Ketika Demokrasi Selalu Menang
Radhar Panca Dahana
Budayawan
Refleksi ini mau tak mau harus dilakukan lagi. Sebagai anak zaman yang dilahirkan dan dibesarkan bersama pemerintah Orde Baru, sebagian dari kaum elite (bisnis, politik, akademik, atau agama) negeri ini tumbuh bersama trauma kekerdilan diri, yang sebagiannya mungkin akut.
Trauma itu terjadi ketika orde politik yang berlaku dan berkembang berupaya--dan cukup berhasil--menekan ekspresi pribadi sehingga bahkan menumbuhkan apa yang dahulu kita kenal sebagai “sensor diri” (self-censorship). Semacam mekanisme pengekangan diri sendiri dalam mengaktualisasi atau mengekspresikan diri, khususnya dalam persoalan-persoalan yang bersinggungan dengan politik.
Ketika negeri--di kala itu--menempatkan politik sebagai acuan utama, bahkan tunggal, bagi semua urusan keduniawian, tak terelakkan bila seluruh dimensi kehidupan pun mengalami trauma yang sama, dalam gradasi atau tingkat keakutannya sendiri-sendiri. Hal ini tentu memiliki akibat yang cukup hebat dalam menciptakan generasi, seperti yang pernah saya tuliskan, yang “lost in the crowd”; generasi yang hilang.
Hilang di sini bermakna bukan hanya dalam kecenderungan tindak atau sikap politis yang steril; semacam attitude di mana kegiatan berpolitik yang selalu mencari posisi aman (secure), dan menempatkan kritisisme hanya sebagai retorika atau kembang yang menghiasi portofolio. Sebuah kenyataan yang diperlihatkan oleh banyak bukti, seperti inkonsistensi ide atau perjuangan hingga hipokrisi sebagian tokoh yang dikenal “idealis” namun nyatanya manipulator, bahkan koruptor.
Kita pun tahu, mungkin juga termasuk di dalamnya, bagaimana berbagai macam ekspresi kultural, akademik, atau politik di masa Orde Baru harus menyembunyikan segala bentuk kritik, pengingkaran, dan alienasi terhadap otoritarianisme Soeharto di balik eufemisme, alegori, atau metafora-metafora, baik dalam ungkapan bahasa, teori-teori asing, perbandingan, maupun komedi-komedi teatrikal.
Hal inilah yang antara lain membuat umumnya ekspresi artistik para seniman kita belakangan semakin apolitis, menjauh dari realitas politik yang berkembang di seputar keseharian mereka. Yang membuat semua medan pertarungan atau persaingan budaya, juga politik tentu saja, berlangsung bukan dalam nilai dan norma-norma kejantanan, kekesatriaan, atau saling menghormati di antara lawan.
Betapa tentu sebagian kita akan mengenang, di masa 1970-an, misalnya, para pelajar sekolah menengah--yang sudah senang berkelahi di antara mereka--memasuki gelanggang pi bu dengan satu etik tertentu: satu lawan satu. Pada masa 1980-an, mereka bertempur dalam kelompok. Dan sebagai seorang wartawan lepas, yang juga pelajar sekolah menengah, saya kala itu melaporkan bagaimana perkelahian antarpelajar berkembang menjadi keroyokan: segerombol orang melawan satu-dua orang saja, biarpun satu-dua itu ternyata perempuan.
Kekerdilan dan kepengecutan menjadi norma yang kemudian awam.
Budaya politik
Dunia mental semacam di atas ternyata tidak mudah diterapi oleh perubahan-perubahan besar, termasuk dalam mekanisme politik kita, yang terjadi di masa pasca-Soeharto. Mentalitas semacam itu telah berkecambah dan tumbuh menjadi pohon kebudayaan yang membentuk kehidupan politik kita yang diisi oleh intrik, kecurangan, ilegalitas praksis hukum politik, manipulasi, korupsi, hingga bentuk kriminalitas mutakhir.
Budaya politik semacam ini tidak hanya mencederai pilihan sistemik yang mereka pilih, demokrasi, tapi juga membuat demokrasi itu sendiri sebenarnya hampir tidak pernah hadir secara sejati dalam hidup politik kita, dalam diri kita sendiri. Praktek-praktek persekongkolan, konspirasi, oligarki, bahkan mafia politik, berkembang, dipupuki oleh tradisi feodal atau patron-klienistik-kolonial yang sama sekali belum tuntas diberantas.
Maka, di balik ingar-bingar pemilihan umum yang berlangsung saat ini, di tengah jargon dan slogan kosong, integritas dan karakter manipulatif, sistem yang semakin amburadul, dana publik yang secara konyol dihamburkan, masquerade para pendusta, realitas kultural di atas kini menjadi ancaman tersendiri. Yang tidak hanya membuat mimpi dan harapan menjadi hampa, tapi juga kian membuat ambruk harga diri dan kepercayaan diri apa yang kita sebut bangsa.
Pesta besar yang kita biayai (secara finansial, sosial, dan kultural) besar-besaran ini, yang selaiknya menjadi sebuah terapi di mana kita bisa merapikan diri ini, secara tragis memiliki potensi justru meruntuhkan apa yang susah kita ingin bangun. Ini karena bangunan besar itu tidak ditopang oleh tiang-tiang fondasi yang kukuh: kepribadian manusianya, budaya politik yang disuburkannya.
Kemenangan dan kekalahan, dua kata yang akan sangat dominan setelah hari “pencontrengan”, akan menjadi diksi yang memiliki makna sangat sempit. Di mana keduanya, antara lain, diartikan sekadar sebagai “lost and get”. Aku kalah berarti aku kehilangan/rugi besar, aku menang aku dapat/untung besar. Saldo yang ada dalam perhitungan ini semata ada dalam matriks material. Bukan dalam makna kultural, di mana kekalahan dan kemenangan sebenarnya adalah sekadar unsur dari pembangun sebuah sistem, sebuah kultur dan kedewasaan.
“Win the battle”
Dalam sebuah kompetisi yang dewasa, ada satu kisah ketika dua seteru selalu bertemu seusai sebuah pertarungan. Mereka makan enak dan minum anggur terbaik bersama. Betapapun keduanya adalah “jenderal” yang sangat temperamental, mental saling menghargai dan respek yang mendalam menjadi atmosfer dalam jamuan kejantanan itu.
Yang satu masih muda, yang sebelah sangat senior. Tanpa mental feodalistik sama sekali, sang senior antara lain berkomentar, “Saya menikmati pertemuan itu. Dia orang yang cerdas, yang mulutnya besar tapi dapat membuktikannya dengan sebuah kemenangan. Di lain pihak, ia juga sangat menghargai sebuah kekalahan.” Sebagian kita sangat mengenal kedua “jenderal” itu: Alex Ferguson dan Jose Maurinho, manajer tim Manchester United dan Chelsea (dulu; Inter Milan kini).
Tentu saja ini bukan medan politik. Namun itu sama sekali bukan berkurang nilainya, karena yang mereka bela ada sebuah norma, sebuah kultur, di mana kehidupanlah yang mereka junjung bersama. Bukan soal kalah dan menang, namun kompetisi, permainan, dan keluhuran manusialah yang menjadi endpoint-nya. Kesebelasan atau tim bisa kalah, namun permainan telah dimenangi.
Inilah sebuah keindahan hidup. Gagasan, keinginan, dan cita-cita pribadi atau kelompok wajib serta wajar dibela habis-habisan. Namun, di dasar itu, kita semestinya mafhum bahwa semua berlangsung dalam sebuah game di mana hidup secara keseluruhan dipertaruhkan. Di dasar inilah kemenangan semestinya menjadi milik bersama, baik yang kalah maupun yang menang. Sebagaimana ujaran klasik, “I lost the war but I win the battle.” Partaiku kalah, tapi demokrasiku menang. Bukankah begitu?
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/10/Opini/krn.20090410.162029.id.html
Ketika Demokrasi Selalu Menang
Written By gusdurian on Sabtu, 11 April 2009 | 14.26
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar