BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kehormatan Pemilu

Kehormatan Pemilu

Written By gusdurian on Sabtu, 11 April 2009 | 14.35

Kehormatan Pemilu


Kehormatan pemilihan umum (Pemilu)kali ini tampaknya akan sedikit terluka.Tentu akan menjadi suatu masalah, seringan apa pun masalah itu.


Walaupun ringan, sebaiknya luka itu dikenali dengan secermat-cermatnya dan diobati dengan sebaikbaiknya sejak dini. Luka itu sekali lagi,seringan apa pun,tidak bisa dibiarkan, bukan karena terlalu banyak uang negara yang dikucurkan untuk menyelenggarakannya dan begitu banyak orang terlibat di dalamnya, tetapi sejatinya pemilu memiliki kehormatan tersendiri.

Disebabkan oleh kehormatannya itulah pemilu menjadi tak bermakna kalau didengungkan hanya sebagai pesta-pestaan walaupun diembel-embeli dengan demo krasi. Sebagai sebuah perkara serius bagi bangsa, bagi rakyat, bukan bagi partai, juga bukan bagi mereka yang berkontes di panggung ini untuk dipilih menjadi wakil rakyat, pemilu merupakan wadah orang-orang berakal budi mengekspresikan cita-cita mulia mereka tentang hari esoknya.

Keagungan Kita

Pemilu di negeri yang kita cintai ini telah mulai diselenggarakan sejak 1955, karena esensinya, terlalu berisiko untuk disederhanakan menjadi sebuah perkara rutin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Sebagai cara mengisi jabatan-jabatan publik yang bersifat kolektif dan politis,menggantikan cara feodal klasik,pemilu merupakan ekspresi dari hasrathasrat luhur, seluhur cita dan budi manusia beradab dan bermartabat.

Karena itu, dapat dikatakan bahwa pemilu sejatinya merupakan pencapaian gemilang dari cita dan budi mulia orang-orang beradab dan bermartabat untuk tidak hanya menolak cara pengisian jabatan-jabatan kolektif ala feodalisme klasik,yang main angkat dan tunjuk, disertai dengan upetiupeti kepada sang pemilik negeri: raja.

Main tunjuk dan main angkat dalam tradisi feodal, sesuai sejarahnya dalam pemerintahan-pemerintahan klasik, cuma menghasilkan satu hal: pendalaman despotisme, otokratisme, bahkan kleptokratisme ganas terhadap kehidupan orang banyak. Dalam tradisi ini, sekali lagi, sesuai sejarahnya, tidak pernah muncul cerita anggun tentang kemanusiaan.

Kesejahteraan rakyat, kalaupun ada, cuma menjadi cerita nomor sekian karena rakyat yang banyak jumlahnya itu hanya bernilai sebagai budak dan tidak layak untuk dihargai sebagai manusia, sesuai kodratnya yang hakiki. Mestilah dicatat bahwa pemilu, betapapun tidak semuanya, merupakan penghargaan tentang betapa agungnya manusia yang sesuai kodratnya adalah merdeka sejak lahir.

Kodrat itu,begitulah yang diyakini oleh orang-orang bernalar dan berjiwa besar serta agung itu, bukanlah sesuatu yang diperoleh dari belas kasih penguasa, melainkan dipatrikan oleh Sang Pencipta. Inggris pada 1688 dan satu abad kemudian Prancis, tepatnya pada 1789, dengan derajat yang berbeda, adalah dua contoh menarik.

Kericuhan, bahkan darah, harus mengalir membasahi bumi, hanya demi memuliakan harkat dan martabat manusia yang agung dan suci itu. Cara memilih, yang kelak berkembang menjadi pemilihan umum, yang sekali lagi kita kenali dan laksanakan pada saat ini adalah hasil yang pantas diperoleh untuk mematrikan kemuliaan itu.

Tidak serta-merta karena per-tumbuhannya harus melewati fase yang agak lama, berliku, dan berbiaya mahal sebelum akhirnya,dalam derajat tertentu, disepakati menjadi cara yang paling selaras dengan nilai-nilai keagungan kemanusiaan untuk urusan menduduki jabatan kolektif dan politis. Itulah kehormatan pemilu.

Terhormat, selain karena cara mencapainya, juga––dan ini yang penting–– adalah esensinya itu. Itulah sebabnya, dada kemanusiaan kita terusik, sakit, bila kehormatan itu dinodai, apalagi kalau nodanya itu disengaja.Sakit bukan karena ada yang akan memperoleh ke-untungan yang tidak semestinya dan ada yang menderita kerugian yang tidak semestinya––betapapun hal itu juga patut dipertimbangkan––, tetapi karena kesengajaan itu sama maknanya dengan menghina keagungan kita sebagai manusiamanusia yang bermartabat.

Jalan Terhormat

Berkali-kali sudah pemilu diselenggarakan, tetapi sepanjang itu pula masalah demi masalah harus dihadapi oleh bangsa ini.Jujur dan adil adalah dua hal––kalau mau sedikit berkeringat membuka file demi filepemberitaan media cetak sejak 1972––tampaknya belum mampu diwujudkan oleh bangsa ini.Susah betul untuk jujur dalam soal sepenting ini.

Susah betul untuk adil dalam soal sepenting ini walaupun tetap saja ada yang merindukannya. Kerinduan terhadap kedua hal itu yang mengantarkan bangsa ini ke titik pikir bahwa organ penyelenggaraan pemilu harus diubah, begitu pengawasnya.Sebab di titik penyelenggara khas Orde Baru–– begitulah yang dapat dikenali- ––ditandai sebagai pangkal malapetaka dalam pemilu.

Tak terlalu mengherankan kalau, sekalipun sulit, kata-kata jujur dan adil terus saja dijadikan asas berpemilu, yang sesuai sifatnya merupakan roh atau spirit sakral dari setiap tindakan. Membahananya berita tentang orang yang telah meninggal dunia masih juga terdaftar dalam daftar pemilih tetap, atau orang yang namanya dua kali terdaftar dalam daftar pemilih tetap dan anakanak di bawah umur pun ikut terdaftar di dalam daftar pemilih tetap, patut dicemaskan.

Kecemasan terhadap cara seperti itu bukan karena nama-nama itu kelak berpotensi diubah menjadi suara, sah lagi, lalu diberikan kepada calon, siapa pun dan dari partai apa pun, tetapi lebih dari itu. Cara itu sama nilainya dengan memberikan hak kepada mereka yang tidak berhak dan melukai hak mereka yang berhak untuk terpilih.

Tidak ada waktu untuk saling menyalahkan, begitu juga berapologi, apalagi cara seperti itu sudah terlalu sering hadir dalam kehidupan politik mutakhir.Sebaiknya percepat tindakan korektif. Siapa pun yang telah dewasa hendaknya mau secara aktif menunaikan tanggung jawab konstitusionalnya untuk secara sukarela memberitahukan kepada para penyelenggara pemilu tentang keadaan lingkungan mereka yang sesungguhnya.

Jangan menyerahkan dan menjadikan soal seserius ini sebagai soal partai. Partai mungkin akan merasa dirugikan, tetapi kerugian sejati adalah terlukanya masa depan kita. Itulah cara terhormat yang paling mudah ditempuh. Andaikan ini bisa dilakukan oleh setiap warga negara, apa pun partai pilihannya dan siapa pun calon yang dijagokan,akan terasa indah sekali buat bangsa ini karena satu hal: cara itu menandai bahwa ada hasrat yang kuat, agung,dan anggun agar kehormatan pemilu tak ternoda.

Berpemilu, seperti disebutkan di muka, bukan soal pesta-pestaan, bukan pula soal kalah dan menang,tetapi soal adanya ekspresi esensial kita sebagai manusia merdeka dalam masyarakat beradab.Pemilu yang tak terhormat hanya akan melahirkan tatanan sosial politik,hukum, ekonomi, dan budaya, serta pada akhirnya tatanan kehidupan berbangsa yang tak terhormat pula.(*)

Margarito Kamis
Doktor Hukum Tata Negara


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/227760/
Share this article :

0 komentar: