BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Cadangan Devisa Aman

Cadangan Devisa Aman

Written By gusdurian on Sabtu, 11 April 2009 | 14.02

Cadangan Devisa Aman
Oleh Nanang Hendarsah Peneliti ekonomi madya BI .


B ESARNYA tekanan terhadap rupiah akibat intensifikasi krisis global meng haruskan Bank Indonesia (BI) tetap berada di pasar demi menjaga stabilitas makro. Memang, konsekuensinya adalah jumlah cadangan devisa merosot, tetapi hitungan terakhir menunjukkan level cadangan devisa tetap aman.
BI tidaklah sendirian yang berupaya keras menangkal tekanan. Sebagian besar bank sentral negara berkembang habis-habisan menjaga agar nilai mata uangnya tidak merosot tajam. Akibatnya, sejak krisis global mengalami eskalasi, menyusul bangkrutnya Lehman Brothers pada Oktober 2008, cadangan devisa hampir seluruh negara berkembang turun signifikan. Filipina adalah pengecualian, karena justru cukup beruntung dibanjiri devisa dari warga negaranya yang bekerja di luar negeri (worker remittances).

Melihat perannya sebagai perisai untuk menangkal tekanan, apakah jumlah cadangan devisa yang tinggi dapat menyelamatkan suatu negara terjerumus ke jurang krisis? Akibat trauma krisis Asia 1997/1998, negara-negara berkembang memang terus memupuk cadangan devisa. Hal itu dilatarbelakangi motif berjagajaga atau self-insurance motive (Aizenman dan Marion, 2004). Beberapa negara lainnya, terutama di Asia, juga memupuk cadangan devisa guna menahan tajamnya apresiasi mata uang agar industri domestik berbasis ekspor tetap terlind ungi (mercantilist approach) Dalam krisis global saat ini, level cadangan devisa yang tinggi tampaknya tidak sepenuhnya dapat diandalkan sebagai bantalan untuk me nangkal krisis. Mata uang won Korea Selatan dan ruble Rusia tidak luput terhempas tajam, padahal - cadangan devisanya masing-masing mencapai $264 miliar dan $493miliar pada Maret 2008 lalu.

Bagaimana tidak tertekan, kendati cadangan devisa Korea besar, tapi utang luar negeri jangka - pendeknya mencapai $151,4 miliar, atau 57,3% dari cadangan devisanya.

Contoh Korea menggambarkan bagaimana investor global cemas terhadap 'kecukupan cal dangan devisa' (reserve adequacy), bukan jumlah nya. Memang, berbagai literatur menyarankan - ketahanan cadangan devisa perlu diukur berda, sarkan kemampuannya dalam membiayai impor dan transaksi finansial, termasuk pembayaran utang luar negeri atau pembalikan arus modal portofolio asing.

Bagaimana dengan kecukupan cadangan de- visa di Indonesia? Pada 13 Maret 2009, cadangan - devisa sebesar $53,9 miliar atau turun jika diban dingkan dengan posisi akhir Maret 2008 yang - mencapai $59 miliar. Kendati cadangan devisa - turun, akibat merosotnya kegiatan ekonomi, total impor pada 2009 diperkirakan turun dari ratat rata $9,7 miliar pada 2008 menjadi $7,9 miliar per bulan. Dengan demikian, berdasarkan ukuran kecukupan impor, cadangan devisa sejumlah - tersebut akan mampu menutup kebutuhan 6,8 bulan impor atau jauh lebih tinggi dari patokan (rule-of-thumb) yang digunakan IMF antara tiga dan empat bulan impor.

Memang banyak yang memandang ukuran - kebutuhan impor tidak sahih apabila sistem devisa Indonesia tergolong bebas. Ketika arus modal jangka pendek bergerak bebas melintasi batas negara (cross border flows). Krisis ekonomi 1997/1998 membuktikan hal itu. Arus modal berbalik arah keluar secara serentak terutama untuk pembayaran utang luar negeri sektor swasta. Oleh karena itu, berkembanglah Greenspan-Guidotti Rule yang mensyaratkan cadangan devisa harus dapat menutup pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo dalam satu tahun ke depan (Pablo Guidotti dan Alan Greenspan, 1999).

Pada akhir 2008, rasio cadangan devisa terhadap utang luar negeri jangka pendek Indonesia mencapai 2,5. Angka itu masih jauh lebih tinggi dari kecukupan cadangan devisa Korea yang hanya dapat menutup 1,3 utang luar negeri jangka pendeknya. Terlebih lagi potensi permintaan valuta asing untuk pembayaran luar negeri swasta di Indonesia yang akan jatuh tempo dalam satu tahun ke depan dipastikan kecil. Itu karena sebagian besar utang swasta merupakan utang perusahaan yang terafiliasi dengan perusahaan induknya di luar negeri.

Namun, patokan yang dikembangkan Greenspan-Guidotti pun ternyata juga menuai kritik. Ia tidak menangkap kerentanan yang timbul akibat kemungkinan currency run atau konversi mata uang domestik ke valuta asing oleh penduduk. Oleh karenanya, rasio jumlah uang beredar (M2) terhadap cadangan devisa perlu diperhitungkan (Kaminsky dan Reinhart, 1999). Rasio M2 terhadap cadangan devisa di Indonesia pada Januari 2009 mencapai 3,3, hanya sedikit meningkat dari 3,1 pada Juni 2008.

Dalam kondisi mutakhir terkini, ketika arus modal lebih banyak berupa investasi portofolio yang setiap saat dapat berbalik (sudden reversal), jumlah cadangan devisa juga dapat dikatakan aman apabila mampu menutup arus keluar portofolio asing (Willett, 2004). Berdasarkan ukuran ini pun cadangan devisa Indonesia tetap aman. Apalagi sejak Oktober 2008 investasi portofolio asing di Indonesia, terutama pada SBI dan SUN sudah merosot tajam. Akibatnya, rasio cadangan devisa terhadap jumlah kepemilikan asing di kedua instrumen pasar tersebut justru naik tajam dari 4,3 pada Juni 2008 menjadi 5,9 pada Januari 2009. Itu menggambarkan perbaikan kemampuan cadangan devisa dalam meredam kemungkinan tekanan akibat arus ke luar investasi portofolio asing.

Dari uraian tersebut kita dapat mengukur apa pun pendekatan yang digunakan, cadangan devisa Indonesia masih dalam batas aman. Jumlah bukanlah segalanya. Jumlah cadangan devisa yang terlalu tinggi melebihi level optimalnya bahkan akan menuai ongkos (marginal cost) terutama akibat meningkatnya ongkos sterilisasi melalui penerbitan SBI.

Sterilisasi oleh BI diperlukan untuk menetralkan dampak ekspansi likuiditas (inflationary monetary impact) akibat akumulasi cadangan devisa. Apabila selisih suku bunga SBI dan suku bunga valas semakin melebar, tentunya neraca Bank Indonesia akan semakin terbebani dengan ongkos yang semakin besar karena meningkatnya negative spread. Dengan begitu, jumlah cadangan devisa yang tinggi atau 'maksimal' tidak selalu menjadi barometer. Namun, yang penting adalah cadangan devisa harus berada pada level 'optimal' untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan terutama transaksi impor dan finansial.



http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/10/ArticleHtmls/10_04_2009_006_003.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: