BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Beda Penyelidikan dari Penyidikan

Written By gusdurian on Sabtu, 04 April 2009 | 15.24

Beda Penyelidikan dari Penyidikan
Adrianus Meliala
KRIMINOLOG UNIVERSITAS INDONESIA

Berbicara tentang penegakan hukum, hampir sepenuhnya akan menyinggung soal penyelidikan dan penyidikan. Nah, ketika pelaku utamanya, yakni polisi, ternyata berbeda pendapat secara amat tajam soal apa yang disebut sebagai penyelidikan dan apa itu penyidikan, wajar apabila kita sebagai masyarakat menjadi semakin bingung.

Di pengujung Maret ini Kepolisian RI memang kembali menjadi buah bibir. Masalahnya, kali ini bukan karena prestasi personel Polri mengungkap kejahatan, melainkan karena adanya perwira tinggi yang bersikap nyeleneh atau lain daripada yang lain. Biasanya anggota Polri tutup mulut saja saat menemukan ketidakberesan, bahkan yang menimpa dirinya sekalipun. Tapi Herman memilih buka suara. Di pengujung kariernya, ia memilih secara sepihak mengundurkan diri beberapa saat lebih cepat sebelum waktu pensiun tiba.

Hal itu terkait dengan apa yang dianggapnya intervensi Markas Besar Polri sehubungan dengan pengubahan status penyidikan menjadi penyelidikan oleh Mabes Polri terkait dengan kasus daftar pemilih tetap (DPT) saat pilkada di Jawa Timur beberapa waktu yang lalu. Hal itu terjadi segera setelah dirinya menyerahkan jabatan Kapolda. Tak urung, Herman mengaitkan serah-terima jabatan tersebut dengan rencana Mabes Polri memuluskan pengubahan status tersebut.

Dari titik ini timbul pertanyaan besar buat kita selaku anggota masyarakat, bahwa ternyata ada juga kasus-kasus yang memunculkan perbedaan, atau bahkan pertikaian (dispute), pendapat yang tajam di antara sesama anggota Polri perihal kapan menghentikan penyelidikan dan memulai penyidikan. Dalam tulisannya di harian Kompas (23 Maret 2009), Profesor Indriyanto Senoadji menyatakan bahwa, "...dikembalikannya data/bahan yang dianggap kurang sebagai alat bukti oleh penyidik pada proses quatie inquiry…masih dalam status penyelidikan yang tidak dapat diartikan penurunan degradasi penyidikan kepada penyelidikan sebagai bentuk intervensi politik."

Secara teoretis dan normatif, penulis sependapat bahwa degradasi penyidikan menjadi penyelidikan memang hal yang mungkin saja terjadi. Tetapi, bagaimana dalam prakteknya? Kembali pada kasus Herman, menurut saya, adalah hal yang wajar apabila yang bersangkutan amat gusar dinyatakan salah bertindak. Bayangkan, untuk kasus sepenting itu, pastilah lebih dari seorang yang terlibat menangani kasus tersebut. Dan ada kemungkinan, Kapolda adalah pihak terakhir yang dimintai persetujuan sebelum menaikkannya memasuki tahap penyidikan dan mentersangkakan pihak yang mungkin sebagai pelakunya.

Mengingat ternyata Mabes Polri berpendapat sebaliknya, pantaslah bila kita bertanya apakah penyidik-penyidik di Jawa Timur sedemikian bodohnya (termasuk Kapolda, tentu) sehingga mereka tidak bisa membedakan mana alat bukti yang cukup dan mana yang tidak cukup sebelum menaikkan gradasi status hukum suatu kasus. Kemungkinan lain adalah, semasa Herman menjadi Kapolda, terjadi situasi kediktatoran di mana penyidik yang seharusnya mandiri tidak ada yang berani berpendapat berbeda. Semua mengiyakan saja walau sebenarnya kasus DPT ini tidak layak sidik.

Kiranya, bukan suatu hal yang berlebihan apabila kita mengimbau Polri agar tidak lagi bermain-main dengan kewenangannya perihal penyelidikan dan penyidikan. Selain akan menambah kebingungan masyarakat, hal itu akan memperburuk citra Polri. Pengetahuan mengenai penyelidikan dan penyidikan dewasa ini praktis diajarkan di semua lembaga pendidikan kepolisian, baik tingkat Sekolah Polisi Negara maupun di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Dan bisa dipastikan, bukan hanya bahan ajarnya yang kurang-lebih sama, tapi cara melihat dan memperlakukannya juga sama. Singkatnya, personel Polri yang kini hampir mencapai 400 ribu orang ini sesungguhnya memiliki guru yang sama dan ajaran yang sama pula. Dengan demikian, menjadi wajar apabila kemudian terdapat konsensus yang tinggi mengenai kedua fase hukum tersebut. Kasus Herman, dengan demikian, bukanlah kasus yang wajar mengingat antara Mabes dan Satwil ternyata timbul perbedaan amat tajam.

Bandingkan dengan isu “kemandirian penyidik”. Sejauh ini ada kalangan yang mengartikannya sebagai kewenangan yang dimiliki seorang penyidik atau pembantu penyidik guna menangani kasus menurut keyakinannya. Tetapi ada pula pendapat yang melihat bahwa, walau bagaimanapun, si penyidik pada saat yang sama juga berada dalam struktur hierarki kepolisian sehingga perlu (minimal) mendengar pendapat pimpinannya.

Katakanlah perbedaan tajam tersebut memang harus terjadi. Pertanyaannya sekarang, bagaimana menegakkan akuntabilitas dari pihak yang dianggap salah bertindak saat menangani perkara: apakah dengan cara pencopotan (yang pada dasarnya adalah tindakan manajerial) ataukah membawa kasus ini ke sidang komisi kode etik? Dalam tulisan di harian Kompas (Sabtu, 21 Maret 2009), penulis menyarankan agar opsi kedualah yang diambil oleh Mabes Polri terkait dengan personel Polri yang salah mempergunakan haknya.

Untuk perbandingan, lihat contoh yang satu ini: seorang dokter salah menangani kasus medis yang menjadi tanggung jawabnya. Untuk itu, sang dokter tidak buru-buru dihukum (antara lain dengan cara diberhentikan), tetapi yang penting adalah mencari kejelasan perbuatan itu: apakah suatu malpraktek atau suatu kealpaan yang sudah masuk ranah pidana. Apakah sang dokter kemudian akan mengumbar bicara ke media? Tentu saja tidak, karena dia tahu akan memperoleh pengadilan yang adil.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/03/Opini/index.html

Tidak Rasional Penentuan Kursi melalui Pengundian

Tidak Rasional Penentuan Kursi melalui Pengundian

KPU hanya mau gampangnya. Nasib orang, kok diundi.

M ESKI memiliki le gitimasi hukum, penetapan calon anggota legisla tif (caleg) dengan cara diundi dinilai tidak rasional.
"KPU cuma mau ambil cepatnya saja. Menentukan nasib orang kok melalui undian. Itu tidak bisa dipahami," tegas pakar hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra saat dihubungi, kemarin.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) gencar menyosialisasikan Peraturan KPU No 15/2009 tentang Penghitungan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih, dan Penggantian Calon Terpilih DPR, DPD, dan DPRD hasil Pemilu 2009.

Terdapat hal krusial dalam peraturan itu, yakni tentang pengundian perolehan kursi bagi partai politik yang memperoleh suara sama.

Probabilitas perolehan suara sama memang sangat kecil, tetapi bukan tidak mungkin hal itu terjadi.

Peraturan KPU No 15 tersebut merupakan penjabaran atas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penen tuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Menurut anggota KPU Endang Sulastri, Perppu No 1/2009 tidak meng akomodasi ketentuan mengenai penentuan calon terpilih. Di lain sisi, KPU tidak bisa serta-merta menjabarkan suara terbanyak.

Dalam penjelasannya, Endang menggunakan data Pemilu 2004 sebagai contoh penentuan calon terpilih dalam Pemilu 2009. Pada 2004, suara sah nasional berjumlah 113.462.414. KPU memilah perolehan suara setiap parpol, lalu dibuat persentasenya dengan cara, suara nasional setiap parpol dibagi suara sah nasional dikalikan 100%.

Selanjutnya, diseleksi parpol mana saja yang berhak mendapat kursi DPR sesuai ketentuan parliamentary threshold (PT) 2,5% dari suara sah nasional. Bila mengacu pada hasil Pemilu 2004, hanya delapan parpol yang berhak menempatkan wakilnya di Senayan, yakni PBB, PD, PPP, PAN, PKB, PKS, PDIP, dan Golkar. Namun, ketentuan PT tidak berlaku bagi pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. "Namun, ini hanya contoh. Hasil Pemilu 2009 kan kita belum tahu," ujar Endang.

Setelah mengetahui jumlah parpol yang lolos PT, KPU kemudian menghitung bilangan pembagi pemilih (BPP) untuk mengetahui nilai atau harga satu kursi di setiap dapil.

Sebagai contoh, NAD I mendapat kuota enam kursi. Total suara sah adalah 1.149.898 dan dikurangi total suara sah partai yang tidak lolos PT sebanyak 342.767. "BPP DPR dapil NAD I adalah 134.521 suara."

Setelah itu, KPU menentukan pembagian kursi bagi delapan parpol yang lolos PT. Penyaringan pertama dilakukan dengan melihat partai mana yang jumlah suara sah di daerah tersebut melebihi ambang batas BPP. Ternyata hanya ada satu partai. Berarti, masih ada lima kursi yang diperebutkan di pembagian tahap kedua. Parpol yang berhak adalah yang sisa suaranya sekurangkurangnya 50% dari BPP.

Berdasarkan contoh di atas, 50% berarti 67.262. Ternyata, hanya dua parpol yang penuhi syarat. Berarti masih ada tiga kursi yang belum terdistribusikan sehingga harus ditarik ke tingkat provinsi.

Bila dalam pembagian kursi tahap ketiga di provinsi ada partai yang memperoleh suara sama, pembagian kursi dilakukan melalui pengundian, karena sulit melacak sebaran perolehan suara parpol di setiap dapil. (NJ/KN/P-6) dinny@mediaindonesia.com



http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/03/ArticleHtmls/03_04_2009_004_007.shtml?Mode=1

Rasa Aman yang Mulai Mahal

Rasa Aman yang Mulai Mahal


RASA aman telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat.Tingkatannya sudah satu level dengan kebutuhan dasar lain seperti sandang,pangan,dan papan.


Dalam masyarakat modern di negara-negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia, rasa aman adalah salah satu tolok ukur paling penting yang menjadi tanggung jawab negara di samping pendidikan, kesehatan,maupun kesejahteraan.

Salah satu dasar didirikannya sebuah negara adalah untuk menjamin rasa aman rakyat dari serangan pihak luar maupun penggerogotan dari dalam. Beberapa waktu terakhir ini kasus-kasus kriminal kategori berat yang disajikan media massa telah mengusik rasa aman kita.Betapa mudahnya nyawa manusia melayang karena tindak kejahatan seperti pembunuhan, perampokan, atau tindakan kriminal lain.

Kasus pembunuhan sadis dengan berbagai motif seperti penembakan salah satu direksi perusahaan BUMN di Tangerang adalah salah satu bukti bahwa rasa aman itu kini telah menjadi barang mewah. Kejahatan bisa mengincar siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Bukan hanya kaum berpunya, masyarakat biasa pun bisa jadi korban kejahatan.

Telinga kita sudah akrab mendengar kawanan perampok bersenjata api gentayangan di Ibu Kota mencari mangsa.Aksinya pun semakin nekat.Tidak hanya dilakukan malam hari atau pagi-pagi buta di tempat sepi, tapi perampokan maupun pembunuhan telah terang-terangan dilakukan di siang bolong,di tengah-tengah kerumunan yang ramai.

Terbaru,seorang bapak dan anak perempuannya yang masih berusia 10 tahun dibunuh secara sadis oleh seorang perampok karena memergoki aksinya di rumah korban. Ini menjadi sangat memprihatinkan karena betapa mudahnya orang menghabisi nyawa orang lain untuk merampas hartanya. Contoh lain aksi perampokan yang kian marak di daerah seperti di Medan,Palembang, maupun kota-kota di Jawa.

Dalam sepekan terakhir kawanan perampok menggasak uang miliaran rupiah dari sejumlah bank di Medan.Perampok ini pun kabur dan sangat mungkin akan mengulangi aksinya lagi pada korban-korban lain. Kita belum mengetahui persis apa yang mendorong tindak kejahatan dengan kekerasan itu meningkat pada beberapa bulan terakhir.

Apakah jaringan para penjahat kakap ini memanfaatkan kelengahan aparat keamanan yang sedang sibuk mengamankan pemilu,atau memang karena impitan krisis ekonomi. Dua hal ini mungkin saja terjadi.Pemilu adalah momentum besar yang menguras energi dan konsentrasi semua pihak,termasuk aparat keamanan.

Bisa saja aparat kita lengah karena personel dan konsentrasinya fokus dikerahkan untuk pengamanan pemilu. Tapi kalau kemungkinan kedua yang terjadi, kejahatan meningkat karena krisis ekonomi,ini yang memprihatinkan.Berarti perlu penangan lintas sektoral dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan keamanan.

Penciptaan lapangan kerja dan pengendalian harga kebutuhan pokok adalah jawaban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ungkapan bahwa kemiskinan lebih dekat dengan kejahatan bisa jadi benar. Kesenjangan ekonomi yang semakin tinggi antara yang kaya dan yang tak berpunya juga makin menajamkan kecemburuan sosial yang sangat mungkin diimplementasikan dengan perilaku anarkistis maupun tindak kejahatan.

Namun intinya, pemerintah dalam hal ini aparat kepolisian bertanggung jawab penuh atas terjaminnya rasa aman masyarakat. Karena gaji aparat keamanan berasal dari setoran pajak masyarakat. Seperti kita ketahui bersama, masyarakat kita dengan antusias telah menyambut ajakan pemerintah untuk sadar membayar pajak dan tidak keberatan dengan kewajiban memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Tentu masyarakat yang bijak karena membayar pajak ini juga berharap pemerintah sebagai pengelola negara yang digaji dari pajak itu bisa memberi pelayanan yang lebih baik dari sebelumnya.Termasuk bagaimana meningkatkan rasa aman yang sudah mulai terusik karena berbagai persoalan seperti diuraikan di atas.

Jangan sampai niat baik dan tulus dari masyarakat yang taat pajak ini dinodai atau bahkan dikhianati oleh para pejabat negara yang bermental korup yang hanya mengejar kepentingan pribadi.Akan sulit dimengerti jika masyarakat dikejar-kejar untuk membayar pajak, tapi setelah membayar tetap saja dihantui rasa ketakutan karena setiap saat bisa menjadi korban para penjahat yang bebas berkeliaran mencari mangsa.(*)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/226521/

Tim Indonesia Bangkit (TIB) menyodorkan perhitungan baru utang pemerintah, yakni membagi total utang dengan jumlah penduduk Indonesia.

Tim Indonesia Bangkit (TIB) menyodorkan perhitungan baru utang pemerintah, yakni membagi total utang dengan jumlah penduduk Indonesia.

H ASILNYA, utang Indonesia dengan perhitungan per kapita malah me ningkat. Ini berkebalikan dengan fakta yang selama ini didengungkan pemerintah.
Menurut pengamat ekonomi dari TIB Ichsanuddin Noorsy, ji ka dilihat dengan produk domestik bruto (PDB) secara persentase utang luar negeri Indonesia menurun dari 56% menjadi 31%.

Namun jika dilihat secara per kapita, beban utang meningkat dari Rp5,8 juta per orang per tahun menjadi Rp7,7 juta per orang per tahun.

Berarti ada peningkatan utang per kapita Indonesia hingga 32% jika dibandingkan dengan 2004 ketika jumlah penduduk mencapai 217 juta jiwa. Pada tahun ini jumlah penduduk mencapai 227 juta jiwa.

"Beban masyarakat sekarang jelas lebih berat karena beban utangnya lebih besar. Jadi, hebat apabila disebut utang kita menurun," kata Ichsanuddin di Jakarta, Rabu (1/4).

Pengamat ekonomi dari UGM ini mengatakan utang luar negeri Indonesia pada 2004 lalu mencapai Rp1.205 triliun meningkat menjadi Rp1.667 triliun per Februari 2009.

Selain itu, nilai surat berharga negara (SBN) yang dikeluarkan pemerintah pun me ningkat. Jika pada 2005 jum lahnya mencapai Rp656 triliun, pada 2009 telah mencapai Rp920 triliun.

Calon presiden sekaligus ekonom TIB, Rizal Ramli, meminta Partai Demokrat mencabut iklan partai yang mengklaim berhasil menurunkan jumlah utang Indonesia. Total utang selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) justru meningkat Rp392 triliun.

Bisa menyesatkan Dirjen Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto menyatakan pemerintah tidak mengetahui cara dan esensi perhitungan utang per kapita. Pasalnya perhitungan yang menjadi praktik normal adalah rasio utang terhadap PDB.

"Normal practice yang dihitung adalah rasio utang terhadap PDB, yang sampai saat ini rasio tersebut semakin menu run dari 95% pada 2000 menjadi sekitar 32% saat ini," kata Rahmat saat dihubungi di Jakarta, kemarin.

Menurut Rahmat, angka tersebut menunjukkan penggunaan dana dari utang yang semakin produktif dan efisien sehingga mampu menaikkan PDB. Juga menunjukkan kemampuan ekonomi dalam menanggung beban utang yang semakin meningkat.

Menurut Rahmat, pendapat perhitungan utang per kapita adalah pendapat yang misleading.

Jika menggunakan utang per kapita, artinya utang tersebut diperoleh tapi tidak digunakan sama sekali atau ditaruh di bawah bantal. Jadi, setiap orang termasuk bayi-bayi harus menanggung utang yang tambah besar.

Rahmat menilai para pengamat ekonomi kebanyakan belum punya kemampuan melihat hal-hal semacam itu.

Sementara itu, pengamat ekonomi Sri Adiningsih menyatakan utang yang diambil pemerintah harus memiliki dampak lanjutan dengan membiayai kegiatan yang produktif. "Kalau utang itu digunakan untuk konsumtif, itu berbahaya."

Dengan adanya direktorat jen deral pengelolaan utang, Sri berharap, utang Indonesia da pat dikelola dengan baik. Na mun, pemerintah jangan berhenti hanya dengan mengurangi rasio utang. "Malah kalau bisa memberi utang," tegasnya. (Tup/*/Ant/E-2)

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/03/ArticleHtmls/03_04_2009_013_007.shtml?Mode=1

Hasil Survei, Golput Capai 40%

P EMILU legislatif yang digelar pada 9 April tinggal enam hari lagi. Dari hasil survei ditemukan, potensi golongan putih (golput) atau tidak ikut memilih berkisar antara 35% dan 40%.
Potensi golput terbesar bersumber pada masalah administrasi, seperti mereka yang tidak terdaftar dalam pemilih tetap (DPT). Selain itu, ada golput politis, yaitu pemilih yang tidak menggunakan hak pilih karena bingung untuk memilih satu dari 38 partai peserta pemilu. "Pemilih apatis," kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) Husin Yazid di Jakarta, kemarin.

Ia memaparkan hasil survei tentang perilaku pemilih terhadap pemilu legislatif yang dilakukan Puskaptis pada 16-24 Maret 2009.

Survei melibatkan 1.250 responden yang tersebar di 33 provinsi, 75 kabupaten, 300 kecamatan, 600 desa/kelurahan dengan margin of error 3% dan tingkat keyakinan 95%.

Husin menjelaskan ada empat definisi pemilih. Pertama, responden yang terdaftar dan ikut memilih sekitar 60,45%. Kedua, responden yang terdaftar, tetapi tidak ikut memilih sebesar 5,20%.

Ketiga, responden yang merasa belum terdaftar dan mau memilih sebesar 30% dan terakhir, responden yang belum terdaftar dan tidak mau memilih sekitar 4,35%.

Hasil survei Puskaptis itu tidak jauh berbeda dengan hasil survei Indo Barometer yang dilansir pada awal tahun ini. Ketika itu, masyarakat yang merasa terdaftar sebagai pemilih hanya 67,2%.

Fenomena golput sudah mulai tampak dalam pemilihan kepala daerah. Atas dasar itulah, pakar politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, pernah memperkirakan golput dalam Pemilu 2009 berkisar 35%-40%.

Akan tetapi, angka golput ha sil survei Puskaptis itu mengalami kenaikan yang signifikan dari hasil survei Reform Institute yang diumumkan Maret. Dari hasil survei Reform Institute, pemilih yang menyatakan tidak akan memilih atau golput cuma sekitar 14,53%.

PDIP unggul Hasil survei Puskaptis juga memperlihatkan adanya persaingan ketat di antara tiga partai besar, yaitu PDIP, Partai Demokrat, dan Partai Golkar. Meski angka perolehan suara ketiga partai itu beda tipis, PDIP kini berada pada posisi teratas dengan 19,60%. Disusul Demokrat dengan perbedaan hanya 0,42% (19,18%), dan Golkar 18,26%.

"Ketiga partai ini masih punya peluang untuk menang. Persaingan ini masih dalam batas atas ataupun bawah margin of error sebesar 3%. Artinya bisa saja ketiganya berpotensi lebih unggul," ujar Husin.

Padahal, hasil survei Lembaga Survei Indonesia yang diselenggarakan pada 8-18 Februari 2009 menempatkan Demokrat pada posisi teratas, 24,3%, disusul PDIP 17,3% dan Golkar 15,9%.

Husin tidak menjelaskan apakah penurunan perolehan suara Demokrat dan kenaikan perolehan suara PDIP berkorelasi dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terkait dengan bantuan langsung tunai (BLT) yang selama ini menjadi tema kampanye dua partai tersebut. Dari 50% responden yang merupakan penerima BLT, 35,50% menyatakan setuju dengan program itu. (Ant/X-8) mahfud@mediaindonesia.com

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/03/ArticleHtmls/03_04_2009_001_007.shtml?Mode=1

Visi Mahasiswa dan Pemilu 2009

Visi Mahasiswa dan Pemilu 2009


Pemilu 2009 yang hanya tinggal hitungan hari adalah pemilu ketiga di masa Indonesia pasca-Orde Baru, sesudah Pemilu 1999 dan 2004.


Rangkaian dua pemilu sebelumnya telah berlangsung baik itu menjadi ukuran Indonesia sebagai salah satu negara demokratis terbesar. Sebelumnya, pemilu yang demokratis hanya sempat terjadi pada 1955, yang merupakan pemilu pertama Republik Indonesia yang baru berumur 10 tahun.

Setelahnya,Orde Baru dengan jumawa menjadikan pemilu hanya sebagai panggung sandiwara dagelan untuk melanggengkan kekuasaan seorang Soeharto, sang Smiling General,dengan mesin politiknya,ABRI-Birokrasi- Golkar (A-B-G). Lalu sejak Soeharto tumbang bersamaan dengan oligarki yang dibangunnya, Indonesia menyelenggarakan lagi pemilu pertama kalinya pada 1999.

Mata dunia internasional lantas menjadi “pengawas”, bahkan seorang Jimmy Carter (mantan Presiden AS) pun menyempatkan diri berkunjung. Indonesia pun menuai “standing ovation”dari dunia demokrasi internasional. Pemilu sendiri dapat kita maknai sebagai wahana konstitusional di mana seluruh rakyat dari suatu negara berdaulat menggunakan hak suaranya. Idealnya, mereka yang kelak terpilih adalah pribadipribadi maupun perwakilan kelompok kepentingan yang akan mengelola sumber daya kekuasaan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Merekalah yang nantinya menjadi penyambung lidah rakyat dalam demokrasi tidak langsung ini di mana tidak memungkinkan bagi semua warga negara untuk urun rembuk dalam pengambilan keputusan. Konsep di atas bukan sekadar refleksi dari pengharapan bahwa pemilu hendaknya melahirkan negarawan yang memang mengabdikan dirinya bagi rakyat.

Tetapi juga, secara paradigmatik hendak menegaskan cara pandang bahwa pemilu adalah proses politik yang berkorelasi dengan eksistensi kita sebagai sebuah bangsa dalam satu konteks kehidupan kolektif-lokalregional- internasional. Jika pemilu gagal menghimpun kelas negarawan, tetapi justru mengonsolidasi kekuatan penyamun, maka sebentar saja republik ini akan dirampok dan digadaikan.

Lalu, pertanyaan mendasar bagi kita semua sebagai bangsa, apakah sesudah rangkaian pemilihan umum, sudah tampakkah bahwa kita menjadi bangsa yang sejahtera? Sudahkah negara yang didirikan sejak 1945 itu telah benar tunduk dan taat pada mandat sosial dan cita-cita kemerdekaan ketika didirikan pendiri republik? Sudahkah kita bangsa yang sepenuhnya berdaulat dan berwibawa dalam pergaulan internasional?

Siklus Politik dan Pemilu Degradatif

Dalam hemat kami, rangkaian pemilu yang telah silam barulah berlangsung dalam level pemenuhan kehendak akan restrukturisasi kelas elite politik nasional maupun daerah. Rangkaian pemilu itu belum memberi akibat kualitatif terhadap eksistensi rakyat sebagai basis legitimasi politik yang sadar dan kritis.

Dengan lain kata, rangkaian pemilu kita masih terus menguatkan daulat tuanku, ketimbang daulat rakyat. Sekurang-kurangnya, pengentalan karakter daulat tuanku dalam sistem politik nasional kita ditandai tiga siklus perilaku yang belum sepenuhnya bisa kita putus secara kolektif.

Pertama, siklus mobilisasi massa. Siklus ini ditandai dengan proses seleksi dan rekrutmen elite nasional pun daerah (lewat pemilu atau pilkada) yang kontestasinya dikelola dengan cara-cara mobilisasi.Pada pokoknya, politik mobilisasi dititikberatkan pada eksploitasi emosi massa dengan mengeksploitasi simbolsimbol tertentu.

Karena itu, dalam praktik mobilisasi, rakyat sejatinya adalah objek, yang seperti lubang hitam, menyedot semua informasi dan provokasi elite. Siklus mobilisasi menghambat lahirnya politik kewargaan di mana rakyat adalah individu yang sadar dan kritis sehingga dirinya mampu menyiasati perilaku elite.

Sehingga pada situasi yang demikian, penerjemahan kedaulatan rakyat dalam sistem politik hampir tak bisa diukur secara faktual-empiris. Kedua, siklus korupsi politik. Korupsi politik yang dimaksud adalah tindakan politik yang menyalahgunakan sumber daya politik dan segala fasilitas yang melekat padanya untuk kepentingan- kepentingan sempit, destruktif dan dilakukan berulang-ulang kali yang umum terjadi pada ketiga sendi trias politica: eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

Khusus pada lembaga legislatif, terbongkarnya kasus suap, mark-upAPBD,dan lain-lain adalah contoh siklus itu.Di level kedaulatan nasional, siklus korupsi politik berakibat fatal, di mana elite politik aktif meloloskan produk undang-undang yang melayani kepentingan kelompok tertentu dan anti rakyat.

Kasus UU privatisasi Air dan UU Penanaman Modal, adalah segelintir fakta bahwa legislator kita bekerja melayani kepentingan asing semata. Ketiga,siklus restorasi oligarkiklantisme politik. Umumnya oligarki tersusun dari pertemuan beberapa blok kepentingan yang berkonsolidasi hingga menguasai inti politik.Dalam oligarki,pertemuan kepentingan ekonomi-politik dijalin oleh relasi-relasi yang cenderung bukan hubungan kekerabatan. Sedang klantisme tersusun menurut jejaring darah dan membentuk inti dinasti dalam formasi negara.

Mahasiswa Memandang Pemilu

Dalam konteks itu, beberapa agenda nasional yang bisa didorong sebagai bagian dari pelibatan visi dan pandangan kaum muda terhadap Pemilu 2009 dapat dirunut dalam beberapa poin berikut.

Pertama, politik kebangsaan. Pemilu 2009 harus menjadi ruang konsolidasi segenap anak bangsa demi mendorong terwujudnya konsensus nasional tentang kemandirian bangsa yang menjadi landas tumpu bersama (common background) untuk membangun Indonesia yang adil,sejahtera,berdaulat dan berwibawa dalam pergaulan internasional.

Kedua, politik kenegaraan.Pemilu 2009 harus melahirkan pribadi- pribadi politik yang berkapasitas dan berkompetensi untuk melakukan penataan konstitusi berdasarkan visi dan cita-cita bangsa sesuai yang telah ditanam para founding fathers.

Ketiga, politik kebijakan. Produk Pemilu kali ini jangan sampai melahirkan gerombolan elite politik yang lihai merampok aset negara untuk kepentingan sempitnya. Namun, jangan sampai produk Pemilu 2009 melahirkan elite-elite baru yang mereproduksi rentetan kebijakan yang tidak mengabdi pada kepentingan bangsa.

Keempat, politik keseharian. Demi wibawa pemilu sebagai agenda rakyat, maka praktik politik uang, primordialisme, feodalisme, oligarki elite, dan perilaku yang merendahkan martabat rakyat sebagai pemilik legitimasi politik tidak boleh terjadi lagi. Pada akhirnya,Pemilu 2009 ini akan sengit dengan pertempuran sesama elit dalam satu medan demokrasi (ultra)liberal seperti yang sedang dianut sekarang ini.

Karena itu dibutuhkan pula rencana jangka panjang,melampaui dan antisipatif terhadap momentum pemilu yang pendek ini. Untuk itu, kami mahasiswa mengajak semua elemen bangsa ini untuk menyukseskan pemilu.Nasib kita semua ditentukan dalam pesta demokrasi ini. Memang masih banyak kekurangan. Namun, jangan sia-siakan dengan menjadi golput, karena tindakan itu tak menyelesaikan masalah.Dalam semua pilihan pasti ada yang paling baik.(*)

Muhammad Rodli Kaelani
Ketua Umum PB PMII


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/226241/

Sistem Keuangan Baru yang Kreatif

Sistem Keuangan Baru yang Kreatif
Kenneth Rogoff
Guru Besar Ekonomi dan Kebijakan Publik pada Harvard University, mantan Chief Economist IMF

CAMBRIDGE - Suatu pergulatan besar sedang terjadi dalam kelompok negara-negara G-20 mengenai masa depan sistem keuangan global. Hasil pergulatan ini bakal membawa dampak terhadap dunia--dan bukan cuma dunia esoteris keuangan internasional--selama puluhan tahun ke depan.

Sektor keuangan membentuk kekuasaan, gagasan, dan pengaruh.

Mereka yang sinis mengatakan fundamental sistem keuangan global tidak bakal terpengaruh. Tapi mereka keliru. Dalam beberapa tahun yang akan datang kita akan menyaksikan perubahan besar, mungkin dalam bentuk regulator atau traktat keuangan internasional. Kita tidak mungkin dapat menyelesaikan kekacauan yang ada saat ini tanpa adanya semacam kompas yang menunjukkan di mana letak sistem keuangan itu di masa depan.

Amerika Serikat dan Inggris menginginkan suatu sistem yang kondusif bagi perluasan hegemoninya. Menteri Keuangan Amerika Serikat Timothy Geithner baru-baru ini sudah menyampaikan garis besar suatu rezim regulasi keuangan yang lebih konservatif. Bahkan mereka yang mengecam pemborosan sumber daya oleh AS di masa lalu harus mengakui bahwa usulan Geithner itu mengandung beberapa poin yang dapat diterima.

Setidaknya, badan-badan regulator bakal memaksa pemilik modal menyediakan dana tunai yang lebih besar untuk menutup taruhan yang diletakkannya, dan tidak terlalu mengandalkan pembayar pajak untuk melakukannya. Usulan Geithner itu juga bertujuan mengadakan kontrak-kontrak keuangan yang lebih sederhana dan lebih mudah dievaluasi, sehingga para eksekutif perusahaan, regulator, dan investor bisa menilai dengan lebih baik risiko yang mereka hadapi.

Sementara banyak negara menaruh simpati terhadap gagasan Geithner, banyak pula lainnya yang menginginkan reformasi lebih fundamental. Rusia dan Cina mempertanyakan peran dolar sebagai pilar sistem keuangan internasional. Gubernur bank sentral Cina, Zhou Xiaochuan, mengatakan perlu adanya mata uang superglobal, mungkin yang dikeluarkan Dana Moneter Internasional.

Pandangan Xiaochuan ini termasuk lunak. Presiden Dewan Menteri Uni Eropa, Perdana Menteri Cek Miroslav Topolanek, bahkan terang-terangan menyuarakan kemarahan banyak pemimpin Eropa ketika ia melukiskan pendekatan Amerika yang boros dalam menangani kebijakan fiskal ini sebagai "jalan menuju neraka”. Topolanek bisa saja mengutarakan hal yang sama mengenai pandangan Eropa akan kepemimpinan AS dalam keuangan global.

Taruhan dalam debat mengenai reformasi keuangan internasional ini sungguh besar. Peran dolar di pusat sistem keuangan global memungkinkan AS mengumpulkan modal dalam jumlah sangat besar tanpa mengganggu perekonomiannya. Mantan Presiden AS George W. Bush telah memotong pajak pada saat yang sama ia menginvasi Irak. Betapapun meragukannya tindakan Bush itu dalam kedua hal tersebut, suku bunga atas utang publik AS sebenarnya turun

Lebih mendasar lagi, peran AS di pusat sistem keuangan global memberikan kekuasaan yang besar kepada lembaga pengadilan, regulator, dan para politikus AS terhadap investasi global di seluruh dunia. Itulah sebabnya disfungsi yang terjadi dalam sistem keuangan AS telah makin memperparah resesi global. Sebaliknya, apa alternatif usulan yang diajukan Geithner? Apakah ada paradigma lainnya bagi sistem keuangan global?

Pendekatan yang dilakukan Cina berupa pajak terselubung yang besar atas para penabung, yang dibayar hanya seadanya berupa bunga depositonya. Ini memungkinkan bank yang dikontrol negara memberikan pinjaman dengan suku bunga yang disubsidi kepada perusahaan dan sektor tertentu yang ditunjang pemerintah. Di India, represi keuangan digunakan untuk mengerahkan tabungan yang sudah tergenggam dalam tangan pemerintah guna membiayai utang pemerintah yang besar dengan suku bunga yang lebih rendah daripada yang berlaku dalam sebuah pasar yang sudah diliberalisasi.

Sebagian dari masalah yang sekarang dihadapi Rusia berasal dari sistem perbankannya yang tidak berfungsi baik. Banyak debitor yang tidak mampu memperoleh dana dengan persyaratan wajar di dalam negeri terpaksa mencari pinjaman dalam mata uang yang keras di luar negeri, sehingga menciptakan beban yang berat ketika nilai ruble anjlok.

Eropa ingin mempertahankan model perbankannya yang universal, sementara perbankan yang melayani berbagai fungsi, mulai dari menerima simpanan sampai memberikan pinjaman komersial yang kecil untuk kegiatan bank investasi tingkat tinggi. Sebaliknya, usulan AS itu bahkan membuat perbankan universal jauh lebih sulit, karena usulan itu bertujuan memagari lembaga penyimpanan yang membawa "risiko sistemik" terhadap sistem keuangan. Perubahan semacam itu menekan perbankan universal untuk menghentikan kegiatan bank investasi yang berisiko besar agar dapat beroperasi dengan lebih bebas.

Sudah tentu raksasa-raksasa seperti Citigroup, Bank of America, dan JP Morgan juga bakal terkena dampaknya. Tapi model perbankan universal ini tidak menempati titik yang tak begitu sentral dalam sistem perbankan AS seperti di Eropa dan sebagian negara di Asia dan Amerika Latin.

Terlepas dari implikasinya atas berbagai sistem di banyak negara, bentuk masa depan perbankan sangat penting bagi sistem keuangan yang lebih luas cakupannya, termasuk venture capital, private equity, dan hedge funds. Usulan yang diajukan Geithner sedikit-banyak bertujuan mengekang semuanya ini. Kekhawatiran akan terjadinya krisis dapat dipahami. Namun, tanpa pendekatan pendanaan yang baru dan kreatif, mungkin kita dulu tidak akan melihat lahirnya Silicon Valley. Di mana letak keseimbangan antara risiko dan kreativitas ini?

Walaupun perdebatan pada pertemuan G-20 ini banyak menyangkut persoalan-persoalan seperti stimulus fiskal global, taruhan besar yang riil menyangkut pilihan falsafah baru bagai sistem keuangan internasional dan regulasinya. Jika kita tidak bisa menemukan pendekatan baru, ada kemungkinan globalisasi keuangan bakal dengan cepat berbalik mundur sehingga membuat kita lebih sulit untuk melepaskan diri dari krisis yang kita alami saat ini.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/04/Opini/krn.20090404.161459.id.html

Bukan Salah Hujan

Bukan Salah Hujan
Peneliti LIPI dan BPPT menyatakan bobolnya tanggul Situ Gintung disebabkan oleh rusaknya tanggul.
BANDUNG - Curah hujan yang ekstrem tidak bisa dituding sebagai penyebab utama jebolnya tanggul Situ Gintung. Edi Prasetyo Utomo, peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bandung, menyatakan bahwa curah hujan yang jatuh sehari sebelum bencana itu terjadi jauh di bawah intensitas hujan yang membuat Jakarta terendam banjir besar pada 2007.

Dalam keterangan pers di gedung Pusat Penelitian Geoteknologi Bandung, Selasa lalu, Edi memaparkan data curah hujan yang dicatat Automatic Rainfall Gauge (ARG) di dekat hulu Sungai Pesanggrahan hanya tercatat 22,6-22,8 milimeter per hari pada 26 Maret 2009. Angka itu tak setinggi curah hujan pada 2 Maret 2007 yang mencapai 158,4 milimeter per hari.

Alat pengukur curah hujan yang terpasang di Kompleks Villa Bogor Indah, sekitar 1,6 kilometer dari hulu Sungai Pesanggrahan itu, juga mencatat bahwa pada 22 Maret atau lima hari sebelum tanggul jebol, curah hujan yang jatuh di daerah itu mencapai 51 milimeter per hari. "Sebelumnya ada yang yang lebih besar, tidak apa-apa," kata Edi. "Itu artinya rusak atau bocor sedikit demi sedikit, tapi tidak termonitor."

Berdasarkan hasil pencatatan alat itu, Edi memastikan penyebab jebolnya tanggul adalah retakan atau rekahan pada tanggul yang semakin banyak atau semakin besar.

Prediksi Edi tersebut serupa dengan kesimpulan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Institusi itu menyimpulkan jebolnya tanggul Situ Gintung disebabkan oleh erosi buluh. Hasil pengkajian ulang hasil survey kualitas air pemanfaatan waduk serapan yang dilakukan Desember tahun lalu menunjukkan adanya erosi.

Dokumentasi yang dilakukan tim BPPT pada 5 Desember 2008 menunjukkan adanya erosi buluh atau piping pada struktur spillway atau pintu air. Erosi buluh terjadi secara alamiah, tidak dipengaruhi oleh ukuran tua atau mudanya usia tanggul. Air selalu mencari titik-titik celah rendah, sumber celah tersebut dapat dideteksi dengan teknologi isotop.

"Titik sekecil rambut pun akan dialiri, ketika volume air naik, daya dorongnya menjadi kuat sehingga bisa menggerus dasar tanggul," kata Kepala Bidang Mitigasi Bencana Sutopo Purwo Nugroho dalam jumpa pers, Selasa lalu. Adanya celah-celah kecil tersebut diindikasikan dengan munculnya sejumlah mata air di sekitar tanggul.

Tim BPPT juga menyatakan hujan bukanlah faktor utama penyebab jebolnya tanggul. Curah hujan saat itu mencapai 113,2 milimeter per hari. Curah hujan itu jauh lebih sedikit jika dibanding pada 1 Februari 2007 maupun 10 Februari 1996, saat Jakarta mengalami banjir besar dengan curah hujan masing-masing mencapai 275-300 milimeter per hari dan 180 milimeter per hari. "Tapi waktu itu tanggul tidak jebol," kata Sutopo.

Sutopo menyatakan curah hujan hanya pemicu karena volume air naik secara cepat sehingga limpas dari spillway. Selain itu, berdasarkan sistem hidrologi, jebolnya tanggul juga tidak ada kaitannya dengan penggunaan lahan di kawasan hulu daerah aliran Sungai Pesanggrahan.

Edi berulang kali menegaskan bahwa dia tidak bermaksud menyudutkan otoritas atau pihak tertentu dalam tragedi Situ Gintung. Sebagai seorang peneliti yang kebetulan mengetahui pengelolaan dam tipe uruk seperti Situ Gintung dan hampir semua waduk lain di Indonesia, dia merasa ada yang kurang dalam keterangan yang diberikan oleh pemerintah.

"Data curah hujan tidak muncul dalam rilis, berarti memang tidak pengukuran khusus untuk wilayah itu," ujarnya. "Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memang bagus, tapi terlalu umum."

Tidak adanya data yang jelas tentang pemantauan dan perawatan Situ Gintung menunjukkan belum adanya tradisi untuk merawat tanggul di Indonesia. Bentuk pemantauan dan perawatan dam menyangkut sistem daerah aliran sungai, kondisi curah hujan, dan perawatan hulu sungai, termasuk penghijauan. Jika informasi itu tidak lengkap, sulit dipercaya jika ada lembaga yang menyatakan kondisi dam dalam keadaan baik. "Tidak ada data kondisi waduk artinya tidak ada perawatan," katanya.

Meski tidak pernah secara khusus meneliti dam di Indonesia, Edi pernah melakukan penelitian untuk mendeteksi kebocoran sebuah dam tipe urukan di daerah Kamogwa, Jepang, pada 1986. "Kalau memang ada pemantauan dan perawatan secara berkala, tentunya bisa diketahui secara persis letak kebocorannya."

Doktor dari Waseda University, Tokyo, Jepang, itu menyatakan pengelolaan daerah aliran sungai amat penting dalam merawat sebuah waduk seperti Situ Gintung yang dirancang untuk menampung air hujan agar aliran air ke Sungai Pesanggrahan tidak terlalu kencang, sekaligus tempat resapan air hujan menjadi air tanah. "Semua anak sungainya harus dimonitor terus," ujarnya. "Pasang ARG di daerah hulu supaya tahu curah hujannya berapa, intensitas dan jam berapa hujan turun sehingga tahu kira-kira kapan air masuk dam," dia mengungkapkan.

Idealnya, alat pencatat data hujan seharusnya dipasang tiap 10 kilometer sepanjang aliran sungai dari hulu ke waduk. Harga alat itu yang mencapai Rp 10 juta per unit juga tidak mahal, mengingat biaya yang dialokasikan untuk perawatan situ mencapai lebih dari Rp 1 miliar. "Makin dekat jaraknya, sebenarnya makin baik," ujarnya.

Penghijauan di daerah hulu juga masuk kategori perawatan daerah aliran sungai. Bila terjadi penggundulan, air hujan tidak sempat meresap ke dalam tanah dan alirannya akan mengangkut sedimentasi. Akhirnya terjadi pengendapan dan pendangkalan di danau dan poros dam tidak akan kuat menahannya. Foto satelit memperlihatkan kondisi air Situ Gintung yang cokelat keruh menunjukkan bahwa beban yang ditanggung dam tipe uruk sangat besar.

Padatnya pemukiman di sisi tanggul juga menunjukkan tidak adanya perawatan karena dari segi konstruksi dam uruk hal itu sangat dilarang. "Bodi tanggul tidak bisa diganggu gugat. Pembangunan infrastruktur membawa akibat sangat fatal, tapi ini terjadi," kata Edi. "Infrastruktur hanya boleh dibangun 50-100 meter dari poros tanggul."

Untuk memantau kondisi tanggul-tanggul waduk lain di Indonesia yang umumnya bertipe dam uruk, sebenarnya ada sejumlah metode yang bisa dipakai seperti geolistrik atau georadar. Dengan cara itu, kondisi rekahan atau retakan bisa terdeteksi.

Metode georadar sudah umum digunakan untuk meneliti kondisi konstruksi di bawah tanah. Teknik geofisika elektromagnetik noninvasif ini biasa digunakan untuk pertambangan, mencari artefak yang terkubur, mendeteksi kerusakan fondasi sampai mencari ruang persembunyian bawah tanah. "Alat itu bisa mendeteksi sampai kedalaman 5 meter," kata Edi.

Sedangkan metode geolistrik biasa digunakan dalam eksplorasi sumber air tanah. Ahli geologi dan arkeologi menggunakan metode ini ketika melakukan investigasi untuk mendeteksi gua, rongga, terowongan, zona patahan, dan obyek logam. Kini metode ini juga digunakan dalam studi lingkungan untuk mengecek eksplorasi tempat pembuangan sampah tipe landfill dan mendeteksi kebocoran atau merembesnya air limbah. "Alat itu bisa mengukur apakah konstruksinya baik sampai kedalaman 100 meter," ujarnya.

Pemantauan harus dilakukan rutin setiap tahun untuk memeriksa apakah konstruksi, fungsi, dan daya dukung poros dam masih kuat. "Bila ada rembesan atau keropos, harus di-grouting," kata Edi. "Setelah perbaikan dimonitor lagi dengan georadar untuk melihat tahanan jenisnya."

Sistem peringatan dini juga harus diperbaiki dan harus dipasang sampai radius beberapa ratus meter dari waduk buatan pemerintah kolonial Belanda pada 1932 itu. "Orang yang tinggal dekat tanggul selamat karena mendengar sirene," katanya. "Mereka yang tinggal jauh dari tanggul yang menjadi korban."

Ke depan, Edi meminta pemerintah bersedia membuka diri terhadap hasil-hasil penelitian. Sejak 1994 dia berulang kali memaparkan hasil penelitian tentang metode pendeteksi gagalnya dam, tetapi tidak dihiraukan. Akhirnya, Jumat subuh pekan lalu tanggul Situ Gintung jebol sehingga menewaskan 100 orang warga Desa Cireundeu, Banten, dan sekitar 100 orang lainnya hilang.

BPPT juga memberi beberapa rekomendasi agar kejadian serupa tidak berulang, perlu ada survei dan review situ-situ yang diduga memiliki potensi bencana. Saat ini jumlah situ di Jabodetabek seluruhnya ada 218 situ, dengan luas total 2.166,50 hektare. TJANDRA DEWI | AQIDA SWAMURTI | ANWAR SISWADI

Situ Hilang, Bencana Lain Datang

Kehadiran sebuah situ tidak bisa dihilangkan begitu saja. Gadis Sri Haryani, Kepala Pusat Penelitian Limnologi LIPI, menyatakan situ atau danau memiliki manfaat yang amat besar bagi masyarakat di sekitarnya sehingga perlu ada diskusi serius untuk memutuskan nasib Situ Gintung ke depan.

Salah satu fungsi utama Situ Gintung adalah menampung air dan menyuplai air tanah. "Jika danau itu dihilangkan, air akan langsung mengalir ke Sungai Pesanggrahan sehingga meningkatkan risiko banjir," katanya. "Pada musim kemarau, penduduk di sekitarnya akan kesulitan air.

Penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Limnologi LIPI terhadap situ-situ di Jawa Barat menunjukkan bahwa kondisinya telah menurun 50 persen. Tingginya sedimentasi dan tingginya kerawanan longsor di provinsi itu adalah penyebab terjadinya pendangkalan.

Selasa lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan pemerintah berencana mengurangi luas dan volume Situ Gintung. Kawasan situ juga akan ditata ulang tata ruang karena pemerintah memutuskan tidak akan merelokasi warga secara besar-besaran.

Edi Prasetyo Utomo mengatakan bila pengelolaan dilakukan sesuai dengan wawasan lingkungan, malapetaka itu sebenarnya bisa dihindari. Banyak tanggul dengan tipe itu yang tetap aman, bahkan tanggul di Belanda pun letaknya berdampingan dengan permukiman. "Yang harus dilakukan adalah pemeliharaan dan pemantauan," ujarnya. "Sepanjang tanah urukan itu impermeable atau air tidak bisa lalu lalang dan semua parameter pemeliharaan dam dipenuhi tak mungkin jebol." TJANDRA

PENYEBAB BOBOLNYA DAM

CEPAT
Jika ada puing atau sampah yang memblokade spillway atau hujan besar dengan intensitas luar biasa tinggi sehingga air meluap dan erosi.

PELAN
Pepohonan yang tumbuh di atas dam juga bisa menjadi pemicu gagalnya dam menahan air. Ketika pohonpohon itu mati, akarnya menciptakan rongga air.

PELAN
Komposisi material dam yang tidak seimbang dan getaran seismik atau gempa bumi dapat menimbulkan retakan pada dam.

Sebelum urbanisasi
Pepohonan dan tanah yang porous menyerap air hujan dan melepasnya kembali ke danau secara bertahap.
- Daerah terbuka yang ditumbuhi vegetasi di bawah dam dapat menangani limpasan air.
Setelah urbanisasi
Bangunan dan jalan menghalangi tanah menyerap air hujan, limpasan air dengan cepat meningkatkan tinggi permukaan air danau.
- Banjir bandang menerjang area di bawah dam yang dipenuhi bangunan sehingga tidak dapat menangani limpasan air.


http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/02/Ilmu_dan_Teknologi/krn.20090402.161200.id.html

Mengantisipasi Maraknya Korupsi Pemilu

Mengantisipasi Maraknya Korupsi Pemilu
Adnan Topan Husodo,
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch

Korupsi pemilu merupakan istilah baru untuk menjelaskan gejala korupsi pada pelaksanaan pemilu. Korupsi dalam konteks pemilu lebih luas makna dan penjelasannya dibandingkan dengan pengertian korupsi menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Istilah ini sendiri lahir dari berbagai macam kajian atas pelanggaran dalam pembiayaan kampanye yang dilakukan peserta pemilu, khususnya bagi mereka yang menyandang status incumbent. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan peserta kampanye pemilu lainnya juga bisa melakukan praktek serupa.

Open Society Justice Initiative dalam bukunya, Monitoring Election Campaign Finance (2005) menjelaskan bahwa yang disebut sebagai korupsi pemilu adalah praktek pendanaan kampanye--baik penerimaan maupun pengeluaran--yang menciptakan hubungan koruptif antara penyumbang dan partai politik atau kandidat yang didukungnya maupun pola perilaku koruptif yang terjadi antara peserta pemilu dan voters.

Dalam prakteknya, korupsi pemilu terdiri atas tiga bentuk. Pertama, penerimaan dana kampanye yang berasal dari sumber-sumber yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan maupun yang secara universal merupakan sesuatu yang secara nyata-nyata dianggap tidak boleh, karena menciptakan hubungan koruptif antara yang disumbang dan donatur. Keuntungan yang diperoleh penyumbang terselubung tidak dipetik pada saat pemilu. “Investasi” yang mereka keluarkan untuk menyumbang partai maupun kandidat akan dipanen pada saat peserta pemilu yang didukung memenangi pertarungan. Bentuknya yang paling nyata adalah favoritisme, tempat konsesi, kontrak-kontrak pemerintah, maupun keistimewaan kebijakan publik akan berpihak kepada para penyumbang gelap.

Disebut penyumbang gelap karena peserta pemilu biasanya enggan atau sengaja menutup-nutupi dari mana asal-usul sumbangan kampanye itu diperoleh. Meskipun ada kewajiban dalam pencatatan dan pertanggungjawaban dana kampanye, hal yang biasa dilakukan adalah melakukan manipulasi laporan dana kampanye. Nama-nama penyumbang yang sebenarnya tidak akan muncul dalam laporan. Tiadanya sanksi yang berat menyuburkan praktek semacam ini. Jangan heran jika kelak, dalam laporan dana kampanye peserta pemilu, kita mendapati nama penyumbang fiktif.

Kedua, penyalahgunaan fasilitas negara dan jabatan untuk keperluan atau tujuan kampanye (abuse of power). Catatan pemilu di negara mana pun, baik yang demokratis maupun yang belum, menjelaskan bahwa penyalahgunaan jabatan merupakan hal yang kerap terjadi pada saat pemilu. Pembedanya adalah pada aturan main yang ketat atau longgar.

Bentuk penyalahgunaan jabatan bisa macam-macam, mulai yang paling sederhana sampai ke kategori korupsi menurut UU Tindak Pidana Korupsi. Misalnya, menggunakan kendaraan dinas untuk keperluan kampanye, mengerahkan pegawai negeri sipil atau bawahan (camat, lurah, pamong desa) untuk mendukung peserta pemilu tertentu, menyusun program populis seperti pembagian uang tunai kepada kelompok masyarakat tertentu pada menjelang dan saat kampanye hingga penggunaan dana APBD/APBN untuk pembiayaan kampanye. Contoh konkret yang terakhir ini dapat dilihat dalam kasus korupsi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang menyeret Rohmin Dahuri sebagai terpidana.

Ketiga, pembelian suara (money politics). Jika dikaitkan dengan isu dana kampanye, politik uang adalah bentuk ilegal dari pengeluaran dana kampanye. Artinya, dana kampanye peserta pemilu digunakan untuk kepentingan membeli suara pemilih maupun mempengaruhi penyelenggara pemilu untuk memanipulasi hasil pemilu, sesuatu yang sangat dilarang oleh UU Pemilu. Sebenarnya, dalam kaitannya dengan proses pemilihan pejabat publik, politik uang bukan hanya terjadi pada saat kampanye maupun pada saat hari pencoblosan suara yang dilakukan oleh peserta pemilu kepada pemilih. Politik uang dalam kasus ini adalah praktek penyuapan dalam level yang paling bawah.

Adapun penyuapan dalam bentuknya yang tak kurang berbahaya adalah politik uang di lingkup internal partai politik, terutama dalam penentuan calon anggota legislatif maupun nomor urutnya serta politik uang dalam pemilihan pejabat publik yang dilakukan oleh lembaga legislatif. Laporan Agus Chondro yang telah menerima cek perjalanan dalam pemilihan Miranda Goeltom merupakan contoh apik dari satu penyuapan dan transaksi yang terjadi dalam pemilihan pejabat publik di Indonesia.

Ketiga tingkatan politik uang ini sama berbahayanya. Pada saat kampanye dan hari pencoblosan, politik uang bisa mempengaruhi perilaku pemilih. Politik uang juga bisa mempengaruhi netralitas penyelenggara pemilu. Hasil pemilu menjadi tidak kredibel dan cacat karena potensi manipulasi hasil suara. Jika suara bisa dibeli dan hasil penghitungan suara bisa diutak-atik sesuai dengan pesanan, tentu prosedur demokrasi tidak akan dapat melahirkan pemerintahan yang bersih.

Korupsi pemilu harus dilihat secara lebih jauh sebagai penyakit demokrasi. Dampak negatifnya tidak hanya merugikan masyarakat luas, tapi juga merugikan kepentingan pihak lain yang terlibat langsung dalam pelaksanaan pemilu, yakni peserta pemilu. Karena itu, membatasi ruang gerak korupsi pemilu akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap hasil pemilihan, sekaligus derajat legitimasi pemilu dan hasilnya. Membatasinya juga akan melahirkan iklim kompetisi politik yang lebih adil. Karena itu, semua pihak harus mengambil peran untuk mengawasinya.

Bawaslu tentu saja adalah pihak yang memiliki kewajiban utama dalam mengawasi setiap pelanggaran pemilu. Dengan keterbatasan yang dimiliki, prioritas menjadi penting untuk dipilih. Bawaslu perlu menetapkan korupsi pemilu sebagai tulang punggung pengawasan. Artinya, fokus dan konsentrasi besar Bawaslu adalah memastikan bahwa korupsi pemilu tidak banyak terjadi. Bawaslu jangan terlalu banyak membagi sumber daya dan energinya untuk pelanggaran pemilu yang tidak signifikan dampaknya bagi hasil pemilu itu sendiri. Bekerja sama dengan masyarakat sipil pemantau pemilu adalah langkah strategis untuk berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengawasi korupsi pemilu.

Karena korupsi pemilu juga merugikan peserta pemilu yang lain, terutama bagi mereka yang bukan incumbent dan bukan partai politik besar, peserta pemilu juga perlu membangun mekanisme untuk secara sukarela saling mengawasi di antara sesama mereka. Pemilu sekarang ini berpusat di kandidat, bukan lagi di partai politik, maka dibutuhkan kerja sama antara partai politik dan kandidatnya untuk mendorong kontrol atas potensi terjadinya korupsi pemilu.

Pengawasan pemilu oleh peserta pemilu menjadi sangat penting artinya karena daya upaya apa pun yang dilakukan oleh peserta pemilu yang kebetulan bukan incumbent, peluang untuk menang atau mendapatkan suara jelas kecil. Situasinya menjadi lebih tidak berpihak kepada peserta pemilu “miskin” jika yang kaya dan berkuasa menggunakan fasilitas dan uang yang dimiliki ataupun dana publik yang sedang dikuasainya untuk keperluan kampanye.

Sudah saatnya kita membangun budaya saling kontrol dalam kompetisi politik. Mengharapkan Bawaslu semata untuk melakukan pengawasan pemilu bukanlah pilihan. Jika sejak awal kita sadar bahwa kecurangan dalam pemilu sangat terbuka bagi para incumbent, tentu kerugian nyata akan dirasakan oleh peserta pemilu non-incumbent jika mereka hanya berpangku tangan. Laporan terjadinya politik uang oleh kandidat satu terhadap kandidat yang lain semoga membuka jalan bagi pemilu yang lebih sehat dan dinamis.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/02/Opini/krn.20090402.161246.id.html

Penanganan Krisis Mau ke Mana?

Penanganan Krisis Mau ke Mana?


Resesi ekonomi akhirnya datang juga seperti yang kami perkirakan tiga bulan lalu. BPS dan Bappenas sejak beberapa minggu lalu mulai rajin memberi konfirmasi tentang datangnya resesi ini.



Beberapa isu penting mengenai hal ini patut diberi catatan. Pemerintah cenderung terlalu lamban dalam menyadari bahwa resesi sudah berada di depan mata. Sebelumnya pemerintah bersikukuh bahwa pertumbuhan ekonomi masih akan berada di atas 5%,perbankan dalam kondisi yang mantap dan stabil, serta fundamental ekonomi masih kokoh.Kenyataannya jauh dari itu.Fundamental ekonomi ternyata sangat keropos yang ditandai dengan merosotnya nilai tukar, harga saham, dan ekspor secara tajam.

Ancaman PHK juga semakin menyeruak dan sampai saat ini secara aktual telah mencapai lebih dari 100.000 orang yang kehilangan pekerjaan. Kelambatan dalam mengantisipasi memburuknya situasi telah mengakibatkan keterlambatan dalam merumuskan dan mengimplementasikan langkah-langkah penanganan krisis. Bahkan BI pernah salah langkah pada bulan Oktober yang lalu, yaitu pada saat menaikkan suku bunga. Padahal yang diperlukan justru adalah pelonggaran likuiditas yang juga berasosiasi dengan penurunan suku bunga.

Otoritas fiskal juga sangat lamban dalam merumuskan program stimulus ekonomi di mana besaran stimulus telah direvisi empat kali.Hal tersebut menimbulkan kesan bahwa pemerintah kurang firm dalam menangani masalah krisis. Antisipasi menjadi penting karena kebijakan fiskal dan moneter memerlukan waktu untuk bisa secara efektif memengaruhi perekonomian. Implikasinya, kebijakan pemerintah harus ditetapkan dan diimplementasikan sebelum masalah betul-betul terjadi.

Dalam bahasa Greenspan, the policy has to be set ahead the curve, atau kebijakan akan lebih efektif kalau ditetapkan mendahului siklus bisnis.Fungsinya adalah mengarahkan perekonomian sesuai dengan yang diinginkan dan terutama untuk menghindari resesi yang dalam. Kalau resesi sudah terjadi, akan semakin sulit untuk melakukan koreksi yang pada gilirannya memerlukan energi yang lebih besar untuk mendorong recovery.

*** Selain lambat, pemerintah terkesan salah melakukan diagnosis permasalahan. Dari Rp73,3 triliun yang dialokasikan untuk dana stimulus, ternyata hanya sekitar satu triliun saja yang dialokasikan untuk pedesaan. Dana stimulus lebih banyak diperuntukkan bagi wilayah perkotaan, perusahaan besar, dan kalangan yang tidak miskin. Kebijakan ini tentu selain melukai kelompok miskin dan wilayah perdesaan, juga tidak sesuai dengan permasalahan yang dihadapi.

Kenyataannya, wilayah perdesaan merupakan wilayah yang paling parah dilanda krisis.Hargaharga komoditas pertanian sudah lebih dahulu mengalami penurunan yang tajam sehingga pendapatan petani menjadi terpuruk.Selain itu, petani perkebunan pada umumnya menjual hasil produksinya kepada perusahaan besar,baik perusahaan inti ataupun bukan, yang sekarang ini sedang menghadapi penurunan permintaan ekspor.Ketika permintaan ekspor mulai turun, perusahaan akan mengutamakan penjualan dari hasil kebun sendiri dibandingkan menampung dari petani.

Saluran pemasaran bagi petani praktis menjadi tertutup. Karena itu petani adalah pihak yang paling pertama didera krisis. Perdesaan juga akan mengalami limpahan beban akibat PHK yang dilakukan di daerah perkotaan. Korban PHK akan kembali ke desa dan selama kesempatan kerja belum terbuka kembali, mereka akan menjadi beban bagi wilayah perdesaan.Karena itu,wilayah perdesaan akan merupakan wilayah yang paling parah dilanda resesi. Korban PHK yang paling menderita terutama adalah mereka yang tergolong buruh kasar dan buruh harian.

Ketika terjadi PHK, mereka sama sekali tidak punya saving yang bisa menjadi bantalan ketika mereka menganggur. Maklum, pendapatan mereka sebatas upah minimum saja yang hanya cukup untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Karena itu, masalah sosial akan lebih banyak timbul di kalangan mereka.

Melihat hal tersebut,kami bisa menilai bahwa stimulus yang digulirkan pemerintah tampaknya salah sasaran.Karena itu paket stimulus sebaiknya diubah komposisinya, yaitu lebih mengarah ke wilayah perdesaan serta membantu menyediakan lapangan kerja sementara bagi buruh kasar atau buruh harian. Ini bukan masalah keberpihakan, tetapi lebih pada efektivitas paket stimulus.Resep harus sesuai dengan masalah yang dihadapi.

*** Kalaupun rancangan stimulus itu sudah sesuai dengan masalah yang akan dihadapi, dalam pelaksanaannya akan dihadapkan pada kendala teknis yang tak terhindarkan. Stimulus merupakan program dadakan atau crash program yang membutuhkan kemampuan pelaksanaan yang cepat.

Masalahnya ada di birokrasi kita yang cenderung sangat lelet.Untuk program yang tidak dadakan saja penyerapan anggaran biasanya menumpuk di penghujung tahun,antara Oktober sampai Desember. Tentunya para korban PHK tidak bisa menunggu sampai bulan Oktober. Artinya, kalau mau efektif, paket stimulus yang menyangkut pekerjaan fisik harus didesain untuk bisa dilaksanakan pada bulan-bulan mendatang.

Berarti kita tidak bisa bicara mengenai proyek-proyek besar yang membutuhkan persiapan yang lama.Program dan proyek yang mungkin dilaksanakan hanyalah sebatas perbaikan dan pemeliharaan atas prasarana yang sudah ada.Yang terlebih penting adalah tersedianya lapangan kerja.

Uraian di atas mengindikasikan bahwa penanganan krisis akan menjadi efektif bila paket stimulus disusun sebagai antisipasi dari masalah yang kemungkinan akan terjadi dan bukan reaksi atas apa yang sedang atau telah terjadi. Selain itu, efektivitas juga sangat tergantung pada apakah kita mampu mendiagnosis masalahnya secara benar.(*)

Iman Sugema
InterCAFE, Institut Pertanian Bogor


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/226056/

Pemilu,Korupsi,dan Hutan

Pemilu,Korupsi,dan Hutan


Pemilihan Umum 2009 sudah sangat dekat, tinggal hitungan hari. Banyak hal terus menjadi perdebatan.Namun, sebagian besar wilayah pembicaraan agaknya tidak akan terlalu jauh dari soal partai politik (parpol), kampanye,audit dana partai, dan slogan perubahan.


Tanpa mengurangi arti dan tingkat kepentingan poin-poin tersebut, agaknya banyak pihak lupa tentang satu sisi sederhana di balik administrasi dan pencetakan surat suara oleh KPU. Dalam salah satu dinding (wall) program jejaring dunia maya facebook tertulis “800 juta lembar surat suara se-Indonesia.Berapa juta pohon yang ditebang hanya untuk memilih orang yang sebagiannya akan menjadi maling?” Status,ide, atau pernyataan seseorang yang sesungguhnya ditujukan untuk publik di websiteyang sangat familier ini tentu sedikit menggelitik, bahkan hampir-hampir menyiratkan pesimisme terhadap hal yang paling teknis pada penyelenggaraan pemilu.

Namun, sesungguhnya pernyataan tersebut sedang bicara tentang dua hal yang sangat prinsip. Pertama, pohon yang berkorelasi pada hutan, deforestasi, atau mungkin bahkan ancaman ekologis. Kedua,maling.Poin ini agaknya punya relevansi dengan istilah korupsi yang melibatkan sejumlah anggota DPR, kader parpol, dan bahkan calon anggota legislatif (caleg). Sadar ataupun tidak, pencetakan surat suara dan kebutuhan administratif lain yang menggunakan kertas, tisu, termasuk listrik, akan berimplikasi serius terhadap ekologi kita.

Secara sederhana, penghitungan beban lingkungan hidupdanhutanterhadappencetakan surat suara cukup mengejutkan. Dari data KPU terlihat kebutuhan surat suara adalah sekitar 800 juta lembar, tidak termasuk yang rusak dan dibakar.Menurut aturan KPU,ukuran surat suara 54 x 84 cm dan jenis kertas harus baik HVS 80 gr (Peraturan KPU No 34/2008).

Untuk membuat 800 juta surat suara, berapa batang pohon yang ditebang? Mengacu pada penghitungan Rainforest Informations Center (RIC), kira-kira 10 sampai 17 pohon dibutuhkan untuk menghasilkan 1 ton kertas ukuran koran atau sekitar 7.000 lembar. Maka, untuk kebutuhan surat suara, diperkirakan kita butuh lebih dari 1 juta pohon.Perhitungan ini belum termasuk kertas, kain, dan plastik yang digunakan sebagai bahan poster, kartu nama, baliho, dan pernik-pernik kampanye lainnya di seluruh Indonesia.

Tentu saja hal ini akan sangat berpengaruh langsung ataupun tidak terhadap laju deforestasi hutan Indonesia. Sementara kita tahu,dalam 50 tahun terakhir,menurut data Lembaga Tunas Hijau, lebih dari 60 miliar pohon di Indonesia ditebang dan dibakar. Demikian juga dengan laju deforestasi hutan Indonesia yang mencapai angka 9,4 juta hektare dari 2000–2005 (FAO, 2007).

Korupsi Legislatif

Poin kedua yang disinggung adalah soal “maling”.Kurang lebih mengingatkan publik pada fenomena dua tahun terakhir ini. Sejumlah anggota legislatif yang dipilih pada Pemilu 2004 ternyata koruptor atau minimal sudah tertangkap tangan oleh KPK saat menerima suap.

Ada sejumlah nama dari berbagai partai politik yang sudah diproses KPK. Sebut saja Abdul Hadi Djamal, Anthoni Zeidra Abidin,Hamka Yandhu,Noor Adenan Razak,Bulyan Royan,Al Amien Nasution,Sarjan Taher,Yusuf Emir Faisal,Saleh Djasit. Tiga di antara delapan tersebut merupakan anggota Dewan periode 1999–2004 dan sisanya duduk di DPR periode saat ini.

Sebagian besar lainnya bahkan diduga terkait dalam beberapa kasus korupsi yang juga ditangani KPK. Di tingkat daerah pun kurang lebih sama.Dari 1.421 terdakwa kasus korupsi yang terpantau Indonesia Corruption Watch pada 2005–2008, sekitar 400 orang te-ridentifikasi sebagai kader partai politik yang duduk di kursi DPRD. Apakah hal yang sama akan terulang pada Pemilu 2009? Suap dan rekayasa anggaran adalah modus umum yang hampir selalu berhubungan dan kaitmengait dengan pemenuhan kepentingan kelompok bisnis.

Biasanya terkait dengan proyek-proyek pembangunan dan pengadaan barang, kebijakan ahli fungsi status hutan, dan bahkan upaya menghambat penyelesaian proses hukum seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Masalahnya, sebagian besar proyek yang dikorup terkait dengan pemenuhan hak-hak mendasar rakyat Indonesia dan sebagiannya lagi terkait dengan degradasi lingkungan hidup dan hutan.

Kasus aliran dana Bank Indonesia misalnya.Fakta persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jelas mengungkapkan adanya “persekongkolan” dan penggunaan dana publik (BI/YLPPI) untuk kepentingan gratifikasi terhadap sejumlah anggota DPR, oknum kejaksaan, dan bahkan advokat tertentu. Tujuannya sederhana, untuk menyelesaikan kasus BLBI secara politis dan diseminasi amendemen Undang- Undang Bank Indonesia.

Demikian juga dengan kasus yang terkait dengan alih fungsi hutan lindung di Bintan,Tanjung Api- Api, di mana terdapat aliran uang terhadap anggota DPR untuk memuluskan kebijakan dan pemberian konsesi tertentu. Baru-baru ini, anggaran dana stimulus pun tidak luput dari jarahan kelompok koruptif di DPR. Kelakuan wakil rakyat yang sangat buruk tersebut tentu saja sangat menyakitkan publik.Padahal, mereka adalah orang yang dipilih rakyat pada pemilihan umum. Setiap kursi DPR rata-rata butuh 210.000 suara.

Di titik inilah praktik korupsi legislatif adalah wujud pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diberikan ratusan ribu rakyat yang memilih mereka. Pada Pemilu 2009, seharusnya rakyat mempunyai kekuatan untuk mengganti rezim dan orangorang korup tersebut. Hak untuk memilih adalah kekuatan yang diberikan konstitusi untuk mengawasi secara periodik kinerja para wakil rakyat.Tentu kita tidak ingin Senayan dihuni sekelompok koruptor dan politisi busuk.

Karena itu, agaknya ajakan sederhana untuk memilih orangorang yang bersih dan berkomitmen dengan pemberantasan korupsi tetap harus didengungkan. Pemilu 2009 yang akan dilakukan beberapa hari lagi harusnya menjadi momentum bagi masyarakat pemilih untuk menyingkirkan orangorang dan parpol yang hanya mencari keuntungan di balik legitimasi rakyat.(*

Febri Diansyah
Peneliti Hukum, Aanggota Badan Pekerja ICW


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/226022/

Bantuan Tunai Langsung, Pro-Rakyat Miskin?

Bantuan Tunai Langsung, Pro-Rakyat Miskin?
Wahyu Prasetyawan
Doktor ekonomi-politik, lulusan Universitas Kyoto, Jepang

Bantuan langsung tunai (BLT) atau dalam buku teks ekonomi dikenal sebagai cash transfer dalam musim kampanye ini mendadak terkenal. Hampir sebagian besar calon presiden menjadikannya salah satu tema kampanye. Bahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati Soekarnoputri, dan Prabowo Subianto sempat “berbalas pantun” mengenai BLT ini, dengan posisi politik yang amat kontras. Sebagai presiden, SBY tentunya membela kebijakan BLT, sementara Megawati dan Prabowo mengkritik pola penyaluran dan keberadaan BLT.

Walaupun debat para calon presiden mengenai BLT cukup memperlihatkan perhatian mereka atas isu ekonomi, ini sama sekali bukan isu pokok dalam ekonomi. Akan jauh lebih melenceng lagi jika para calon presiden tersebut hanya mengandalkan BLT sebagai indikator ekonomi yang membela kepentingan rakyat miskin (pro-poor). Kenapa BLT mendadak menyeruak dalam debat ekonomi belakangan ini? Jejak-jejaknya bisa dilacak saat krisis ekonomi satu dekade lalu terjadi di sini, dan pemerintah merasa perlu memperkuat daya beli masyarakat. Krisis ekonomi membuat daya beli masyarakat, terutama mereka yang berada di dekat garis kemiskinan, menjadi amat rentan.

Hampir bersamaan dengan BLT, kosakata kebijakan ekonomi di sini juga berubah. Pada periode 1950-an hingga 1980-an kosakata kebijakan ekonomi adalah proses trickle-down effect yang dipercaya sebagai jalan untuk membantu masyarakat miskin. Namun, pada periode berikutnya, kebijakan yang mengutamakan trickle-down effect ini sudah tidak dilanjutkan lagi karena memang terbukti tidak cukup manjur mengurangi jumlah rakyat miskin. Ketika krisis ekonomi terjadi di Indonesia pada 1997, pemerintah beserta donor internasional mendapat kesempatan mengadopsi pendekatan baru dalam kebijakan pertumbuhan ekonomi yang didesain untuk membela kepentingan rakyat miskin. Kebijakan ini dikenal sebagai pro-poor growth.

Karakteristik kebijakan ekonomi pro-poor growth mencakup beberapa hal. Pertama, kebijakan ekonomi yang dengan sengaja memberikan penekanan terhadap rakyat miskin sehingga rakyat miskin mendapat manfaat yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok masyarakat kaya. Kedua, menghilangkan kelembagaan-kelembagaan yang membatasi keterlibatan rakyat miskin. Rakyat miskin memerlukan kelembagaan yang dapat memberi mereka akses yang cukup untuk dapat terlibat dalam kegiatan ekonomi. Salah satu unsur yang mendasar adalah akses atas modal dan pendidikan. Ketiga, adopsi kebijakan ekonomi yang secara langsung berpihak kepada rakyat miskin.

Dasar pemikiran kebijakan ekonomi yang berpihak kepada rakyat miskin sudah banyak dikemukakan oleh para ekonom. Namun, ekonom yang paling memberikan perhatian kepada rakyat miskin adalah Amartya Sen. Bagi Sen, masalah kemiskinan bukan semata pengurangan jumlah rakyat miskin, namun yang jauh lebih mendasar adalah masalah kemanusiaan itu sendiri. Bagi Sen, kemanusiaan itu mencakup dua hal penting: fungsi dan kemampuan. Fungsi merujuk pada capaian dan kemampuan mengacu pada kebebasan yang dimiliki individu, termasuk rakyat miskin, untuk mencapai tujuan hidupnya. Maka, tidak mengherankan jika Sen berpendapat kebijakan ekonomi yang berpihak kepada rakyat miskin ditandai dengan kemampuan kebijakan tersebut membuka kesempatan bagi rakyat miskin terlibat dalam kegiatan ekonomi. Dengan cara ini, rakyat miskin akan memiliki pilihan untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi.

Setelah mempertimbangkan beberapa karakteristik yang wajib dimiliki oleh kebijakan ekonomi pro-poor growth, apakah BLT secara serta-merta dapat dikatakan sebagai kebijakan ekonomi yang membela kepentingan rakyat miskin? Jawabannya hampir pasti tidak, karena BLT hanya merupakan satu bagian kecil dari kebijakan ekonomi yang mungkin saja membela kepentingan rakyat miskin. BLT masih jauh untuk dapat dikatakan sebagai kebijakan ekonomi yang memihak rakyat miskin.

Jadi sebaiknya para calon presiden memang harus lebih serius lagi memikirkan program ekonominya jika memang ingin merumuskan suatu kebijakan ekonomi yang memihak rakyat miskin. Perdebatan mengenai BLT, apalagi jika itu dimaksudkan sebagai cara untuk membela rakyat miskin, jelas menyesatkan karena beberapa alasan. Pertama, dengan BLT, rakyat tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan ekonomi. Kedua, BLT hanya dimaksudkan sebagai kebijakan ad hock yang bertujuan memperkuat daya beli rakyat miskin untuk jangka waktu tertentu. Ketiga, BLT tidak bersifat permanen. Singkatnya, BLT memang bukan suatu kebijakan ekonomi. Ia hanya implementasi suatu kebijakan ekonomi, dan kebijakan ekonomi tersebut bisa saja tidak berpihak kepada rakyat miskin. Pemerintah bisa saja menggelontorkan banyak dana BLT, tapi tujuan besarnya adalah guna mempertahankan aktivitas ekonomi domestik. Dalam hal ini BLT menjadi instrumental karena dapat memperkuat daya beli rakyat, dan akhirnya ekonomi domestik dapat bergerak.

Jadi, jika para calon presiden ingin dianggap atau dicitrakan berpihak kepada rakyat miskin melalui kebijakan ekonomi, BLT sama sekali bukan alatnya. Mereka harus mau mengerahkan pikirannya untuk merumuskan suatu kebijakan ekonomi yang betul-betul memihak rakyat miskin.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/02/Opini/krn.20090402.161247.id.html

Mari Memilih dengan Rasional

Mari Memilih dengan Rasional


Sejak reformasi bergulir pada 1998 lalu kita telah melakukan berbagai upaya dalam mendemokratisasikan prosedur dan pranata politik negeri ini.


Berbagai perbaikan—yang dulu pada masa Orde Baru hanya tampak hanya sebagai mimpi— telah kita lakukan. Misalnya memilih pemimpin secara langsung, dari wali kota/bupati, gubernur, sampai presiden dan wakil presiden. Kebebasan berkumpul, berekspresi dan berpendapat yang dilindungi konstitusi juga telah dipulihkan dari penyanderaan rezim otoriter.

Daerah pun kian menggebugebu untuk maju melakukan percepatan pembangunan berbasis karakter lokal lewat diloloskannya konsep otonomi daerah.Memang masih banyak kekurangan di sanasini. Namun, pada dasarnya kita patut bersyukur setidaknya fondasi sistem terus diperkuat. Lalu pertanyaan muncul, apakah dengan capaian tersebut lantas Indonesia telah selesai pada titik akhir berdemokrasi?

Apakah demokrasi hanya sebagai tujuan yang hendak dicapai oleh bangsa ini? Tentu sebagai bangsa yang bercita-cita luhur, serempak kita akan menjawab,demokrasi hanyalah sebuah sarana (means) bagi kesejahteraan rakyat. Demokrasi pun akan terus berkembang sesuai kebutuhan rakyat.

Mimpi Kesejahteraan

Satu hal yang selalu menjadi concern semua pihak adalah masalah kesejahteraan. Indonesia yang selalu dielu-elukan sebagai negara kaya ternyata masih belum bisa menarik banyak rakyatnya dari dasar jurang kemiskinan.Namun janganlah kita hanya duduk meratapi ketidakadilan yang terjadi.

Dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta orang,kekayaan sumber daya alam yang melimpah seharusnya banyak yang bisa dilakukan baik per individu maupun melalui negara. Kesejahteraan merupakan mimpi para pendiri bangsa ini dalam memperjuangkan Indonesia merdeka, yang merupakan semangat tertinggi dalam konstitusi kita.

Secara sederhana, Buya Syafi’i Maarif (2009) merumuskan semangat konstitusi ini ke dalam tiga misi kepentingan nasional yang menjadi tugas pemerintah, yaitu; (a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (b) memajukan kesejahteraan umum (c) mencerdaskan kehidupan bangsa.

Buya mengatakan bahwa mayoritas rakyat belum sejahtera dan mudah dibohongi oleh permainan politik para elite. Tak kalah khawatirnya, lokomotif gerakan Reformasi 1998, Amien Rais, mencoba memperingatkan bangsa ini akan bahaya para komprador politik yang terus mengintai melalui janji-janji kesejahteraan ekonomi.Tetapi justru yang dilakukan sebaliknya, proteksi ekonomi kita untuk kesejahteraan rakyat digadaikan dengan munculnya perundang-undangan yang memiskinkan rakyat sendiri.

Lebih lanjut Amien Rais mengatakan Pemerintah Indonesia telah menjadi pelayan asing, banyak aset nasional seperti BUMN dan perbankan secara sistematik berpindah kepemilikan asing. Hutan dan tanah pun disewakan ke korporasi asing sampai hampir 100 tahun. Kekayaan tambang kita, baik migas maupun nonmigas, hampir seluruhnya, dikelola oleh korporasi asing.

Penjajahan ekonomi Indonesia oleh kekuatan korporasi asing itu diberi payung hukum dengan perundang-undangan yang membuat kita garuk-garuk kepala. Memang proses politik sangat erat kaitannya dengan upaya bangsa dalam melakukan percepatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Ketika proses politik tak mampu dikawal untuk melahirkan kepemimpinan yang pro dan tahu kebutuhan rakyat, maka proses politik hanya akan melahirkan pemimpin- pemimpin kerdil yang hanya mementingkan kepentingan sesaat dan tak mampu mengangkat wajah Indonesia dari keterbelakangan. Karena itulah proses pengawalan berdemokrasi menjadi keharusan bila kita ingin segera menuntaskan berbagai persoalan yang telah lama membelit bangsa ini.

Pemilu 2009 sebagai Taruhan

Salah satu hal menarik di setiap jelang pemilu adalah wacana penolakan terhadap proses tersebut oleh sementara kalangan yang biasa disebut golongan putih (golput). Wacana itu menyedot perhatian sekaligus simpati publik, mulai dari tokoh politik, seniman, artis, sampai ulama. Bahkan otoritas ulama terbesar Indonesia yang berhimpun dalam MUI berfatwa mengharamkan golput. Terlepas dari kontroversi yang mengekor dari fatwa tersebut, kita sadar memang golput sama sekali tidak menyelesaikan masalah.

Dengan tidak memilih berarti kita memberikan kesempatan bagi yang paling buruk untuk menang. Kalau kita tidak golput, kita bisa memilih setidaknya yang paling baik dari yang ada (jika kita m e m a n d a n g semuanya buruk, semoga saja tidak). Untuk itu,kita harus lihat akar golput ini sendiri. Setidaknya ada dua hal pemupuk eksisnya golongan itu.

Pertama,pemilu tidak memberikan efek signifikan dalam kehidupan riil masyarakat. Kedua, masyarakat sudah semakin pandai dan kritis.Masih munculnya tokohtokoh lama membuat mereka tak punya pilihan. Apalagi dengan sistem pemilu yang mengharuskan syarat 20% suara legislatif bagi yang akan mencalonkan sebagai presiden, tentu membatasi pilihan masyarakat.

Untuk itu perlu dilakukan upaya masif untuk penyadaran bagaimana pentingnya pemilu ini untuk segala kebijakan politik yang diambil untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Lalu pertanyaannya, apa yang bisa kita lakukan dengan sisa waktu tinggal beberapa hari ini? Jawabannya adalah kerja keras!

Proyek pencerdasan politik bagi pemilih bukan merupakan pekerjaan yang hanya berorientasi saat ini, tetapi memiliki tujuan panjang. Dalam konteks tersebut kita harus melakukan upaya taktis strategis serta sistematis. Upaya taktis strategis dalam Pemilu 2009 dapat dilakukan dalam tiga hal.

Pertama,memberikan informasi mengenai hal-hal teknis dalam Pemilu 2009. Perubahan cara memilih dari mencoblos ke pencontrengan bukan masalah sederhana, ditambah aturanaturan dan tata cara lainnya adalah hal yang perlu diinformasikan kepada masyarakat. Di samping itu,waktu dan tempat pemilihan, serta masalah tidak dipakainya lagi kartu pemilih—bahkan ada menteri yang tidak tahu masalah itu—tidak bisa kita kesampingkan.

Kedua, menentukan pilihan partai dam calon anggota legislatif. Hal ini bukan bersifat arahan,tetapi bagaimana menampilkan sikap rasional para pemilih dalam menentukan pilihannya. Pilihan rakyat harus dilandasi oleh pemahaman yang terbuka tentang apa sesungguhnya persoalan bangsa yang mendesak. Untuk itu kita harus berusaha memberikan pencerahan kepada mereka agar tak menjadi golput karena ketidaktahuan.

Ketiga,proses pengawasan.Adalah tanggung jawab bersama untuk mewujudkan proses pemilu ini berlangsung aman, jujur, dan transparan. Masyarakat harus bersamasama mengawasi proses pemilu sampai perhitungan selesai, kalau perlu meyakinkan bahwa jumlah perhitungan dari TPS, sampai ke tingkat di atasnya tidak ada pemelintiran hasil dan sebagainya. Adapun langkah sistematisnya memberikan pemahaman secara filosofis tentang apa, bagaimana, dan kenapa pemilu diadakan.

Pada kesempatan pemilu tahun ini Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) membuat program “Gerakan Nasional Pemilih Kritis” yang concern utamanya pada sosialisasi dan penyadaran makna dan hakikat pemilihan umum sebagaimana yang diuraikan di atas. Dari beberapa simulasi pencontrengan yang kami laksanakan, hampir 20% dari peserta belum melakukan proses itu secara baik.

Padahal, objek sosialisasi kita adalah mahasiswa.Pertanyaannya, ketika simulasi yang dilakukan pada mahasiswa tingkat kegagalannya cukup tinggi, bagaimana dengan masyarakat kebanyakan yang tinggal di pelosok dan belum secara masif bersentuhan dengan sarana informasi publik?

Untuk itulah gerakan pemilih kritis yang berbasis kepada pemilih adalah langkah yang harus ditempuh, tidak hanya bagi kalangan pemuda dan mahasiswa, tetapi juga langkah yang harus diambil partai politik. Sudah saatnya, meminjam ungkapan Buya Syafi’i,“kata”yang diucapkan para pemimpin negeri ini selaras dengan “laku”yang diwujudkan dalam tindakannya bagi kepentingan bangsa.Wallahu a’lam.(*)

Rusli Halim Fadli
Ketua Umum DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/226520/


Mari Hindari Golput

Hingga hari kita masih disibukkan oleh berbagai masalah persiapan Pemilu 2009. Dari masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT), sosialisasi pencontrengan, hingga logistik membuat kita cemas mengenai kesiapan Pemilu.


Namun, bagaimanapun juga kita harus tetap yakin bahwa Pemilu akan diadakan tepat tanggal 9 April. Jangan me-nunjukkan sikap destruktif dengan meminta penundaan Pemilu. Kita harus mendukung sekaligus mendorong KPU untuk terus bekerja keras dan berusaha untuk dapat menyelesaikan berbagai agenda pemilu sehingga target yang direncanakan dapat dilaksanakan dengan sebaik- baiknya.

Kalau kita lihat, yang menjadi salah satu masalah yang sangat mengkhawatirkan saat ini adalah sosialisasi. Memang tugas itu secara formal ada di pundak KPU.Namun tetap terbuka peluang kepada semua pihak dan instansi terkait bahkan media massa untuk ikut bertanggung jawab melakukan upaya sosialisasi kepada masyarakat. Jangan sampai minimnya sosialisasi ikut menggelembungkan jumlah golput yang sama sekali tak menyelesaikan masalah demokrasi bangsa ini. ***

Selain KPU yang memiliki peran signifikan dalam Pemilu adalah Panwaslu. Lembaga ini harus tegas sekaligus jujur dalam mengawasi tiap penggalan pelaksaan rangkaian pemilu,mulai dari kampanye hingga penentuan kursi anggota legislatif serta pipres nanti.

Namun, masih saja ada Panwaslu yang berpihak sehingga merugikan beberapa pihak.. Misalnya yang saya lihat sendiri adalah yang baru saja terjadi di Ponorogo.Saat itu massa salah satu parpol sudah berkerumun dan dengan penuh antusias untuk mengikuti pidato politik. Sambil mendengarkan musik massa berteriak untuk minta disemburkan air.Saat itu pemadam kebakaran memang sudah disediakan di pojok lapangan.

Namun air tak kunjung disemprotkan ke tengah-tengah kerumunan massa yang semakin membludak. Tak lama ketua panitia kampanye secara lantang menjelaskan kepada massa pendengar bahwa Panwaslu tidak membenarkan pemadam kebakaran melakukan tugasnya menyemprot air untuk membuat suasana menjadi teduh dan massa terlepas dari sengatan matahari.

Panitia secara tegas melayangkan surat protes kepada Panwaslu bahwa ini adalah caracara yang tidak patut karena apapun partainya itu adalah warga Ponorogo yang berhak untuk mendapatkan pelayanan publik. Ada semacam dugaan bahwa Panwaslu tidak membenarkan pemadam kebakaran melakukan tugasnya karena ada invisible hands yang tidak menghendaki suksesnya kampanye kontestan pemilu ini.

Kalau demikian halnya Panwaslu menjadi tidak obyektif dan integritasnya akan terganggu karena apapun kesalahan yang dilakukan oleh kontestan pemilu haruslah di tegur dengan prosedur yang telah diatur. Ini menjadi penting untuk dikemukakan karena ditengarai bahwa terdapat oknum-oknum Panwaslu di lapangan yang tidak steril dari money politic.

Hal ini diduga karena anggaran Panwaslu belum sepenuhnya dicairkan. Kalau demikian halnya maka semua anggaran dan logistik seyogianya tidak boleh menghambat mekanisme untuk melancarkan suksesnya pelaksanaan pemilu. ***

Masyarakat kita menjadi semakin kritis apabila melihat adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama masa kampanye. Bahkan dari pengamatan penulis di beberapa kampanye parpol ada hal yang bersifat mengganggu harmoni anggota masyarakat misalnya ketika melakukan mobilisasi dan konsolidasi massa makanan- makanan yang diberikan adalah tidak layak untuk dikonsumsi.

Bisa saja anggaran yang disediakan oleh pimpinan parpol atau dana yang dikeluarkan oleh caleg terkait di daerah itu sudah cukup memadai. Tetapi karena kurangnya pengawas telah terjadi penyimpangan dan penyunatan dana untuk konsumsi yang kualitasnya mengecewakan. Oleh karena itu pimpinan parpol dan calegcaleg yang ingin memenangkan pemilu memang tidak boleh hanya sekedar percaya kepada aparat pelaksana di lapangan tapi harus melakukan kontrol yang tepat dan ketat.

Tentu tidak boleh juga bersikap arogan sehingga dapat menimbulkan kontra produktif sehingga menyinggung perasaan panitia di lapangan yang sudah bekerja keras siang dan malam. Hal-hal tersebut di atas ini akan dapat mempengaruhi caloncalon pemilih yang menjadi skeptis karena kinerja aparat partai dan perilaku caleg-caleg yang tidak simpatik dapat menjadi bumerang yang tidak diinginkan yaitu, orang tidak berkehendak dan kurang gairah ke TPS untuk memberikan suaranya.

Faktor orang tidak memilih atau apa yang disebut golongan putih (golput) banyak indikasinya. Pertama, memang secara administratif seseorang tidak terdaftar untuk dapat menggunakan hak pilihnya, oleh karena kelalaian petugas atau kemalasan warga yang tidak mengurus kelengkapan administrasinya.

Kedua, kelalaian di tingkat RT/RW yang alpa mengaktualkan data terakhir dari warganya. Sehingga pada saat-saat tahapan pemilu belum tersosialisasikan dengan baik. Ketiga,akibat pencitraan calegcaleg legislatif dan performa parpol yang tidak dapat meyakinkan calon pemilih sehingga orang enggan untuk menjatuhkan pilihannya.

Keempat,pengaruh kinerja aparat pemilu menjadikan ada semacam skeptisme bahwa kalaupun seseorang tidak memilih juga tidak akan mengurangi suksesnya pemilu. Celakanya sikap skeptisme tersebut tidak menyelesaikan masalah. Kelima, tidak dapat dinafikan bahwa banyaknya jumlah parpol membuat sebagian warga menjadi sangat bingung menjatuhkan pilihannya. Apalagi kalau dilatarbelakangi oleh adanya semacam pengaruh doktrin politik yang menjaga jarak dengan kekuasaan. ***

Apapun motifasi warga negara dalam menggunakan hak dan kewajiban sebagai warga negara maka seboleh-bolehnya kita sebagai masyarakat bangsa sedang membangun suatu tradisi dan budaya demokrasi yang lebih baik maka sebaiknya semua warga negara menggunakan hak p i l i h n y a . Mengapa? Karena orang yang menggunakan hak pilihnya sangat berhak untuk ikut menentukan arah politik pembangunan negara.

Sedangkan mereka yang golput adalah tidak fair dan kurang elok untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang baru dan bahkan mengoreksi tingkah pola anggota parlemen yang baru karena dia tidak ikut memilih. Artinya kalau menjadi golput karena memang sudah direncanakan bukan karena kecorobohan administrasi maka patut disayangkan. Indonesia dengan segala kondisi yang sedang dialaminya tetap saja termasuk salah satu negara yang dianggap pionir dalam memajukan demokrasi.

Partisipasi masyarakat masih sangat diharapkan dalam memberikan dukungan terhadap lembaga legislatif dan eksekutif dimasa mendatang. Patut diakui bahwa media massa kita seungguhnya telah memberikan ruang publik (public sphere) kepada masyarakat sehingga masyarakat bangsa ini mempunyai cukup keleluasaan untuk mengekspresikan aspirasinya.

Di sisi lain ruang publik (Jurgen Habermas, 1987) menjadi sia-sia kalau tidak digunakan sebaik-baiknya oleh warga negara untuk ikut memberikan kontribusi pemikiran kepada penyelenggara pemerintahan yang demokratis. Adalah tanggung jawab media pula untuk menyediakan ruang yang memungkinkan semua saran dan kritik dari masyarakat dapat diteruskan kepada pengambil keputusan.

Begitu pun media harus mampu memberikan optimisme agar masyarakat bangsa lebih percaya diri menghadapi masa depannya. Bagi anggota legislatif sejatinya berjuanglah secara jujur.Fairdan ama nah sehingga anda akan dipilih menjadi anggota legislatif. Sedangkan bagi yang kalah bukan berarti dunia sudah kiamat, anda sudah mencoba, next time wil be better.(*)

ProfBachtiarAly
Pengamat Politik


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/226519/

Sepuluh Kearifan Krisis

Sepuluh Kearifan Krisis

Rhenald Kasali

Belakangan ini terasa benar adanya frustrasi di masyarakat. Setiap kali kesulitan, kita seperti ingin cepat menyerah, seakan- akan sudah demikian gawat dan genting.

Kata gawat, genting, atau kemelut adalah terjemahan yang diberikan John M Echols dan Hassan Shadali dari kata bahasa Inggris, crisis.

Maka, setiap hari begitu mudah kita temui kata krisis. Mulai dari krisis demam berdarah sampai flu burung; dari pangan sampai gula dan pupuk; dari transportasi dan logistik sampai, BBM, listrik, dan air bersih; dari pendidikan dan moral sampai moneter dan keuangan global.

Pemaknaan ini berbeda dengan cara bangsa lain memaknai krisis. Di Amerika Serikat, krisis ditafsirkan sebagai titik belok yang menuntut terjadinya perubahan untuk menjadi lebih baik atau lebih buruk. Di China, krisis merupakan gabungan dari dua kata: bahaya dan kesempatan.

Benarkah krisis pembawa bencana, hantu pencabut nyawa yang membuat kita menyerah?

Indonesia butuh krisis

Saya menolak anggapan bahwa kita harus jauh dari krisis. Sepanjang sejarah, kita menyaksikan bangsa-bangsa besar dibentuk oleh ancaman dan krisis. Jepang, Korea Utara, negara-negara Eropa dan AS, serta Israel adalah contohnya. Bangsa Indonesia sebaliknya, kita dikaruniai alam indah, tanah subur, cahaya matahari berlimpah, dan sumber daya alam tak terkira.

Tanpa ada krisis, kita akan menjadi bangsa yang malas, hanya mengulang-ulang apa yang sudah dilakukan, terperangkap tradisi, mudah puas diri, tak berinisiatif, akhirnya frustrasi menjadi pengutang tak berdaya.

Jadi, krisis keuangan global yang menghantui kita ini adalah baik bagi semua. Baik bagi presiden dan gubernur bank sentral agar lebih berani serta cepat bertindak dan mengambil keputusan. Baik bagi para menteri agar lebih berpikir dan mementingkan bangsa dalam bekerja. Juga baik bagi birokrat agar lebih mengutamakan rakyat. Baik bagi pemerintah daerah agar tidak menjadikan perizinan usaha sebagai pendapatan asli daerah. Baik bagi pengusaha agar lebih lincah bergulat dalam kesulitan serta lebih efisien dan inovatif, serta baik bagi aktivis agar tidak melulu mengedepankan konflik.

Namun, krisis jelas tidak baik bagi media massa, politisi busuk, dan para pemimpin oposisi yang terus menyuarakan konflik dan kebencian.

Krisis dan perubahan

Setidaknya ada sepuluh pelajaran yang dapat dipetik dari krisis keuangan global saat ini, dimulai dengan hubungan antara krisis dan perubahan.

Pertama, krisis selalu terjadi jika makhluk hidup gagal beradaptasi atau perilakunya melawan (resisten) terhadap perubahan. Krisis melanda AS saat pemimpin dan penguasanya gagal merespons aneka tuntutan baru, sama seperti yang kita alami tahun 1997-1998. Inertia yang demikian kuat tak memungkinkan perubahan dari dalam, sampai Tuhan semesta alam mengirimkan ”bantuan perubahan” berupa krisis. Di Indonesia, sepanjang 2006-2008 banyak orang menyangkal dan menahan perubahan. Jika sistem tak memungkinkan mereka melakukan evolusi, mereka dapat menerima hukuman dalam bentuk krisis.

Kedua, kendati pasar domestik tetap kuat dan pengaruh pasar internasional serta investasi asing di Indonesia hanya 10-20 persen, apakah bijak mengatakan krisis ini tidak ada di sini? Masalahnya, pemerintah yang berkuasa masih bekerja seperti biasa dan reformasi birokrasi tidak berjalan sehingga eksekusi pembangunan masih amat lamban.

Ketiga, kendati sasaran nasihat-nasihat ekonomi makro ditunjukkan kepada pemerintah, apakah bijak menyajikan fakta- fakta krisis terus-menerus kepada khalayak umum? Alih-alih menasihati pemerintah, yang takut justru dunia usaha dan konsumen yang berpotensi menahan investasi dan konsumsi sehingga mempercepat terjadinya resesi.

Keempat, krisis tidak hanya menghancurkan daya beli, tetapi juga memudarkan harapan dan aneka keinginan sehingga melemahkan pelaku usaha yang dominan. Selain sulit, keadaan ini sebenarnya menjanjikan kesempatan untuk merebut posisi dalam persaingan karena banyak pemain asing yang limbung kehilangan rasa percaya diri.

Kelima, ada pasar dan segmen yang hilang, tetapi juga ada pasar yang tiba-tiba muncul. Perjalanan wisata ke Eropa dan AS turun, beralih ke dalam negeri. Demikian pula dengan barang-barang lux, otomotif, dan makanan, terjadi pergeseran sehingga ada pasar yang hilang dan ada yang tiba-tiba muncul.

Keenam, saat jalan terasa enak, itu pertanda kita sedang menurun dan, sebaliknya, saat terasa berat, itu pertanda kita sedang mendaki ke atas.

Ketujuh, krisis bukan saat yang tepat untuk mengetatkan aturan. Ia butuh ruang gerak dan fleksibilitas. Krisis menuntut relaksasi constraint.

Kedelapan, krisis adalah saat tepat berinvestasi. Kala ekonomi membaik, itu saat memanen.

Kesembilan, tugas pemimpin adalah memelihara optimisme. Namun, bukankah orang yang optimistis dan positif pada masa krisis sering dianggap orang yang tidak kritis? Bagi sebagian besar elite, pemimpin yang kritis adalah mereka yang negatif dan pesimistis.

Kesepuluh (terakhir), meski manusia melihat dengan mata, mereka lebih percaya melalui pikiran, yaitu pikiran yang dibentuk oleh ulasan dan data yang tak terlihat. Untuk kondisi Indonesia ada kenyataan, krisis yang dilihat melalui kasatmata (baca: tidak ada krisis) amat berbeda dengan krisis yang kita lihat melalui data, kajian, dan ulasan para ahli (baca: keadaan sudah genting).

Keduanya (mata dan pikiran) harus digunakan secara simultan guna meraih kecerdasan dan keberanian bertindak. Namun, di era krisis global kali ini, tampak keduanya berseberangan jalan sehingga krisis keuangan global mengacaukan pikiran.

Saya tidak berpretensi apa-apa dengan menyatakan seolah krisis tidak ada atau, sebaliknya, krisis sudah gawat. Apa pun bentuknya, berbagai ancaman atau kegentingan, ada baiknya untuk memperbarui kesejahteraan, cara berpikir, dan cara mengelola Republik Indonesia. Tak penting betapa besar kerugian yang Anda alami, yang lebih penting adalah apa yang dapat kita pelajari dari krisis itu sendiri.

Rhenald Kasali Pengajar di Universitas Indonesia



http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/04/02360712/sepuluh.kearifan.krisis

Atmakusumah: Ada Keraguan untuk Memberikan Kebebasan Pers

Atmakusumah: Ada Keraguan untuk Memberikan Kebebasan Pers
JAKARTA - Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo di Jakarta, Atmakusumah Astraatmadja, mengatakan ada keraguan untuk memberikan kebebasan pers di kalangan lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal itu tecermin dari berbagai peraturan yang dibuat, yang kebanyakan bertujuan menghambat kebebasan pers.

"Persoalannya adalah keraguan untuk memberikan kebebasan pers," kata Atmakusumah dalam diskusi "Hukum Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan Pers", yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen, Article 19, United States Agency International Development, dan Democratic Reform Support Program, di Jakarta kemarin.

Menurut dia, keraguan ini muncul karena, selama dua generasi, masyarakat tidak pernah merasakan kebebasan yang sesungguhnya. Sehingga pasal-pasal pencemaran nama baik dan pasal-pasal represif lainnya tetap dipertahankan. Ironisnya lagi, Atmakusumah melanjutkan, revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) justru jauh lebih represif terhadap wartawan dibandingkan dengan KUHP yang dibuat oleh kolonial Belanda.

Ia menjelaskan, pada KUHP warisan kolonial Belanda, ada 35 pasal yang dapat memenjarakan wartawan dan hukumannya paling lama tujuh tahun penjara. Namun, dalam revisi KUHP, jumlahnya 60 pasal dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara. "Revisi ini tiga kali lebih berat daripada KUHP kolonial Belanda," ujarnya.

Pengacara Todung Mulya Lubis menilai pemerintah dan penegak hukum sedang melakukan politik dua muka dalam menyikapi kebebasan pers. Ironisnya, masyarakat pers juga terpecah belah dalam menyikapi kebebasan pers dan Undang-Undang tentang Pers sebagai lex specialis. "Kebebasan pers Indonesia saat ini berada dalam situasi ambivalen," ujarnya dalam diskusi tersebut.

Menurut pengacara dari International Federation of Journalist Asia-Pacific, Jim Nolan, pencemaran nama baik memang menjadi masalah utama di kawasan Asia Tenggara, seperti Filipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia, Kamboja, dan Timor Leste. "Ini terutama berkaitan dengan sistem hukum yang diterapkan di negara-negara tersebut," ujarnya dalam diskusi tersebut. MARIA HASUGIAN

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/04/Nasional/krn.20090404.161490.id.html

Hitung, Pindai, dan Kirim Via E-mail

Hitung, Pindai, dan Kirim Via E-mail
Berkas penghitungan suara di TPS akan dipindai. BPPT membantu merancang hingga mengamankan jaringan data.
Husni Fahmi dan rekan-rekannya dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sejak bulan lalu bergiliran ke daerah. Mereka melakukan gladi pelaksanaan penghitungan suara untuk pemilihan umum legislatif, 9 April. Gladi tersebut dilaksanakan di Medan, Palembang, dan Denpasar yang diikuti utusan Komisi Pemilihan Umum daerah.

“Untuk pemilu kali ini, komputer dan server tetap menggunakan peralatan yang sama digunakan waktu Pemilu 2004,” kata Husni, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi KPU Husni Fahmi. Peralatan baru adalah server storage dan server blade. Selain itu, mereka menambah pemindai dan peranti lunak pengolah hasil perolehan suara. Pemindai ini tidak ada pada Pemilu 2004.

Komisi Pemilihan Umum memang melibatkan BPPT pada pemilu kali ini. Nota kesepahaman itu ditandatangani oleh Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary dan Kepala BPPT Marzan A. Iskandar pada 12 Maret lalu. Abdul Hafiz berharap dengan bantuan dari BPPT, informasi tentang hasil penghitungan suara pemilu legislatif dapat tersaji dengan baik. "Kami yakin melalui bantuan ini, kita dapat memenuhi keinginan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang cepat," katanya.

BPPT menerjunkan 25 pegawainya untuk melaksanakan implementasi teknologi informasi ini. “Mereka membantu KPU dalam menyusun rancangan sistem integrasi, pemeliharaan data center, perangkat jaringan dan keamanan, dan jaringan data,” kata Marzan. Tim ini juga mempersiapkan pengambilan data dari KPU kabupaten/kota yang diperoleh melalui pemindaian. Setelah itu, menyampaikannya ke pusat data untuk kemudian ditayangkan melalui Internet.

Pada pemilu kali ini, hasil perolehan suara dari semua TPS akan dibawa ke kabupaten. Di sini dilakukan proses penghitungan suara dengan komputer. Berkas C1-IT, yang berisi perolehan suara TPS yang terdiri atas delapan lembar, akan dipindai di kabupaten. “Software Intelligent Character Recognition (ICR) akan mengenali gambar dan mengenalinya dalam bentuk angka," ujar Husni dari BPPT.

Proses pemindaian oleh ICR akan memverifikasi huruf dan angka serta mengenali jika ada kesalahan. Setelah itu, hasilnya disimpan dalam 10 file. Delapan file berupa gambar, satu file berupa teks, dan satu file berisi koreksi kesalahan.

Kesepuluh file yang juga memuat nama operator diringkas dalam format zip dan dikirim ke KPU pusat. Tapi, sebelumnya, masih ada proses “water marking” untuk menandai file tersebut sehingga KPU pusat akan mengetahui apakah sebuah file asli atau tidak.

Lalu masih ada juga proses autentifikasi, enkripsi, dan baru kompresi file menjadi zip sebelum akhirnya dikirim melalui jaringan Virtual Private Network (VPN). Ini adalah jaringan Internet tertutup yang disediakan PT Telkom untuk lalu lintas pengiriman data selama pemilu.

Jaringan VPN bisa diakses di setiap kabupaten. Di sini juga tersedia komputer, alat pemindai, dan ICR yang disediakan oleh KPU. Sampai pekan ini, kata Husni, semua jaringan sudah terhubung dengan KPU pusat. Hanya dua jaringan di Kabupaten Puncak Jaya, Papua, yang belum terhubung karena kendala geografis.

Setelah data dikirim ke KPU pusat, data tersebut didekompresi, dienkripsi, lalu diperiksa autentifikasinya apakah asli atau tidak. Kalau data ini valid, akan langsung masuk ke database server KPU. Sementara itu, data yang tidak valid akan masuk ke database khusus. Hasil rekapitulasi dari perolehan suara tadi dibuatkan versi HTML-nya untuk penayangan di situs secara berkala. Lalu dikopikan ke server untuk bisa diakses oleh pengguna Internet.

Husni tidak menjelaskan berapa anggaran yang dikeluarkan untuk membangun sistem ini. “Tanya KPU, kami cuma pelaksana,” ujarnya. Pada Pemilu 2004, anggaran untuk teknologi informasi sebesar Rp 312 miliar.

Menurut Husni, masa persiapan yang cuma satu bulan akan banyak menghadapi gangguan teknis, misalnya persoalan dengan peralatan pemindai yang mungkin ngadat, atau kesalahan teknis yang terjadi ketika memasukkan data. Timnya sudah menyiapkan helpdesk, semacam call center di KPU pusat yang berjumlah 15 orang untuk tiga giliran atau shift.

Soal keamanan Internet, Husni berkoordinasi dengan komunitas keamanan Indonesia. Mereka bergabung untuk mencegah lalu lintas jaringan penghitungan suara diganggu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. KARTIKA CANDRA



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/04/iTempo/krn.20090404.161425.id.html