BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Jangan Jual Murah Suara Anda

Jangan Jual Murah Suara Anda

Written By gusdurian on Jumat, 27 Februari 2009 | 13.44

Jangan Jual Murah Suara Anda
Andi Irawan, Dosen Universitas Bengkulu dan STEI Tazkia Bogor

Di antara kegenitan para elite bermanuver untuk kemenangan mereka dalam pemilu ataupun pemilihan presiden 2009, ada pertanyaan esensial yang perlu kita kemukakan. Apa arti demokrasi dengan segala ritual di dalamnya yang telah kita lalui selama satu dekade ini bagi umumnya rakyat kita yang masih tergolong jauh dari sejahtera? Pertanyaan ini layak diajukan untuk menjadi bahan kontemplasi bagi kita semua, khususnya para elite, agar tidak terjebak terlalu dalam pada politik narsistik dan politik autis yang sibuk mematut-matut diri serta sibuk dengan dirinya dan kelompoknya tanpa mengingat kejenuhan rakyat yang melihat perilaku tersebut.

Yang perlu kita sadari bersama adalah, demokrasi yang telah kita jalankan selama satu dekade ini ternyata belum berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat. Parameternya adalah angka kemiskinan kita hari ini. Terserah Anda ingin menggunakan angka kemiskinan yang mana, angka yang sangat moderat ala BPS yang jumlahnya 37,17 juta jiwa (16,58 persen) penduduk Indonesia, atau angka yang lebih mengejutkan seperti yang disampaikan Bank Dunia, yakni sekitar 49,5 persen rakyat Indonesia berpendapatan di bawah US$ 2 per hari alias miskin.

Bagaimana kelompok rakyat yang sedemikian itu memaknai demokrasi? Jawabannya sederhana, demokrasi itu hanya bermanfaat ketika ia berimplikasi pada tercukupinya kebutuhan-kebutuhan pokok mereka, apakah itu yang berkaitan dengan pangan, papan, kesehatan, dan perumahan. Sebab, seperti yang dikemukakan Maslow, orientasi dan kebutuhan utama kaum duafa tersebut adalah pemenuhan kebutuhan pokok. Ketika demokrasi tidak berimplikasi pada akses yang lebih baik terhadap semua itu, demokrasi telah kehilangan urgensi dan relevansi keberadaannya bagi rakyat miskin.

Kalau kita merujuk pada pandangan Amartya Sen, peraih Nobel ekonomi, demokrasi sesungguhnya bisa dijadikan senjata ampuh rakyat miskin untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sen mengatakan bahwa demokrasi mampu menghilangkan kemiskinan akut melalui cara berikut. Pertama, demokrasi akan mempermudah eksisnya keterbukaan dan transparansi di mana hal tersebut bisa digunakan untuk mengawasi dan mengontrol kinerja pemerintah dalam menyejahterakan masyarakat, khususnya dalam hal penyediaan kesempatan dan akses sumber daya ekonomi dan penyediaan barang publik penting yang dibutuhkan orang miskin, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pangan.

Kedua, dengan adanya demokrasi, orang miskin akan bisa memanfaatkan vote (suara) yang dimilikinya sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Ketika mereka menganggap pemerintah yang dipilih tidak mampu meningkatkan taraf hidup mereka, orang miskin ini dapat mengoreksi kinerja pemerintahan dengan jalan mengalihkan vote kepada entitas politik yang lebih mampu memenuhi aspirasi mereka.

Mekanisme demokrasi tersebut menyebabkan pemerintah yang berkuasa tidak bisa abai dalam menolong kalangan miskin dan marginal jika mereka tetap ingin terpilih dalam pemilihan umum. Demikian logika bahwa demokrasi bisa mengatasi masalah kemiskinan. Tesis Sen, tentang peran demokrasi yang mereduksi kemiskinan, untuk kasus negara kita memang belum terjadi seperti yang diharapkan. Mengapa hal ini terjadi? Jawabannya adalah karena adanya asimetri informasi dalam transaksi politik antara rakyat miskin dan para politikus dalam pasar politik kita.

Ada dua bentuk transaksi politik dalam pasar politik tersebut. Transaksi politik yang pertama adalah dalam pemilihan presiden, pemilu atau pilkada. Dalam transaksi politik ini memang para politikus mau tidak mau harus memperhatikan kepentingan orang miskin, khususnya pada saat kampanye, seperti melalui aktivitas bantuan-bantuan sosial kemasyarakatan. Transaksi politik kedua adalah di antara sesama politikus dalam interaksi mereka di ranah pengambilan keputusan publik baik di eksekutif maupun legislatif, baik dengan sesama elite dari partai yang sama maupun dengan elite parpol lain pasca-pemilu-pilkada--dalam rangka menentukan posisi jabatan publik penting di eksekutif ataupun kebijakan dan program-program pembangunan.

Pada transaksi pertama orang miskin masih terlibat sebagai konsumen politik, sedangkan pada transaksi kedua yang berposisi sebagai penjual dan konsumen dalam pasar politik adalah para politikus, sehingga tidak mengherankan kepentingan-kepentingan yang diperjuangkan pun adalah kepentingan elite, bukan orang miskin tersebut. Walaupun ada partai oposisi, fakta menunjukkan bahwa dagang sapi politik antarparpol berkuasa dan oposisi masih tetap bisa terjadi. Dan celakanya, kepentingan orang miskin secara substansial hampir tidak pernah menjadi buah dari kesepakatan politik tersebut.

Fenomena asimetri informasi ini diperparah dengan minimnya kesadaran rakyat miskin akan kekuatan vote yang dimilikinya. Hampir tidak ada masyarakat miskin yang menyadari bahwa kekuatan vote yang mereka miliki bisa mengubah nasib mereka, dalam arti bahwa vote yang dimiliki itu hanya akan diberikan kepada para politikus yang benar-benar bisa membayar vote itu dengan ketersediaan barang-barang publik (kesehatan, pendidikan, pangan dan perumahan) dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Bahkan yang lebih memprihatinkan adalah ketika kemudian vote tersebut dijual dengan sangat murah hanya dengan uang beberapa puluh ribu atau beras beberapa belas kilogram. Akibatnya, demokrasi gagal mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.

Di sinilah kemudian arti penting peran third sector (kalangan masyarakat madani) untuk memperbaiki ritual demokrasi kita agar bisa berimplikasi pada berkurangnya kemiskinan, yakni dengan cara menghilangkan asimetri informasi dalam pasar politik melalui reformasi preferensi rakyat miskin melalui pendidikan politik. Di samping itu, agar proses pencerahan politik melalui pendidikan politik tersebut mencapai targetnya, lembaga filantropi masyarakat madani perlu membantu masyarakat miskin dalam hal menyediakan akses ekonomi dan pasar. Hal ini perlu agar mereka tidak terjebak dalam perangkap money politics yang "memaksa" mereka menjual dengan harga murah vote yang mereka miliki. *



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/26/Opini/krn.20090226.157993.id.html
Share this article :

0 komentar: