BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pengangguran dan Perekonomian

Pengangguran dan Perekonomian

Written By gusdurian on Jumat, 27 Februari 2009 | 13.50

Pengangguran dan Perekonomian


Di masa kampanye saat ini,salah satu topik populer yang selalu diperdebatkan adalah angka pengangguran. Perdebatan di media massa tampak bersemangat dan penuh percaya diri walau sejatinya terkadang menjurus ke pertunjukan pemahaman yang masih jauh dari situasi faktual.


Besarannya melulu hanya dikaitkan dengan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Angka pengangguran yang meningkat disimpulkan sebagai kegagalan dalam mengelola pertumbuhan ekonomi.Padahal, keterkaitan antara keduanya cukup kompleks.

Tiga Pola Hubungan

Menghubungkan keduanya membutuhkan kehati-hatian.Setiap angka perlu dipahami tidak saja dari konsep definisi yang melatarbelakanginya, tetapi juga dari karakteristik masyarakat yang membangun bunyi dari suatu angka.

Jika ini kurang dipahami, kita akan bingung sendiri.Sebagai contoh ketika angka pertumbuhan ekonomi pada triwulan (TW) II/2008 (year on year) sebesar 6,4%, angka pengangguran pada Februari tahun tersebut menunjukkan 8,46%; ketika pertumbuhan di TW III turun menjadi 6,1%, angka pengangguran juga turun ke angka 8,39%.

Menjelaskan fenomena angka pengangguran dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi memang tidak mudah.Untuk kasus Indonesia, dari perspektif sosial budaya, angka pengangguran sekaligus merefleksikan tiga karakteristik perkauman besar sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Pertama, kelompok masyarakat yang sensitif terhadap dinamika pertumbuhan ekonomi makro.

Penambahan atau penurunan persentase pertumbuhan ekonomi akan, secara umum,sangat berpengaruh terhadap naik turunnya angka pengangguran. Di sini akan berlaku hukum elastisitas tenaga kerja di mana 1% pertumbuhan ekonomi akan menurunkan sekian persen angka pengangguran.

Domain ini sebagai karakteristik dari kelompok pencari kerja terdidik yang tinggal di lingkungan elite atau menengah kampung-kampung urban.Pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor yang membuka kesempatan kerja baru akan ditangkap oleh kelompok ini untuk bekerja di sektor formal.

Dinamika perekonomian sangat berpengaruh terhadap dinamika pasar kerja kelompok tersebut. Kecenderungan ini pun tidak begitu saja dapat diasumsikan secara linier. Karena, jika pertumbuhan ekonomi menghasilkan kesempatan kerja yang kurang diminati dan mereka yang sedang mencari pekerjaan masih memiliki daya topang ekonomi keluarga yang relatif baik, mereka tetap akan berada di kelompok yang menunggu dan akan tergolong sebagai penganggur.

Kedua adalah kelompok kurang terdidik dan miskin,tinggal di daerah kumuh atau di kantong-kantong kemiskinan perdesaan yang berbudaya tradisional monodoksi (yang dalam istilah Piere Bourdieu, tokoh postmodernisme, disebut sebagai kelompok doxa). Kelompok ini tidak akan terpengaruh langsung oleh dinamika pertumbuhan ekonomi makro.

Pada saat ekonomi tumbuh atau melamban, mereka tetap bekerja guna menyambung hidup.Apa saja yang bisa dikerjakan,mulai dari jenis pekerjaan serabutan, buruh tani, pedagang asongan,menjual jasa sebagai tukang semir sepatu, tukang becak, tukang cukur,kuli angkut atau bahkan bekerja sebagai pemulung.

Kelompok ini justru merupakan lapisan terbesar dari total angkatan kerja Indonesia. JH Boeke, peneliti Belanda ternama di akhir abad ke-19 yang mengkaji tentang dualisme ekonomi di Hindia Belanda dan Clifford Geertz yang memberi pencerahan tentang proses involusi di sektor pertanian, memiliki pandangan yang sama bahwa di kelompok masyarakat bawah, tekanan ekonomi justru acap disiasati dengan peningkatan kebersamaan membagi kue kesempatan ekonomi yang kecil (involusi).

Penduduk akan beramai-ramai bekerja melakukan sharing labour (sekaligus sharing poverty).Dapat dipahami jika semakin sulit perekonomian di daerah kantongkantong kemiskinan, angka pengangguran justru mendekati nol%. Ketiga, kompleksitas dinamika hubungan antara pengangguran dan pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh proses transformasi budaya pada lapisan menengah di Indonesia.

Di antaranya transisi pola hubungan emosional dalam rumah tangga (antara suami dan istri) ke arah yang lebih terbuka, terjadinya penurunan fertilitas yang memungkinkan seorang ibu memiliki waktu yang lebih luang, dan semakin renggangnya norma yang restriktif terhadap wanita untuk bekerja.

Maka peningkatan pertumbuhan ekonomi akan mendorong kaum perempuan “rumahan” (yang semula tidak digolongkan sebagai angkatan kerja) untuk bekerja di luar rumah. Kecenderungan ini akan mendesak para pencari kerja aktif untuk tetap menganggur.

Pertumbuhan ekonomi, dalam konteks tertentu dan pada tahapan pembangunan yang masih transisional, dapat saja justru akan meningkatkan angka pengangguran. Angka pengangguran akan berkorelasi secara negatif dan prediktif dengan pertumbuhan ekonomi, berlaku di negara-negara yang telah maju yang semua penduduknya berpendidikan tinggi dan perekonomiannya didominasi sektor formal.

Jangan Gegabah

Angka pengangguran memang terlihat sederhana dan dengan semena- mena digunakan untuk mengkritik kinerja pembangunan atau sebaliknya mengukur keberhasilan pembangunan. Padahal di balik angka tersebut jalinan kompleksitasnya tidak cukup sederhana, terkandung beragam dimensi sistemik pembangunan yang sangat kompleks.

Sangat gegabah untuk terlalu berani membuat target-target angka pengangguran yang dipatok pada posisi rendah hanya karena latar belakang asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi akan tinggi.Terlalu menyesatkan kalau serta-merta secara linier dan terkesan menggampangkan kita mengatakan: setiap pertumbuhan perekonomian makro pasti akan menurunkan angka pengangguran atau sebaliknya.

Setiap kelompok spektrum budaya dan lapisan sosial masyarakat memiliki pola-pola sendiri yang kalau disatukan dalam suatu pola nasional akan menghasilkan pola yang terkadang tidak berpola.(*)

Jousairi Hasbullah
Kepala Biro Humas dan
Hukum Badan Pusat Statistik,


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/216689/
Share this article :

0 komentar: