Nasib Guru Setelah Sertifikasi
Oleh M As'adi
Kusnan, salah seorang guru SMP di Temanggung, Jawa Tengah, ke mana-mana kini menenteng laptop dan mengendarai motor baru. Koleganya, Suyanto, pun lebih nyaman bolak-balik rumah ke sekolah karena Avanza warna silver selalu menyertainya.
Memang, tak sedikit kini, guru di daerah Temanggung yang berkendara roda empat, meski keluaran tahun 1980-an alias mobil lawas, seharga Rp 15 juta sampai Rp 20 juta.
Pun demikian dengan Nurilah, guru SMP yang suaminya pekerja swasta, sekarang bisa bernapas lega. Setelah hampir tujuh tahun menerima sisa gaji sekitar Rp 300 ribu karena dipotong utang, Nurilah kini kembali menikmati penghasilan yang lumayan.
Perubahan ekonomi kalangan pendidik yang selama ini hidup ngos-ngosan, terjadi setelah pemerintah memberikan tunjangan profesi melalui program sertifikasi. Bagi guru yang lulus program sertifikasi, setiap bulan akan menerima tunjangan profesi yang besarnya setara gaji pokok.
Peningkatan penghasilan cukup besar ini, tak ubahnya seperti pengentasan 'kemiskinan' para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut. Apalagi, bagi suami istri yang berprofesi sama dan keduanya telah lolos sertifikasi, penghasilan Rp 10 juta per bulan sudah di tangan.
''Selain untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak, penambahan penghasilan ini saya gunakan pula untuk membeli laptop dan menambah perbendaharaan buku. Masak kalah dengan murid yang sudah maju dalam olah teknologi,'' kata Kusnan, kepada Republika, pekan ini.
Bagi Kusnan, yang sehari-hari mengajar matematika ini, berkah kelulusannya dalam program sertifikasi guru membuatnya dapat menyisihkan sebagian gaji. Hal yang hampir tak pernah terpikirkan sebelumnya. ''Jangankan membeli laptop, untuk memenuhi kebutuhan keseharian saja sudah berat,'' katanya.
Setiap kali tunjangan yang diberikan per tiga bulan itu diterima, Kusnan lebih leluasa membeli buku-buku yang selama ini tak mampu dibelinya. Buku jelas sangat penting untuk memperkaya wawasannya dalam mengajar.
Dan dengan menaiki motor barunya, kegiatan kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang diadakan setiap sepekan sekali, tak lagi luput diikuti.
Lain Kusnan, lain pula Suyanto. Setelah lulus program sertifikasi guru yang diberlakukan mulai 2008, berbekal gaji Rp 4,6 juta per bulan, ditambah penghasilan istrinya sekitar Rp 2 juta yang berprofesi sebagai PNS, Suyanto lebih mendahulukan membeli Avanza bekas seharga Rp 70 juta.
Dengan cara kredit, tergapailah kendaraan impiannya itu. ''Dari pendapatan sekarang, saya bisa mengajukan kredit Rp 100 juta. Kalau dicicil sepuluh tahun, sedikitnya masih punya sisa Rp 2 jutaan, ditambah gaji istri untuk memenuhi kebutuhan hidup,'' katanya.
Tunjangan profesi setelah kelulusannya dari program sertifikasi Depdiknas itu, dirasakan Nurilah benar-benar sebagai berkah. Tujuh tahun lalu, Nurilah terpaksa berutang Rp 30 juta. Dana itu dipakai untuk menambal biaya anaknya yang hendak masuk ke perguruan tinggi negeri di Yogyakarta.
Belum lagi utang itu lunas terbayar, anak keduanya menyusul ke jenjang serupa. ''Sisa utang saya waktu itu tinggal Rp 20 juta. Lalu saya tutup, dan berutang lagi Rp 60 juta, masih ditambah utang ke koperasi. Padahal, gaji saya sebelum sertifikasi hanya Rp 2,3 juta,'' katanya.
Setiap bulan, dia mesti mencicil ke bank Rp 1,4 juta untuk jangka waktu sepuluh tahun, ditambah cicilan koperasi Rp 600 ribu. Pendapatan dari suaminya sebagai pekerja swasta, hanya mampu untuk membiayai kos dan uang makan kedua anaknya di Yogyakarta.
''Setiap semester, saya selalu pinjam koperasi. Ya, gali lubang tutup lubanglah. Tapi sekarang lumayan, walau sedikit, tapi masih bisa menabung,'' katanya.
Bambang, seorang guru SD, setelah lolos sertifikasi, merasakan hidupnya lebih nyaman. ''Begitu menerima tunjangan untuk tiga bulan pertama sebesar Rp 4,6 juta, saya langsung berhenti ngojek,'' ungkapnya.
Bahkan, Yoga yang mengajar di sebuah SMP, lantaran istrinya lulus sertifikasi, kini sudah bisa membuka tabungan haji. ''Alhamdulillah, bisa mencicil utang dan punya tabungan haji.''
Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan berkualitas.
Meningkatnya penghasilan guru ini, memunculkan fenomena menarik. Pengamat pendidikan yang juga Kepala SMK Negeri 2 Temanggung, Hendro Martono, mengungkapkan, sebagian guru memilih menggunakan tunjangan itu untuk konsumtif, tapi sebagian lainnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas profesinya.
Secara umum, kata Hendro, belum terlihat perubahan profesionalisme guru secara signifikan sebagai akibat langsung kenaikan tunjangan profesi itu. ''Saya belum melihat ada perubahan sikap yang mendasar. Tunjangan profesi itu baru pada meningkatkan penghasilan.''
Peningkatan penghasilan melalui tunjangan profesi, paparnya, masih sebatas menjamin guru yang lulus sertifikasi tak lagi dibebani persoalan kebutuhan hidup. Dari enam guru yang lulus sertifikasi di sekolah pimpinannya, dia mencontohkan, belum ada satu pun yang menunjukkan upaya peningkatan profesi.
''Memang ada yang membeli laptop supaya tidak gagap komputer, yang merupakan salah satu deskripsi kompetensi,'' katanya. Guru yang punya kemauan dan kesadaran untuk meningkatkan profesi dengan melakukan investasi produktif, masih jauh dari harapan. ''Ini tak lepas dari sistem sertifikasi, yakni portofolio tanpa uji kompetensi.''
Penilaian portofolio, menurutnya, tak lebih hanya pada penghargaan. Pertimbangan masa kerja, misalnya, menjadi semacam konversi keprofesionalan guru.
Atau dengan kata lain, masa kerja dikonversi dengan keprofesionalan. ''Artinya, portofolio hanya merupakan pengakuan bahwa yang bersangkutan sudah profesional, meski pengakuan itu belum tentu benar.''
Hendro lebih setuju sistem sertifikasi melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). ''PLGP lebih menjamin, karena melalui pendidikan dan latihan, tidak hanya sekadar berkas.''
Melihat kenyataan saat ini, bagi guru yang telah lolos sertifikasi disadarkan, ada satu konsekuensi bahwa tunjangan profesi bukan sekadar meningkatkan penghasilan. Namun, disertai upaya pengembangan diri serta meningkatkan profesionalismenya.
''Ada dua opsi, pertama pemerintah menfasilitasi memberi pelatihan dan pendidikan, kedua guru-guru memiliki kesadaran untuk terus belajar atau disadarkan,'' kata Hendro.
Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Temanggung, Milono, mengaku belum tahu persis dampak sertifikasi itu. Dalam waktu dekat penelitian di lapangan akan dilakukan.
''Saya tahu baru sebatas cerita dan oborolan. Untuk mengetahui secara persis, kami berencana meneliti, apa yang terjadi setelah guru lolos sertifikasi dan menerima tunjangan,'' katanya.