%. Hasil ini terkumpul melalui penghitungan 83,6% dari sekitar 1.676 TPS yang menjadi sampel.

Kemudian lima partai menyusul di bawahnya,yakni PKB 5,7%, PAN 5,7%, PPP 5,1%, Gerindra 4,5%, dan Hanura 3,7%. Kepala Divisi Penelitian LP3ES Fajar Nursahid mengatakan, dengan demikian hanya sembilan partai tersebut yang diprediksi akan mempunyai wakil di DPR. ”Sisanya, 29 parpol tidak akan mempunyai wakil di DPR karena gagal melampaui ambang batas perolehan kursi di DPR (parliamentary threshold sebesar 2,5%),” kata Fajar di Jakarta tadi malam.

Fajar mengungkapkan, quick countyang dilakukan LP3ES menggunakan metodologi yang sudah diterima secara internasional. Margin kesalahan dari prediksi diperkirakan tidak lebih dari 1% pada tingkat kepercayaan 95%. Selain melakukan quick count, LP3ES juga melakukan exit polls atau wawancara kepada 5.989 responden yang baru keluar dari TPS.

Menurut Fajar, dari exit polls diketahui meningkatnya perolehan suara Partai Demokrat secara signifikan karena mendapat limpahan pendukung partai lain seperti Partai Golkar (13,4%), PDIP (8,7%), PPP (11,9%), PKS (9,1%), dan PAN (7,3%). Selain itu,Partai Demokrat unggul karena figur Susilo Bambang Yudhoyono dan program pemerintah yang dinilai berhasil. Sementara itu, Golkar dan PDIP tergusur dari kursi pemenang dan runner upPemilu 2004 karena tidak mampu mempertahankan dukungan pemilihnya pada 2004 lalu.

”Hanya 35,8% pemilih Golkar dan 38,6% pemilih PDIP yang masih setia mendukung partai tersebut hingga kini,”ujarnya. Adapun PAN paling banyak ditinggalkan pemilihnya dari hasil Pemilu 2004. Menurut Fajar, kebanyakan pendukung PAN beralih ke PKS (39,1%), sementara yang masih memilih PAN hanya tersisa 20,3%.

Dari hasil analisis LP3ES, Partai Gerindra mendapatkan suara cukup signifikan dalam debutnya di Pemilu 2009 ini karena mendapat limpahan suara dari pemilih Partai Demokrat, Golkar, dan PDIP. Sekitar satu dari empat pemilih Gerindra adalah pemilih Partai Demokrat. Sebaliknya, untuk Partai Hanura, tiga perlima pemilih mereka adalah pemilih Partai Golkar,PDIP,dan Partai Demokrat.

Menyinggung koalisi partai, menurut Fajar saat ini ada tiga besar yang potensial menggalang koalisi yaitu Partai Demokrat, PDIP, Golkar dengan partai-partai menengah atau partai bawah. Dari hasil quick countLingkaran SurveiIndonesia(LSI),PartaiDemokrat juga menempati urutan teratas dengan 20,36%, disusul Partai Golkar 14,77%,dan PDIP 14,77%.

Direktur Eksekutif LSI Denny JA mengatakan, hasil tersebut kecil kemungkinan berubah karena data yang masuk sudah mencapai 87% dari TPS yang tersebar di 33 provinsi.Meski begitu,dia tidak menyebut hal itu sebagai kemenangan yang final karena masih harus menunggu keputusan KPU. Hanya saja, dengan angka yang telah disebutkan itu,LSI menyatakan bahwa survei terakhir yang dilakukannya tepat dengan menempatkan tiga partai yang menempati papan atas.

”Kita ucapkan selamat kepada tiga partai politik yang memenangi pemilu.Tapi untuk PDIP dan Golkar, kita belum bisa menentukan siapa yang bakal menjadi nomor dua karena masih di batas margin of error,” kata Denny dalam jumpa pers di Kantor LSI, Jakarta, tadi malam.

Setelah tiga partai besar tersebut, lanjut Denny, PKS mengikuti dengan 7,92%, disusul PAN 6,05%, PPP 5,4%, PKB 5,31%, Partai Gerindra 4,19%, dan Partai Hanura 3,55%.”Partai lain sekitar 17,91% dengan perolehan ratarata satu koma dan nol koma. Mereka diperkirakan terkubur pada pemilu kali ini,”ungkapnya. Menurut Denny, Partai Demokrat bisa unggul secara nasional atas PDIP dan Golkar karena bisa menguasai lima dari tujuh provinsi yang merepresentasikan 70% populasi.

Lima provinsi besar yang dimenangi Demokrat adalah Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Sumatera Utara. ”Sementara PDIP hanya unggul di Jawa Tengah dan Golkar unggul di Sulawesi Selatan,”paparnya. Denny menjelaskan, pada pemilu kali ini semua partai lama selain Demokrat cenderung mengalami penurunan.Hanya PKS dan PAN yang terbilang stabil, sementara yang mengalami kenaikan hanya Demokrat. Naiknya suara Partai Demokrat, menurut Denny,karena partai tersebut bisa mengasosiasikannya dengan figur SBY.

Selain itu, mereka didukung program populis SBY di tengah ekonomi sulit yang dihadapi rakyat dengan tiga kali menurunkan harga BBM dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). ”Yang juga berpengaruh adalah iklan keberhasilan SBY yang sangat masif,”ujarnya. Denny menyatakan pula bahwa hasil pemilu kali ini mengubah wajah DPR yang tadinya hanya dikuasai dua parpol besar, yakni PDIP dan Golkar.

”Ada perubahan drastis di mana 2004 ada 16 partai politik di DPR,2009 hanya 9 partai saja. DPR semakin ramping,” tandasnya. Hasil yang tidak berbeda jauh juga ditunjukkan quick countLembaga Survei Indonesia (LSI). Hingga pukul 23.00 WIB tadi malam, hasil hitung cepat LSI telah mengantongi data dari 1.752 tempat pemungutan suara (TPS) atau sekira 85,4% dari total keseluruhan TPS yang disurvei sebanyak 2.096 TPS.

Berdasar data itu, urutan perolehan suara sementara secara berturut-turut dipimpin Partai Demokrat sebesar 20,41%, diikuti PDIP 14,58%, Partai Golkar 13,98%, PKS 7,76%. Selanjutnya PAN 5,77%, PKB 5,17%, PPP 5,22%, Partai Gerindra 4,59%, Partai Hanura 3,73%, dan Partai Bulan Bintang (PBB) 1,44%. Peneliti LSI Burhanuddin Muhtadi mengatakan,data tersebut sudah mendekati proporsional karena hampir semua data dari sebagian besar wilayah di Indonesia telah masuk.

Menurut dia, PDIP dan Partai Golkar akan bersaing sengit karena selisih perolehan suara partai yang berada pada urutan kedua dan ketiga itu tidak terpaut jauh. Namun, Burhanuddin memprediksi, secara umum susunan parpol yang memperoleh suara terbanyak tidak akan berubah.

Hasil hampir sama juga ditunjukkan quick countyang dilakukan Cirus Surveyor Group di Jakarta. Hingga tadi malam, pukul 21.20 WIB, Partai Demokrat sementara mengungguli partai lain. Peneliti Cirus Surveyor Group Andrinov Chaniago menuturkan, dari hasil penghitungan cepat dengan persentase data yang masuk mencapai 90% atas sampel 2.000 TPS di seluruh Indonesia,Demokrat meraih 20,77%.

Pada urutan kedua tercatat PDIP dengan perolehan 14,48% dan Partai Golkar 14,31%. Andrinov menjelaskan,dengan telah masuknya 90% data dari TPS sampel, secara umum data persentase perolehan suara tersebut tidak akan berubah banyak. Project Manager Cirus Surveyor Group Hasan Hasbi mengatakan jumlah TPS sampel adalah 2.000 TPS yang tersebar secara proporsional di 77 daerah pemilihan.

TPS itu berada di 2.000 desa. Untuk teknik sampling, di setiap daerah pemilihan dipilih beberapa desa secara acak. Di setiap desa atau kelurahan, relawan akan menggunakan instrumen pengacak untuk menentukan TPS terpilih. Dalam satu desa atau kelurahan hanya ada satu TPS target.Ini dilakukan untuk menyiasati ketiadaan kerangka sampel ideal berupa daftar dan jumlah TPS yang pasti di setiap desa atau kelurahan di seluruh Indonesia.

”Tingkat kepercayaan quick countini sebesar 95%, margin of error+/-1,”katanya. Jumlah pemilih tetap Pemilu Legislatif 2009 adalah 171.265.442 orang dan kursi DPR yang diperebutkan 560 kursi.Calon anggota legislatif yang bertarung memperebutkan kursi di DPR mencapai 11.215 orang, sementara 1.109 orang memperebutkan kursi DPD. Jumlah TPS di seluruh Indonesia tercatat 528.217 dengan maksimal jumlah pemilih 500 orang di setiap TPS.

Tunggu Hasil Resmi

Sementara itu, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta masyarakat menunggu hasil penghitungan suara resmi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Meskipun akurasi hitung cepat dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan, hasil penghitungan suara resmi adalah yang berasal dari KPU.

”Oleh karena itu, mari kita berikan dukungan seraya memastikan proses penghitungan yang dilakukan KPU dengan jajarannya, mulai dari TPS sampai tingkat nasional itu berjalan baik, aman, tertib sehingga tidak ada masalah apa pun,” ujar SBY dalam keterangan pers tadi malam di kediamannya Puri Cikeas,Bogor.

Menurut SBY, berdasarkan pengalaman tahun 2004 lalu, hasil hitung cepat dengan hasil akhir yang dilaksanakan KPU tidak jauh berbeda. ”Tapi, sekali lagi, saya mengajak untuk kita ikuti, kita tunggu hasil akhir dari penghitungan akhir yang dilakukan KPU,”tandasnya.

Partai Demokrat, lanjut SBY, sangat bersyukur dengan keberhasilan meraih 20% suara seperti hasil quick countberbagai lembaga survei. Meski demikian, Partai Demokrat tetap memerlukan kebersamaan dalam menjalankan roda pemerintahan di masa yang akan datang. Karena itu,menurut SBY,sejak hari ini Partai Demokrat akan mulai melaksanakan komunikasi politik yang intens, untuk membicarakan proses koalisi, baik di pemerintahan maupun parlemen.

Dalam beberapa waktu ke depan, lanjut SBY, dinamika politik akan lebih menarik. ”Saudara akan mendengar nanti koalisi seperti apa yang akan dibangun, kemudian kira-kira berapa calon yang memenuhi syarat undang-undang, yang akan maju nanti sebagai pasangan capres dan cawapres dan kemudian kontrak politik seperti apa,”paparnya.

Di tempat terpisah, KPU meminta semua pihak objektif dalam menyikapi hasil penghitungan cepat sejumlah lembaga survei. Penghitungan cepat berbasis sampel di 1.000–2.000 TPS dari total 500.000 TPS tidak bisa dijadikan pegangan karena bukan hasil akhir.

”Kita menghormati hasil seperti itu sebagai hasil ilmiah.Tapi semua pihak harus objektif dan menunggu hasil penghitungan manual, itu kan sampling-nya hanya beberapa,”kata anggota KPU Andi Nurpati Baharuddin di kantornya, Jalan Imam Bonjol, Jakarta, kemarin. (rd kandi/rahmat sahid/ rarasati syarief/ant)



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/228324/38/

Pelajaran Sebuah Pemilu

Pelajaran Sebuah Pemilu


PEMILU legislatif menorehkan sejarah baru dalam perpolitikan Tanah Air. Kita sebut sejarah baru karena, pertama, tingkat pemilih sangat antusias untuk mengikuti pelaksanaan pemilu meski diwarnai banyak keterbatasan materi logistik.


Kedua, masyarakat sekarang jauh lebih rasional dalam menentukan hak pilihnya. Potret ini memberi harapan besar bahwa masa depan politik kita akan jauh lebih baik, lebih demokratis,dan lebih tegas lagi realitas ini akan semakin menjauhkan kita dari kriminalisasi politik.

Yang lebih menarik lagi, hasil dari pemilu legislatif kali ini telah menempatkan Partai Demokrat untuk sementara menduduki posisi teratas dengan perolehan suara di atas 20% yang kemudian disusul Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Golkar. Pesan dari kemenangan Demokrat ini memberi gambaran bahwa partai ini berhasil meyakinkan masyarakat dalam mengelola negara sehingga mereka diberi kepercayaan melanjutkan kepemimpinan untuk lima periode berikutnya.

Memang kita semua tahu bahwa kemenangan Demokrat ini tidak lepas dari peran sosok Presiden SBY yang berhasil menciptakan citra atau persepsi yang baik dalam komunikasi politiknya dengan masyarakat.Tanpa figur SBY, kita masih meragukan apakah Demokrat dalam pemilu legislatif kali ini bisa menorehkan sejarah kemenangan yang cukup besar. Apa pun faktanya,Demokrat kali ini layak disebut sebagai pemenang.

Namun,kita patut memberikan pesan kepada Demokrat agar kemenangan ini tidak membuat lupa diri karena kita masih harus sabar menunggu hasil penghitungan suara dari lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dianggap sebagai satu-satunya lembaga yang sah dalam menentukan hasil perolehan suara.Yang kita harapkan Demokrat tetap bersikap santun dalam memaknai kemenangan sementara ini.

Sebab, Demokrat masih memiliki pekerjaan lain yang lebih penting, yakni merancang pasangan dalam pemilu presiden Juli mendatang. Kemenangan Demokrat memang menjadi sebuah pukulan bagi Golkar, PDIP,Hanura, dan Gerinda yang berharap banyak dalam pemilu kali ini bisa tampil membawa perubahan dalam konteks kepemimpinan nasional.

Sejumlah partai ini punya harapan besar menjadi pemenang karena memiliki persepsi bahwa mereka mempunyai figur yang layak disejajarkan kemampuannya dengan Presiden SBY.Dengan hasil pemilu legislatif kali ini,fakta menunjukkan lain bahwa Demokrat memang lebih kuat. Untuk sebuah pendidikan politik, dari kemenangan dan kekalahan dalam pemilu legislatif ini, kita berharap tidak sampai timbul luka politik antarpemimpin partai.

Kita berharap semua pemimpin partai politik baik yang menang maupun yang kalah sama-sama tetap menunjukkan sikap saling menjunjung tinggi demokrasi yang sehat. Yang menang tetap bersikap baik terhadap yang kalah dan yang kalah tetap bisa memberikan apresiasi terhadap yang menang. Akan lebih baik pula jika tiap pemimpin partai bisa berbicara terbuka dengan mengedepankan aspek etika politik yang saling menghormati pascapenghitungan sementara.

Kesantunan politik yang ditunjukkan para pemimpin parpol pascapenghitungan sementara oleh lembaga survei ini sangat diperlukan agar bisa menyublim ke bawah sehingga arus yang ada di tingkat grass roots tetap dingin dan tidak mudah terprovokasi yang bisa mengundang kriminalisasi politik.

Kita percaya bahwa pascapenghitungan sementara masih ada yang merasakan dalam hatinya ketidakpuasan.Namun ketidakpuasan ini apakah harus diekspresikan dengan sikap politik yang tidak terpuji? Rasanya tidak pantas jika dengan sistem politik yang sudah semakin matang kita masih mudah terpancing mengedepankan emosi ketimbang logika.Apa pun hasilnya, hal ini adalah realitas politik yang tidak bisa dimungkiri.

Justru pemilu legislatif kali ini telah memberi pelajaran banyak bagaimana seorang pemimpin dan sebuah partai bisa meyakinkan masyarakat untuk memilihnya tanpa merasa ada tekanan. Kita harus sadar bahwa masyarakat kali ini jauh lebih cerdas sehingga dalam memengaruhi sikap politik mereka tidak bisa lagi dengan kekuatan dan uang.Dengan kata lain, ketika kita ingin menjadi inisiator perubahan, komunikasi politik yang dikedepankan adalah ketulusan, bukan lagi sebuah simbolsimbol kekuatan.(*)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/228316/

Ketika Demokrasi Selalu Menang

Ketika Demokrasi Selalu Menang
Radhar Panca Dahana

Budayawan
Refleksi ini mau tak mau harus dilakukan lagi. Sebagai anak zaman yang dilahirkan dan dibesarkan bersama pemerintah Orde Baru, sebagian dari kaum elite (bisnis, politik, akademik, atau agama) negeri ini tumbuh bersama trauma kekerdilan diri, yang sebagiannya mungkin akut.

Trauma itu terjadi ketika orde politik yang berlaku dan berkembang berupaya--dan cukup berhasil--menekan ekspresi pribadi sehingga bahkan menumbuhkan apa yang dahulu kita kenal sebagai “sensor diri” (self-censorship). Semacam mekanisme pengekangan diri sendiri dalam mengaktualisasi atau mengekspresikan diri, khususnya dalam persoalan-persoalan yang bersinggungan dengan politik.

Ketika negeri--di kala itu--menempatkan politik sebagai acuan utama, bahkan tunggal, bagi semua urusan keduniawian, tak terelakkan bila seluruh dimensi kehidupan pun mengalami trauma yang sama, dalam gradasi atau tingkat keakutannya sendiri-sendiri. Hal ini tentu memiliki akibat yang cukup hebat dalam menciptakan generasi, seperti yang pernah saya tuliskan, yang “lost in the crowd”; generasi yang hilang.

Hilang di sini bermakna bukan hanya dalam kecenderungan tindak atau sikap politis yang steril; semacam attitude di mana kegiatan berpolitik yang selalu mencari posisi aman (secure), dan menempatkan kritisisme hanya sebagai retorika atau kembang yang menghiasi portofolio. Sebuah kenyataan yang diperlihatkan oleh banyak bukti, seperti inkonsistensi ide atau perjuangan hingga hipokrisi sebagian tokoh yang dikenal “idealis” namun nyatanya manipulator, bahkan koruptor.

Kita pun tahu, mungkin juga termasuk di dalamnya, bagaimana berbagai macam ekspresi kultural, akademik, atau politik di masa Orde Baru harus menyembunyikan segala bentuk kritik, pengingkaran, dan alienasi terhadap otoritarianisme Soeharto di balik eufemisme, alegori, atau metafora-metafora, baik dalam ungkapan bahasa, teori-teori asing, perbandingan, maupun komedi-komedi teatrikal.

Hal inilah yang antara lain membuat umumnya ekspresi artistik para seniman kita belakangan semakin apolitis, menjauh dari realitas politik yang berkembang di seputar keseharian mereka. Yang membuat semua medan pertarungan atau persaingan budaya, juga politik tentu saja, berlangsung bukan dalam nilai dan norma-norma kejantanan, kekesatriaan, atau saling menghormati di antara lawan.

Betapa tentu sebagian kita akan mengenang, di masa 1970-an, misalnya, para pelajar sekolah menengah--yang sudah senang berkelahi di antara mereka--memasuki gelanggang pi bu dengan satu etik tertentu: satu lawan satu. Pada masa 1980-an, mereka bertempur dalam kelompok. Dan sebagai seorang wartawan lepas, yang juga pelajar sekolah menengah, saya kala itu melaporkan bagaimana perkelahian antarpelajar berkembang menjadi keroyokan: segerombol orang melawan satu-dua orang saja, biarpun satu-dua itu ternyata perempuan.

Kekerdilan dan kepengecutan menjadi norma yang kemudian awam.

Budaya politik

Dunia mental semacam di atas ternyata tidak mudah diterapi oleh perubahan-perubahan besar, termasuk dalam mekanisme politik kita, yang terjadi di masa pasca-Soeharto. Mentalitas semacam itu telah berkecambah dan tumbuh menjadi pohon kebudayaan yang membentuk kehidupan politik kita yang diisi oleh intrik, kecurangan, ilegalitas praksis hukum politik, manipulasi, korupsi, hingga bentuk kriminalitas mutakhir.

Budaya politik semacam ini tidak hanya mencederai pilihan sistemik yang mereka pilih, demokrasi, tapi juga membuat demokrasi itu sendiri sebenarnya hampir tidak pernah hadir secara sejati dalam hidup politik kita, dalam diri kita sendiri. Praktek-praktek persekongkolan, konspirasi, oligarki, bahkan mafia politik, berkembang, dipupuki oleh tradisi feodal atau patron-klienistik-kolonial yang sama sekali belum tuntas diberantas.

Maka, di balik ingar-bingar pemilihan umum yang berlangsung saat ini, di tengah jargon dan slogan kosong, integritas dan karakter manipulatif, sistem yang semakin amburadul, dana publik yang secara konyol dihamburkan, masquerade para pendusta, realitas kultural di atas kini menjadi ancaman tersendiri. Yang tidak hanya membuat mimpi dan harapan menjadi hampa, tapi juga kian membuat ambruk harga diri dan kepercayaan diri apa yang kita sebut bangsa.

Pesta besar yang kita biayai (secara finansial, sosial, dan kultural) besar-besaran ini, yang selaiknya menjadi sebuah terapi di mana kita bisa merapikan diri ini, secara tragis memiliki potensi justru meruntuhkan apa yang susah kita ingin bangun. Ini karena bangunan besar itu tidak ditopang oleh tiang-tiang fondasi yang kukuh: kepribadian manusianya, budaya politik yang disuburkannya.

Kemenangan dan kekalahan, dua kata yang akan sangat dominan setelah hari “pencontrengan”, akan menjadi diksi yang memiliki makna sangat sempit. Di mana keduanya, antara lain, diartikan sekadar sebagai “lost and get”. Aku kalah berarti aku kehilangan/rugi besar, aku menang aku dapat/untung besar. Saldo yang ada dalam perhitungan ini semata ada dalam matriks material. Bukan dalam makna kultural, di mana kekalahan dan kemenangan sebenarnya adalah sekadar unsur dari pembangun sebuah sistem, sebuah kultur dan kedewasaan.

“Win the battle”

Dalam sebuah kompetisi yang dewasa, ada satu kisah ketika dua seteru selalu bertemu seusai sebuah pertarungan. Mereka makan enak dan minum anggur terbaik bersama. Betapapun keduanya adalah “jenderal” yang sangat temperamental, mental saling menghargai dan respek yang mendalam menjadi atmosfer dalam jamuan kejantanan itu.

Yang satu masih muda, yang sebelah sangat senior. Tanpa mental feodalistik sama sekali, sang senior antara lain berkomentar, “Saya menikmati pertemuan itu. Dia orang yang cerdas, yang mulutnya besar tapi dapat membuktikannya dengan sebuah kemenangan. Di lain pihak, ia juga sangat menghargai sebuah kekalahan.” Sebagian kita sangat mengenal kedua “jenderal” itu: Alex Ferguson dan Jose Maurinho, manajer tim Manchester United dan Chelsea (dulu; Inter Milan kini).

Tentu saja ini bukan medan politik. Namun itu sama sekali bukan berkurang nilainya, karena yang mereka bela ada sebuah norma, sebuah kultur, di mana kehidupanlah yang mereka junjung bersama. Bukan soal kalah dan menang, namun kompetisi, permainan, dan keluhuran manusialah yang menjadi endpoint-nya. Kesebelasan atau tim bisa kalah, namun permainan telah dimenangi.

Inilah sebuah keindahan hidup. Gagasan, keinginan, dan cita-cita pribadi atau kelompok wajib serta wajar dibela habis-habisan. Namun, di dasar itu, kita semestinya mafhum bahwa semua berlangsung dalam sebuah game di mana hidup secara keseluruhan dipertaruhkan. Di dasar inilah kemenangan semestinya menjadi milik bersama, baik yang kalah maupun yang menang. Sebagaimana ujaran klasik, “I lost the war but I win the battle.” Partaiku kalah, tapi demokrasiku menang. Bukankah begitu?

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/10/Opini/krn.20090410.162029.id.html

Pemilu: Anything Goes!

Pemilu: Anything Goes!
Rocky Gerung, pengamat politik dari Universitas Indonesia

Pemilu legislatif sudah diselenggarakan. Suara rakyat sudah dikumpulkan. Artinya, pemetaan politik sudah selesai. Peta itu akan menjadi dasar pembagian kekuasaan di Dewan Perwakilan Rakyat. Dan bagi partai politik, statistik pemilu itu adalah alat transaksi politik pemilihan presiden pada Juli nanti. Itulah segi formal penyelenggaraan pemilu, yaitu kegiatan rutin politik dari sebuah demokrasi. Segi formal itu baru satu soal. Yang jauh lebih penting adalah mempertanyakan pendalaman demokrasi melalui pemilu. Artinya, apakah hiruk-pikuk kampanye telah menjadikan rakyat sebagai subyek demokrasi, yaitu individu yang dengan sadar melibatkan diri dalam pemilu? Atau bahwa kampanye sekadar kumpulan retorika yang membius dan menumpulkan kritisisme publik?


***
Contoh konkret adalah kasus pemilu pagi tadi. Di sebuah TPS, pemungutan suara sudah berlangsung. Sebagian pemilih sudah mencontreng, dan akhirnya diketahui bahwa surat suara yang dicontreng adalah milik daerah pemilihan lain, yang berarti nama-nama calon legislatornya juga lain. Jadi, apa yang dicontreng para pemilih sebelumnya? Inilah bentuk partisipasi politik tanpa arah, karena memang hiruk-pikuk kampanye tidak berkorelasi dengan kesadaran politik rakyat. Kesadaran untuk terlibat dalam penentuan arah politik lima tahun ke depan juga tidak dimiliki partai politik. Bahwa parpol gegap-gempita dalam memobilisasi dukungan hanyalah menjelaskan kehausan kekuasaan para elite partai. Tetapi, soal pendidikan politik dan perluasan wawasan demokrasi, parpol tidak memiliki kurikulumnya. Jelas soal ini berakibat pada kualitas anggota DPR 2009. Kita membayangkan DPR yang akan diisi oleh wakil-wakil yang tidak dibekali oleh ethics of citizenship, dan justru memanfaatkan simbolisme komunal sebagai pegangan politiknya.

Kultur parpol kita sebetulnya juga sedang mengarah pada retradisionalisasi kepemimpinan, yaitu penguasaan struktur partai oleh kelompok keluarga, jaringan etnis, dan ikatan agama. Otonomi daerah telah memperkuat gejala retradisionalisasi politik ini. Pemimpin partai di daerah adalah tokoh-tokoh yang berakar pada nilai-nilai primordial dan jaringan politiknya dibangun di atas landasan komunal. Karena itu, kita tidak mendengar sebuah percakapan politik modern dalam kehidupan kepartaian di daerah. Konsekuensi dari kultur politik semacam ini adalah bahwa kepemimpinan politik telah mengarah pada personalisasi. Yaitu semacam feodalisme politik yang diselenggarakan dalam format sebuah partai modern.

Pada tingkat pimpinan pusat partai, politik dinasti semakin terasa karena ketokohan politik tidak diuji dan diteliti berdasarkan rekor politik publik seorang, tetapi sekadar untuk mengamankan kepentingan keluarga. Kerangka politik inilah yang menjadi latar belakang penyelenggaraan pemilu. Jadi, demi apa wakil rakyat dipilih? Bila kultur oligarkis dalam parpol dan motif dinastik para elitenya tidak berubah, kita sebetulnya sekadar menyelenggarakan pemilu untuk berpartisipasi memperkuat komunalisme dan oligarki politik partai. Tentu bukan itu tujuan politik demokratis.

Penyelenggaraan politik kepartaian seperti itu tidak menghasilkan politik yang ideologis. Artinya, kepentingan publik tidak diselenggarakan demi suatu cita-cita sosial dan kultural yang visioner. Partai difungsikan semata-mata secara pragmatis dan transaksional. Ikatan ideologis demi suatu visi sosial yang jernih tidak lagi menjadi tujuan aktivitas parpol.

Akibatnya memang tidak ada kebutuhan ideologis bagi partai untuk menyelenggarakan pendidikan politik publik. Itulah sebabnya, politik oposisi juga tidak dapat secara tajam menjelaskan distingsi ideologis yang hendak diperjuangkan sebagai alternatif bagi perlunya pergantian kekuasaan pemerintahan. Oposisi yang kita dengar sekarang ini tidak lebih dari persaingan dendam personal dan sinisme dangkal di antara para pemimpin, ketimbang suatu duel konseptual yang jernih di antara dua kekuatan ideologis yang bersaing. Tanpa politik oposisi yang bermutu, persaingan politik pemilu hanyalah menjadi persaingan para demagog yang sekadar mengincar kekuasaan, tanpa visi kebudayaan politik yang jelas dan tanpa arah pikiran alternatif yang utuh.

Itulah sebabnya, kita merasakan kejenuhan psikis dan keletihan mental luar biasa menghadapi ratusan agenda politik setiap tahun (pilkada, sidang DPR, munas partai, deklarasi oposisi, dan seterusnya), yang sebetulnya tanpa isi dan hanya membisingkan politik nasional. Ujung semua itu adalah pemilihan presiden.

Bila kita proyeksikan sejak sekarang ujung kegiatan politik nasional kita nanti, tidak ada kejutan yang akan menyentakkan keletihan mental kita ke arah harapan "peradaban politik" baru. Sebab, semua tema negosiasi, koalisi, dan berbagai manuver politik hari-hari ini tidak lebih dari pertemuan berbagai dendam dan perjanjian oportunistik. Ini semua terjadi karena distingsi-distingsi ideologi tenggelam oleh kalkulasi-kalkulasi personal dan pragmatisme kekuasaan. Imperatif finansial juga telah memoderasi berbagai cita-cita ideologis dan mengubahnya menjadi transaksi ekonomis semata-mata. Pemilu hari ini tidak akan menghasilkan kegiatan transformasional, melainkan sekadar aktivitas transaksional. Dan dalam antisipasi itulah kita akan menyaksikan kedangkalan politik akan diselenggarakan secara terbuka menuju pemilihan presiden 8 Juli nanti.

Apakah bentuk kedangkalan itu? Yang pertama adalah prinsip "anything goes", yaitu hilangnya "keutamaan politik" dan kembalinya "politik dagang sapi". Gelagat ini sudah terbaca dalam kasak-kusuk para elite hari-hari ini.


***
Keperluan untuk mengubah masa depan melalui pemilu adalah keperluan kebudayaan. Artinya, kita ingin menyelenggarakan sebuah Indonesia yang bermutu, yaitu Indonesia yang dipimpin oleh rasionalitas politik. Indonesia semacam itu memerlukan investasi etika publik yang modern, yaitu acuan politik pada prinsip kewarganegaraan. Dengan cara itu, kita boleh berharap untuk mengubah kultur politik partai kita dari kultur "dealership" menuju kultur "leadership". Tapi pertaruhan itu memerlukan pekerjaan politik serius dari mereka yang menghendaki demokrasi yang bermutu. l



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/10/Opini/krn.20090410.162028.id.html

Perhatian Dunia Tertuju Kepada Indonesia

Perhatian Dunia Tertuju Kepada Indonesia



London CyberNews. Dutabesar RI untuk Kerajaan Inggris Raya dan Republik Irlandia, Yuri Thamrin mengatakan, saat ini perhatian dunia tertuju kepada Indonesia yang tengah melaksanakan pesta demokrasi.

"Seperti harapan dunia internasional dan Indonesia juga berharap Pemilu dapat berjalan dengan baik dan lancar," ujar Yuri Thamrin di KBRI London, Kamis.

Diakuinya, banyak koran Inggris yang menulis mengenai kegiatan seputar kampanye yang berjalan dengan lancar dan juga Pemilu dengan ulasan yang memberikan harapan pada Indonesia.

Dubes mengakui selama ini Indonesia dikenal dengan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, ternyata demokrasi dapat berjalan dengan beriringan.

Menurut mantan juru bicara Deplu itu, harapan warga Indonesia yang ada di Inggris agar Pemilu dapat berlangsung dengan lancar dan juga bagi mereka yang tidak bisa datang langsung mengirimkan surat suaranya melalui pos.

Pemilu di Inggris berlangsung dalam udara musim semi dan juga ditengahi oleh beberapa warga Papua yang berada di Inggris melakukan demo di depan KBRI London.

Sejak Kamis pukul 9 pagi masyarakat Indonesia yang ada di London dan sekitarnya mendatangi Tempat Pemugutan Suara (TPS) di lantai bawah gedung KBRI London yang tidak jauh dari Kedutaan Amerika Serikat.

Dutabesar RI untuk Kerajaan Inggris Raya dan Republik Irlandia, Yuri Thamrin bersama Ny Sandra Thamrin ikut bersama sekitar 200 masyarakat Indonesia ikut mencentag tanda gambar yang ada di surat suara.

Usai mencontreng dalam bilik suara petugas PPLN minta peserta Pemilu mencelup salah satu jari dengan tinta biru yang menandai telah ikut Pemilu.

"Harus ditandai kalo tidak nanti ada yang kembali mencontreng," ujar Rita Pakasih yang khusus menjaga di bagian untuk memberikan tanda tidak terkecuali Dubes Yuri Thamrin dan Ny Sandra Thamrim yang memperliatkan jari kelingkingnya yang berwarna biru.

Sekitar lima ribu masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia telah mendaftarkan diri untuk meramaikan pesta demokrasi yang digelar empat tahun sekali.

Sebagian besar mereka melakukan pemilihan melalui surat suara yang telah dikirimkan ke alamat masing masing sejak beberapa waktu lalu.

Sehubungan dengan libur panjang Paska dari 10 hingga 13 April, panitia PPLN London memberikan dispensasi perpanjangan pengiriman surat suara hingga tanggal 16 April mendatang.

(Ant /smcn)



http://suaramerdeka.com/beta1/index.php?fuseaction=news.detailNews&id_news=26205

Jejak Putri Rupawan di Goa Selomangleng

Jejak Putri Rupawan di Goa Selomangleng
Goa ini pernah digunakan bertapa untuk menyelamatkan rakyat Kediri dari amukan Djotosuro.
Embusan angin yang meluncur dari puncak Gunung Klotok siang itu terasa sejuk. Meski sinar matahari terlihat sangat terik, hanya sedikit cahaya yang mampu menembus rerimbunan pohon beringin.

Tak ada kegaduhan dan hiruk-pikuk apa pun di kawasan ini, selain suara serangga dan nyanyian burung yang bersahutan. Sungguh tempat yang nyaman untuk melakukan relaksasi bagi orang-orang yang selalu berkejaran dengan waktu.

Itulah salah satu eksotisme alam yang tersimpan di lokasi wisata Goa Selomangleng. Berdiri di kaki Gunung Klotok, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Goa Selomangleng telah menjadi obyek wisata alam kebanggaan masyarakat setempat selama puluhan tahun.

Jauh sebelum upaya pemugaran tempat ini menjadi kawasan wisata pada 1991, warga setempat sudah menjadikan goa ini sebagai rumah kedua mereka. Dua buah cekungan yang masing-masing berdiameter 4 meter dengan dilengkapi beranda ini telah bertahun-tahun menyelamatkan manusia dari ganasnya alam dan hewan liar.

"Kami juga mengungsi di goa ini ketika pasukan Belanda memorakporandakan kampung," kata Muryat, 80 tahun, warga Kelurahan Sukorame, Kecamatan Mojoroto, yang berdiam di kaki Gunung Klotok, Rabu kemarin.

Konstruksi Goa Selomangleng yang tidak terlalu menjorok seperti halnya goa di Jawa Timur memudahkan para pengunjung untuk menyusuri kedalamannya. Dalam keremangan cahaya matahari yang menerobos di sela-sela dinding batu, tampak relief halus yang menghiasi seluruh dinding goa.

Salah satu relief yang paling menonjol adalah penampakan seorang perempuan cantik yang sedang bertapa. Perempuan itu digambarkan tengah bersila tepat di antara dua ruangan yang berada di kanan-kirinya.

Sejumlah literatur sejarah menyebutkan jika perempuan rupawan itu merupakan perwujudan Dewi Kilisuci, putri dari Raja Kediri Djojoamiluhur. Ia memutuskan bertapa di tempat itu untuk menyelamatkan rakyat Kediri dari amukan Djotosuro, seorang pangeran buruk rupa yang mati saat hendak mempersunting Dewi Kilisuci.

Sebagai perempuan tercantik pada zaman itu, Dewi Kilisuci menjadi rebutan para lelaki di seluruh negeri. Bahkan, kabar kecantikannya sudah tersebar luas ke seluruh pelosok. Namun, kecantikan inilah yang justru membuat Dewi Kilisuci kesulitan untuk menemukan jodoh hingga akhir hayatnya.

Hal inilah yang membuat masyarakat setempat meyakini jika goa tersebut menyimpan kutukan yang tak pernah berakhir. "Kami melarang pasangan kekasih bermain ke sini jika tidak ingin hubungan mereka kandas," kata Muryat.

Hingga saat ini para wisatawan masih bisa melihat jejak pertapaan sang dewi yang masih terawat dengan baik. Di dalam goa itu terdapat dua buah ruangan yang masing-masing berfungsi sebagai kamar tidur dan ruang tamu. Inilah kekuatan terbesar Goa Selomangleng sebagai salah satu obyek cagar budaya.

Seiring dengan meningkatnya kebutuhan wisata alam di tengah menjamurnya gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan modern, Pemerintah Kota Kediri mulai melirik Goa Selomangleng sebagai salah satu aset yang harus dipertahankan. Satu per satu infrastruktur pendukung wisata mulai dibangun.

Untuk menambah daya tarik, pemerintah mendirikan Museum Airlangga yang memiliki lebih dari 40 koleksi arca peninggalan Kerajaan Kediri. Hebatnya, kondisi arca-arca tersebut masih dalam keadaan bagus meski dibuat pada abad ke-12.

Dari puluhan koleksi yang ada, terdapat dua buah arca yang paling banyak menyedot perhatian, yakni arca Dewa Shiwa yang berukuran hampir dua kali tubuh orang dewasa serta sebuah jambangan besar yang diduga sebagai tempat membersihkan diri para bangsawan.

Ada juga sebuah perahu kayu yang berusia ratusan tahun. Meski sudah dipergunakan ratusan tahun silam, kondisi perahu tersebut masih sangat bagus.

Akses transportasi menuju lokasi ini juga tersedia dengan baik. Selain membuka jalur angkutan kota yang berakhir di kawasan goa, perbaikan infrastruktur jalan pun mulai dilakukan.

Setelah memasuki portal penarikan retribusi sebesar Rp 1.500 untuk orang dewasa dan Rp 1.000 untuk anak-anak, para pengunjung akan dihadapkan pada area taman bermain yang sangat luas dan megah. Dalam area ini tersedia berbagai alat permainan bagi anak-anak. Ada juga serangkaian kereta kelinci yang membawa tiga gerbong penumpang siap mengantarkan para wisatawan berkeliling lokasi wisata.

Fasilitas kolam renang yang berada tepat di kaki bukit juga bisa memanjakan para wisatawan yang hendak menyatukan diri dengan alam.

Setelah puas berendam di air, para wisatawan bisa menyantap aneka makanan dan minuman yang tersaji di rumah makan terapung.

Inilah lokasi wisata yang sangat komplet dan layak menjadi rujukan bagi wisatawan yang ingin menghabiskan waktu di hari libur. HARI TW

Eksotisme Tiga Makam

Keputusan Pemerintah Kota Kediri untuk menjadikan Goa Selomangleng sebagai lokasi wisata alam unggulan bukanlah tanpa alasan. Dengan letak geografis goa yang berada di kaki Gunung Klotok, lokasi ini diklaim sebagai satu-satunya wisata alam yang dimiliki Pemerintah Daerah setempat.

"Alasan inilah kami menggelontorkan anggaran yang sangat besar untuk membiayai pemugarannya," kata Kepala Bagian Humas Pemerintah Kota Kediri Haryono.

Menurut data Seksi Pemberdayaan Tempat Rekreasi dan Hiburan Umum Dinas Pariwisata setempat, lebih dari 600 pengunjung memadati kawasan itu pada setiap akhir pekan. Itu belum termasuk pengunjung yang pelesiran di luar hari libur.

Untuk mendongkrak jumlah pengunjung, pengelola memberikan hiburan tambahan berupa orkes melayu dan kesenian tradisional khas Kediri, yakni Jaranan. Dilengkapi dengan panggung hiburan berornamen Bali yang megah, dipastikan tidak ada satu pun pengunjung yang beranjak hingga pertunjukan usai.

Soal tarif? Tak usah khawatir. Murah kok. Cukup dengan Rp 4.000 untuk orang dewasa Rp 2.000 untuk anak-anak pada Minggu dan libur.

Eksotisme ini terasa makin lengkap dengan dipertahankannya tiga kuburan keramat yang diyakini sebagai perintis wilayah Kediri. Mereka adalah Tumenggung Mojoroto, Mbah Boncolono, dan Tumenggung Poncolono.

Makam ketiga leluhur itu berada di puncak bukit yang bejarak sekitar 100 meter dari Goa Selomangleng. Untuk mencapai ketiga makam tersebut, para pengunjung harus mendaki kurang lebih 460 anak tangga yang cukup menanjak sehingga diperlukan stamina dan persiapan fisik yang kuat untuk bisa mencapai puncak bukit tersebut.

Kisah kepahlawanan ketiga tokoh inilah yang membuat makam tersebut banyak dikunjungi peziarah. Selain untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, para pengunjung memanfaatkan makam tersebut untuk melihat pemandangan Kota Kediri dari puncak bukit. Dari titik tertinggi permukaan bumi ini, terlihat jelas betapa kecilnya manusia di hadapan Sang Khalik. HARI TRI WASONO



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/10/Berita_Utama_-_Jatim/krn.20090410.161992.id.html

Hanya 9 Partai yang Lolos ke Senayan

Hanya 9 Partai yang Lolos ke Senayan

Quick Count Menagkan Demokrat

JAKARTA - Pemilihan Umum Legislatif 2009 bakal menjadi mimpi buruk bagi puluhan partai politik (parpol) baru. Sebab, berdasar hasil penghitungan cepat (quick count), dari 38 partai nasional, diperkirakan hanya sembilan parpol yang bisa mengirimkan kadernya duduk di parlemen.

Partai yang diprediksi lolos itu adalah Partai Demokrat (PD), PDIP, Partai Golkar, PKS, PKB, PAN, PPP, Partai Gerindra, dan Partai Hanura. Puluhan partai lain bakal tersingkir dari arena persaingan. Itu karena raihan suara mereka kurang dari 2,5 persen, angka batas parpol untuk bisa masuk parlemen sesuai UU Pemilu.

Berdasar pantauan tiga lembaga survei nasional, yakni Lembaga Survei Indonesia (LSI), Lembaga Survei Nasional (LSN), dan Cirus hingga pukul 23.00, Partai Demokrat berhasil bertengger di puncak dengan mengumpulkan 20 persen suara. PD dibayangi Golkar dan PDIP yang saling mengejar di posisi kedua. (Selengkapnya lihat grafis).

Persaingan ketat justru terjadi di papan tengah, antara PKB, PAN, dan PPP. Ketiga partai itu terus berkejaran dalam hasil quick count yang dipublikasikan ketiga lembaga survei tersebut. Sementara itu, PKS yang pada Pemilu 2004 hanya menempati posisi ke-6 menyodok di peringkat ke-4, menyalip PKB, PAN, dan PPP yang pada Pemilu 2004 lalu menempati urutan ke-3, ke-4, dan ke-5.

Kalau hasil penghitungan cepat sejumlah lembaga survei tidak meleset, sejumlah parpol yang duduk di Senayan periode sekarang bakal gigit jari. Paling tidak, ada tiga parpol dengan jumlah kursi lumayan yang terancam tidak lolos parliamentary threshold (PT), karena perolehan suaranya secara nasional tak mencapai 2,5 persen.

Mereka adalah PBR (14 kursi) dan PDS (13 kursi). Keduanya saat ini membentuk fraksi sendiri di parlemen. Partai ketiga adalah PBB (11 kursi) yang bersama PPDK (4 kursi), Partai Pelopor (3 kursi), PNI Marhaenisme (1 kursi), dan PPDI (1 kursi) membentuk Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD). Deretan parpol itu juga berpotensi besar terganjal aturan PT.

Sekjen DPP PBR Rusman Ali tak bisa menutupi kegundahan hatinya. Dia merasa partainya sudah membangun infrastruktur yang cukup kuat sejak Pemilu 2004. ''Bingung saja, kok bisa merosot jauh sekali. Padahal, kami sudah punya 14 kursi,'' katanya.

Menurut dia, partainya tidak akan menyerah begitu saja dengan PT. Meski Mahkamah Konstitusi pernah menolak membatalkan pasal yang mengaturnya, Rusman menyebut pihaknya tidak akan tinggal diam begitu saja.

Dia mencontohkan, ada caleg PBR di suatu dapil yang suaranya menjadi empat terbesar. Tapi, karena PBR tidak lolos PT, hak caleg tersebut untuk melangkah ke Senayan ikut menghilang. Dia khawatir hal itu berpotensi menyulut kerusuhan di daerah-daerah. ''Makanya, kami berharap pemerintah bisa lebih bijaksana,'' tandasnya.

Komentar yang mencoba optimistis datang dari Ketua DPP PBB Ali Mochtar Ngabalin. Dia mengatakan, hasil quick count tidak bisa dijadikan dasar untuk mengukur perolehan suara parpol. PBB sendiri, tegasnya, hanya mengikuti perhitungan manual KPU. ''Bukan KPU yang mengikuti quick count. Kita lihatlah, masih ada 50 persen suara di lapangan yang belum terekam,'' ujar anggota Komisi I DPR yang terkenal selalu mengenakan sorban itu.

Ali juga memprotes PT. Menurut dia, perlu ada pembicaraan kembali di tingkat pimpinan parpol untuk meninjau ulang sistem tersebut. ''Parpol tidak lolos, tapi orang-orangnya lolos, masak dialihkan ke parpol yang lolos. Demokrasi apa itu?'' katanya.

Masih mungkinkah membuka pintu yang sudah terkunci itu? ''Tidak ada yang mustahil. Politik tidak dua kali dua sama dengan empat. Bisa jadi besok terjadi sesuatu,'' jawabnya enteng.

Fraksi lain yang sangat mungkin akan hilang di Senayan adalah Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS). Di Senayan saat ini, FPDS memiliki 13 kursi. "Kami masih optimistis bisa bertahan di DPR dan lolos PT. Hasil quick count ini belum final. Kita tunggu saja hasil resmi KPU," ujar Wakil Ketua Umum DPP PDS Denny Tewu saat dikonfirmasi tadi malam (9/4).

Dia menegaskan, pihaknya akan terus serius mengawal perolehan suara PDS di daerah-daerah. "Kami akan jaga suara-suara itu agar tetap selamat hingga rekapitulasi di KPU Pusat," tandasnya.

Di sisi lain, Denny pun menyinggung soal sejumlah masalah yang muncul dalam pelaksanaan pemilu kali ini yang dirasa sangat merugikan partainya. Misalnya, terkait penundaan pemilu di Papua dan NTT.

"Terhadap hal itu tentu kami sangat dirugikan. Sebab di dua daerah itu massa pemilih kami cukup besar," keluhnya. Secara psikologis, kata Denny, semangat pemilih untuk datang ke TPS tentu akan lebih kecil. Sebab, masyarakat Indonesia lainnya sudah terlebih dulu melaksanakannya.

Kemungkinan lolosnya sembilan parpol ke Senayan sebenarnya sudah terbaca beberapa hari menjelang pemungutan suara. Itu, paling tidak, tampak dari hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) yang dirilis 4 April dan temuan Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dipublikasikan 5 April.

Data SSS menyebut Partai Demokrat duduk di posisi puncak dengan 20,2 persen. Setelah itu, menyusul PDIP (13,5 persen), Golkar (12,2 persen), Gerindra (10,4 persen), PKS (9,7 persen), PAN (5,8 persen), PPP (4,2 persen), Partai Hanura (3,6 persen), dan PKB (3,0 persen).

Data LSI membuat urutan Partai Demokrat (21,7 persen), PDIP (16,3 persen), Golkar (14,8 persen), PKS (4,4 persen), PPP (4,6 persen), PKB (3,3 persen), PAN (3,5 persen), Hanura (3,3 persen), dan Gerindra (3,5 persen).

Pengamat politik senior dari CSIS J. Kristiadi mengatakan, seluruh parpol harus konsisten dengan aturan main PT. Terutama, parpol-parpol yang saat ini memiliki kursi di Senayan, tapi terancam tergusur pada DPR periode mendatang.

''Lebih baik terjun lagi ke masyarakat. Kalau niatnya berjuang, nggak usah ngoyo, tunggu lima tahun lagi. Kalau memaksa, mereka akan dikutuk rakyat,'' katanya.

Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla memprediksi hanya akan ada delapan partai yang berhasil memperoleh kursi di DPR. Sebagian besar kursi diperebutkan partai yang saat ini berada di DPR. Satu-satunya partai pendatang baru yang menembus parliamentary treashold 2,5 persen kursi DPR adalah Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

''Berpatokan pada hasil Pemilu 2004, hanya ada delapan atau sembilan partai yang memiliki kursi di DPR. Salah satunya saya prediksi Gerindra," ujar Kalla ketika menyaksikan siaran televisi yang menayangkan penghitungan cepat (quick count) hasil pemilu legislatif di Posko Slipi II, Jalan Ki Mangunsarkoro No 1, Menteng, Jakarta Pusat, kemarin (9/4).

Menilik hasil penghitungan cepat, delapan partai yang diprediksi Kalla memperoleh kursi di DPR adalah Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PKB, PPP, dan Gerindra. Sisa suara yang diperoleh dari partai-partai yang tidak lolos parliamentary treashold diperkirakan tiga persen. "Namun, berapa kursi masing-masing partai belum bisa diprediksi, karena sangat teknis," terangnya.

Hingga pukul 14.00 kemarin, Kalla mengaku masih optimistis partainya memperoleh 20 persen suara. Sekitar 70 persen akan disumbang pemilih tradisional Golkar di luar Jawa. Keunggulan di luar Jawa itu menguntungkan Golkar karena bilangan pembagi pemilih di luar Jawa hanya berkisar 200 ribu, sementara bilangan pembagi di Jawa sekitar 300 ribu. ''Jadi, kursi di Jawa akan lebih mahal sehingga akan lebih kecil dibanding kursi dari luar Jawa," katanya.

Dalam keterangan pers singkat usai meninjau TPS 27 di Taman Suropati, Kalla geleng-geleng keheranan karena banyak hak suara yang tidak digunakan (golput). Di TPS 20 Taman Karawang tempat dia mencoblos, hanya 142 pemilih di antara 270 pemilih yang terdaftar di DPT yang menggunakan haknya.

Sementara itu, di TPS 27 Taman Suropati yang dikunjunginya, hanya 170-an dari 400-an pemilih yang menggunakan hak politik. Padahal, di Pilkada DKI Jakarta 2007 lalu, hampir 80 persen penduduk mempergunakan haknya. "Berapa uang dan tenaga yang mubazir karena mereka tidak menggunakan hak pilih," katanya masygul.

Kalla memprediksi tingginya angka golput disebabkan libur panjang empat hari dimanfaatkan pemilih untuk berlibur ke luar kota. "Inilah gaya penduduk Menteng. Mereka tidak care dengan hak politik mereka sendiri," katanya. Kalla mengaku berharap tingginya angka golput di Menteng tidak mewakili angka partisipasi secara nasional.

Dengan biaya rata-rata tiap pemilih Rp 15 ribu, setiap TPS di Menteng sudah merugikan negara Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta. ''Bayangkan kalau secara nasional angka golputnya setinggi itu. Berapa triliun uang pajak yang mubazir," terangnya.

Dengan dominasi Partai Demokrat pada Pemilu 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sepertinya akan kembali duduk di kursi RI 1. Perolehan suara Partai Demokrat yang unggul jauh lewat hasil quick count, membuktikan hal itu. ''SBY calon terkuat. Dia bisa menghipnotis pemilih," kata pengamat politik dari LIPI Lili Romli kepada JPNN.

Menurut Lili, SBY diuntungkan oleh strategi pencitraannya yang baik selama ini. Selain itu, SBY enggan mengambil risiko dengan membuat kebijakan yang kurang populer. ''Kebijakannya populis. Beliau juga diuntungkan dengan harga minyak dunia yang turun hingga BBM bisa turun tiga kali," jelasnya.

Namun, Lili meragukan eksistensi Partai Demokrat jika tidak ada SBY. Sebagai langkah jangka panjang, PD harus membuat sistem konsolidasi dan kaderisasi yang solid agar tidak bergantung lagi kepada SBY. ''Tidak ada yang abadi di politik," ujarnya.

Beberapa pendiri PD yang sudah keluar dan membuat partai baru, dianggap tidak ada pengaruhnya. Ketokohan SBY masih sentral. ''Tokoh-tokoh yang keluar dari PD tidak berhasil menarik simpati pemilih dan tidak terlihat ketokohannya. Berbeda dengan Prabowo dan Wiranto yang keluar dari Golkar, tapi ketokohannya tetap dipandang dan berhasil menarik simpati pemilih," kata Kristiadi.

Perolehan suara Partai Golkar menurun drastis dibanding Pemilu 2004. Penurunan ini dinilai karena lahirnya dua partai baru, Hanura dan Gerindra, yang notabene pemimpinnya mantan kader Golkar. ''Tidak bisa dimungkiri, berdirinya Gerindra dan Hanura menjadi faktor utama turunnya suara Golkar," jelasnya. (pri/dyn/noe/gun/jpnn/iro)

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=62756

Takut ke Golput atau ke Ghost Voters

Takut ke Golput atau ke Ghost Voters

Oleh Kacung Marijan *

Turunnya angka partisipasi pemilih dalam pemilu bukan khas negara tertentu seperti Indonesia. Kecuali di negara-negara yang memandang mengikuti pemilu sebagai kewajiban (compulsory) seperti Australia dan Belgia, sebagian besar negara-negara demokratis menghadapi penurunan tingkat partisipasi pemilih di dalam pemilu (turn-out).

Kecenderungan serupa juga terjadi di Indonesia. Kalau pada Pemilu 1999 mencapai 89,79 persen, angka partisipasi pemilih pada Pemilu 2004 menurun menjadi 76,66 persen. Tingkat partisipasi itu lebih rendah pada Pilpres 2004, dan rata-rata partisipasi pemilih di dalam pilkada hanya di bawah 70 persen.

Hasil Pemilu 9 April 2009 belum diketahui secara pasti meskipun quick count sudah memberikan isyarat yang cukup akurat. Survei, quick count, dan pemantauan sementara menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih juga tidak menunjukkan tanda-tanda lebih baik dari Pemilu 2004. Bahkan, di banyak TPS, tingkat partisipasi pemilih hanya pada kisaran 50 persen.

Golput atau Ghost Voters?

Di Indonesia, pemilih yang tidak datang ke bilik suara sering disebut golongan putih (golput). Istilah itu mengemuka ketika sejumlah aktivis mengadakan gerakan tidak mengikuti pemilu pada 1971. Golput merupakan gerakan protes terhadap fenomena ''penyeragaman politik'' yang mulai dilakukan oleh Orde Baru.

Dalam perkembangannya, golput tidak lagi dipakai untuk menyebut kelompok orang yang tidak percaya terhadap institusi politik yang ada atau penguasa. Semua pemilih yang terdaftar di dalam DPT dan tidak menggunakan hak pilihnya disebut golput.

Faktanya, tidak semua pemilih yang tidak datang ke bilik suara adalah pemilih kritis kepada institusi partai politik atau penguasa. Ada juga kelompok pemilih lain, misalnya, pemilih yang terpaksa tidak memilih karena alasan teknis. Pemilih yang harus menyelesaikan pekerjaan, pergi ke luar daerah, atau yang tidak memperoleh panggilan untuk memilih merupakan kelompok pemilih yang bisa jadi tidak bermaksud tidak ikut di dalam pemilu.

Selain itu, terdapat juga pemilih yang disebut pemilih siluman (ghost voters). Itu merupakan kelompok pemilih yang seharusnya tidak tercantum dalam DPT tetapi masih tercantum. Ketika pemilunya benar-benar jurdil, pemilih siluman tersebut jelas tidak akan datang ke TPS.

Sistem administrasi kependudukan di Indonesia yang masih belum rapi merupakan faktor pokok dari munculnya pemilih kelompok demikian. Juga, disebabkan oleh adanya penduduk ''nakal'' yang memiliki KTP lebih dari satu.

Pemilih siluman itu seharusnya bisa diatasi manakala mekanisme validasi pemilih berlangsung secara baik. Faktanya, seperti yang terlihat pada Pemilu 2009 ini, validasi pemilih tidak dilakukan secara memuaskan. Konsekuensinya, hampir di seluruh wilayah Indonesia didapati pemilih siluman tersebut.

Jumlah pemilih siluman memang masih belum diketahui secara pasti. Tetapi, mengingat adanya DPT bermasalah di banyak tempat, jumlahnya jelas tidak sedikit. Sekiranya hal demikian ini yang terjadi, itu berpengaruh terhadap kelompok pemilih yang seharusnya disebut goput tersebut.

Mengapa?

Ada banyak argumentasi mengapa pemilih tidak datang ke bilik suara. Pertama, penurunan partisipasi itu dikaitkan dengan tingkat kepuasan terhadap performance pemerintah (Noris 1999). Termasuk di dalamnya adalah adanya peningkatan trust terhadap pemerintah (Franklin 2004).

Pemilih yang merasa tidak puas terhadap kinerja pemerintah akan berujung kepada berkurangnya kepercayaan kepada pemerintah yang ada. Kecenderungan demikian akan mendorong pemilih untuk apatis kepada pemerintah.

Memang, permasalahan kinerja itu akan mendorong pemilih beralih ke partai yang lain. Tetapi, manakala pemilih juga berpandangan bahwa ''siapa pun yang berkuasa, tidak banyak berpengaruh kepada diri mereka'', para pemilih akan cenderung golput.

Kedua, penjelasan lain justru memiliki logika yang sebaliknya. Kepercayaan kepada pemerintah juga akan mendorong peningkatan golput (Marijan 2005). Pemilih demikian akan cenderung pasrah terhadap pemerintahan yang ada. Mereka tidak perlu merasa harus datang ke TPS karena sudah berpikiran bahwa pemerintahan yang ada akan kembali terpilih.

Dalam argumentasi yang kedua itu, pemilih akan berbondong-bondong ke TPS ketika mereka merasa perlu mengganti pemerintah yang berkuasa. Hal itu, misalnya, terlihat dari peningkatan pemilih pada pemilu sela di Amerika Serikat pada 2006 dan Pemilu 2008.

Ketiga, berkaitan dengan apa yang disebut oleh Bruce Ackerman dan James Fishkin (2003) sebagai ''civic privatism''. Pemilihan di dalam argumentasi demikian dipandang sebagai urusan pribadi. Implikasinya, pemilih bisa saja kemudian cuek terhadap pemilihan.

Kalau kita lihat tren pemilih yang tidak datang, faktor-faktror pendorongnya bisa kompleks. Ada yang golput karena tidak lagi percaya kepada parpol. Ada juga yang merasa tidak perlu harus memilih di TPS karena sudah ada yang memilih. Atau karena merasa, siapa pun yang berkuasa tidak akan berpengaruh banyak terhadap kehidupannya.

Apa pun argumentasinya, golput dalam pemilu harus dipandang sebagai hal yang serius. Ketika golput didasari pertimbangan tentang ketidakpercayaan terhadap lembaga politik, berarti terdapat kebutuhan untuk memperbaiki kinerja lembaga-lembaga politik itu.

Fenomena banyaknya pemilih yang tidak datang ke TPS, dengan demikian, menjadi modal awal bagi wakil terpilih untuk bekerja lebih baik. Bagi KPU, fenomena demikian bisa dijadikan titik tolak untuk membersihkan pemilih siluman yang sudah menjadi hantu pada Pemilu 2009.

* Kacung Marijan, guru besar FISIP Universitas Airlangga

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

Indonesia dan Thailand Paling Korup di Asia

Survei PERC
Indonesia dan Thailand Paling Korup di Asia
"Ada kemajuan nyata dalam pemberantasan korupsi di Indonesia dibawah Presiden Yudhoyono."

Elin Yunita Kristanti, Yudho rahardjo

VIVAnews - Hasil Riset lembaga The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) masih menempatkan Indonesia, disusul Thailand, sebagai negara terkorup di Asia. Riset tersebut dilakukan pada Maret 2009 terhadap 1.700 responden pelaku bisnis di 14 negara Asia, ditambah Australia dan Amerika Serikat.

Meski persepsi terhadap Indonesia masih negatif, PERC memberi catatan khusus pada usaha pemberantasan korupsi di Indonesia. "Ada kemajuan nyata dalam pemberantasan korupsi di Indonesia dibawah Presiden Yudhoyono," kata PERC seperti dikutip laman berita Australia, Herald Sun, Kamis 8 April 2009.

Meski demikian, nyatanya korupsi di sektor publik dan sektor privat masih tinggi. "Namun, survei terakhir kami menunjukan penduduk di Indonesia menilai dengan baik usaha Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberantas korupsi, lebih baik daripada yang dilakukan di negara lain," tambah PERC.

Kebanyakan responden survei meminta Indonesia mempertahankan keberlanjutan usaha pemberantasan korupsi.

Indonesia mendapatkan skor 8,32, dari skor terburuk 10. Sementara Thailand memperoleh skor 7,63, disusul Kamboja dengan skor 7,25, India 7,21 and Vietnam 7,11. Sedangkan Filipina yang menjadi negara terkorup tahun 2008 mendapatkan skor 7,0, atau menempati rangking enam sebagai negara terkorup di Asia.

Sementara Singapura (1,07) , Hongkong (1,89), dan Australia (2,4) menempati tiga besar negara terbersih, meskipun ada dugaan kecurangan sektor privat. Sementara Amerika Serikat menempati urutan keempat dengan skor 2,89.

• VIVAnews
http://us.korupsi.vivanews.com/news/read/47811-indonesia_dan_thailand_paling_korup_di_asia


Indonesia Terkorup di Asia
Hendarman: Pemberantasan Korupsi Terus Jalan
Padahal pemberantasan korupsi dilakukan di Kejaksaan dan KPK.

Arry Anggadha, Syahid Latif


VIVAnews - Jaksa Agung Hendarman Supandji mempertanyakan hasil riset lembaga The Political and Economic Risk Consultancy yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia.

"Pemberantasan korupsi kita itu berjalan," kata Hendarman di usai menyontreng di Kompleks pejabat, Jalan Denpasar, Jakarta, Kamis 9 April 2009.

Hendarman menjelaskan, hal yang sulit dalam pemberantasan korupsi adalah masalah pembuktian. "seperti orang mencium bau siapa yang membuat bau, itu kesulitan kita," ujarnya. Di Indonesia, lanjut Hendarman, juga memiliki lembaga KPK. Bahkan pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK sudah berjalan bagus. "Dengan adanya penyadapan, tertangkap tangan."

Meski demikian, Hendarman mempertanyakan hasil survei tersebut. "Apakah itu hanya dalam bentuk dugaan saja," ujarnya.

Indonesia mendapatkan skor 8,32, dari skor terburuk 10. Sementara Thailand memperoleh skor 7,63, disusul Kamboja dengan skor 7,25, India 7,21 and Vietnam 7,11. Sedangkan Filipina yang menjadi negara terkorup tahun 2008 mendapatkan skor 7,0, atau menempati rangking enam sebagai negara terkorup di Asia.

Sementara Singapura (1,07) , Hongkong (1,89), dan Australia (2,4) menempati tiga besar negara terbersih, meskipun ada dugaan kecurangan sektor privat. Sementara Amerika Serikat menempati urutan keempat dengan skor 2,89.
• VIVAnews

http://us.korupsi.vivanews.com/news/read/48031-hendarman__pemberantasan_korupsi_terus_jalan

Cadangan Devisa Aman

Cadangan Devisa Aman
Oleh Nanang Hendarsah Peneliti ekonomi madya BI .


B ESARNYA tekanan terhadap rupiah akibat intensifikasi krisis global meng haruskan Bank Indonesia (BI) tetap berada di pasar demi menjaga stabilitas makro. Memang, konsekuensinya adalah jumlah cadangan devisa merosot, tetapi hitungan terakhir menunjukkan level cadangan devisa tetap aman.
BI tidaklah sendirian yang berupaya keras menangkal tekanan. Sebagian besar bank sentral negara berkembang habis-habisan menjaga agar nilai mata uangnya tidak merosot tajam. Akibatnya, sejak krisis global mengalami eskalasi, menyusul bangkrutnya Lehman Brothers pada Oktober 2008, cadangan devisa hampir seluruh negara berkembang turun signifikan. Filipina adalah pengecualian, karena justru cukup beruntung dibanjiri devisa dari warga negaranya yang bekerja di luar negeri (worker remittances).

Melihat perannya sebagai perisai untuk menangkal tekanan, apakah jumlah cadangan devisa yang tinggi dapat menyelamatkan suatu negara terjerumus ke jurang krisis? Akibat trauma krisis Asia 1997/1998, negara-negara berkembang memang terus memupuk cadangan devisa. Hal itu dilatarbelakangi motif berjagajaga atau self-insurance motive (Aizenman dan Marion, 2004). Beberapa negara lainnya, terutama di Asia, juga memupuk cadangan devisa guna menahan tajamnya apresiasi mata uang agar industri domestik berbasis ekspor tetap terlind ungi (mercantilist approach) Dalam krisis global saat ini, level cadangan devisa yang tinggi tampaknya tidak sepenuhnya dapat diandalkan sebagai bantalan untuk me nangkal krisis. Mata uang won Korea Selatan dan ruble Rusia tidak luput terhempas tajam, padahal - cadangan devisanya masing-masing mencapai $264 miliar dan $493miliar pada Maret 2008 lalu.

Bagaimana tidak tertekan, kendati cadangan devisa Korea besar, tapi utang luar negeri jangka - pendeknya mencapai $151,4 miliar, atau 57,3% dari cadangan devisanya.

Contoh Korea menggambarkan bagaimana investor global cemas terhadap 'kecukupan cal dangan devisa' (reserve adequacy), bukan jumlah nya. Memang, berbagai literatur menyarankan - ketahanan cadangan devisa perlu diukur berda, sarkan kemampuannya dalam membiayai impor dan transaksi finansial, termasuk pembayaran utang luar negeri atau pembalikan arus modal portofolio asing.

Bagaimana dengan kecukupan cadangan de- visa di Indonesia? Pada 13 Maret 2009, cadangan - devisa sebesar $53,9 miliar atau turun jika diban dingkan dengan posisi akhir Maret 2008 yang - mencapai $59 miliar. Kendati cadangan devisa - turun, akibat merosotnya kegiatan ekonomi, total impor pada 2009 diperkirakan turun dari ratat rata $9,7 miliar pada 2008 menjadi $7,9 miliar per bulan. Dengan demikian, berdasarkan ukuran kecukupan impor, cadangan devisa sejumlah - tersebut akan mampu menutup kebutuhan 6,8 bulan impor atau jauh lebih tinggi dari patokan (rule-of-thumb) yang digunakan IMF antara tiga dan empat bulan impor.

Memang banyak yang memandang ukuran - kebutuhan impor tidak sahih apabila sistem devisa Indonesia tergolong bebas. Ketika arus modal jangka pendek bergerak bebas melintasi batas negara (cross border flows). Krisis ekonomi 1997/1998 membuktikan hal itu. Arus modal berbalik arah keluar secara serentak terutama untuk pembayaran utang luar negeri sektor swasta. Oleh karena itu, berkembanglah Greenspan-Guidotti Rule yang mensyaratkan cadangan devisa harus dapat menutup pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo dalam satu tahun ke depan (Pablo Guidotti dan Alan Greenspan, 1999).

Pada akhir 2008, rasio cadangan devisa terhadap utang luar negeri jangka pendek Indonesia mencapai 2,5. Angka itu masih jauh lebih tinggi dari kecukupan cadangan devisa Korea yang hanya dapat menutup 1,3 utang luar negeri jangka pendeknya. Terlebih lagi potensi permintaan valuta asing untuk pembayaran luar negeri swasta di Indonesia yang akan jatuh tempo dalam satu tahun ke depan dipastikan kecil. Itu karena sebagian besar utang swasta merupakan utang perusahaan yang terafiliasi dengan perusahaan induknya di luar negeri.

Namun, patokan yang dikembangkan Greenspan-Guidotti pun ternyata juga menuai kritik. Ia tidak menangkap kerentanan yang timbul akibat kemungkinan currency run atau konversi mata uang domestik ke valuta asing oleh penduduk. Oleh karenanya, rasio jumlah uang beredar (M2) terhadap cadangan devisa perlu diperhitungkan (Kaminsky dan Reinhart, 1999). Rasio M2 terhadap cadangan devisa di Indonesia pada Januari 2009 mencapai 3,3, hanya sedikit meningkat dari 3,1 pada Juni 2008.

Dalam kondisi mutakhir terkini, ketika arus modal lebih banyak berupa investasi portofolio yang setiap saat dapat berbalik (sudden reversal), jumlah cadangan devisa juga dapat dikatakan aman apabila mampu menutup arus keluar portofolio asing (Willett, 2004). Berdasarkan ukuran ini pun cadangan devisa Indonesia tetap aman. Apalagi sejak Oktober 2008 investasi portofolio asing di Indonesia, terutama pada SBI dan SUN sudah merosot tajam. Akibatnya, rasio cadangan devisa terhadap jumlah kepemilikan asing di kedua instrumen pasar tersebut justru naik tajam dari 4,3 pada Juni 2008 menjadi 5,9 pada Januari 2009. Itu menggambarkan perbaikan kemampuan cadangan devisa dalam meredam kemungkinan tekanan akibat arus ke luar investasi portofolio asing.

Dari uraian tersebut kita dapat mengukur apa pun pendekatan yang digunakan, cadangan devisa Indonesia masih dalam batas aman. Jumlah bukanlah segalanya. Jumlah cadangan devisa yang terlalu tinggi melebihi level optimalnya bahkan akan menuai ongkos (marginal cost) terutama akibat meningkatnya ongkos sterilisasi melalui penerbitan SBI.

Sterilisasi oleh BI diperlukan untuk menetralkan dampak ekspansi likuiditas (inflationary monetary impact) akibat akumulasi cadangan devisa. Apabila selisih suku bunga SBI dan suku bunga valas semakin melebar, tentunya neraca Bank Indonesia akan semakin terbebani dengan ongkos yang semakin besar karena meningkatnya negative spread. Dengan begitu, jumlah cadangan devisa yang tinggi atau 'maksimal' tidak selalu menjadi barometer. Namun, yang penting adalah cadangan devisa harus berada pada level 'optimal' untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan terutama transaksi impor dan finansial.



http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/10/ArticleHtmls/10_04_2009_006_003.shtml?Mode=1