Menjadi Advokat, Menjadi Pejuang
Todung Mulya Lubis, Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI)
Judul tulisan ini terdengar aneh. Membicarakan advokat sebagai advokat pejuang sepertinya sesuatu yang ganjil, sebuah anomali. Di tengah merosotnya kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum, siapa pun yang bicara tentang advokat pejuang akan dituding sebagai orang yang tak realistis, seorang pemimpi yang tak mengerti perubahan zaman. Sebab, dalam zaman yang komersial seperti sekarang, semua itu diukur dengan uang. Time is money. Perjuangan telah hilang dari kosakata dunia advokat, dan advokat mulai menjadi apa yang disebut sebagai ”the hired gun of the client”. Kerja utama advokat pertama dan terutama adalah membela kepentingan klien, membela yang membayar. Lantas di mana letaknya perjuangan di sini? Kenapa kita bicara tentang advokat pejuang?
Sebagai seorang advokat yang sudah berkiprah selama 35 tahun, saya tetap merasa perlu meneriakkan kepada semua advokat, semangat untuk menjadi advokat pejuang. Bukankah dalam Undang-Undang Advokat, UU No. 18/2003, advokat itu dinobatkan sebagai penegak hukum, an officer of the court? Sebagai penegak hukum, tugas kita tidak semata-mata untuk kepentingan klien yang kita bela. Ada “nilai” lain yang perlu diingat, yaitu nilai rule of law dan justice. Sebagai advokat, kita juga dituntut untuk ikut menegakkan rule of law dan justice. Tantangan advokat dengan demikian adalah membela kepentingan kliennya dengan tetap berpegang pada nilai-nilai supremasi hukum dan keadilan.
Secara historis, advokat itu adalah pejuang yang membela kepentingan rakyat. Lihatlah, para advokat pejuang kita, seperti Yap Thiam Hien, Lukman Wiriadinata, Hasyim Mahdan, Djamaludin Datuk Singomangkuto, Suardi Tasrif, Haryono Tjitrosubono, dan lainnya. Mereka adalah advokat yang berhasil menjalankan filsafat hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan keadilan dalam pekerjaan mereka sebagai “officer of the court”. Hilangnya generasi advokat pejuang itu seperti hilangnya wartawan pejuang, misalnya Mochtar Lubis, P.K. Oyong, dan B.M. Diah. Generasi baru telah tumbuh yang di dalamnya komersialisme lebih utama ketimbang supremasi hukum dan keadilan, tempat “mafia peradilan” bergentayangan di antara kita.
Tidak mengherankan jika berbagai survei menempatkan aparat penegak hukum, baik itu hakim, jaksa, maupun polisi, sebagai aparat yang rentan terhadap suap. Survei yang diadakan KPK belum lama ini menempatkan pengadilan sebagai lembaga dengan skor integritas terendah, 2,5. Survei lain yang diadakan oleh Transparency International Indonesia juga menempatkan lembaga peradilan sebagai lembaga yang rentan terhadap suap, meski masih di bawah kepolisian, bea-cukai, imigrasi, dan pemerintah daerah. Dalam survei tersebut juga diungkapkan bahwa publik menghendaki agar prioritas pemberantasan korupsi diutamakan di lembaga penegak hukum. Kedua survei di atas, meski hanya berupa survei persepsi, haruslah membuat kita prihatin. Sudah sedemikian burukkah persepsi masyarakat tentang aparat penegak hukum yang seyogianya memperjuangkan kepentingan keadilan bagi masyarakat?
Advokat memang tidak disebut dalam survei KPK maupun Transparency International Indonesia. Saya kira tak disebutnya advokat tak mesti membuat kita para advokat tidak merasa ikut bersalah. Saya menafsirkan bahwa ketika survei tersebut bicara tentang pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian, kita para advokat juga berada di sana. Bukankah kita juga bagian dari aparat penegak hukum, an officer of the court, seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Advokat? Suka atau tidak suka, kita para advokat dengan berlakunya UU Advokat sudah memasukkan diri kita ke kategori aparat penegak hukum. Advokat adalah bagian dari satu orkestra penegakan hukum yang memainkan peran khusus dan penting, sama pentingnya dengan polisi, jaksa, dan hakim.
Dalam kuliah-kuliah ekonomi, kita selalu diajari tentang teori penawaran dan permintaan, supply and demand. Sebuah harga adalah pertemuan antara penawaran dan permintaan. Dalam analogi, korupsi juga merupakan produk dari penawaran dan permintaan. Karena itulah sekarang ini, ketika bicara tentang korupsi, orang mulai bicara tentang dua hal: demand side and supply side. Pejabat penerima suap selalu ditempatkan sebagai orang yang berada dalam demand side, sedangkan pengusaha yang menyuap ditempatkan dalam supply side. Saya khawatir, kita sebagai advokat akan gampang dituduh sebagai pihak yang berada dalam supply side. Kata pepatah tua: orang tak bisa bertepuk sebelah tangan. Korupsi juga tak bisa bertepuk sebelah tangan.
Saya mengutip hasil kedua survei di atas bukan dengan maksud menuduh advokat telah melakukan suap. Survei yang saya kutip itu adalah survei persepsi, bukan investigasi tentang kasus korupsi. Tapi adalah bijak jika kita mulai melakukan introspeksi tentang tugas mulia kita sebagai advokat yang secara historis selalu kita katakan sebagai profesi yang mulia, officium nobelium. Walaupun kita tak memegang palu, pleidoi yang kita sampaikan di pengadilan juga merupakan sebuah karya hukum yang harus kita perlakukan sebagai dokumen hukum yang harus kita pertanggungjawabkan di hadapan supremasi hukum dan keadilan.
Kita semua yang menjadi advokat mendambakan kemenangan, tak ada yang menghendaki kekalahan. Kita semua juga mendambakan reward yang menebalkan deposito kita di bank. Semua itu tidak salah. Sebagai advokat, kita semua punya hak untuk sukses dan kaya, punya hak untuk memiliki rumah, mobil, dan deposito. Untuk itulah kita bekerja. Tetapi kita sebagai advokat merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang kita cintai ini. Sebagai warga negara, kita juga terikat kepada cita-cita kita berbangsa dan bernegara, kepada UUD 1945 dan Pancasila, yang kalau kita baca salah satunya adalah menegakkan negara hukum (rechtstaats) dan keadilan sosial. Di sini kita mempunyai kewajiban (duty) untuk bersama-sama sebagai bangsa meneruskan mimpi pendiri negara ini, bukan sekadar terlepas dari penjajahan tetapi juga mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negeri.
Angin perubahan sedang melanda kita semua, hakim, jaksa, dan polisi. Mereka sedang melakukan pembenahan karena itulah suatu conditio sine qua non. Sorot mata publik tengah diarahkan kepada instansi penegak hukum. BPK dan KPK, misalnya, juga tak abai meneropong apa yang terjadi di tubuh instansi penegak hukum kita. Perubahan memang tengah terjadi, dan kita semua mesti ikut dalam perubahan ini. Kita sebagai advokat tak boleh ketinggalan kereta.
Di sinilah kita dituntut untuk kembali ke khittah kita menjadi advokat pejuang, aparat penegak hukum yang berintegritas dalam membela kepentingan pencari keadilan. Sekali lagi mari kita camkan semboyan perjuangan yang dulu selalu kita teriakkan: "Biar Langit Runtuh, Keadilan Akan Tetap Kita Tegakkan." *
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/27/Opini/krn.20090227.158109.id.html
Menjadi Advokat, Menjadi Pejuang
Written By gusdurian on Jumat, 27 Februari 2009 | 13.35
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar