BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Misteri Kursi Dewan

Misteri Kursi Dewan

Written By gusdurian on Sabtu, 11 April 2009 | 14.30

Misteri Kursi Dewan
Amiruddin al-Rahab, Pemerhati politik dan hak asasi manusia di Jakarta

Menjadi calon legislator (caleg) dalam Pemilu 2009 ini seperti menghadapi sebuah lotre massal. Caleg DPR RI seakan berjudi dengan dirinya sendiri dan pemilih. Situasi mirip perjudian itu terjadi akibat adanya dua putusan Mahkamah Konstitusi yang saling tak mendukung, yaitu putusan tentang sistem suara terbanyak dan putusan tentang pemberlakuan parliamentary threshold.

Dua putusan MK yang berpunggungan itu membuat cara menentukan peraih kursi DPR RI dalam pemilu kali ini sungguh sangat rumit dan penuh misteri. Ada 11.225 caleg yang memperebutkan 560 kursi. Semua caleg tersebar di 77 daerah pemilihan di 33 provinsi. Sementara itu, jumlah pemilih 171.068.667 orang, yang akan memberikan suaranya di 527.344 tempat pemungutan suara (TPS) dalam negeri dan 873 buah TPS luar negeri.

MK dalam putusan perkara nomor 3/PUU-VII/2009 tanggal 13 Februari 2009 menyatakan bahwa parliamentary threshold tidak bertentangan dengan UUD 1945 hasil amendemen. Artinya, Pasal 202 dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR berlaku secara sah dan mengikat seluruh partai politik dan penyelenggara pemilu.

Seturut Pasal 202, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, seorang caleg hanya bisa menduduki salah satu dari 560 kursi yang tersedia di DPR RI jika partainya mendapatkan sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional. Dua setengah persen dari jumlah suara sah nasional itu setara dengan 4.276.717 suara. Artinya, para caleg yang partainya tidak meraih suara mencapai 2,5 persen suara sah nasional harus gigit jari meskipun mereka berhasil meraih suara terbanyak di daerah pemilihannya (pasal 203 [1-2]).

Jika demikian putusan baru MK, lantas bagaimana dengan putusan MK Nomor 24/PUU-IV/2008/, yang mengukuhkan sistem suara terbanyak? Bukankah MK, ketika menetapkan sistem suara terbanyak, menganulir Pasal 214 UU No. 10/2008 tentang Pemilu, yang mengandaikan setiap caleg memiliki

kesempatan yang sama untuk duduk di DPR RI asalkan ia mendapatkan suara terbanyak di daerah pemilihan tertentu. Artinya, total suara perolehan partai tidak menjadi penentu penetapan seorang caleg menduduki kursi DPR RI.

Membandingkan dasar pengandaian logika dua putusan itu, tampak MK tidak konsisten dalam melihat hukum pemilu. Akibatnya, Pemilu 2009 dilaksanakan dengan UU yang telah tercabik-cabik, dan kian membebani Komisi Pemilihan Umum.

Potensi perseteruan

Namun, di lapangan, putusan MK yang menegaskan berlakunya parliamentary threshold itu mendatangkan pekerjaan rumah baru bagi KPU, Badan Pengawas Pemilu, dan Polri. Sebab, putusan itu akan banyak menuai perseteruan antarcaleg dan antarpengurus partai. Perseteruan bisa terjadi oleh beberapa kondisi. Pertama, belum jelasnya korelasi antara pemberlakuan penghitungan suara terbanyak dan ketentuan parliamentary threshold. Kasus perseteruan jenis ini bisa timbul ketika seorang caleg mendapatkan suara terbanyak di daerah pemilihannya tapi partainya tidak lolos parliamentary threshold secara nasional, apakah kursinya raib secara otomatis. Jika raib secara otomatis, bagaimana kepastian hukum dari sistem suara terbanyak sebagaimana yang telah di putuskan MK sendiri?

Perlu diingat prinsip suara terbanyak adalah semua caleg memiliki kesempatan yang sama masuk ke DPR RI sejauh dirinya memperoleh suara terbanyak (popular vote) di daerah pemilihannya. Jika prinsip ini dibuldoser oleh pemberlakuan parliamentary threshold, caleg dan pengurus partai bisa memperkarakan KPU.

Kedua, caleg dan pengurus partai merasa dipermainkan oleh MK dan KPU. Partai-partai baru dan kecil, yang sebelumnya merasa mendapat angin, seketika mati kutu ketika parliamentary threshold diberlakukan. Jerih payah dan biaya yang dikeluarkan sejak tujuh bulan lalu (masa kampanye delapan bulan) seakan terbuang sia-sia. Akibatnya, militansi pengurus, caleg, dan kader di jajaran bawah bisa langsung loyo.

Jika partai dan caleg dari partai kelas ini bergabung memperkarakan KPU, hasil pemilu bisa kacau di tataran bawah. Gejalanya sudah tampak. Saat ini telah terbentuk Forum Partai-partai yang diinisiatifi oleh 23 pemimpin partai baru dan kecil. Niat memperkarakan MK dan KPU jika memberlakukan parliamentary threshold telah mereka rancang (SP, 4/3/2009). Forum 23 partai ini menilai sistem parliamentary threshold merupakan upaya membunuh mereka.

Padukan langkah

Mengingat adanya potensi masalah di atas, KPU, Bawaslu, dan polisi harus duduk bersama segera untuk mengambil langkah yang padu dan membuat aturan main yang jernih. Komunikasi intensif ketiga badan itu dengan seluruh jajaran partai perserta pemilu harus dilakukan sedini mungkin untuk mereduksi bahaya laten pemberlakuan parliamentary threshold di atas sistem suara terbanyak.

Maka dari itu, KPU harus segera menyiapkan aturan main dan mensosialisasi implikasi dari putusan MK tentang pemberlakuan parliamentary threshold, yang bersilangan dengan sistem suara terbanyak dalam pengisian kursi DPR RI, kepada segenap pengurus partai politik di daerah dan kepada seluruh jajaran petugas KPU, mulai PPS sampai KPU provinsi.

Kepada pemilih juga harus diberitahukan tentang konsekuensi sistem pemberlakuan parliamentary threshold ini terhadap pilihan mereka agar tidak terjadi salah paham dengan petugas KPU di lapangan. Ketika pemilih tidak paham sistem parliamentary threshold, mereka bisa menjadi ancaman terbesar bagi hasil pemilu.

Bawaslu perlu mengambil langkah responsif dengan mengaktifkan seluruh kemampuan untuk memantau kemungkinan terjadinya main sabun petugas KPU dengan caleg dan pengurus dari partai-partai besar. Jika Bawaslu tidak jeli, partai baru dan kecil serta pemilih akan menjadi pihak yang paling dirugikan.

Kepala Polri dan jajarannya, khususnya satuan Intelkam Polri dan Bareskrim Polri, harus bekerja ekstrakeras untuk mengamankan jalannya proses detik-detik penghitungan kertas suara setelah waktu pencontrengan. Di rentang waktu inilah tindak pidana dan potensi kekerasan dan kekacauan bisa terpicu oleh aksi-aksi para caleg dan pengurus partai yang merasa dicurangi.

Jika sinergi antara KPU, Bawaslu, dan Polri bisa koheren dan padu, beberapa faktor destruktif dari persilangan sistem suara terbanyak dan pemberlakuan parliamentary threshold mungkin bisa diatasi tanpa kekerasan. Dengan demikian, misteri pengisian kursi DPR RI bisa dirasionalisasi. Semoga.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/08/Opini/krn.20090408.161818.id.html
Share this article :

0 komentar: