BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Para Penipu Ramai-Ramai Kena Tipu

Para Penipu Ramai-Ramai Kena Tipu

Written By gusdurian on Jumat, 27 Februari 2009 | 13.53

Para Penipu Ramai-Ramai Kena Tipu
Djoko Suud Sukahar - detikNews



Jakarta - Imej politik sebagai 'alat menipu' dan politisi sebagai 'penipu' sekarang mulai menjadi kenyataan. Rakyat kini tidak lagi 'mengenal' partai politik dan tokoh politik. Semuanya dianggap sama, sama-sama 'pembeli'. Disitulah rakyat bisa 'berjualan'. 'Menjual' suara pada siapa saja yang berhasrat 'membeli'. Inilah negatifitas lokal yang selama ini tertutupi kearifan lokal tampil secara telanjang.

Politik uang rasanya tak perlu diributkan. Undang-undang yang menyoal itu sudah tertimbun buku-buku tebal di perpustakaan. Disebut begitu, karena semua pihak sedang asyik melakukan transaksi jual-beli suara. Rakyat 'menjual', dan para calon wakil rakyat yang membelinya.

Transaksi macam ini di berbagai daerah memang berbeda-beda. Ada yang menjual dan membeli langsung, tapi ada pula yang pakai cara pseudonim. Itu campur-aduk dengan tradisi dan budaya setempat. Taklah heran jika sebagian terendus media dan diberitakan. Kendati sebagian besar tidak terekspos karena berbagai alasan.

Namun berkat itu, di Jawa binatang bunglon beranak-pinak. Di kawasan Indonesia Timur telur cecak menetas tak terbilang banyaknya, dan di wilayah utara, meliputi Maluku, Ternate, Tidore, Sulawesi, Sangihe, Talaud serta Miangas dan Marore politik dubo-dubo berbiak dengan suburnya.

Binatang bunglon memang bisa berubah warna sesuai tempat yang dipijak. Satwa mimikri ini di Jawa sebagai simbolisasi manusia plin-plan. Tidak teguh pendirian, tapi anehnya teguh tujuan dalam mengeruk keuntungan dan demi penyelamatan. Di ranah politik, bunglon figur manusia mencla-mencle. Dan itu diasumsikan sebagai jatidiri politisi serta pemilih oportunis.

Di Indonesia Timur, binatang yang bertabiat menyerupai bunglon adalah cecak. Binatang ini kendati tak bisa berubah warna, tapi dia punya watak yang mirip-mirip dengan bunglon. Cecak kalau terdesak dan ingin kabur ke lain hati selalu meninggalkan jejak dengan melepas sebagian ekornya. Dan watak yang mengesankan konsekuen dan konsisten itulah yang membuatnya dipersamakan dengan kejelekan bunglon.

Sedang di kawasan 'Indonesia Utara', istilah umum untuk sifat peniruan bunglon dan cecak itu disebut 'politik dubo-dubo'. Ini sebuah strategi meruntuhkan lawan, dengan memecah-belah kekuatan siapa saja yang ingin berkuasa. Memang amat mirip politik penjajah, karena kelahirannya distimulasi oleh devide et impera buatan Belanda.

Negatifitas lokal itu yang sekarang tampil telanjang. Penampilan itu terjadi serentak. Semula pola ini merasuk ke dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang bertabur uang, dan mendekati pemilihan umum ini menjadi 'senjata rakyat' dalam bertransaksi. Transaksi untuk 'mengkadali' para calon legislatif (caleg) yang ambisius tampil sebagai pemimpin.

Memang 'politik rakyat' itu dipraktekkan bukan untuk meraih kekuasaan. Mereka melakukan itu dengan tujuan yang amat sederhana, yaitu meraup uang. Materi itu yang disasar. Dengan 'gaya lokal' mereka beraksi, dan dari aksi itu maka para caleg itu akan masuk perangkap. Bukan jadi 'penipu', tapi malah jadi korban 'penipuan rakyat'.

Kesibukan 'penipu' yang ramai-ramai 'ditipu' rakyat itulah yang kini gegap di se-antero negeri. Tiap caleg dengan rela hati menghamburkan uang miliaran rupiah untuk 'ditipu' rakyat. Harapannya membubung ke angkasa, yakin jabatan wakil rakyat bakal disandang.

Itu pula yang membuat orang Madura menyebut caleg itu sebagai 'calegen', orang kesedak. Bisa mati karena kaget dengan perolehan suara yang di luar dugaan. Bisa stroke akibat yang sama. Atau mungkin jadi gila karena jatuh miskin dan tidak menjabat apa-apa.

Adakah ini yang disebut manusia sakti di abad modern? Hendak stroke dan menjadi gila dipamer-pamerkan. Serta mendekati ajal tiba memajang photo dimana-mana, meniru Ronggowarsito yang mampu meramal hari kematiannya sendiri? Naudzubillahi mindzalik !

(iy/iy)

http://www.detiknews.com/read/2009/02/25/103239/1090184/103/para-penipu-ramai-ramai-kena-tipu
Share this article :

0 komentar: