Bantuan Tunai Langsung, Pro-Rakyat Miskin?
Wahyu Prasetyawan
Doktor ekonomi-politik, lulusan Universitas Kyoto, Jepang
Bantuan langsung tunai (BLT) atau dalam buku teks ekonomi dikenal sebagai cash transfer dalam musim kampanye ini mendadak terkenal. Hampir sebagian besar calon presiden menjadikannya salah satu tema kampanye. Bahkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati Soekarnoputri, dan Prabowo Subianto sempat “berbalas pantun” mengenai BLT ini, dengan posisi politik yang amat kontras. Sebagai presiden, SBY tentunya membela kebijakan BLT, sementara Megawati dan Prabowo mengkritik pola penyaluran dan keberadaan BLT.
Walaupun debat para calon presiden mengenai BLT cukup memperlihatkan perhatian mereka atas isu ekonomi, ini sama sekali bukan isu pokok dalam ekonomi. Akan jauh lebih melenceng lagi jika para calon presiden tersebut hanya mengandalkan BLT sebagai indikator ekonomi yang membela kepentingan rakyat miskin (pro-poor). Kenapa BLT mendadak menyeruak dalam debat ekonomi belakangan ini? Jejak-jejaknya bisa dilacak saat krisis ekonomi satu dekade lalu terjadi di sini, dan pemerintah merasa perlu memperkuat daya beli masyarakat. Krisis ekonomi membuat daya beli masyarakat, terutama mereka yang berada di dekat garis kemiskinan, menjadi amat rentan.
Hampir bersamaan dengan BLT, kosakata kebijakan ekonomi di sini juga berubah. Pada periode 1950-an hingga 1980-an kosakata kebijakan ekonomi adalah proses trickle-down effect yang dipercaya sebagai jalan untuk membantu masyarakat miskin. Namun, pada periode berikutnya, kebijakan yang mengutamakan trickle-down effect ini sudah tidak dilanjutkan lagi karena memang terbukti tidak cukup manjur mengurangi jumlah rakyat miskin. Ketika krisis ekonomi terjadi di Indonesia pada 1997, pemerintah beserta donor internasional mendapat kesempatan mengadopsi pendekatan baru dalam kebijakan pertumbuhan ekonomi yang didesain untuk membela kepentingan rakyat miskin. Kebijakan ini dikenal sebagai pro-poor growth.
Karakteristik kebijakan ekonomi pro-poor growth mencakup beberapa hal. Pertama, kebijakan ekonomi yang dengan sengaja memberikan penekanan terhadap rakyat miskin sehingga rakyat miskin mendapat manfaat yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok masyarakat kaya. Kedua, menghilangkan kelembagaan-kelembagaan yang membatasi keterlibatan rakyat miskin. Rakyat miskin memerlukan kelembagaan yang dapat memberi mereka akses yang cukup untuk dapat terlibat dalam kegiatan ekonomi. Salah satu unsur yang mendasar adalah akses atas modal dan pendidikan. Ketiga, adopsi kebijakan ekonomi yang secara langsung berpihak kepada rakyat miskin.
Dasar pemikiran kebijakan ekonomi yang berpihak kepada rakyat miskin sudah banyak dikemukakan oleh para ekonom. Namun, ekonom yang paling memberikan perhatian kepada rakyat miskin adalah Amartya Sen. Bagi Sen, masalah kemiskinan bukan semata pengurangan jumlah rakyat miskin, namun yang jauh lebih mendasar adalah masalah kemanusiaan itu sendiri. Bagi Sen, kemanusiaan itu mencakup dua hal penting: fungsi dan kemampuan. Fungsi merujuk pada capaian dan kemampuan mengacu pada kebebasan yang dimiliki individu, termasuk rakyat miskin, untuk mencapai tujuan hidupnya. Maka, tidak mengherankan jika Sen berpendapat kebijakan ekonomi yang berpihak kepada rakyat miskin ditandai dengan kemampuan kebijakan tersebut membuka kesempatan bagi rakyat miskin terlibat dalam kegiatan ekonomi. Dengan cara ini, rakyat miskin akan memiliki pilihan untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi.
Setelah mempertimbangkan beberapa karakteristik yang wajib dimiliki oleh kebijakan ekonomi pro-poor growth, apakah BLT secara serta-merta dapat dikatakan sebagai kebijakan ekonomi yang membela kepentingan rakyat miskin? Jawabannya hampir pasti tidak, karena BLT hanya merupakan satu bagian kecil dari kebijakan ekonomi yang mungkin saja membela kepentingan rakyat miskin. BLT masih jauh untuk dapat dikatakan sebagai kebijakan ekonomi yang memihak rakyat miskin.
Jadi sebaiknya para calon presiden memang harus lebih serius lagi memikirkan program ekonominya jika memang ingin merumuskan suatu kebijakan ekonomi yang memihak rakyat miskin. Perdebatan mengenai BLT, apalagi jika itu dimaksudkan sebagai cara untuk membela rakyat miskin, jelas menyesatkan karena beberapa alasan. Pertama, dengan BLT, rakyat tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan ekonomi. Kedua, BLT hanya dimaksudkan sebagai kebijakan ad hock yang bertujuan memperkuat daya beli rakyat miskin untuk jangka waktu tertentu. Ketiga, BLT tidak bersifat permanen. Singkatnya, BLT memang bukan suatu kebijakan ekonomi. Ia hanya implementasi suatu kebijakan ekonomi, dan kebijakan ekonomi tersebut bisa saja tidak berpihak kepada rakyat miskin. Pemerintah bisa saja menggelontorkan banyak dana BLT, tapi tujuan besarnya adalah guna mempertahankan aktivitas ekonomi domestik. Dalam hal ini BLT menjadi instrumental karena dapat memperkuat daya beli rakyat, dan akhirnya ekonomi domestik dapat bergerak.
Jadi, jika para calon presiden ingin dianggap atau dicitrakan berpihak kepada rakyat miskin melalui kebijakan ekonomi, BLT sama sekali bukan alatnya. Mereka harus mau mengerahkan pikirannya untuk merumuskan suatu kebijakan ekonomi yang betul-betul memihak rakyat miskin.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/02/Opini/krn.20090402.161247.id.html
Bantuan Tunai Langsung, Pro-Rakyat Miskin?
Written By gusdurian on Sabtu, 04 April 2009 | 14.58
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar