BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mari Memilih dengan Rasional

Mari Memilih dengan Rasional

Written By gusdurian on Sabtu, 04 April 2009 | 14.57

Mari Memilih dengan Rasional


Sejak reformasi bergulir pada 1998 lalu kita telah melakukan berbagai upaya dalam mendemokratisasikan prosedur dan pranata politik negeri ini.


Berbagai perbaikan—yang dulu pada masa Orde Baru hanya tampak hanya sebagai mimpi— telah kita lakukan. Misalnya memilih pemimpin secara langsung, dari wali kota/bupati, gubernur, sampai presiden dan wakil presiden. Kebebasan berkumpul, berekspresi dan berpendapat yang dilindungi konstitusi juga telah dipulihkan dari penyanderaan rezim otoriter.

Daerah pun kian menggebugebu untuk maju melakukan percepatan pembangunan berbasis karakter lokal lewat diloloskannya konsep otonomi daerah.Memang masih banyak kekurangan di sanasini. Namun, pada dasarnya kita patut bersyukur setidaknya fondasi sistem terus diperkuat. Lalu pertanyaan muncul, apakah dengan capaian tersebut lantas Indonesia telah selesai pada titik akhir berdemokrasi?

Apakah demokrasi hanya sebagai tujuan yang hendak dicapai oleh bangsa ini? Tentu sebagai bangsa yang bercita-cita luhur, serempak kita akan menjawab,demokrasi hanyalah sebuah sarana (means) bagi kesejahteraan rakyat. Demokrasi pun akan terus berkembang sesuai kebutuhan rakyat.

Mimpi Kesejahteraan

Satu hal yang selalu menjadi concern semua pihak adalah masalah kesejahteraan. Indonesia yang selalu dielu-elukan sebagai negara kaya ternyata masih belum bisa menarik banyak rakyatnya dari dasar jurang kemiskinan.Namun janganlah kita hanya duduk meratapi ketidakadilan yang terjadi.

Dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta orang,kekayaan sumber daya alam yang melimpah seharusnya banyak yang bisa dilakukan baik per individu maupun melalui negara. Kesejahteraan merupakan mimpi para pendiri bangsa ini dalam memperjuangkan Indonesia merdeka, yang merupakan semangat tertinggi dalam konstitusi kita.

Secara sederhana, Buya Syafi’i Maarif (2009) merumuskan semangat konstitusi ini ke dalam tiga misi kepentingan nasional yang menjadi tugas pemerintah, yaitu; (a) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (b) memajukan kesejahteraan umum (c) mencerdaskan kehidupan bangsa.

Buya mengatakan bahwa mayoritas rakyat belum sejahtera dan mudah dibohongi oleh permainan politik para elite. Tak kalah khawatirnya, lokomotif gerakan Reformasi 1998, Amien Rais, mencoba memperingatkan bangsa ini akan bahaya para komprador politik yang terus mengintai melalui janji-janji kesejahteraan ekonomi.Tetapi justru yang dilakukan sebaliknya, proteksi ekonomi kita untuk kesejahteraan rakyat digadaikan dengan munculnya perundang-undangan yang memiskinkan rakyat sendiri.

Lebih lanjut Amien Rais mengatakan Pemerintah Indonesia telah menjadi pelayan asing, banyak aset nasional seperti BUMN dan perbankan secara sistematik berpindah kepemilikan asing. Hutan dan tanah pun disewakan ke korporasi asing sampai hampir 100 tahun. Kekayaan tambang kita, baik migas maupun nonmigas, hampir seluruhnya, dikelola oleh korporasi asing.

Penjajahan ekonomi Indonesia oleh kekuatan korporasi asing itu diberi payung hukum dengan perundang-undangan yang membuat kita garuk-garuk kepala. Memang proses politik sangat erat kaitannya dengan upaya bangsa dalam melakukan percepatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Ketika proses politik tak mampu dikawal untuk melahirkan kepemimpinan yang pro dan tahu kebutuhan rakyat, maka proses politik hanya akan melahirkan pemimpin- pemimpin kerdil yang hanya mementingkan kepentingan sesaat dan tak mampu mengangkat wajah Indonesia dari keterbelakangan. Karena itulah proses pengawalan berdemokrasi menjadi keharusan bila kita ingin segera menuntaskan berbagai persoalan yang telah lama membelit bangsa ini.

Pemilu 2009 sebagai Taruhan

Salah satu hal menarik di setiap jelang pemilu adalah wacana penolakan terhadap proses tersebut oleh sementara kalangan yang biasa disebut golongan putih (golput). Wacana itu menyedot perhatian sekaligus simpati publik, mulai dari tokoh politik, seniman, artis, sampai ulama. Bahkan otoritas ulama terbesar Indonesia yang berhimpun dalam MUI berfatwa mengharamkan golput. Terlepas dari kontroversi yang mengekor dari fatwa tersebut, kita sadar memang golput sama sekali tidak menyelesaikan masalah.

Dengan tidak memilih berarti kita memberikan kesempatan bagi yang paling buruk untuk menang. Kalau kita tidak golput, kita bisa memilih setidaknya yang paling baik dari yang ada (jika kita m e m a n d a n g semuanya buruk, semoga saja tidak). Untuk itu,kita harus lihat akar golput ini sendiri. Setidaknya ada dua hal pemupuk eksisnya golongan itu.

Pertama,pemilu tidak memberikan efek signifikan dalam kehidupan riil masyarakat. Kedua, masyarakat sudah semakin pandai dan kritis.Masih munculnya tokohtokoh lama membuat mereka tak punya pilihan. Apalagi dengan sistem pemilu yang mengharuskan syarat 20% suara legislatif bagi yang akan mencalonkan sebagai presiden, tentu membatasi pilihan masyarakat.

Untuk itu perlu dilakukan upaya masif untuk penyadaran bagaimana pentingnya pemilu ini untuk segala kebijakan politik yang diambil untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Lalu pertanyaannya, apa yang bisa kita lakukan dengan sisa waktu tinggal beberapa hari ini? Jawabannya adalah kerja keras!

Proyek pencerdasan politik bagi pemilih bukan merupakan pekerjaan yang hanya berorientasi saat ini, tetapi memiliki tujuan panjang. Dalam konteks tersebut kita harus melakukan upaya taktis strategis serta sistematis. Upaya taktis strategis dalam Pemilu 2009 dapat dilakukan dalam tiga hal.

Pertama,memberikan informasi mengenai hal-hal teknis dalam Pemilu 2009. Perubahan cara memilih dari mencoblos ke pencontrengan bukan masalah sederhana, ditambah aturanaturan dan tata cara lainnya adalah hal yang perlu diinformasikan kepada masyarakat. Di samping itu,waktu dan tempat pemilihan, serta masalah tidak dipakainya lagi kartu pemilih—bahkan ada menteri yang tidak tahu masalah itu—tidak bisa kita kesampingkan.

Kedua, menentukan pilihan partai dam calon anggota legislatif. Hal ini bukan bersifat arahan,tetapi bagaimana menampilkan sikap rasional para pemilih dalam menentukan pilihannya. Pilihan rakyat harus dilandasi oleh pemahaman yang terbuka tentang apa sesungguhnya persoalan bangsa yang mendesak. Untuk itu kita harus berusaha memberikan pencerahan kepada mereka agar tak menjadi golput karena ketidaktahuan.

Ketiga,proses pengawasan.Adalah tanggung jawab bersama untuk mewujudkan proses pemilu ini berlangsung aman, jujur, dan transparan. Masyarakat harus bersamasama mengawasi proses pemilu sampai perhitungan selesai, kalau perlu meyakinkan bahwa jumlah perhitungan dari TPS, sampai ke tingkat di atasnya tidak ada pemelintiran hasil dan sebagainya. Adapun langkah sistematisnya memberikan pemahaman secara filosofis tentang apa, bagaimana, dan kenapa pemilu diadakan.

Pada kesempatan pemilu tahun ini Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) membuat program “Gerakan Nasional Pemilih Kritis” yang concern utamanya pada sosialisasi dan penyadaran makna dan hakikat pemilihan umum sebagaimana yang diuraikan di atas. Dari beberapa simulasi pencontrengan yang kami laksanakan, hampir 20% dari peserta belum melakukan proses itu secara baik.

Padahal, objek sosialisasi kita adalah mahasiswa.Pertanyaannya, ketika simulasi yang dilakukan pada mahasiswa tingkat kegagalannya cukup tinggi, bagaimana dengan masyarakat kebanyakan yang tinggal di pelosok dan belum secara masif bersentuhan dengan sarana informasi publik?

Untuk itulah gerakan pemilih kritis yang berbasis kepada pemilih adalah langkah yang harus ditempuh, tidak hanya bagi kalangan pemuda dan mahasiswa, tetapi juga langkah yang harus diambil partai politik. Sudah saatnya, meminjam ungkapan Buya Syafi’i,“kata”yang diucapkan para pemimpin negeri ini selaras dengan “laku”yang diwujudkan dalam tindakannya bagi kepentingan bangsa.Wallahu a’lam.(*)

Rusli Halim Fadli
Ketua Umum DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/226520/


Mari Hindari Golput

Hingga hari kita masih disibukkan oleh berbagai masalah persiapan Pemilu 2009. Dari masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT), sosialisasi pencontrengan, hingga logistik membuat kita cemas mengenai kesiapan Pemilu.


Namun, bagaimanapun juga kita harus tetap yakin bahwa Pemilu akan diadakan tepat tanggal 9 April. Jangan me-nunjukkan sikap destruktif dengan meminta penundaan Pemilu. Kita harus mendukung sekaligus mendorong KPU untuk terus bekerja keras dan berusaha untuk dapat menyelesaikan berbagai agenda pemilu sehingga target yang direncanakan dapat dilaksanakan dengan sebaik- baiknya.

Kalau kita lihat, yang menjadi salah satu masalah yang sangat mengkhawatirkan saat ini adalah sosialisasi. Memang tugas itu secara formal ada di pundak KPU.Namun tetap terbuka peluang kepada semua pihak dan instansi terkait bahkan media massa untuk ikut bertanggung jawab melakukan upaya sosialisasi kepada masyarakat. Jangan sampai minimnya sosialisasi ikut menggelembungkan jumlah golput yang sama sekali tak menyelesaikan masalah demokrasi bangsa ini. ***

Selain KPU yang memiliki peran signifikan dalam Pemilu adalah Panwaslu. Lembaga ini harus tegas sekaligus jujur dalam mengawasi tiap penggalan pelaksaan rangkaian pemilu,mulai dari kampanye hingga penentuan kursi anggota legislatif serta pipres nanti.

Namun, masih saja ada Panwaslu yang berpihak sehingga merugikan beberapa pihak.. Misalnya yang saya lihat sendiri adalah yang baru saja terjadi di Ponorogo.Saat itu massa salah satu parpol sudah berkerumun dan dengan penuh antusias untuk mengikuti pidato politik. Sambil mendengarkan musik massa berteriak untuk minta disemburkan air.Saat itu pemadam kebakaran memang sudah disediakan di pojok lapangan.

Namun air tak kunjung disemprotkan ke tengah-tengah kerumunan massa yang semakin membludak. Tak lama ketua panitia kampanye secara lantang menjelaskan kepada massa pendengar bahwa Panwaslu tidak membenarkan pemadam kebakaran melakukan tugasnya menyemprot air untuk membuat suasana menjadi teduh dan massa terlepas dari sengatan matahari.

Panitia secara tegas melayangkan surat protes kepada Panwaslu bahwa ini adalah caracara yang tidak patut karena apapun partainya itu adalah warga Ponorogo yang berhak untuk mendapatkan pelayanan publik. Ada semacam dugaan bahwa Panwaslu tidak membenarkan pemadam kebakaran melakukan tugasnya karena ada invisible hands yang tidak menghendaki suksesnya kampanye kontestan pemilu ini.

Kalau demikian halnya Panwaslu menjadi tidak obyektif dan integritasnya akan terganggu karena apapun kesalahan yang dilakukan oleh kontestan pemilu haruslah di tegur dengan prosedur yang telah diatur. Ini menjadi penting untuk dikemukakan karena ditengarai bahwa terdapat oknum-oknum Panwaslu di lapangan yang tidak steril dari money politic.

Hal ini diduga karena anggaran Panwaslu belum sepenuhnya dicairkan. Kalau demikian halnya maka semua anggaran dan logistik seyogianya tidak boleh menghambat mekanisme untuk melancarkan suksesnya pelaksanaan pemilu. ***

Masyarakat kita menjadi semakin kritis apabila melihat adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama masa kampanye. Bahkan dari pengamatan penulis di beberapa kampanye parpol ada hal yang bersifat mengganggu harmoni anggota masyarakat misalnya ketika melakukan mobilisasi dan konsolidasi massa makanan- makanan yang diberikan adalah tidak layak untuk dikonsumsi.

Bisa saja anggaran yang disediakan oleh pimpinan parpol atau dana yang dikeluarkan oleh caleg terkait di daerah itu sudah cukup memadai. Tetapi karena kurangnya pengawas telah terjadi penyimpangan dan penyunatan dana untuk konsumsi yang kualitasnya mengecewakan. Oleh karena itu pimpinan parpol dan calegcaleg yang ingin memenangkan pemilu memang tidak boleh hanya sekedar percaya kepada aparat pelaksana di lapangan tapi harus melakukan kontrol yang tepat dan ketat.

Tentu tidak boleh juga bersikap arogan sehingga dapat menimbulkan kontra produktif sehingga menyinggung perasaan panitia di lapangan yang sudah bekerja keras siang dan malam. Hal-hal tersebut di atas ini akan dapat mempengaruhi caloncalon pemilih yang menjadi skeptis karena kinerja aparat partai dan perilaku caleg-caleg yang tidak simpatik dapat menjadi bumerang yang tidak diinginkan yaitu, orang tidak berkehendak dan kurang gairah ke TPS untuk memberikan suaranya.

Faktor orang tidak memilih atau apa yang disebut golongan putih (golput) banyak indikasinya. Pertama, memang secara administratif seseorang tidak terdaftar untuk dapat menggunakan hak pilihnya, oleh karena kelalaian petugas atau kemalasan warga yang tidak mengurus kelengkapan administrasinya.

Kedua, kelalaian di tingkat RT/RW yang alpa mengaktualkan data terakhir dari warganya. Sehingga pada saat-saat tahapan pemilu belum tersosialisasikan dengan baik. Ketiga,akibat pencitraan calegcaleg legislatif dan performa parpol yang tidak dapat meyakinkan calon pemilih sehingga orang enggan untuk menjatuhkan pilihannya.

Keempat,pengaruh kinerja aparat pemilu menjadikan ada semacam skeptisme bahwa kalaupun seseorang tidak memilih juga tidak akan mengurangi suksesnya pemilu. Celakanya sikap skeptisme tersebut tidak menyelesaikan masalah. Kelima, tidak dapat dinafikan bahwa banyaknya jumlah parpol membuat sebagian warga menjadi sangat bingung menjatuhkan pilihannya. Apalagi kalau dilatarbelakangi oleh adanya semacam pengaruh doktrin politik yang menjaga jarak dengan kekuasaan. ***

Apapun motifasi warga negara dalam menggunakan hak dan kewajiban sebagai warga negara maka seboleh-bolehnya kita sebagai masyarakat bangsa sedang membangun suatu tradisi dan budaya demokrasi yang lebih baik maka sebaiknya semua warga negara menggunakan hak p i l i h n y a . Mengapa? Karena orang yang menggunakan hak pilihnya sangat berhak untuk ikut menentukan arah politik pembangunan negara.

Sedangkan mereka yang golput adalah tidak fair dan kurang elok untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang baru dan bahkan mengoreksi tingkah pola anggota parlemen yang baru karena dia tidak ikut memilih. Artinya kalau menjadi golput karena memang sudah direncanakan bukan karena kecorobohan administrasi maka patut disayangkan. Indonesia dengan segala kondisi yang sedang dialaminya tetap saja termasuk salah satu negara yang dianggap pionir dalam memajukan demokrasi.

Partisipasi masyarakat masih sangat diharapkan dalam memberikan dukungan terhadap lembaga legislatif dan eksekutif dimasa mendatang. Patut diakui bahwa media massa kita seungguhnya telah memberikan ruang publik (public sphere) kepada masyarakat sehingga masyarakat bangsa ini mempunyai cukup keleluasaan untuk mengekspresikan aspirasinya.

Di sisi lain ruang publik (Jurgen Habermas, 1987) menjadi sia-sia kalau tidak digunakan sebaik-baiknya oleh warga negara untuk ikut memberikan kontribusi pemikiran kepada penyelenggara pemerintahan yang demokratis. Adalah tanggung jawab media pula untuk menyediakan ruang yang memungkinkan semua saran dan kritik dari masyarakat dapat diteruskan kepada pengambil keputusan.

Begitu pun media harus mampu memberikan optimisme agar masyarakat bangsa lebih percaya diri menghadapi masa depannya. Bagi anggota legislatif sejatinya berjuanglah secara jujur.Fairdan ama nah sehingga anda akan dipilih menjadi anggota legislatif. Sedangkan bagi yang kalah bukan berarti dunia sudah kiamat, anda sudah mencoba, next time wil be better.(*)

ProfBachtiarAly
Pengamat Politik


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/226519/
Share this article :

0 komentar: