BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kecenderungan Peta Koalisi Pilpres

Kecenderungan Peta Koalisi Pilpres

Written By gusdurian on Sabtu, 11 April 2009 | 14.34

Kecenderungan Peta Koalisi Pilpres
Oleh Hanta Yuda AR Analis Politik dan Peneliti The Indonesian Institute, Jakarta


G AYUNG politik bersambut, seolah ingin menandingi Golden Triangle Politics. Anas Urbaningrum (ketua DPP Partai Demokrat) juga meng gelindingkan wacana koalisi jembatan emas (golden bridge politics). Partai Demokrat pun gencar melakukan road show ke beberapa parpol papan tengah, seperti PKS, PKB, dan PAN.
Sebelumnya, sudah ada pertemuan elite Golkar dan PDIP, pertemuan PPP dan Golkar, serta pertemuan PPP dan PDIP. Pascapertemuan PPP dengan PDIP itulah ketua umum PPP Surya dharma Ali meluncurkan istilah golden triangle politics (Golkar PDIP-PPP). Kedua kubu itu sama-sama menginginkan koalisi yang akan dibangun untuk mewujudkan pemerintah an yang kuat pada periode 20092014.

Arah kecenderungan peta koalisi memang belum begitu jelas. Namun, fenomena dua ‘koalisi emas’ ini setidaknya bisa dijadikan petunjuk awal, bagaimana kira-kira peta koalisi yang akan muncul menjelang pilpres mendatang?

Kecenderungan koalisi Meskipun semua parpol menjadikan hasil pemilu legislatif sebagai landasan utama untuk menentukan strategi berkoalisi, komunikasi politik untuk penjajakan membentuk blok politik juga tidak salah sepenuhnya jika dilakukan sebelum pemilu legislatif. Hal itu setidaknya dapat dijadikan sebagai petunjuk awal ke mana kecenderungan arah koalisi partai-partai.

Mengenai kecenderungan koalisi ini, setidaknya ada dua analisis sederhana. Pertama, kecenderungan peta koalisi akan terbelah ke dalam tiga atau maksimal empat blok politik. Keempat blok politik itu, antara lain Blok S (Susilo Bambang Yudhoyono), Blok M (Megawati Soekarnoputri), Blok J (Jusuf Kalla) dan Blok X (blok alternatif). Blok X ini berpeluang muncul dari koalisi partai-partai kelas menengah yang memenuhi persyaratan mengusung pasangan capres-cawapres. Di antara sejumlah nama yang beredar, Wiranto (Hanura) dan Prabowo Subianto (Gerindra) tampaknya cukup berpeluang. Di antara keduanya Prabowo memilki peluang terbesar, sebab dengan mesin politik dan dukungan dana yang kuat, Gerindra berpeluang merangkul partai-partai kecil untuk berkoalisi mengusung Prabowo Subianto.

Kedua, kecenderungan koalisi akan mengkristal ke dalam dua blok politik. Karena, arah kon?gurasi politik yang terbentuk tampaknya akan memosisikan Partai Demokrat dengan blok politiknya di satu sisi, berhadapan dengan PDI Perjuangan dengan blok politiknya di sisi lain. Dengan pola ini, dinamika politik yang muncul tidak sefragmentatif kecenderungan pertama dan peta koalisi akan lebih sederhana.

Karena itu, wacana penggalangan koalisi golden triangle antara PDIP, Partai Golkar, dan PPP bisa saja terjadi meskipun probabilitasnya relatif kecil. Namun, seandainya koalisi partai berbasis nasionalis-Islam ini terwujud bisa menjadi kekuatan besar di Pilpres 2009. Karena, PDIP, Golkar, dan PPP memiliki infrastruktur mesin partai dan jejaring yang cukup kuat dan solid karena tiga partai ini sudah eksis sejak Orde Baru.

Namun, bangunan koalisi semacam ini berjalan efektif jika ada titik kesepakatan antara PDIP dengan Partai Golkar. Karena problem dan ancaman paling mendasar dalam koalisi golden triangle adalah, apakah Me gawati bersedia mengalah menj a d i cawapres j i k a s u a r a PDIP le b ih rendah dari Golkar. Pada titik inilah potensi terbesar aliansi golden triangle akan layu sebelum berkembang, dan PDIP dan Golkar pun akan terpisah.

Karena itu, seandainya yang maju hanya SBY dan Megawati, peluang Jusuf Kalla tetap belum tertutup rapat. Situasi politik boleh jadi berbalik jika suara Golkar ternyata anjlok pada pemilu legislatif. Katakanlah ‘Partai Beringin’ ini berada di posisi ketiga setelah PDIP dan Demokrat. Keka lahan Golkar ini justru akan membuka jalan bagi Kalla untuk kembali berduet dengan SBY.

Untuk Golkar, dalam situasi demikian tentu pilihan ini terbilang paling realistis agar Golkar tetap berada dalam lingkaran inti kekuasaan. Ka rena, dalam sejarahnya Golkar tidak terbiasa untuk menjadi oposisi seperti PDIP s a a t ini. Setidaknya Golkar akan kembali bermain di dua blok, seperti halnya di Pilpres 2004 lalu.

Seandainya kekuatan politik benar-benar ter belah dalam dua blok politik (Blok S dan Blok M) seperti itu, tampaknya partai-partai menengah, terutama PKS, lebih cenderung berkoalisi dengan Partai Demokrat ketimbang PDIP. PKS, misalnya, secara tersirat sudah memberi sinyal lebih cenderung bergabung dengan Blok S. Karena, masukan dari akar rumput menginginkan PKS menjalin koalisi dengan Partai Demokrat.

Karena itu, cikal bakal kedua koalisi tersebut (golden triangle dan golden bridge) memiliki probabilitas yang sama dalam konteks memperoleh dukungan partai-partai. Partai-partai menengah tentunya akan membaca blok mana yang memiliki kans menang lebih besar, serta faktor komposisi pasangan capres cawapres juga akan menjadi faktor yang menentukan.

Koalisi rapuh Jika merujuk pada klasi?kasi sistem kepartaian, Giovanni Sartori yang melihat sistem kepartaian ber dasarkan jarak ideologi- membaginya menjadi tiga bagian, yaitu pluralisme sederhana, pluralisme moderat, dan pluralisme ekstrem--maka sistem kepartaian di Indonesia dapat dika tegorikan pluralisme ekstrem. Ketika secara teoritis sistem ini berpotensi besar melahirkan partai dengan jumlah besar dan masing-masing memiliki ideologi yang bertentangan sehingga konsensus sulit dica pai.

Jika ideologi partai-partai di Indonesia memang masih hidup, secara teoritis memang akan mengalami hambatan secara ideologis untuk berkoalisi. Namun, bila dilihat dari variasi isu dan program partai, jarak ideologi partai partai di Indonesia semakin memudar. Kita kian kesulitan dalam mencari perbedaan antara partai satu dengan yang lain nya. Partai-partai itu justru lebih mu dah dipertemukan persamaan kepentingan yang bersifat pragmatis ketimbang kedekatan ideologi. Pendekatan ideologi pun semakin tidak relevan untuk memetakan koalisi partai di Indo nesia. Karena, ideo logi formal partai-partai sebenarnya semakin tidak jelas perbedaannya. Hal itu semakin menguatkan bahwa internalisasi ideologi parpol sangat lemah dan ideologi partai hampir tidak kita temukan dalam implementasinya. Karena itu, koalisi yang akan terbangun adalah koalisi tanpa ideologi. Koalisikoalisi itu ditentukan persilangan kepentingan, bukan pertimbangan ideologi.

Namun, risiko terbesar dari koalisi model ini akan bersifat sangat rapuh. Karena itu, koalisi Golkar-PKS, Demokrat-PKS, Demokrat-Golkar, PDIP-Golkar, atau koalisi-koalisi lainnya akan rapuh. Kerapuhan koalisi tersebut disebabkan karena di dalam koalisi tidak menjadi kan kedekatan ideologi partai atau common platform sebagai faktor deter minan. Namun, lebih didasarkan pada political interest kekuasaan jangka pendek saja sehingga kalaupun koalisi-koalisi ini memenangkan pilpres, koalisi pemerintahan akan memiliki daya rekat rendah dan rapuh.

Koalisi permanen Terlepas dari konstelasi dan pertarungan wacana golden triangle dan golden bridge. Setidaknya ada dua pedoman (secara kuantitas dan kualitas) yang dapat dijadikan pertimbangan bagi partai-partai dalam berkoalisi. Pertama, secara kuantitas jumlah koalisi yang terbangun mestinya tidak terlalu besar, tetapi juga tidak kekecilan, yaitu pas-terbatas (minimal winning coalition). Koalisi pas-terbatas adalah koalisi pemerintahan yang hanya terdiri dari mayoritas sederhana kursi di DPR. Jika Pemilu Legislatif 2009 menghasilkan kursi DPR sebanyak 560, koalisi pas-terbatas ini hanya terdiri dari parpol yang menguasai sekitar 300-an kursi di DPR.

Menurut Arendt Lijphard, koalisi pas-terbatas ini berada di antara koalisi kekecilan (undersized coalition) dan koalisi kebesaran (oversized coalition). koalisi kekecilan terjadi jika presiden hanya ditopang minoritas kekuatan politik di parlemen, sedangkan koalisi kebesaran terjadi jika presiden menguasai mayoritas kursi parlemen dan hanya menyisakan minoritas partai oposisi, seperti terjadi di era pemerintahan SBY-JK. Namun, problemnya koalisi pendukung pemerintahan SBY-JK memiliki daya rekat yang rendah sehingga koalisinya tetap rapuh kendatipun secara kuantitas kebesaran.

Kedua, secara kualitas koalisi yang terbangun memiliki daya rekat yang kuat dan solid (permanen). Koalisi itu mestinya dibangun di atas konsensus platform yang sama atau kedekatan ideologi untuk dijadikan semacam semen pengikat bagi semua anggota koalisi. Komitmen itu perlu dibangun sejak awal dan tidak bisa dibubarkan di tengah jalan.



http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/08/ArticleHtmls/08_04_2009_021_002.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: