BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Nasib Penunggu Undangan ke TPS

Nasib Penunggu Undangan ke TPS

Written By gusdurian on Sabtu, 11 April 2009 | 14.34

Nasib Penunggu Undangan ke TPS

Oleh : Rohman Budijanto*)

PENCONTRENGAN besok, saya terpaksa jadi ''golput'' alias ''golongan penunggu undangan ke TPS''. Kemarin pagi saya bertemu petugas pengedar undangan ke tempat pemungutan suara. Dia memberi tahu nama saya dan istri saya tak termasuk dapat undangan pemilu. Padahal, pada Pemilu 1999, Pemilu 2004, pilbup, dan pilgub, kami selalu dapat undangan ke TPS.

Selain saya dan istri, kata petugas yang ramah ini, tiga tetangga saya tak dapat undangan mencontreng. Seperti kami, nama mereka hilang dan tak masuk DPT (daftar pemilih tetap) dalam pemilu kali ini.

Petugas itu bercerita, dia berusaha menawar kepada ketua KPPS (kelompok panitia pemungutan suara). Dia meminta agar yang tak dapat undangan bisa datang ke TPS dengan KTP. Tapi, petugas itu diberi tahu ketua KPPS, cara itu bisa membuat dia ''kena''. Mungkin kena pidana pemilu atau sanksi hukum lain. Ngeri, tentunya.

Lalu bagaimana nasib orang-orang yang tak dapat undangan? Ketua KPPS menitipkan ''salam''. ''Katakan kepada mereka: mohon maaf sebesar-besarnya,'' tiru petugas itu. Heran juga saya. Tempat tinggal saya tak pelosok amat, yakni di Kecamatan Kota Sidoarjo.

Percakapan pagi itu mengingatkan diskusi Jumat (3/4) lalu di redaksi Jawa Pos dengan Menko Kesra Aburizal Bakrie, Mensesneg Hatta Radjasa, serta Menkominfo Mohammad Nuh. Kebetulan saya hadir dalam diskusi itu. Dengan menyebut bukan berarti mencari alasan pemaaf, Pak Nuh bilang, ''Kalau secara statistik 95 persen beres dan 5 persen tidak beres, itu sudah baik.'' Mungkin saya termasuk dalam statistik 5 persen yang harus dimaklumi itu.

Logika itu betul. Meski kurang tepat untuk pemilu. Pemilu sedapat mungkin harus beres 100 persen. Seratus persen. Ini mengingat setiap suara warga negara harganya sama. Mulai presiden sampai pesinden, hartawan sampai karyawan, pedagang sampai peladang, petani sampai pencuri, pelajar sampai pelacur, pemuda sampai ''petua'', dan segenap warga berhak pilih punya satu suara.

Negara, dalam hal ini KPU, harus menyiapkan kemungkinan 100 persen pemilih mendatangi TPS. Karena itulah, logistik kertas suara selalu dilebihkan 2 persen untuk mengantisipasi yang rusak. Padahal, dalam sejarah pemilu di mana pun, termasuk ''pemilu-pemiluan'' di negara otoriter, tak ada ceritanya pemilih sampai 100 persen. Pemilu 1999 ada 10,21 persen yang tak menggunakan hak pilih. Pada Pemilu Legislatif 2004, gairah konstituen menurun. Jumlah pemilih abstain membubung ke 23,34 persen. Meski antusiasme pemilu menurun, kertas suara selalu dibuat 102 persen.

Undang-undang pun sangat berhati-hati dalam menetapkan siapa yang dicabut atau tak mendapat hak pilihnya. Misal, orang yang tak sehat rohani, orang yang dicabut hak pilihnya oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan TNI-Polri. Bahkan, mantan napi pun kini sudah dipulihkan hak pilihnya dan pasal dalam UU Pemilu terkait itu dibatalkan. Yakni, setelah gugatan mantan perampok Robertus asal Sumsel, yang gagal jadi caleg, dikabulkan Mahkamah Konstitusi.

Begitu luar biasanya hak pilih warga dalam negara demokrasi. Sebab, di bilik suara inilah suara rakyat menjelma jadi suara bangsa (vox populi vox natio). Pemungutan suara ini juga mengandung kesakralan, karena hanya dirinya sendiri dan Tuhan yang tahu (asas rahasia). Inilah keindahan demokrasi, termasuk demokrasi kita. Hasil pemilu alias kehendak rakyat menjadi teka-teki yang mengasyikkan. Menjadi tes bagi pemerintah incumbent apakah masih dipercaya.

Demokrasi bisa menjadi pesta (party) yang seru. Kebetulan pesertanya juga terdiri atas para party alias partai. Kalau zaman Orde Baru, pestanya tak asyik, karena terlalu tertib, terlalu hening, dan tak ada kejutan. Pesta pemilu yang mestinya ''reality show'' dijadikan ''sinetron berskenario''. Tak heran hasil pemilu waktu itu sudah bisa diprediksi lima tahun sebelumnya.

Pesta demokrasi setelah Orde Baru berlalu lebih asyik. Pada 1999 rakyat begitu antusias mengikuti rangkaian pesta ini. Sayang, terlalu banyak yang kebablasan ''mabuk'' pemilu, sehingga darah tercecer-cecer. Pemilu 2004 juga asyik. Yang ''mabuk'' mulai berkurang. Jumlah party-nya juga berkurang dari 48 ke 24 partai. Dan, Pemilu 2009 ini benar-benar asyik, meski party-nya membengkak jadi 38. Makin tak terdengar rakyat kebablasan sampai ''mabuk'' politik. Rakyat ikut pesta dengan pikiran lebih jernih. Sekarang yang pusing, selain bintang pesta (para caleg), tapi juga penyelenggara pesta itu, KPU.

KPU yang sekarang terasa jauh lebih menurun kualitasnya. Ketika dua KPU sebelumnya sangat serius merancang pemilu sejak awal dan mendengarkan masukan publik. Sedih sekali, bahwa akhirnya sebagian anggota KPU harus masuk penjara.

KPU yang sekarang terlihat grogi sejak awal. Di tengah sorotan itu, ketika dulu dikritik jangan jalan-jalan ke luar negeri, tetap saja nekat. Ada juga yang nyelonong nonton pemilu Amerika, yang entah apa faedahnya buat pemilu kita. Tak heran kemudian muncul banyak keraguan, termasuk dalam membereskan masalah daftar pemilih tetap (DPT).

Di tengah keraguan ini, cukup mengherankan juga ketika ketua KPU bilang, kurang dua hari pencoblosan, persiapan sudah 98 persen. Ini seperti logika asal kena, berarti kalau kurang sehari 99 persen, lalu pas pencoblosan sudah 100 persen. Tapi, meski kelihatan asal-asalan, saya harap memang begitu.

Meski agak kecewa tak dapat undangan ke TPS, saya tetap mengharapkan hasil pemilu sekarang bisa meningkatkan kualitas kehidupan berbangsa. Toh saya, istri, dan tetangga saya yang tak dapat undangan itu tak sendiri. Rasanya, kalau yang ''tak diajak pesta'' semacam ini banyak, lebih enteng ditanggung.

Kemarin sore, Jawa Pos kedatangan tamu Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. untuk diskusi antisipasi perkara pemilu pascapencontrengan. Di sana disinggung, Mahfud ternyata juga belum dapat undangan ke TPS. ''Pak Sekjen sudah terima undangan?'' katanya menoleh kepada Sekjen MK, Janedjri M. Gaffar, yang di sebelahnya. Pak Sekjen juga menyatakan belum. Boleh jadi, para pembesar itu belum termasuk 2 persen persiapan pemilu yang belum beres itu.

Sebelum pencontrengan, saya akan berusaha bertanya ke petugas pemilu apakah saya benar-benar tak diundang ke TPS. Tapi, mencontreng atau tidak, saya tetap sangat bahagia bila pemilu tenteram dan sukses. Walaupun saya tetap beranggapan suara partai yang akan saya pilih mestinya bertambah satu.

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=62105
Share this article :

0 komentar: