BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Bukan Salah Hujan

Bukan Salah Hujan

Written By gusdurian on Sabtu, 04 April 2009 | 15.05

Bukan Salah Hujan
Peneliti LIPI dan BPPT menyatakan bobolnya tanggul Situ Gintung disebabkan oleh rusaknya tanggul.
BANDUNG - Curah hujan yang ekstrem tidak bisa dituding sebagai penyebab utama jebolnya tanggul Situ Gintung. Edi Prasetyo Utomo, peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bandung, menyatakan bahwa curah hujan yang jatuh sehari sebelum bencana itu terjadi jauh di bawah intensitas hujan yang membuat Jakarta terendam banjir besar pada 2007.

Dalam keterangan pers di gedung Pusat Penelitian Geoteknologi Bandung, Selasa lalu, Edi memaparkan data curah hujan yang dicatat Automatic Rainfall Gauge (ARG) di dekat hulu Sungai Pesanggrahan hanya tercatat 22,6-22,8 milimeter per hari pada 26 Maret 2009. Angka itu tak setinggi curah hujan pada 2 Maret 2007 yang mencapai 158,4 milimeter per hari.

Alat pengukur curah hujan yang terpasang di Kompleks Villa Bogor Indah, sekitar 1,6 kilometer dari hulu Sungai Pesanggrahan itu, juga mencatat bahwa pada 22 Maret atau lima hari sebelum tanggul jebol, curah hujan yang jatuh di daerah itu mencapai 51 milimeter per hari. "Sebelumnya ada yang yang lebih besar, tidak apa-apa," kata Edi. "Itu artinya rusak atau bocor sedikit demi sedikit, tapi tidak termonitor."

Berdasarkan hasil pencatatan alat itu, Edi memastikan penyebab jebolnya tanggul adalah retakan atau rekahan pada tanggul yang semakin banyak atau semakin besar.

Prediksi Edi tersebut serupa dengan kesimpulan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Institusi itu menyimpulkan jebolnya tanggul Situ Gintung disebabkan oleh erosi buluh. Hasil pengkajian ulang hasil survey kualitas air pemanfaatan waduk serapan yang dilakukan Desember tahun lalu menunjukkan adanya erosi.

Dokumentasi yang dilakukan tim BPPT pada 5 Desember 2008 menunjukkan adanya erosi buluh atau piping pada struktur spillway atau pintu air. Erosi buluh terjadi secara alamiah, tidak dipengaruhi oleh ukuran tua atau mudanya usia tanggul. Air selalu mencari titik-titik celah rendah, sumber celah tersebut dapat dideteksi dengan teknologi isotop.

"Titik sekecil rambut pun akan dialiri, ketika volume air naik, daya dorongnya menjadi kuat sehingga bisa menggerus dasar tanggul," kata Kepala Bidang Mitigasi Bencana Sutopo Purwo Nugroho dalam jumpa pers, Selasa lalu. Adanya celah-celah kecil tersebut diindikasikan dengan munculnya sejumlah mata air di sekitar tanggul.

Tim BPPT juga menyatakan hujan bukanlah faktor utama penyebab jebolnya tanggul. Curah hujan saat itu mencapai 113,2 milimeter per hari. Curah hujan itu jauh lebih sedikit jika dibanding pada 1 Februari 2007 maupun 10 Februari 1996, saat Jakarta mengalami banjir besar dengan curah hujan masing-masing mencapai 275-300 milimeter per hari dan 180 milimeter per hari. "Tapi waktu itu tanggul tidak jebol," kata Sutopo.

Sutopo menyatakan curah hujan hanya pemicu karena volume air naik secara cepat sehingga limpas dari spillway. Selain itu, berdasarkan sistem hidrologi, jebolnya tanggul juga tidak ada kaitannya dengan penggunaan lahan di kawasan hulu daerah aliran Sungai Pesanggrahan.

Edi berulang kali menegaskan bahwa dia tidak bermaksud menyudutkan otoritas atau pihak tertentu dalam tragedi Situ Gintung. Sebagai seorang peneliti yang kebetulan mengetahui pengelolaan dam tipe uruk seperti Situ Gintung dan hampir semua waduk lain di Indonesia, dia merasa ada yang kurang dalam keterangan yang diberikan oleh pemerintah.

"Data curah hujan tidak muncul dalam rilis, berarti memang tidak pengukuran khusus untuk wilayah itu," ujarnya. "Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memang bagus, tapi terlalu umum."

Tidak adanya data yang jelas tentang pemantauan dan perawatan Situ Gintung menunjukkan belum adanya tradisi untuk merawat tanggul di Indonesia. Bentuk pemantauan dan perawatan dam menyangkut sistem daerah aliran sungai, kondisi curah hujan, dan perawatan hulu sungai, termasuk penghijauan. Jika informasi itu tidak lengkap, sulit dipercaya jika ada lembaga yang menyatakan kondisi dam dalam keadaan baik. "Tidak ada data kondisi waduk artinya tidak ada perawatan," katanya.

Meski tidak pernah secara khusus meneliti dam di Indonesia, Edi pernah melakukan penelitian untuk mendeteksi kebocoran sebuah dam tipe urukan di daerah Kamogwa, Jepang, pada 1986. "Kalau memang ada pemantauan dan perawatan secara berkala, tentunya bisa diketahui secara persis letak kebocorannya."

Doktor dari Waseda University, Tokyo, Jepang, itu menyatakan pengelolaan daerah aliran sungai amat penting dalam merawat sebuah waduk seperti Situ Gintung yang dirancang untuk menampung air hujan agar aliran air ke Sungai Pesanggrahan tidak terlalu kencang, sekaligus tempat resapan air hujan menjadi air tanah. "Semua anak sungainya harus dimonitor terus," ujarnya. "Pasang ARG di daerah hulu supaya tahu curah hujannya berapa, intensitas dan jam berapa hujan turun sehingga tahu kira-kira kapan air masuk dam," dia mengungkapkan.

Idealnya, alat pencatat data hujan seharusnya dipasang tiap 10 kilometer sepanjang aliran sungai dari hulu ke waduk. Harga alat itu yang mencapai Rp 10 juta per unit juga tidak mahal, mengingat biaya yang dialokasikan untuk perawatan situ mencapai lebih dari Rp 1 miliar. "Makin dekat jaraknya, sebenarnya makin baik," ujarnya.

Penghijauan di daerah hulu juga masuk kategori perawatan daerah aliran sungai. Bila terjadi penggundulan, air hujan tidak sempat meresap ke dalam tanah dan alirannya akan mengangkut sedimentasi. Akhirnya terjadi pengendapan dan pendangkalan di danau dan poros dam tidak akan kuat menahannya. Foto satelit memperlihatkan kondisi air Situ Gintung yang cokelat keruh menunjukkan bahwa beban yang ditanggung dam tipe uruk sangat besar.

Padatnya pemukiman di sisi tanggul juga menunjukkan tidak adanya perawatan karena dari segi konstruksi dam uruk hal itu sangat dilarang. "Bodi tanggul tidak bisa diganggu gugat. Pembangunan infrastruktur membawa akibat sangat fatal, tapi ini terjadi," kata Edi. "Infrastruktur hanya boleh dibangun 50-100 meter dari poros tanggul."

Untuk memantau kondisi tanggul-tanggul waduk lain di Indonesia yang umumnya bertipe dam uruk, sebenarnya ada sejumlah metode yang bisa dipakai seperti geolistrik atau georadar. Dengan cara itu, kondisi rekahan atau retakan bisa terdeteksi.

Metode georadar sudah umum digunakan untuk meneliti kondisi konstruksi di bawah tanah. Teknik geofisika elektromagnetik noninvasif ini biasa digunakan untuk pertambangan, mencari artefak yang terkubur, mendeteksi kerusakan fondasi sampai mencari ruang persembunyian bawah tanah. "Alat itu bisa mendeteksi sampai kedalaman 5 meter," kata Edi.

Sedangkan metode geolistrik biasa digunakan dalam eksplorasi sumber air tanah. Ahli geologi dan arkeologi menggunakan metode ini ketika melakukan investigasi untuk mendeteksi gua, rongga, terowongan, zona patahan, dan obyek logam. Kini metode ini juga digunakan dalam studi lingkungan untuk mengecek eksplorasi tempat pembuangan sampah tipe landfill dan mendeteksi kebocoran atau merembesnya air limbah. "Alat itu bisa mengukur apakah konstruksinya baik sampai kedalaman 100 meter," ujarnya.

Pemantauan harus dilakukan rutin setiap tahun untuk memeriksa apakah konstruksi, fungsi, dan daya dukung poros dam masih kuat. "Bila ada rembesan atau keropos, harus di-grouting," kata Edi. "Setelah perbaikan dimonitor lagi dengan georadar untuk melihat tahanan jenisnya."

Sistem peringatan dini juga harus diperbaiki dan harus dipasang sampai radius beberapa ratus meter dari waduk buatan pemerintah kolonial Belanda pada 1932 itu. "Orang yang tinggal dekat tanggul selamat karena mendengar sirene," katanya. "Mereka yang tinggal jauh dari tanggul yang menjadi korban."

Ke depan, Edi meminta pemerintah bersedia membuka diri terhadap hasil-hasil penelitian. Sejak 1994 dia berulang kali memaparkan hasil penelitian tentang metode pendeteksi gagalnya dam, tetapi tidak dihiraukan. Akhirnya, Jumat subuh pekan lalu tanggul Situ Gintung jebol sehingga menewaskan 100 orang warga Desa Cireundeu, Banten, dan sekitar 100 orang lainnya hilang.

BPPT juga memberi beberapa rekomendasi agar kejadian serupa tidak berulang, perlu ada survei dan review situ-situ yang diduga memiliki potensi bencana. Saat ini jumlah situ di Jabodetabek seluruhnya ada 218 situ, dengan luas total 2.166,50 hektare. TJANDRA DEWI | AQIDA SWAMURTI | ANWAR SISWADI

Situ Hilang, Bencana Lain Datang

Kehadiran sebuah situ tidak bisa dihilangkan begitu saja. Gadis Sri Haryani, Kepala Pusat Penelitian Limnologi LIPI, menyatakan situ atau danau memiliki manfaat yang amat besar bagi masyarakat di sekitarnya sehingga perlu ada diskusi serius untuk memutuskan nasib Situ Gintung ke depan.

Salah satu fungsi utama Situ Gintung adalah menampung air dan menyuplai air tanah. "Jika danau itu dihilangkan, air akan langsung mengalir ke Sungai Pesanggrahan sehingga meningkatkan risiko banjir," katanya. "Pada musim kemarau, penduduk di sekitarnya akan kesulitan air.

Penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Limnologi LIPI terhadap situ-situ di Jawa Barat menunjukkan bahwa kondisinya telah menurun 50 persen. Tingginya sedimentasi dan tingginya kerawanan longsor di provinsi itu adalah penyebab terjadinya pendangkalan.

Selasa lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan pemerintah berencana mengurangi luas dan volume Situ Gintung. Kawasan situ juga akan ditata ulang tata ruang karena pemerintah memutuskan tidak akan merelokasi warga secara besar-besaran.

Edi Prasetyo Utomo mengatakan bila pengelolaan dilakukan sesuai dengan wawasan lingkungan, malapetaka itu sebenarnya bisa dihindari. Banyak tanggul dengan tipe itu yang tetap aman, bahkan tanggul di Belanda pun letaknya berdampingan dengan permukiman. "Yang harus dilakukan adalah pemeliharaan dan pemantauan," ujarnya. "Sepanjang tanah urukan itu impermeable atau air tidak bisa lalu lalang dan semua parameter pemeliharaan dam dipenuhi tak mungkin jebol." TJANDRA

PENYEBAB BOBOLNYA DAM

CEPAT
Jika ada puing atau sampah yang memblokade spillway atau hujan besar dengan intensitas luar biasa tinggi sehingga air meluap dan erosi.

PELAN
Pepohonan yang tumbuh di atas dam juga bisa menjadi pemicu gagalnya dam menahan air. Ketika pohonpohon itu mati, akarnya menciptakan rongga air.

PELAN
Komposisi material dam yang tidak seimbang dan getaran seismik atau gempa bumi dapat menimbulkan retakan pada dam.

Sebelum urbanisasi
Pepohonan dan tanah yang porous menyerap air hujan dan melepasnya kembali ke danau secara bertahap.
- Daerah terbuka yang ditumbuhi vegetasi di bawah dam dapat menangani limpasan air.
Setelah urbanisasi
Bangunan dan jalan menghalangi tanah menyerap air hujan, limpasan air dengan cepat meningkatkan tinggi permukaan air danau.
- Banjir bandang menerjang area di bawah dam yang dipenuhi bangunan sehingga tidak dapat menangani limpasan air.


http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/02/Ilmu_dan_Teknologi/krn.20090402.161200.id.html
Share this article :

0 komentar: