BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kalla Mendemitologikan Luar Jawa

Kalla Mendemitologikan Luar Jawa

Written By gusdurian on Jumat, 27 Februari 2009 | 13.39

Kalla Mendemitologikan Luar Jawa

Oleh M. Alfan Alfian *

Setelah menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua Umum Ikatan Pemuda Muhammadiyah M. Izzul Muslimin mengemukakan kembali komentar Kalla bahwa kepemimpinan nasional ditentukan oleh kapasitas dan elektibilitas, bukan dari Jawa atau luar Jawa (Jawa Pos, 25/2/2009). Tentu saja pernyataan Kalla tersebut menarik, sekaligus spekulatif.

Menarik karena memang perkawinan antara nasionalisme Indonesia dan demokrasi, antara lain, menghasilkan demitologi politik berbasis primordial. Spekulatif karena, sebelumnya, Kalla pernah menengarai bahwa karena dari luar Jawa, maka peluangnya untuk menjadi presiden kecil. Dia harus realistis. Tetapi, kalau kemudian ternyata "maju tak gentar" menjadi capres Golkar, tentu dia akan tercatat dalam sejarah sebagai pelopor demitologi luar Jawa.

Pandangan Kalla sangatlah dapat dipahami bahwa dengan pertimbangan lebih rasional, semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi presiden. Belajar dari pengalaman pemilihan presiden di Amerika Serikat yang dimenangkan Barack Hussein Obama, dalam demokrasi langsung segala sesuatu bisa terjadi.

Peluang Golkar

Namun, apakah masyarakat Indonesia sudah benar-benar siap? Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab tanpa disertai dengan eksperimentasi-eksperimentasi politik dari para elite. Pertanyaannya, kalau demikian, dapat dibalik, apakah Kalla, tokoh nasional yang berasal dari Sulawesi Selatan itu, siap dicapreskan oleh Golkar? Kalaupun Kalla "siap", maka siapkah internal Golkar merestuinya?

Dalam konteks yang lebih luas dan jangka panjang, perspektif demitologi politik capres luar Jawa perlu dipatahkan oleh Golkar sebagai partai modern dan bersifat catch-all. Sumbangsih Golkar dalam pembangunan rasionalitas politik bangsa ditunggu, dan partai beringin itu memiliki kesempatan emas ke situ, justru di tengah proses penentuan capres internal yang tengah dilakukan.

Seperti diketahui, Rapimnas Golkar Oktober 2008 memutuskan agar Dewan Pimpinan Daerah (DPD) mengusulkan nama-nama untuk disurvei oleh beberapa lembaga polling independen yang disewa Golkar. Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar telah mengirimkan surat edaran ke DPD-DPD, tetapi keputusan penetapan capres dan calon wakil presiden (cawapres) masih akan dilakukan pasca-pemilu legislatif, kecuali ada perubahan yang dramatis.

Pada akhirnya, elite-elite struktural Golkar-lah yang berpeluang menentukan hasil akhir. Di sinilah peluang Kalla untuk menjadi capres Golkar (katakan Blok J) lebih besar, mengingat posisinya sebagai ketua umum.

Apabila Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak lagi mengajak Kalla sebagai pendampingnya (cawapres), tampaknya, tak ada alternatif lain yang lebih terhormat bagi Kalla kecuali berjuang untuk menjadi capres Golkar dan ''merealisasikan kata-katanya". Dia bisa jadi pejuang penjebol mitos, bahkan menjadi tokoh yang layak membandingkan dirinya dengan Obama. Dalam konteks ini, mestinya Kalla pantang mundur atau menyerah.

Rasional dan Sederhana

Kebutuhan kita dalam membangun demokrasi yang kukuh jangka panjang yang mempertegas nasionalisme Indonesia adalah melawan mitos primordial politik. Ideologi memang masih diperlukan sebagai basis nilai dan menjadi ciri khas partai-partai politik. Namun, preferensi publik dalam memilih pemimpin, idealnya rasional dan berbasis kompetensi, bukan emosional, apalagi primordial.

Demokrasi memberikan peluang yang besar bagi berbagai elemen di dalamnya untuk checks and balances. Konsekuensinya, pemimpin yang terpilih tentu saja tidak dapat "semau gue". Ada indikator kerja yang terukur dan terpantau. Kalau gagal dan tidak amanah, demokrasi menyediakan hukumannya sendiri.

Arah politik Indonesia ke depan mestinya demikian. Namun, harus diakui bahwa sebagian besar di antara kita masih menganggapnya sebagai mimpi. Mengapa? Dalam konteks "demokrasi persyaratan", apakah memang sudah memadai? Bagaimana dengan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia dibanding dengan rakyat Amerika Serikat, misalnya. Bagaimana pula dengan sejumlah persyaratan lain, termasuk mentalitas dan kultur politik kita?

Demokrasi politik kita masih bertumpu pada pertarungan kepentingan yang sengit antarpartai politik. Pertarungan alias kompetisi sesungguhnya biasa saja dalam politik. Tetapi, banyaknya peserta kontes politik berpotensi membuat jalannya kompetisi politik semakin rumit. Kompetisi politik kita ke depan seharusnya semakin sederhana sehingga memudahkan publik berpikir dan bersikap rasional.

Bukan hanya Kalla, tetapi juga segenap elite poltik kita saat ini dituntut untuk tidak saja menjadi aktor-aktor "jangka pendek", tetapi lebih dari itu, juga arsitek-arsitek politik "jangka panjang". Sejarah dan wajah demokrasi kita ke depan, bagaimanapun, tak dapat dilepaskan dari sepak terjang mereka hari-hari ini. (*)

M. Alfan Alfian , dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

http://jawapos.com/
Share this article :

0 komentar: