BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Beda Penyelidikan dari Penyidikan

Beda Penyelidikan dari Penyidikan

Written By gusdurian on Sabtu, 04 April 2009 | 15.24

Beda Penyelidikan dari Penyidikan
Adrianus Meliala
KRIMINOLOG UNIVERSITAS INDONESIA

Berbicara tentang penegakan hukum, hampir sepenuhnya akan menyinggung soal penyelidikan dan penyidikan. Nah, ketika pelaku utamanya, yakni polisi, ternyata berbeda pendapat secara amat tajam soal apa yang disebut sebagai penyelidikan dan apa itu penyidikan, wajar apabila kita sebagai masyarakat menjadi semakin bingung.

Di pengujung Maret ini Kepolisian RI memang kembali menjadi buah bibir. Masalahnya, kali ini bukan karena prestasi personel Polri mengungkap kejahatan, melainkan karena adanya perwira tinggi yang bersikap nyeleneh atau lain daripada yang lain. Biasanya anggota Polri tutup mulut saja saat menemukan ketidakberesan, bahkan yang menimpa dirinya sekalipun. Tapi Herman memilih buka suara. Di pengujung kariernya, ia memilih secara sepihak mengundurkan diri beberapa saat lebih cepat sebelum waktu pensiun tiba.

Hal itu terkait dengan apa yang dianggapnya intervensi Markas Besar Polri sehubungan dengan pengubahan status penyidikan menjadi penyelidikan oleh Mabes Polri terkait dengan kasus daftar pemilih tetap (DPT) saat pilkada di Jawa Timur beberapa waktu yang lalu. Hal itu terjadi segera setelah dirinya menyerahkan jabatan Kapolda. Tak urung, Herman mengaitkan serah-terima jabatan tersebut dengan rencana Mabes Polri memuluskan pengubahan status tersebut.

Dari titik ini timbul pertanyaan besar buat kita selaku anggota masyarakat, bahwa ternyata ada juga kasus-kasus yang memunculkan perbedaan, atau bahkan pertikaian (dispute), pendapat yang tajam di antara sesama anggota Polri perihal kapan menghentikan penyelidikan dan memulai penyidikan. Dalam tulisannya di harian Kompas (23 Maret 2009), Profesor Indriyanto Senoadji menyatakan bahwa, "...dikembalikannya data/bahan yang dianggap kurang sebagai alat bukti oleh penyidik pada proses quatie inquiry…masih dalam status penyelidikan yang tidak dapat diartikan penurunan degradasi penyidikan kepada penyelidikan sebagai bentuk intervensi politik."

Secara teoretis dan normatif, penulis sependapat bahwa degradasi penyidikan menjadi penyelidikan memang hal yang mungkin saja terjadi. Tetapi, bagaimana dalam prakteknya? Kembali pada kasus Herman, menurut saya, adalah hal yang wajar apabila yang bersangkutan amat gusar dinyatakan salah bertindak. Bayangkan, untuk kasus sepenting itu, pastilah lebih dari seorang yang terlibat menangani kasus tersebut. Dan ada kemungkinan, Kapolda adalah pihak terakhir yang dimintai persetujuan sebelum menaikkannya memasuki tahap penyidikan dan mentersangkakan pihak yang mungkin sebagai pelakunya.

Mengingat ternyata Mabes Polri berpendapat sebaliknya, pantaslah bila kita bertanya apakah penyidik-penyidik di Jawa Timur sedemikian bodohnya (termasuk Kapolda, tentu) sehingga mereka tidak bisa membedakan mana alat bukti yang cukup dan mana yang tidak cukup sebelum menaikkan gradasi status hukum suatu kasus. Kemungkinan lain adalah, semasa Herman menjadi Kapolda, terjadi situasi kediktatoran di mana penyidik yang seharusnya mandiri tidak ada yang berani berpendapat berbeda. Semua mengiyakan saja walau sebenarnya kasus DPT ini tidak layak sidik.

Kiranya, bukan suatu hal yang berlebihan apabila kita mengimbau Polri agar tidak lagi bermain-main dengan kewenangannya perihal penyelidikan dan penyidikan. Selain akan menambah kebingungan masyarakat, hal itu akan memperburuk citra Polri. Pengetahuan mengenai penyelidikan dan penyidikan dewasa ini praktis diajarkan di semua lembaga pendidikan kepolisian, baik tingkat Sekolah Polisi Negara maupun di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Dan bisa dipastikan, bukan hanya bahan ajarnya yang kurang-lebih sama, tapi cara melihat dan memperlakukannya juga sama. Singkatnya, personel Polri yang kini hampir mencapai 400 ribu orang ini sesungguhnya memiliki guru yang sama dan ajaran yang sama pula. Dengan demikian, menjadi wajar apabila kemudian terdapat konsensus yang tinggi mengenai kedua fase hukum tersebut. Kasus Herman, dengan demikian, bukanlah kasus yang wajar mengingat antara Mabes dan Satwil ternyata timbul perbedaan amat tajam.

Bandingkan dengan isu “kemandirian penyidik”. Sejauh ini ada kalangan yang mengartikannya sebagai kewenangan yang dimiliki seorang penyidik atau pembantu penyidik guna menangani kasus menurut keyakinannya. Tetapi ada pula pendapat yang melihat bahwa, walau bagaimanapun, si penyidik pada saat yang sama juga berada dalam struktur hierarki kepolisian sehingga perlu (minimal) mendengar pendapat pimpinannya.

Katakanlah perbedaan tajam tersebut memang harus terjadi. Pertanyaannya sekarang, bagaimana menegakkan akuntabilitas dari pihak yang dianggap salah bertindak saat menangani perkara: apakah dengan cara pencopotan (yang pada dasarnya adalah tindakan manajerial) ataukah membawa kasus ini ke sidang komisi kode etik? Dalam tulisan di harian Kompas (Sabtu, 21 Maret 2009), penulis menyarankan agar opsi kedualah yang diambil oleh Mabes Polri terkait dengan personel Polri yang salah mempergunakan haknya.

Untuk perbandingan, lihat contoh yang satu ini: seorang dokter salah menangani kasus medis yang menjadi tanggung jawabnya. Untuk itu, sang dokter tidak buru-buru dihukum (antara lain dengan cara diberhentikan), tetapi yang penting adalah mencari kejelasan perbuatan itu: apakah suatu malpraktek atau suatu kealpaan yang sudah masuk ranah pidana. Apakah sang dokter kemudian akan mengumbar bicara ke media? Tentu saja tidak, karena dia tahu akan memperoleh pengadilan yang adil.



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/03/Opini/index.html
Share this article :

0 komentar: