BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Takut ke Golput atau ke Ghost Voters

Takut ke Golput atau ke Ghost Voters

Written By gusdurian on Sabtu, 11 April 2009 | 14.09

Takut ke Golput atau ke Ghost Voters

Oleh Kacung Marijan *

Turunnya angka partisipasi pemilih dalam pemilu bukan khas negara tertentu seperti Indonesia. Kecuali di negara-negara yang memandang mengikuti pemilu sebagai kewajiban (compulsory) seperti Australia dan Belgia, sebagian besar negara-negara demokratis menghadapi penurunan tingkat partisipasi pemilih di dalam pemilu (turn-out).

Kecenderungan serupa juga terjadi di Indonesia. Kalau pada Pemilu 1999 mencapai 89,79 persen, angka partisipasi pemilih pada Pemilu 2004 menurun menjadi 76,66 persen. Tingkat partisipasi itu lebih rendah pada Pilpres 2004, dan rata-rata partisipasi pemilih di dalam pilkada hanya di bawah 70 persen.

Hasil Pemilu 9 April 2009 belum diketahui secara pasti meskipun quick count sudah memberikan isyarat yang cukup akurat. Survei, quick count, dan pemantauan sementara menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih juga tidak menunjukkan tanda-tanda lebih baik dari Pemilu 2004. Bahkan, di banyak TPS, tingkat partisipasi pemilih hanya pada kisaran 50 persen.

Golput atau Ghost Voters?

Di Indonesia, pemilih yang tidak datang ke bilik suara sering disebut golongan putih (golput). Istilah itu mengemuka ketika sejumlah aktivis mengadakan gerakan tidak mengikuti pemilu pada 1971. Golput merupakan gerakan protes terhadap fenomena ''penyeragaman politik'' yang mulai dilakukan oleh Orde Baru.

Dalam perkembangannya, golput tidak lagi dipakai untuk menyebut kelompok orang yang tidak percaya terhadap institusi politik yang ada atau penguasa. Semua pemilih yang terdaftar di dalam DPT dan tidak menggunakan hak pilihnya disebut golput.

Faktanya, tidak semua pemilih yang tidak datang ke bilik suara adalah pemilih kritis kepada institusi partai politik atau penguasa. Ada juga kelompok pemilih lain, misalnya, pemilih yang terpaksa tidak memilih karena alasan teknis. Pemilih yang harus menyelesaikan pekerjaan, pergi ke luar daerah, atau yang tidak memperoleh panggilan untuk memilih merupakan kelompok pemilih yang bisa jadi tidak bermaksud tidak ikut di dalam pemilu.

Selain itu, terdapat juga pemilih yang disebut pemilih siluman (ghost voters). Itu merupakan kelompok pemilih yang seharusnya tidak tercantum dalam DPT tetapi masih tercantum. Ketika pemilunya benar-benar jurdil, pemilih siluman tersebut jelas tidak akan datang ke TPS.

Sistem administrasi kependudukan di Indonesia yang masih belum rapi merupakan faktor pokok dari munculnya pemilih kelompok demikian. Juga, disebabkan oleh adanya penduduk ''nakal'' yang memiliki KTP lebih dari satu.

Pemilih siluman itu seharusnya bisa diatasi manakala mekanisme validasi pemilih berlangsung secara baik. Faktanya, seperti yang terlihat pada Pemilu 2009 ini, validasi pemilih tidak dilakukan secara memuaskan. Konsekuensinya, hampir di seluruh wilayah Indonesia didapati pemilih siluman tersebut.

Jumlah pemilih siluman memang masih belum diketahui secara pasti. Tetapi, mengingat adanya DPT bermasalah di banyak tempat, jumlahnya jelas tidak sedikit. Sekiranya hal demikian ini yang terjadi, itu berpengaruh terhadap kelompok pemilih yang seharusnya disebut goput tersebut.

Mengapa?

Ada banyak argumentasi mengapa pemilih tidak datang ke bilik suara. Pertama, penurunan partisipasi itu dikaitkan dengan tingkat kepuasan terhadap performance pemerintah (Noris 1999). Termasuk di dalamnya adalah adanya peningkatan trust terhadap pemerintah (Franklin 2004).

Pemilih yang merasa tidak puas terhadap kinerja pemerintah akan berujung kepada berkurangnya kepercayaan kepada pemerintah yang ada. Kecenderungan demikian akan mendorong pemilih untuk apatis kepada pemerintah.

Memang, permasalahan kinerja itu akan mendorong pemilih beralih ke partai yang lain. Tetapi, manakala pemilih juga berpandangan bahwa ''siapa pun yang berkuasa, tidak banyak berpengaruh kepada diri mereka'', para pemilih akan cenderung golput.

Kedua, penjelasan lain justru memiliki logika yang sebaliknya. Kepercayaan kepada pemerintah juga akan mendorong peningkatan golput (Marijan 2005). Pemilih demikian akan cenderung pasrah terhadap pemerintahan yang ada. Mereka tidak perlu merasa harus datang ke TPS karena sudah berpikiran bahwa pemerintahan yang ada akan kembali terpilih.

Dalam argumentasi yang kedua itu, pemilih akan berbondong-bondong ke TPS ketika mereka merasa perlu mengganti pemerintah yang berkuasa. Hal itu, misalnya, terlihat dari peningkatan pemilih pada pemilu sela di Amerika Serikat pada 2006 dan Pemilu 2008.

Ketiga, berkaitan dengan apa yang disebut oleh Bruce Ackerman dan James Fishkin (2003) sebagai ''civic privatism''. Pemilihan di dalam argumentasi demikian dipandang sebagai urusan pribadi. Implikasinya, pemilih bisa saja kemudian cuek terhadap pemilihan.

Kalau kita lihat tren pemilih yang tidak datang, faktor-faktror pendorongnya bisa kompleks. Ada yang golput karena tidak lagi percaya kepada parpol. Ada juga yang merasa tidak perlu harus memilih di TPS karena sudah ada yang memilih. Atau karena merasa, siapa pun yang berkuasa tidak akan berpengaruh banyak terhadap kehidupannya.

Apa pun argumentasinya, golput dalam pemilu harus dipandang sebagai hal yang serius. Ketika golput didasari pertimbangan tentang ketidakpercayaan terhadap lembaga politik, berarti terdapat kebutuhan untuk memperbaiki kinerja lembaga-lembaga politik itu.

Fenomena banyaknya pemilih yang tidak datang ke TPS, dengan demikian, menjadi modal awal bagi wakil terpilih untuk bekerja lebih baik. Bagi KPU, fenomena demikian bisa dijadikan titik tolak untuk membersihkan pemilih siluman yang sudah menjadi hantu pada Pemilu 2009.

* Kacung Marijan, guru besar FISIP Universitas Airlangga

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Share this article :

0 komentar: