BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pemilu: Anything Goes!

Pemilu: Anything Goes!

Written By gusdurian on Sabtu, 11 April 2009 | 14.22

Pemilu: Anything Goes!
Rocky Gerung, pengamat politik dari Universitas Indonesia

Pemilu legislatif sudah diselenggarakan. Suara rakyat sudah dikumpulkan. Artinya, pemetaan politik sudah selesai. Peta itu akan menjadi dasar pembagian kekuasaan di Dewan Perwakilan Rakyat. Dan bagi partai politik, statistik pemilu itu adalah alat transaksi politik pemilihan presiden pada Juli nanti. Itulah segi formal penyelenggaraan pemilu, yaitu kegiatan rutin politik dari sebuah demokrasi. Segi formal itu baru satu soal. Yang jauh lebih penting adalah mempertanyakan pendalaman demokrasi melalui pemilu. Artinya, apakah hiruk-pikuk kampanye telah menjadikan rakyat sebagai subyek demokrasi, yaitu individu yang dengan sadar melibatkan diri dalam pemilu? Atau bahwa kampanye sekadar kumpulan retorika yang membius dan menumpulkan kritisisme publik?


***
Contoh konkret adalah kasus pemilu pagi tadi. Di sebuah TPS, pemungutan suara sudah berlangsung. Sebagian pemilih sudah mencontreng, dan akhirnya diketahui bahwa surat suara yang dicontreng adalah milik daerah pemilihan lain, yang berarti nama-nama calon legislatornya juga lain. Jadi, apa yang dicontreng para pemilih sebelumnya? Inilah bentuk partisipasi politik tanpa arah, karena memang hiruk-pikuk kampanye tidak berkorelasi dengan kesadaran politik rakyat. Kesadaran untuk terlibat dalam penentuan arah politik lima tahun ke depan juga tidak dimiliki partai politik. Bahwa parpol gegap-gempita dalam memobilisasi dukungan hanyalah menjelaskan kehausan kekuasaan para elite partai. Tetapi, soal pendidikan politik dan perluasan wawasan demokrasi, parpol tidak memiliki kurikulumnya. Jelas soal ini berakibat pada kualitas anggota DPR 2009. Kita membayangkan DPR yang akan diisi oleh wakil-wakil yang tidak dibekali oleh ethics of citizenship, dan justru memanfaatkan simbolisme komunal sebagai pegangan politiknya.

Kultur parpol kita sebetulnya juga sedang mengarah pada retradisionalisasi kepemimpinan, yaitu penguasaan struktur partai oleh kelompok keluarga, jaringan etnis, dan ikatan agama. Otonomi daerah telah memperkuat gejala retradisionalisasi politik ini. Pemimpin partai di daerah adalah tokoh-tokoh yang berakar pada nilai-nilai primordial dan jaringan politiknya dibangun di atas landasan komunal. Karena itu, kita tidak mendengar sebuah percakapan politik modern dalam kehidupan kepartaian di daerah. Konsekuensi dari kultur politik semacam ini adalah bahwa kepemimpinan politik telah mengarah pada personalisasi. Yaitu semacam feodalisme politik yang diselenggarakan dalam format sebuah partai modern.

Pada tingkat pimpinan pusat partai, politik dinasti semakin terasa karena ketokohan politik tidak diuji dan diteliti berdasarkan rekor politik publik seorang, tetapi sekadar untuk mengamankan kepentingan keluarga. Kerangka politik inilah yang menjadi latar belakang penyelenggaraan pemilu. Jadi, demi apa wakil rakyat dipilih? Bila kultur oligarkis dalam parpol dan motif dinastik para elitenya tidak berubah, kita sebetulnya sekadar menyelenggarakan pemilu untuk berpartisipasi memperkuat komunalisme dan oligarki politik partai. Tentu bukan itu tujuan politik demokratis.

Penyelenggaraan politik kepartaian seperti itu tidak menghasilkan politik yang ideologis. Artinya, kepentingan publik tidak diselenggarakan demi suatu cita-cita sosial dan kultural yang visioner. Partai difungsikan semata-mata secara pragmatis dan transaksional. Ikatan ideologis demi suatu visi sosial yang jernih tidak lagi menjadi tujuan aktivitas parpol.

Akibatnya memang tidak ada kebutuhan ideologis bagi partai untuk menyelenggarakan pendidikan politik publik. Itulah sebabnya, politik oposisi juga tidak dapat secara tajam menjelaskan distingsi ideologis yang hendak diperjuangkan sebagai alternatif bagi perlunya pergantian kekuasaan pemerintahan. Oposisi yang kita dengar sekarang ini tidak lebih dari persaingan dendam personal dan sinisme dangkal di antara para pemimpin, ketimbang suatu duel konseptual yang jernih di antara dua kekuatan ideologis yang bersaing. Tanpa politik oposisi yang bermutu, persaingan politik pemilu hanyalah menjadi persaingan para demagog yang sekadar mengincar kekuasaan, tanpa visi kebudayaan politik yang jelas dan tanpa arah pikiran alternatif yang utuh.

Itulah sebabnya, kita merasakan kejenuhan psikis dan keletihan mental luar biasa menghadapi ratusan agenda politik setiap tahun (pilkada, sidang DPR, munas partai, deklarasi oposisi, dan seterusnya), yang sebetulnya tanpa isi dan hanya membisingkan politik nasional. Ujung semua itu adalah pemilihan presiden.

Bila kita proyeksikan sejak sekarang ujung kegiatan politik nasional kita nanti, tidak ada kejutan yang akan menyentakkan keletihan mental kita ke arah harapan "peradaban politik" baru. Sebab, semua tema negosiasi, koalisi, dan berbagai manuver politik hari-hari ini tidak lebih dari pertemuan berbagai dendam dan perjanjian oportunistik. Ini semua terjadi karena distingsi-distingsi ideologi tenggelam oleh kalkulasi-kalkulasi personal dan pragmatisme kekuasaan. Imperatif finansial juga telah memoderasi berbagai cita-cita ideologis dan mengubahnya menjadi transaksi ekonomis semata-mata. Pemilu hari ini tidak akan menghasilkan kegiatan transformasional, melainkan sekadar aktivitas transaksional. Dan dalam antisipasi itulah kita akan menyaksikan kedangkalan politik akan diselenggarakan secara terbuka menuju pemilihan presiden 8 Juli nanti.

Apakah bentuk kedangkalan itu? Yang pertama adalah prinsip "anything goes", yaitu hilangnya "keutamaan politik" dan kembalinya "politik dagang sapi". Gelagat ini sudah terbaca dalam kasak-kusuk para elite hari-hari ini.


***
Keperluan untuk mengubah masa depan melalui pemilu adalah keperluan kebudayaan. Artinya, kita ingin menyelenggarakan sebuah Indonesia yang bermutu, yaitu Indonesia yang dipimpin oleh rasionalitas politik. Indonesia semacam itu memerlukan investasi etika publik yang modern, yaitu acuan politik pada prinsip kewarganegaraan. Dengan cara itu, kita boleh berharap untuk mengubah kultur politik partai kita dari kultur "dealership" menuju kultur "leadership". Tapi pertaruhan itu memerlukan pekerjaan politik serius dari mereka yang menghendaki demokrasi yang bermutu. l



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/10/Opini/krn.20090410.162028.id.html
Share this article :

0 komentar: