BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Tidak Rasional Penentuan Kursi melalui Pengundian

Tidak Rasional Penentuan Kursi melalui Pengundian

Written By gusdurian on Sabtu, 04 April 2009 | 15.24

Tidak Rasional Penentuan Kursi melalui Pengundian

KPU hanya mau gampangnya. Nasib orang, kok diundi.

M ESKI memiliki le gitimasi hukum, penetapan calon anggota legisla tif (caleg) dengan cara diundi dinilai tidak rasional.
"KPU cuma mau ambil cepatnya saja. Menentukan nasib orang kok melalui undian. Itu tidak bisa dipahami," tegas pakar hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra saat dihubungi, kemarin.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) gencar menyosialisasikan Peraturan KPU No 15/2009 tentang Penghitungan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih, dan Penggantian Calon Terpilih DPR, DPD, dan DPRD hasil Pemilu 2009.

Terdapat hal krusial dalam peraturan itu, yakni tentang pengundian perolehan kursi bagi partai politik yang memperoleh suara sama.

Probabilitas perolehan suara sama memang sangat kecil, tetapi bukan tidak mungkin hal itu terjadi.

Peraturan KPU No 15 tersebut merupakan penjabaran atas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penen tuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Menurut anggota KPU Endang Sulastri, Perppu No 1/2009 tidak meng akomodasi ketentuan mengenai penentuan calon terpilih. Di lain sisi, KPU tidak bisa serta-merta menjabarkan suara terbanyak.

Dalam penjelasannya, Endang menggunakan data Pemilu 2004 sebagai contoh penentuan calon terpilih dalam Pemilu 2009. Pada 2004, suara sah nasional berjumlah 113.462.414. KPU memilah perolehan suara setiap parpol, lalu dibuat persentasenya dengan cara, suara nasional setiap parpol dibagi suara sah nasional dikalikan 100%.

Selanjutnya, diseleksi parpol mana saja yang berhak mendapat kursi DPR sesuai ketentuan parliamentary threshold (PT) 2,5% dari suara sah nasional. Bila mengacu pada hasil Pemilu 2004, hanya delapan parpol yang berhak menempatkan wakilnya di Senayan, yakni PBB, PD, PPP, PAN, PKB, PKS, PDIP, dan Golkar. Namun, ketentuan PT tidak berlaku bagi pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. "Namun, ini hanya contoh. Hasil Pemilu 2009 kan kita belum tahu," ujar Endang.

Setelah mengetahui jumlah parpol yang lolos PT, KPU kemudian menghitung bilangan pembagi pemilih (BPP) untuk mengetahui nilai atau harga satu kursi di setiap dapil.

Sebagai contoh, NAD I mendapat kuota enam kursi. Total suara sah adalah 1.149.898 dan dikurangi total suara sah partai yang tidak lolos PT sebanyak 342.767. "BPP DPR dapil NAD I adalah 134.521 suara."

Setelah itu, KPU menentukan pembagian kursi bagi delapan parpol yang lolos PT. Penyaringan pertama dilakukan dengan melihat partai mana yang jumlah suara sah di daerah tersebut melebihi ambang batas BPP. Ternyata hanya ada satu partai. Berarti, masih ada lima kursi yang diperebutkan di pembagian tahap kedua. Parpol yang berhak adalah yang sisa suaranya sekurangkurangnya 50% dari BPP.

Berdasarkan contoh di atas, 50% berarti 67.262. Ternyata, hanya dua parpol yang penuhi syarat. Berarti masih ada tiga kursi yang belum terdistribusikan sehingga harus ditarik ke tingkat provinsi.

Bila dalam pembagian kursi tahap ketiga di provinsi ada partai yang memperoleh suara sama, pembagian kursi dilakukan melalui pengundian, karena sulit melacak sebaran perolehan suara parpol di setiap dapil. (NJ/KN/P-6) dinny@mediaindonesia.com



http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/03/ArticleHtmls/03_04_2009_004_007.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: