BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Israel Kecewa atas Pemberitaan Media di Indonesia

Written By gusdurian on Sabtu, 17 Januari 2009 | 13.33

Israel Kecewa atas Pemberitaan Media di Indonesia
JAKARTA -- Pemerintah Israel mengaku sangat kecewa atas cara media-media di Indonesia memberitakan agresi negara Zionis itu ke Jalur Gaza.

“Saya pikir hampir seluruh media di Indonesia sangat tidak berimbang tiap kali memberitakan soal Israel,” kata Duta Besar Israel untuk Singapura Ilan Ben Dov kepada Tempo melalui telepon seluler kemarin. Ia mengakui ada media yang membuat berita berimbang, namun ia menolak menyebutkan nama media itu.

Memang sebagian besar media di Indonesia mengutuk kekejaman serbuan negara Yahudi tersebut. Dengan alasan menumpas kekuatan Hamas, mesin-mesin perang mereka sudah menewaskan hampir 900 orang, termasuk 260 anak-anak dan 100 kaum ibu.

Karena itu, Ben Dov menilai media-media Indonesia tidak profesional. Ia sendiri pernah punya pengalaman pribadi yang mengecewakan. Beberapa kali mencoba mengirim tulisan pendapatnya ke sebuah media terkemuka di Tanah Air, namun selalu ditolak.

Sejatinya, kata dia, pihak Israel tidak kecewa dengan berita-berita yang memojokkan mereka. Ia mencontohkan media-media luar negeri yang pro-Palestina, seperti surat kabar The Herald Tribune. “Meski begitu, mereka tetap memberikan ruang bagi pejabat-pejabat Israel untuk memberikan pandangannya,” ujar Ben Dov.

Ia berharap kebijakan secara umum itu bisa berubah. Jika tidak, ia menyebutkan, belum ada demokrasi dalam media di Indonesia saat ini. “Seharusnya media di Indonesia memberikan porsi seimbang untuk kedua pihak yang bertikai. Biar pembaca yang menilai,” katanya.

Hingga sejauh ini, pihak Israel juga masih menutup kesempatan bagi wartawan untuk meliput langsung di medan tempur. Padahal Mahkamah Agung negara itu sudah memerintahkan otoritas militer membuka akses bagi wartawan pada Jumat pekan lalu. FAISAL ASSEGAF



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/12/Internasional/krn.20090112.153503.id.html

Caleg Tebar Asuransi Jiwa untuk Raih Hati Pemilih

Asuransi konstituen sebuah jurus menghindari jerat politik uang.

P EMILU legislatif yang digelar 9 April mendatang tinggal 88 hari lagi. Partai politik dan calon anggota legislatif berlomba mengasuransikan konstituen.
Informasi yang dihimpun Media Indonesia di Jakarta, kemarin, menyebutkan dalam beberapa bulan terakhir ini mulai marak transaksi asuransi dengan partai politik dan calon anggota legislatif (caleg).

Partai baru jauh lebih gencar mengasuransikan anggota seperti yang dilakukan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) bekerja sama dengan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912.

Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mengklaim pihaknya telah membagikan empat juta kartu asuransi jiwa kepada masyarakat pemegang kartu tanda anggota (KTA) partai tersebut. "Benar, kami mengasuransikan pemegang KTA Gerindra. Asuransi itu mencakup pemberian santunan karena kecelakaan yang mengakibatkan kematian," kata Muzani.

Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon menambahkan pihaknya sudah mengasuransikan anggota selama satu tahun ke depan. Tujuannya, kata dia, memberikan pesan kepada pemilih bahwa dengan menjadi anggota Gerindra saja sudah mendapatkan keuntungan, apalagi jika memilih partai yang mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden.

Kepala Departemen Komunikasi AJB Bumiputera 1912 Ana Mustamin menjelaskan nilai premi dari Gerindra Rp5.000 untuk setiap kartu per tahun.

Perusahaan asuransi PT Asuransi Takaful Keluarga pun mengaku sudah menjalin kerja sama dengan dua partai besar.

"Sudah MoU, tapi realisasinya sampai sekarang belum ada," kata Presdir Direktur PT Asuransi Takaful Agus Edi Sumanto tanpa menyebutkan nama partai.

Tidak mendidik Bukan cuma partai. Caleg pun berlomba mengasuransikan konstituen untuk meraih simpati dalam pemilu yang menggunakan suara terbanyak.

Dedi Jamaludin dari Partai Amanat Nasional (PAN), misalnya, sudah mengasuransi 55 ribu orang di daerah pemilihannya di Jawa Barat. Ia menjalin kerja sama dengan Prudensial dengan nilai kontrak Rp500 juta.

Persyaratan menjadi konstituen Dedi sangat mudah. Cukup mengisi formulir dan menyerahkan fotokopi KTP. "Kartu asuransi ini berisikan nama dan nomor KTP anggota serta foto saya."

Syahganda Nainggolan, caleg dari Partai Golkar, juga mengaku telah membagikan 8.000 kartu asuransi jiwa kepada warga di Kabupaten Bogor. "Daripada saya menyalurkan dana itu untuk hal yang tidak jelas manfaatnya, lebih baik saya menolong masyarakat dengan cara memberikan asuransi jiwa," kata Syahganda yang mengikat kerja sama dengan PT AJ Bumi Asih Jaya.

Namun, Humas dan Promosi Bumi Asih Jaya Rahayu Sih Baksono mengatakan hingga kini kantor pusat asuransi itu belum menerima laporan dari kantor cabang Kabupaten Bogor tentang pendaftaran calon pemilih caleg Syahganda. Jika laporan itu belum sampai, lanjutnya, berarti belum ada persetujuan dari pusat.

Pakar politik Universitas Paramadina Bima Arya menilai strategi asuransi konstituen itu patut diduga sebagai politik uang dalam bentuk lain. "Ini sama sekali tidak mendidik," tukas Bima.

(Mhk/*/X-8) mayapuspita@ mediaindonesia.com



http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/01/12/ArticleHtmls/12_01_2009_001_009.shtml?Mode=1

DJENAR MAESA AYU - Kegelisahan Seorang Novelis

Djenar masih sibuk menyelesaikan novel terbarunya. Ia kian berani memaparkan serangkaian fakta bertema feminisme.

M ALAM di Cikini terasa berbeda ketika pintu restoran tua Oasis yang masih berdiri anggun dengan arsitektur khas 60-an di Jalan Raden Saleh me nyambut setiap tamunya dengan alunan musik gamelan Jawa.
Begitu memasuki ruangan, wewangian rempahrempah menyelimuti suasana romantis akibat efek pencahayaan yang sengaja diset temaram. Restoran yang sempat jaya empat dekade lalu karena banyak didatangi tamu-tamu dari para pejabat nasional dan internasional ini masih memperlihatkan pesonanya. Memukau tiap pengunjung dengan detail interior klasiknya sekaligus musik jazz yang sempurna membuat restoran ini sebagai 'the most visited place' di Jakarta.

Djenar Maesa Ayu menjadi salah satu tamu malam itu. Duduk santai di sofa dengan memakai tank-top hitam dan selendang batik dengan ditemani segelas bir dingin, ia segera memberi citra wanita Indonesia sederhana. Djenar dan bir memang bagai sepasang sahabat lama. Ibu dari Banyu Bening dan Btari Maharani ini mengonsumsi bir layaknya air mineral. Terlebih lagi ketika ia menyelesaikan novel terbarunya, Ranjang yang masih dalam proses produksi.

"Padahal sudah dua tahun buatnya, tapi masih belum selesai juga," ujar wanita ber-shio tikus ini santai. Selain faktor umur yang kian bertambah, putri dari seniman Sjuman Djaya dan aktris di era 70-an Tutie Kirana ini mengaku sulit berbagi waktu dan konsentrasinya sebagai single parent dan lagi-lagi soal kondisi badannya yang mudah sekali pegal-pegal.

Novel keduanya yang sekaligus menjadi buku kelima menambah anggapan banyak pihak bahwa Djenar berani memaparkan serangkaian fakta bertema feminisme.

Perempuan, yang memulai debut karier menulisnya dengan cerita pendek Lintah di sebuah harian nasional ini, dengan intonasi pelan dan santai menjawab, "Begitu banyak hal dalam dunia ini yang sebenarnya menempatkan posisi perempuan di titik yang tidak aman. Hanya dengan menulis saya bisa mengekspresikan perasaan gelisah itu."

Djenar yang lahir 35 tahun silam di Jakarta ini berbagi kegelisahannya terhadap kekerasan seksual yang dialami banyak kaum perempuan lewat Mereka Bilang Saya Monyet (2002), Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) (2004), Nayla (2005), dan Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek (2006). Cerita dari buku Mereka Bilang Saya Monyet (MBSM) yang sempat dicetak ulang sebanyak delapan kali divisualisasikan menjadi film Indonesia pertama yang menggunakan format digital dan dirilis ke publik di awal 2007.

Terinspirasi dari cerpennya Lintah dan Melukis Jendela, Djenar masih memakai benang merah antara perempuan dan seksualitas. Dengan bujet produksi sangat minim dan masih banyak kekurangan teknis, film ini berhasil menunjukkan gagasannya dalam bercerita.

Karya perdananya sebagai sutradara ini berhasil menembus Osian's-Cinefan Festival of Asian and Arab Cinema, sampai Australian-Malaysian Film Festival di Melbourne. "Ada perbedaan antara menulis dan membuat film, dan MBSM adalah hasil kolaborasi sebuah tim untuk menghasilkan karya yang komunikatif," tutur aktris yang pernah bermain bersama Anjasmara di film Koper-The Lost Suitcase (2006) yang disutradarai oleh Richard Oh.

Saat ini, Djenar sedang menyiapkan dua proyek film yang ia bagi ke dalam dua kategori, idealis dan komersial. Film idealisnya yang sudah mendapatkan konsep terlebih dahulu. "Di MBSM memperlihatkan bagaimana kekerasan terhadap wanita terjadi, sedangkan di film selanjutnya memfokuskan pada reaksi tubuh dari kekerasan itu," ujar Djenar yang memutuskan filmnya kelak hanya akan diputar di festival karena tidak ingin satu adegan pun mendapat sensor dari BSF.

Djenar dibesarkan dengan cara begitu demokratis oleh kedua orang tuanya. Dia mendapatkan keleluasaan memilih berbagai pilihan hidup dengan bebasnya sejak berusia 12 tahun.

Adik tiri dari Aksan Sjuman, yang lebih dikenal sebagai Wong Aksan sang penabuh drum Dewa 19 ini, memutus kan untuk menikah pada usia masih sangat belia, 18 tahun. "Saat itu saya merasa sangat yakin bahwa harus ada suatu perubahan dalam kehi dupan saya, dan menikah adalah jawaban yang tepat," tuturnya bercerita.

Memiliki kehidupan bersama seorang putri yang kini beranjak remaja dan seorang lagi yang masih kecil dengan status pernikahannya yang sudah resmi bercerai, tetap membuat hidupnya begitu santai. "Ayah mereka tinggal berdekatan dengan rumah kami, ya jadi tidak ada masalah," imbuh wanita yang tidak suka berbelanja di mal dan lebih memilih pasar tradisional ini.

Djenar bercerita, cara orang tuanya membesarkan dirinya ketika itu memberi pengaruh besar terhadap gaya yang ia pakai dengan kedua putrinya. "Saya tidak memaksakan mereka untuk apa pun, saat mereka malas berangkat sekolah, maka dengan senang hati saya akan mengajaknya jalan-jalan seharian," tuturnya sambil meng isap sebatang rokok.

Djenar, yang setia menjadi seorang vegetarian sejak setahun lalu ini menjadikan kedua putrinya se bagai inspirasi sekaligus alarm pada hidupnya. "Keterbu kaan yang komunikatif sungguh membuat se galanya menjadi begitu mudah untuk menjadi seorang ibu sekaligus kepala rumah tangga," tuturnya. (I-1)



<script language="JavaScript" src="http://c2.zedo.com/jsc/c2/ff2.js"></script><noscript> <a href="http://xads.zedo.com/ads2/r?n=563;c=2209;s=748;x=2304;u=j;z=[timestamp]" target="_blank"><img border="0" width="300" height="250" src="http://xads.zedo.com/ads2/x?n=563;c=2209;s=748;x=2304;u=j;z=[timestamp]" alt="Click here"></a> </noscript>

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/01/12/ArticleHtmls/12_01_2009_011_001.shtml?Mode=1

Menjalankan Konsep Kepemimpinan Bottom Up

Carol Bartz,60,Selasa (13/1),ditunjuk sebagai CEO perusahaan internet raksasa Yahoo Inc.Dia menggantikan Jerry Yang yang mengundurkan diri akhir tahun lalu.


BARTZ bukanlah muka baru di industri teknologi informasi. Sebelumnya, selama 14 tahun,yakni 1992–2006,Bartz menjabat sebagai CEO Auto- Desk, perusahaan pembuat peranti lunak untuk arsitek. Kehadiran Bartz diharapkan mampu mengembangkanYahoo. Pemilik perusahaan juga menaruh ekspektasi tinggi terhadap Bartz untuk menyelesaikan masalahmasalah yang melilit Yahoo.

Perusahaan internet raksasa dunia itu sempat terseokseok setelah setahun mengalami pergolakan internal, terutama dipicu oleh kegagalan negosiasi merger dengan Microsoft Inc.Sejumlah eksekutif perusahaan yang berpusat di Sunnyvale, California itu berbeda pandangan mengenai kemungkinan merger dengan Microsoft Inc.

Bagi Bartz, masalah itu merupakan tantangan untuk segera diselesaikan. Bartz optimistis mampu mempertahankan sekaligus mengembangkan Yahoo. Dia menegaskan, nama besar dan posisi pasar yang telah dimiliki Yahoo selama bertahun-tahun akan memberikan kesempatan untuk berkembang.

“Saya rasa Yahoo hanya belum beruntung tahun lalu sehingga menjadikannya terperosok dan cenderung protektif,” ungkap Bartz setelah meninjau kembali kinerja bisnis perusahaan pascapenunjukannya sebagai CEO. Bartz sepertinya akan menjalankan konsep bottom up dalam memimpin Yahoo.

Dia berencana menghabiskan beberapa hari pertama di Yahoo untuk bertatap muka dengan para pekerja dan pelanggan Yahoo, bukan investor. Bartz dikategorikan sebagai pemimpin yang menekankan keseriusan. Kendati begitu, dia menolak memberikan batas waktu untuk sejumlah keputusannya.

Ini berbeda dengan Yang yang membuat keputusan strategis dalam 100 hari pertama. “Jangan paksa diri saya dalam sejumlah batas waktu yang tidak mungkin,” tegasnya. Bartz juga mengaku terbuka terhadap semua kritik menyangkut perkembangan perusahaan. Reputasi Bartz dalam memimpin perusahaan telah teruji ketika dirinya menangani AutoDesk.

Selama kepemimpinan Bartz,AutoDesk menjelma dari perusahaan peranti lunak personal computer( PC) menjadi perusahaan pembuat software khusus desain papan atas. Semua produk perusahaan tersebut diburu arsitek di seluruh penjuru dunia. Penjualan AutoDesk tumbuh signifikan, dari semula kurang dari USD300 juta menjadi USD1,5 miliar.

Bartz juga berhasil melakukan transisi perusahaan menjadi era baru desain komputer tiga dimensi (3D). Atas prestasinya, Bartz mendapat penghargaan khusus dari para pekerja dan Wall Street. Bartz bahkan masuk dalam daftar 100 orang berpengaruh di dunia pada 2005 versi majalah Forbes.

“Saya kira dia (Bartz) telah melakukan tugas luar biasa di AutoDesk,” ungkap John Walker, pendiri AutoDesk yang tinggal di Swiss sejak pertengahan 1990-an. Lahir di kota kecil di Winona, Minnesota, Bartz tumbuh besar di kalangan masyarakat peternak di Wisconsin. Dia dibesarkan oleh neneknya sejak ibu tercintanya meninggal dunia ketika Bartz menginjak remaja. (m ismail)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/205217/38/

Di Mana Engkau Politik Ksatria?

Karena mungkin terlalu larut membaca ulang komik Mahabharata dan Bharatayudha karya senior kita RA Kosasih,di benak saya tiba-tiba terlintas dua jenis politik yang tampaknya relevan untuk memahami hari-hari politik kita saat ini:


”politik menang-kalah” dan ”politik ksatria”. Yang satu sangat pragmatis,satunya lagi sangat idealis. Ekstremnya kira-kira demikian. Politik memang berurusan dengan kalah-menang dalam perebutan kekuasaan. Namun, di manakah letak ”kehormatan”? Politik ”menang-kalah” berpola habis-habisan, membabat habis lawan (zero sum game), dengan cara ”apa pun”.

M Amien Rais tempo dulu,jauh sebelum terjun ke dunia politik praktis, mengategorikannya sebagai high politics dan mendiametralkannya dengan low politics (lihat buku Cakrawala Islam,Mizan,1987).Kategori tersebut mungkin mirip pengertiannya dengan dua jenis politik di atas.

Yang jelas dalam paradigma politik ”menang- kalah”, kehormatan bukanlah yang utama dalam memenangi pertarungan. Kehormatan adalah wacana moralitas dan sebagaimana dikatakan Khrisna kepada Arjuna, morality is even so difficult of being understood,betapa moralitas merupakan sesuatu yang susah dimengerti.

Yang penting menang dan berkuasa karena ”kemenangan”dan ”kekuasaan” akan dengan mudah membalikkan kelumrahan, kewajaran, dan apa yang dipersepsikan sebagai ”moralitas tingkat tinggi”. Dengan ”kemenangan” dan ”kekuasaan”, ”kehormatan” akan datang dengan sendirinya.Berkuasalah, maka Anda akan bak lampu ajaib yang dirubung laron-laron yang mengelu-elukan Anda.

Banyak yang ”menempel” Anda, baik yang berdalih profesional maupun politik. Anda tidak akan ”dihormati orang” ketika cara mendapatkan kekuasaan itu ”dipersoalkan”,tetapi kalau Anda politisi yang berparadigma ”menangkalah”, Anda dengan gampang dapat mematahkan kritik dan ketidaksukaan orang, bahwa musuh politik memang selalu begitu.Artinya Anda akan mudah saja mengatakan bahwa yang tidak suka pastilah musuh Anda. Anda tidak perlu ”penghormatan dari musuh”, kecuali dari para pendukung.

*** Machiavelli menyarankan agar ”politisi” tampil buas bagai singa dan licik bagai rubah.Kekuasaan harus dibikin menakutkan agar yang lain tunduk.Namun, dalam era kebebasan politik dan demokrasi, tentu saja versi asli Machiavelli harus melewati modifikasi panjang untuk diterapkan, disesuaikan dengan kultur dan adat-kebiasaan politik mutakhir.

Penguasa yang ”menakutkan”bukanlah yang otoriter ditopang oleh militer yang selalu memastikan bahwa negara adalah, sebagaimana Thomas Hobbes bayangkan,Leviathan (monster dasar laut yang mengerikan), tapi harus lebih lembut, ”merangkul tapi menusuk”. Musuh harus ditundukkan, bukan secara dominasi yang kasar,tapi dengan hegemoni yang lembut, buaian, atau mereka dibuat untuk tergantung seolah tanpa paksaan karena memang tak ada pilihan.

Dalam kalkulasi ”menang-kalah”, ”pokoknya menang”. Logikalogika dasar yang dipakai sangat rational choice kalau bukan pragmatis. Beberapa rumus bakunya antara lain, pertama, buat apa maju kalau hanya untuk kalah? Martabat dan kebesaran partai bukanlah pertimbangan utama: lebih penting mana dua hal itu dibandingkan dengan ”kemenangan”?

Kedua, tak usah resah dengan tuduhan melanggar etika atas tindakan dan kebijakan politik kita yang tak senonoh karena tak masuk ke dalam konteks ”pelanggaran hukum”. Dalam bahasa agama,”akhlak” bolehlah dikorbankan asal bisa mengelak dari ketentuan ”hukum fikih”. Ketiga, tak perlulah berpikir bahwa perilaku politik itu penting dan harus meninggalkan apa yang disebut ”pelajaran” atau ”hikmah” politik yang penuh dengan ”kedalaman”.

Cukuplah pelajaran yang ditinggalkan jelas rumusnya, ”yang kuatlah yang pasti menang”, tak mungkinlah kancil mengalahkan singa dalam kisah nyata. Pelajaran pentingnya adalah fakta kemenangan itu sendiri, bukan prosesnya.Dalam paradigma ”menang-kalah” pindah-pindah partai bukanlah masuk kategori ”kutu loncat”.

Pindah partai, ”ganti baju” secara ”santai-santai saja” dan ”senyum- senyum”tak dirasakan sebagai sesuatu yang ”saru” yang membuatnya harus menundukkan kepala karena malu. Keempat, pada akhirnya, yang diagung-agungkan adalah ”hasil akhir”,bukan prosesnya.Tidak perlulah cara dan proses dinilai, kecuali hasil akhir ”kemenangan”.

Yang menang adalah yang hebat, yang kalah adalah yang ”hina”.Perspektif inilah yang dianut para ”realis” bahwa politik harus dibaca sebagai ”apa adanya” atau ”apa realitas sebenarnya”, bukan ”seharusnya” alias normatif. Politik adalah permainan catur kekuasaan, kalau Anda tak jeli dan lihai akan dilibas ”mesin komputer kekuasaan”.

*** Yang menggelisahkan ”kita”, apakah politik harus bertumpu pada sekadar ”menang-kalah”? Apakah ”politik para ksatria” cukup kita baca di dalam kisah-kisah wayang dan para pendekar samurai yang berupaya menepati nilai-nilai yang diyakini, yang bergulat dan bertarung karena menegakkan prinsip dan kehormatan?

Politik ksatria tak menomorsatukan ”kemenangan”. Para ksatria tak takut kalah. Menangkalah bukanlah tujuan, kecuali prinsip dan kehormatan yang disandangnya. Arjuna tak mau bertanding adu panah melawan Karna karena,menurut asumsinya, Karna bukan merupakan murid Duryudana sehingga tak bakal menang––walaupun Arjuna keliru karena Karna selalu mengintip murid-murid Duryudana belajar memanah dan anehnya punya kesaktian sebanding dengan Arjuna.

Seorang ksatria pantang menghabisi ”musuh” yang lemah dan tak berpola zero sum gamedalam berpolitik. Kisah-kisah Mahabharata dan Bharatayudha memang penuh perdebatan. Tetapi kisah-kisah ksatria, yang banyak ditemukan dalam banyak kisah dan legenda, meninggalkan nilai-nilai universal. Seorang ksatria dihormati kawan dan lawan. Kehormatan sejati adalah nomor satu, bukan ”kehormatan turunan” akibat ”kemenangan kekuasaan”.

Seorang politisi ksatria akan mundur kalau terlibat dalam peristiwa ”yang memalukan”.Artinya, sangat ”tahu malu” apabila bersalah dan meninggalkan tanggung jawab. Tradisi ksatria inilah yang telah ”luntur”dan sangat langka di ”kita”. Tak ada lagi unggah-ungguh alias sopan-santun politik dalam zero sum game.

Bharatayudha memang merupakan sebuah perang besar yang nyaris zero sum game, tetapi yang ”senior”dan ”mahaguru”tetap dihormati, bahkan petuah-petuahnya masih didengar sampai menjelang ajal (dalam adegan wafatnya Bhisma Dewabrata).

Di kita, sekali orang dianggap musuh,walaupun pernah berjasa sangat besar pada penyelamatan, kesinambungan, dan kejayaan partai karena kalah dalam politik, dia langsung terdepak. Saya kira, kita perlu merenung, relevankah paradigma ”politik kstaria” dihadirkan dalam dunia politik ”demokrasi ekstraliberal” kita harihari ini? Betulkah politik tak sekadar urusan kalah-menang?(*)

M Alfan Alfian
Dosen FISIP Universitas Nasional,
Jakarta


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/205188/

Berita Common Ground : Pidato Pelantikan Imajiner Obama untuk Rakyat Palestina dan Israel

Edisi 18 - 24 Januari 2009




Pidato Pelantikan Imajiner Obama untuk Rakyat Palestina dan Israel
oleh Bradley Burston
Bradley Burston, kolumnis dan editor senior Haaretz.com, membuat kutipan dari pidato pelantikan imajiner Barrack Obama pada 20 Januari nanti. Pidato ini ditujukan kepada rakyat Palestina dan Israel yang masih bertikai.

(sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 13 Januari 2009)

Hak mempertahankan diri bukanlah strategi perdamaian
oleh Lisa Schirch
Lisa Schirch, profesor prakarsa perdamaian pada Eastern Mennonite University dan direktur 3D Security Initiative, memaparkan potensi keamanan yang menguntungkan kedua belah pihak dari kekerasan yang sedang terjadi di Gaza saat ini, dan memaparkan strategi untuk meraihnya.

(Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 13 Januari 2009)

Seorang pastur dan dua bintang musik rock bertukar pikiran
oleh Salman Ahmad
Bintang musik rock Pakistan dan duta besar utusan khusus PBB, Salman Ahmad, membuat catatan tentang acara ulang tahun Muslim Public Affairs Council (MPAC, Dewan Urusan Masyarakat Muslim) yang ke-20 yang cukup kontroversial. Ia memberi saran kepada pembicara utama pada acara ulang tahun itu, pastor Rick Warren, dan pemerintahan baru Obama.

(Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 13 Januari 2009)

Tahun baru Islam, Hanukkah dan Natal melantunkan pesan yang sama
oleh Achmad Munjid
Achmad Munjid, presiden Masyarakat Nahdhatul Ulama di Amerika Utara dan peneliti pada Dialogue Institute di Temple University di Philadelphia, mengidentifikasi kesamaan pesan dalam Hannukah, Natal, dan Tahun Baru Islam yang dirayakan hampir bersamaan bulan Desember lalu.

(Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 13 Januari 2009)

Perang Amerika dan Pakistan melawan ekstremisme harus mengatasi masalah orang hilang
oleh Mehlaqa Samdani
Mehlaqa Samdani, konsultan di AS yang meneliti hubungan Amerika-Pakistan, menegaskan perlunya Amerika memaksimalkan usaha agar kerjasamanya dengan Pakistan dalam mengurangi ekstremisme bisa lebih efektif.

(Sumber: Daily Times, 8 Januari 2009)


Pidato Pelantikan Imajiner Obama untuk Rakyat Palestina dan Israel
Bradley Burston


(Kutipan dari pidato pelantikan imajiner)

Jerusalem – Hari-hari terakhir ini adalah hari-hari kelam bagi mereka yang percaya akan terciptanya perdamaian di kota suci. Tetapi sejarah membuktikan bahwa kekerasan bisa membuka jalan bagi hadirnya nalar, kenyataan baru dan kemungkinan yang tak terduga. Tanggung jawab kitalah kemudian untuk mencari, mengeksplorasi dan menjaganya.

Kepada rakyat Palestina, hari ini kami nyatakan bahwa kami adalah sekutumu. Sekutu, karena kami yakin akan tulusnya hasrat kalian untuk mewujudkan perdamaian, masa depan yang stabil dan produktif, serta mendapatkan kebebasan dan hak menentukan diri sendiri.

Dasar perjuanganmu adalah keadilan. Tantangan yang kalian hadapi amat besar. Kalian telah berkorban banyak untuk itu. Akan tetapi apabila kalian ingin anak-anak kalian hidup damai dan merasakan Palestina yang merdeka, maka akan ada pengorbanan lain yang harus dibuat. Pengorbanan ini menuntut keberanian yang tidak sedikit.

Medan laga telah kalian pilih, maka pilihlah pula mimpi kalian.

Pilihlah perdamaian. Perbaharui komitmen kalian untuk hidup berdampingan. Buatlah pilihan tersebut, dan kami berjanji untuk tidak hanya menjadi perantara yang adil, tetapi juga menjadi pendukungmu.

Kami mempelajari sejarahmu, memahami tragedi yang kalian derita dan luka yang kalian rasakan. Kami mengagumi kekuatan tekadmu. Kami menghargai dalamnya keterikatan kalian terhadap kota suci. Kami tahu bahwa kalian tidak bisa dipatahkan, tidak bisa dipaksa, dan tak bisa dibuat tunduk patuh.

Kami tahu bahwa banyak rakyat Palestina yang masih mendukung solusi dua negara bagi dua bangsa, akan tetapi mereka telah kehilangan kepercayaan terhadapnya.

Sejarah, perjuangan dan derita kami sendiri sudah mengajarkan kepada kami bahwa sebuah rumah yang terpecah belah takkan bisa berdiri. Tetapi pada saat yang sama, kami juga belajar bahwa penyembuhan akan memperbaharui kekuatan dan harapan. Karena penyembuhan menghasilkan persatuan dan pada saat yang sama, juga menyelesaikan kemarahan.

Kami tidak akan diam. Kami berjanji akan mendengarmu. Bersama dengan masyarakat internasional lainnya, kami berjanji untuk membantumu bangkit. Kami berjanji untuk membantumu membangun jembatan perdamaian baru. Kita tahu bahwa jembatan perdamaian yang pernah kita bangun kini rusak dan jatuh ke dalam jurang. Buatlah pilihan ini, dan kami berjanji akan mendampingi langkah-langkah pertamamu di jembatan tersebut.

Kepada rakyat Israel: disini dan di saat yang sulit ini, kami ingin menyampaikan penghargaan kami atas persahabatan kalian, dan kami tegaskan komitmen kami untuk menjaga keamanan kalian.

Hari ini kami bicara secara terus terang sebagai seorang kawan lama. Jika kalian ingin konflik ini berakhir, kalian perlu pikiran baru, persepsi baru dan komitmen baru untuk berkompromi.

Kami yakin bagi mayoritas warga Israel perdamaian adalah hal terpenting. Sepanjang tahun 1990, rakyat Israel dan Palestina telah saling mendekatkan diri dan mencari sekutu untuk mengakhiri peperangan yang nampak tak berkesudahan ini.

Akan tetapi sejak saat itu, kelompok minoritas garis keras dari kedua belah pihak, yang merupakan musuh bagi perdamaian dan telah menyebabkan kesengsaraan bagi kelompok mayoritas, telah menangguk keuntungan. Mereka, yang berusaha melumpuhkan komitmen untuk berkompromi dan mematikan keyakinan akan perdamaian, telah berhasil.

Untuk bisa menyeberangi jembatan perdamaian baru, rakyat Israel harus memiliki kepercayaan dan rekan yang dapat diandalkan. Kami berjanji untuk tidak membiarkan kalian berdiri sendiri. Kami akan berdiri bersamamu di jembatan tersebut.

Kepada rakyat Israel dan Palestina,

Tidak ada satu pun bangsa di dunia ini yang pernah berjuang untuk kebebasan, keadilan dan keamanan lebih lama dan lebih berat daripada kalian. Karena itu, hingga kedua bangsa ini mendapatkan perdamaian termasuk mendapatkan kebebasan, keadilan dan keamanan, tak satu pun di antara keduanya yang bisa mendapatkannya.

Kota suci sejatinya adalah tempat yang suci. Tempat ini adalah milik kalian dan dunia. Perdamaian kalian dengan demikian merupakan perdamaian bagi dunia.

Percaya pada perdamaian berarti menghargai kehidupan anak-anak dengan menjaga masa depan mereka. Kami akan meminta pendapatmu dan menghargainya. Kami ingin mendengar tidak hanya dari para pemimpin, tetapi dari para orang tua, anak-anak, kakek dan nenek serta para pemuka agama. Tulis dan sampaikan kepada kami perasaanmu, rasa takutmu, dan ide-idemu untuk menyelesaikan konflik ini.

Kami akan mendengarmu. Bagi kami, tidak ada kehormatan dan kewajiban diplomatik yang lebih besar selain memberikan dukungan kepadamu, rakyat Palestina dan Israel, untuk berjuang, melawan semua keraguan, bagi tercapainya perdamaian.

###

* Bradley Burston adalah seorang kolumnis pada surat kabar Ha’aretz dan editor senior pada Haaretz.com. Ia menerima penghargaan Eliav-Sartawi untuk kategori Mideast Journalism di PBB pada tahun 2006. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 13 Januari 2009, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh hak cipta.

Kembali ke atas


Hak mempertahankan diri bukanlah strategi perdamaian
Lisa Schirch


Washington, DC – Dari perspektif Israel, kemarahan internasional dan nyawa warga sipil Palestina di Gaza cukup berharga untuk membayar kehancuran kekuatan Hamas. Tujuan politik ini memang cukup menggiurkan, dan Israel kelihatannya akan berhasil memperlambat pengembangan roket-roket Hamas dalam jangka pendek. Tetapi, seperti pengepungan Israel terhadap Lebanon pada tahun 2006, strategi militer “serang dan kejutkan” mereka di Gaza sebetulnya tidak akan melemahkan kepemimpinan Hamas atau pun menghasilkan keamanan jangka panjang.

Baik Israel maupun Gaza memiliki hak untuk mempertahankan diri. Tetapi ada perbedaan antara hak untuk mempertahankan diri dengan strategi yang efektif untuk mengakhiri penyerangan dan kekerasan yang tak berkesudahan ini.

Bahan-bahan utama roket-roket Hamas bukanlah selongsong baja dan kantong peledak yang dibawa melalui terowongan-terowongan dari Mesir, dan kemudian dibangun dan diluncurkan dari garasi-garasi warga Gaza. Menghancurkan prasarana warga Gaza dan membunuh anggota Hamas tidak akan bisa menghancurkan semangat yang mendorong pemuda Palestina untuk memungut sebongkah batu atau mengikatkan bahan-bahan peledak ke tubuhnya. Resep roket-roket Hamas adalah lingkungan yang dipenuhi keputusasan dan keterhinaan yang dibumbui oleh kemiskinan dan kemandulan politik.

Gaza adalah sebuah penjara dengan 45% pengangguran, tingkat pengangguran tertinggi di dunia menurut PBB. Setengah dari penduduk Gaza berusia di bawah 18 tahun. Sepertiga dari penduduknya hidup di kamp-kamp pengungsi.

Rakyat Palestina hanya memiliki sedikit tanah dan hak. Kondisi yang penuh penderitaan dan keterhinaan inilah yang melahirkan generasi-generasi baru ekstremis dan ambisi untuk melahirkan roket-roket yang lebih canggih.

Pengepungan terhadap Gaza bisa mengkonsolidasikan kepemimpinan kelompok garis keras di wilayah Palestina, seperti halnya serangan-serangan Israel terhadap Lebanon pada tahun 2006 berhasil mengkonsolidasikan kekuatan Hisbullah. Serangan-serangan tersebut melemahkan kepemimpinan kelompok moderat di Gaza dan Tepi Barat karena para pemimpin moderat ini tampak mandul di mata rakyatnya dalam menghadapi serangan Israel. Mengingat hanya para pemimpin moderat di Gaza yang bersedia melihat adanya masa depan bagi koeksistensi dengan Israel, orang pun bertanya-tanya dengan siapa Israel akan berunding di masa depan. Strategi militer Israel saat ini akan membuat keamanan menjadi semakin sulit dicapai.

Hal yang sama juga berlaku bagi prospek kepemimpinan moderat di Israel.

Serangan-serangan Hamas membuat para politikus moderat Israel semakin sulit berunding demi perdamaian. Serangan-serangan roket Hamas membuat Palestina semakin terasing dan terputus dari dukungan internasional.

Roket-roket tersebut memperpanjang penantian Bangsa Palestina akan sebuah tanah air dan pemenuhan atas hak-hak asasi mereka yang sah.

Strategi yang lebih baik dan cerdas dibutuhkan agar Israel bisa meraih tujuannya untuk mendapatkan keamanan, dan Hamas bisa meraih tujuannya untuk mendapatkan tanah dan hak-hak asasi manusia bagi bangsa Palestina.

Resep bagi perdamaian dan keamanan tidak boleh datang hanya dari dari satu pihak. Kedua pihak harus memiliki perhatian dan empati yang sama.

Strategi yang saya maksud harus dimulai dengan memfasilitasi kedua belah pihak untuk membuat narasi sebab-akibat yang lebih inklusif. Narasi dominan yang saat ini ada di Israel adalah bahwa serangan mereka saat ini atas Gaza berawal dari jatuhnya roket-roket Hamas di atas rumah-rumah dan sekolah-sekolah Israel, dan bagi warga israel penyerangan ini mengingatkan mereka pada sejarah diskriminasi dan rasa takut yang mereka alami selama lebih dari 2000 tahun. Sebaliknya, narasi dominan yang ada di Palestina adalah sakitnya kehilangan hak atas tanah, rumah dan usaha mereka pada orang lain, hingga banyak orang menjadi pengungsi dan harus hidup berdesakan dalam permukiman-permukiman yang sempit dan gersang.

Sebuah strategi yang efektif harus mengakui bahwa kedua narasi memang mengisahkan penderitaan sejati yang dialami oleh kedua belah pihak. Baik bangsa Palestina dan Israel mempunyai warisan sejarah di wilayah tersebut.

Keduanya tahu apa rasanya menjadi sebuah bangsa tanpa tanah dan sama-sama memiliki hasrat untuk mempertahankan apa yang mereka pandang sebagai tanah mereka. Keduanya merasa menjadi korban pihak yang lain.

Bagi Hamas, strategi yang cerdas berarti mengakui hak Israel untuk hidup di tanah tersebut dan mendapatkan keamanan. Bagi Israel sebaliknya, strategi yang cerdas berarti mengakui kesengsaran ekonomi dan politik Bangsa Palestina dan berusaha menyelesaikannya. Bangsa Palestina membutuhkan sebuah negara, kebebasan bergerak, dan bantuan internasional untuk menciptakan pekerjaan. Jajak pendapat masyarakat menunjukkan ada banyak orang di kedua belah pihak yang akan mendukung langkah-langkah ini.

Sudah saatnya Amerika Serikat dan masyarakat internasional berdiri di belakang kalangan moderat di Israel dan Palestina, dan bukannya memperhatikan para militan dari kedua belah pihak yang menyelesaikan persoalan ekonomi dan politik ini dengan pendekatan militer.

###

* Lisa Schirch adalah profesor prakarsa perdamaian pada Eastern Mennonite University dan Direktur 3D Security Initiative. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews).

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 13 Januari 2009, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh hak cipta.

Kembali ke atas


Seorang pastur dan dua bintang musik rock bertukar pikiran
Salman Ahmad


Tappan, New York - Dr. Rick Warren, pastur di Gereja Saddleback di California yang dipilih Presiden terpilih Barack Obama untuk memberikan khotbah pada acara pelantikannya, menyampaikan pidato pada acara ulang tahun MPAC yang ke-20 tanggal 23 Desember 2008 lalu. Mengingat kecenderungan pesan-pesan keagamaan dan politiknya yang konservatif, keterlibatannya dalam acara tersebut merupakan kejutan bagi banyak orang.

Muslim Public Affairs Council (MPAC, Dewan Urusan Masyarakat Muslim) adalah sebuah organisasi yang dikelola dan didanai secara mandiri oleh Muslim Amerika. Organisasi ini meyakini bahwa Muslim Amerika dapat menyumbangkan suara yang positif dan reformis bagi wacana nasional dan internasional. Dalam rangka meningkatkan dialog dan kesepahaman, MPAC percaya bahwa semua orang Amerika – dari latar belakang politik, agama, dan ras yang berbeda – sangat membutuhkan kerangka nasional yang inklusif sehingga mereka bisa mendengarkan dan berbicara satu sama lain.

MPAC mengundang Pastur Rick Warren untuk menjadi pembicara dalam acara mereka agar Muslim Amerika bisa mendengar ide-idenya secara langsung dan menilai sendiri pikiran-pikiran sang pengkhotbah Evangelis tersebut, khususnya mengenai Muslim dan apa yang disebut sebagai “perang melawan teror”.

Kebanyakan orang, termasuk saya, yang hadir pada acara jamuan makan malam MPAC, yang tiketnya terjual habis, memiliki kesan pertama yang baik terhadap Pastur Warren. Ia nampak otentik, terbuka terhadap dialog, dan mudah disukai.

Pesannya kepada masyarakat Muslim jelas merupakan ajakan untuk terlibat, kerukunan, dan bergandengan tangan demi kebaikan lebih besar. Ia mengatakan bahwa isu-isu global seperti perang dan konflik, penyakit-penyakit pandemik, buta huruf, korupsi dan lingkungan hidup hanya dapat diatasi jika mayoritas penduduk dunia, termasuk 3 miliar lebih umat Kristiani dan Muslim, mulai bekerja bersama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan besar ini.

Warren juga berbicara tentang semakin meningkatnya kekasaran dan permusuhan dalam kehidupan bermasyarakat di Amerika Serikat. Ia mengingatkan akan pentingnya sopan santun dan kesediaan untuk bekerja dengan berbagai kelompok yang berbeda pendapat. Ia berkata, "Kita bisa tidak sefaham tanpa harus kehilangan sopan santun." Ia juga menyatakan mengatakan bahwa al-Qaeda bagi Islam tak lebih seperti Ku Klux Klan bagi Kristen.

Ketika Melissa Etheridge dan saya menampilkan lagu kami, Ring the Bells, ia berada di meja depan bergoyang bersama 800 Muslim Amerika dan pembicara lain menikmati lagu berisi pesan perdamaian dan perubahan itu. Tidak setiap malam di Amerika, Anda dapat menyaksikan seorang pastor evangelis, seorang bintang musik rock lesbian, dan seorang pemusik rock Sufi bertukar pikiran tentang perdamaian dan kemanusiaan.

Seperti kata Warren, "walaupun kita tidak bisa saling menatap, paling tidak kita bisa berjalan bergandengan tangan".

Ketika kami ditempatkan di meja sama untuk makan malam di acara tersebut, Warren bertanya apakah saya punya pesan untuk ia sampaikan dalam khutbahnya pada acara pelantikan Barack Obama nanti. Saya bilang padanya, "Pastur Rick, dunia perlu mendengar Anda berbicara tentang perdamaian, kehormatan, dan keadilan sosial bagi semua orang.”

Saya juga katakan kepadanya bahwa karena bukunya “A Purpose Driven Life” (Hidup yang bertujuan) sangat berpengaruh bagi saya dan istri saya sebagai sebuah buku sosial dan spiritual, mungkin ia juga dapat menemukan ayat-ayat dari Al Qur’an yang memiliki pesan yang sama dengan ajaran-ajaran Kristennya.

Tetapi pesan seperti ini harus ada bukan hanya dalam khutbah pelantikan, tetapi juga dalam tindakan-tindakan pemerintahan Obama ke depan, bahkan sejak hari-hari pertama masa jabatannya.

Hal paling mendesak yang harus dilakukan oleh pemerintahan baru ini adalah menjadikan dirinya sebagai perantara yang jujur bagi perdamaian di Timur Tengah.

Setelah itu, pemerintahan Obama harus memusatkan perhatiannya untuk menangani kekecewaan dunia Muslim. Masyarakat Muslim menuntut penghormatan, penghargaan dan keadilan sosial seperti layaknya masyarakat dunia mana pun. Mereka telah terluka tidak hanya oleh kelompok garis keras di antara mereka yang telah membajak Islam, tetapi juga oleh ketidaksensitifan dan ketidakcakapan pemerintahan Bush dalam menangani serangan-serangan 9/11.

saya merasa penilaian yang jujur terhadap istilah "perang melawan teror” dan strategi AS dalam melakukannya perlu segera dilakukan. Anda tidak dapat membalas kekerasan dengan kekerasan dan mengharapkan perdamaian sebagai hasilnya. Noda darah tidak dapat dihapus dengan darah. Pemerintah Obama perlu mencari cara untuk memperbaiki hubungan Muslim-Barat yang telah rusak dan mengeksplorasi cara baru untuk membuka pintu dialog antarbangsa yang lebih luas, termasuk penggunaan seni dan budaya. Dialog yang efektif yang dilakukan dengan beraneka cara merupakan sebuah elemen sangat penting untuk menjamin keamanan nasional dan perdamaian global.

Kepresidenan Barack Obama menyediakan peluang bagi kita semua untuk berjalan melampaui batas zona kenyamanan kita dan mulai berjalan dengan sepatu orang lain. Dengan melakukan itu, kita mungkin bisa melampaui rasa takut kita, dan bahkan mungkin menemukan teman-teman dan sekutu-sekutu yang tidak disangka-sangka.

###

* Salman Ahmad adalah musisi berkebangsaan Pakistan dan duta besar PBB utusan khusus untuk perdamaian dan AIDS.
Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 13 Januari 2009, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh hak cipta.

Kembali ke atas


Tahun baru Islam, Hanukkah dan Natal melantunkan pesan yang sama
Achmad Munjid


Akhir bulan lalu, peringatan tahun baru Islam 1430 H terjadi secara beriringan dengan Natal dan Hanukkah. Dalam dunia yang masih diwarnai konflik agama ini, keserentakan peringatan tiga hari raya tersebut perlu dibaca sebagai isyarat positif, bahkan peluang, terutama bagi umat Yahudi, Kristen dan Islam untuk saling merengkuh.

Mengapa ‘Umar ibn al-Khattab (w. 644 M), khalifah kedua yang menetapkan sistem penanggalan Islam itu, memilih peristiwa hijrah Nabi Muhammad sebagai hari pertama kalender Islam? Jika ditelaah secara cermat, itu karena peristiwa ini melambangkan prinsip kemerdekaan iman. Bagi umat Kristiani dan Yahudi, pesan ini juga dimiliki oleh Natal dan Hanukkah.

Secara etimologis, hijrah berarti migrasi atau perpindahan, baik fisik maupun mental. Nabi Muhammad dan para pengikutnya bermigrasi dari Mekah ke Madinah pada tahun 622 M saat tekanan dan pelecehan penguasa suku Quraisy kian tak tertanggungkan. Hijrah Nabi dan pengikutnya, dengan demikian, bukan semata perpindahan fisik-geografis, tapi juga peralihan suasana psikologis yang membawa perubahan politik, revolusi ideologi dan pembaharuan spiritual.

Dengan kata lain, kepergian fisik mereka dari Mekah ke Madinah adalah upaya menemukan ruang hidup baru yang lebih aman bagi keyakinan mereka.

Seperti para pendiri bangsa Amerika yang lari dari Eropa, sebab utama hijrah ini adalah untuk meraih hak mereka atas kebebasan beragama.

Dalam dunia tribalistik Arab masa itu, migrasi demikian adalah perjalanan one way ticket yang beresiko amat besar. Setiap individu terikat pada klannya secara hampir mutlak. Tempat kelahiran dan etnik secara penuh mendefinisikan identitas, bahkan eksistensi seseorang. Karena itu, meninggalkan kampung halaman dan suku berarti menanggalkan identitas, bahkan meninggalkan dunia yang menopang keberadaan dirinya.

Hijrah dan Tahun baru Islam, karenanya, bisa dilihat sebagai terobosan sosial, politik dan spiritual. Ia merupakan awal pembentukan tata-sosial baru yang ditopang bukan oleh ikatan darah, suku dan budaya, tapi oleh komitmen tauhid, kesederajatan sosial dan kontrak politik di antara para pendukungnya, seperti tertuang dalam Piagam Madinah.

Semangat ini pulalah yang ada di balik peringatan Hanukkah dan Natal.

Hanukkah adalah peringatan atas kemenangan revolusi kaum Yahudi melawan bangsa Yunani setelah Raja Antiokus IV dengan sewenang-wenang merampas Kuil Sulaiman dan merubahnya menjadi altar penyembahan Dewa Zeus. Pada tahun 164 SM, Yudah the Maccabee memimpin pemberontakan dan akhirnya berhasil merebut Kuil Sulaiman dan menggunakannya kembali sebagai tempat pemujaan Yahweh. Lebih dari sekedar perlawanan politik, bagi kaum Yahudi, pemberontakan ini adalah upaya mereka mempertahan kemerdekaan mereka untuk melaksanakan ajaran agamanya.

Pada hari Natal, umat Kristiani menyucikan kelahiran Yesus, Kristus Sang Juru Selamat, yang kemudian disalib karena keyakinannya. Bagi banyak orang, Natal adalah kesempatan untuk mengingat awal kelahiran Yesus yang sederhana serta merayakan kehidupan dan ajaran-ajaran beliau.

Ketiga monumen waktu ini memang menyimpan kisah getir tentang penindasan.

Tapi, di atas segalanya, ketiganya juga bercerita tentang perjuangan menegakkan kemerdekaan beragama.

Karena itu, memperingati Natal, Hanukkah dan Tahun Baru Islam tanpa mengumandangkan hakikinya kemerdekaan iman adalah ritual hampa yang kerontang makna asalnya. Ia hanya menjadi rutinitas, ritual yang membedakan kita dari yang lain, membangun tembok pemisah dengan mereka dan bukannya membukakan pintu untuk saling merengkuh dan berbagi.

Sementara kenangan terhadap musim hari raya ini mulai berakhir, ada baiknya bila kita melihat dunia kita yang terpecah ini, dan mengingat bahwa kita semua ingin dihormati dan bukan dibenci karena agama kita. Mari kita lihat perbedaan antaragama bukan sebagai sumber perpecahan, tetapi sebagi sumber penyatu sehingga setiap orang bisa saling belajar, mengerti, menghormati, dan bersama-sama menciptakan perdamaian.

Semoga datang suatu hari ketika kita memperingati perayaan agama kita bersama-sama, dengan kesadaran dan penghargaan penuh akan samanya perjuangan dan nasib kita. Kita bisa memulainya dengan mengikuti perayaan hari raya agama lain untuk menunjukkan solidaritas kemanusiaan kita.

###

* Achmad Munjid adalah presiden Masyarakat Nahdhatul Ulama di Amerika Utara dan peneliti pada Dialogue Institute, Temple University di Philadelphia. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.

Sumber: Kantor Berita Common Ground (CGNews), 13 Januari 2009, www.commongroundnews.org
Telah memperoleh hak cipta.

Kembali ke atas


Perang Amerika dan Pakistan melawan ekstremisme harus mengatasi masalah orang hilang
Mehlaqa Samdani


Pittsfield, Massachusetts – Amerika Serikat dan Pakistan harus bekerja sama dalam berbagai bidang untuk meningkatkan peluang keberhasilan mereka dalam kampanye melawan ekstremisme. Ada satu isu khususnya yang, jika ditangani oleh Amerika, dapat memberi dampak positif bagi bidang ini. Isu itu adalah isu orang hilang di Pakistan — mereka yang ditangkap oleh badan intelijen Pakistan karena dicurigai terlibat dalam kegiatan teroris dan ditahan tanpa tuntutan atau proses pengadilan.

Sejak keterlibatan Pakistan dalam “perang melawan teror” yang dipimpin AS tujuh tahun lalu, lebih dari lima ratus orang Pakistan telah diculik, ditahan, dan disiksa. Sebagian telah diserahkan kepada para pejabat intelijen AS dan dipindahkan ke Teluk Guantanamo.

Penghilangan secara paksa warga negara Pakistan tidak hanya merupakan pelanggaran terhadap konstitusi Pakistan serta undang-undang ekstradisi dan pidananya, tetapi juga telah menyalahi hukum internasional.

Dua tahun lalu, Mahkamah Agung Pakistan menyoroti isu tersebut dan mengancam badan-badan intelijen Pakistan dengan tindakan hukum jika mereka gagal membawa para tahanan tersebut ke pengadilan. Ditantang untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, badan-badan intelijen tersebut menyerah dan orang-orang pun mulai bereaksi. Meski banyak yang takut berbicara, ada juga orang-orang yang mau menceritakan pengalaman penderitaan mereka.

Namun proses ini tiba-tiba terhenti pada bulan November 2007 ketika darurat militer diberlakukan dan Ketua Mahkamah Agung Pakistan serta enam puluh hakim lainnya disingkirkan secara ilegal.

Sejak saat itu, tak ada kemajuan dalam isu tersebut.

Pemerintahan sipil Pakistan saat ini, yang terpilih secara demokratis pada bulan Februari 2008, tetap lemah dan secara umum tidak berhasil membuat institusi-institusinya bertanggung jawab atas keterlibatan mereka dalam penghilangan warga negara Pakistan. Pemerintah ini juga, karena alasan-alasan politisnya sendiri, terus menjalankan kebijakan pemerintah sebelumnya yang menempatkan lembaga peradilan di bawah kendali eksekutif yang ketat.

Sedihnya, keluarga-keluarga dari orang hilang tersebut lebih percaya kepada kemampuan pemerintah baru AS untuk menyelesaikan isu kemanusiaan ini, daripada pada niat dan kemampuan pemerintah mereka sendiri. Ini sebetulnya kesempatan baik, yang jika direbut oleh pemerintahan Obama bisa memperbaiki hubungan antara masyarakat Pakistan dan pemerintah AS.

Rakyat Pakistan berharap agar Amerika, di bawah kepemimpinan presiden barunya, melakukan perang melawan terorisme dengan mematuhi nilai-nilai dan idealismenya sendiri, bukan mengandalkan praktik penyekapan ilegal, pemindahan tak sah, dan penjara-penjara rahasia seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Bush.

Tujuh tahun terakhir menunjukkan bahwa praktik-praktik ini malah semakin meningkatkan anti-Amerikanisme di seluruh dunia, menurunkan dukungan terhadap perang melawan ekstremisme, serta tidak membuat Amerika lebih aman.

Jadi apa yang harus dilakukan oleh pemerintah baru AS untuk memulai pengembalian orang-orang hilang di Pakistan, sekaligus memajukan kepentingan-kepentingan jangka pendek dan panjangnya di wilayah tersebut?

Pertama, pemerintahan baru harus berhenti mengadopsi kebijakan pemerintahan Bush yang menjebak orang dalam ketidak pastian hukum, serta mendorong Pakistan untuk melakukan hal serupa. Harus ada penyelidikan gabungan terhadap orang-orang hilang Pakistan yang dipimpin oleh para pembuat kebijakan di Amerika dan Pakistan. Selain itu, perlu dibuat mekanisme tertentu untuk segera membebaskan orang-orang yang berada dalam tahanan Amerika dan Pakistan yang tidak didakwa melakukan kejahatan.

Kedua, seruan Amerika pada Pakistan untuk memperbarui badan-badan intelijennya harus diletakkan dalam konteks isu orang hilang tersebut. Ini akan memperoleh dukungan luas dari rakyat Pakistan. Dukungan ini akan memungkinkan pemerintahan sipil saat ini untuk mengontrol bada-badan intelijen atas nama kepentingan rakyat. Dukungan pihak swasta dan negara Amerika dapat memberdayakan pemerintah sipil Pakistan untuk menghadapi badan-badan intelijennya sendiri. Melalui proses ini pemerintah Pakistan diharapkan bisa memulai proses reformasi lembaga intelejen, dan pada akhirnya membawa mereka berada di bawah kendali sipil.

Pemerintahan AS dan Pakistan juga harus mengeluarkan pernyataan bersama yang menyatakan bahwa penyerahan buronan di masa yang akan datang akan diatur oleh proses ekstradisi formal yang berlaku di Pakistan. Aturan ini menyatakan bahwa pengadilan Pakistan harus menyidangkan terdakwa atas perbuatan yang dituduhkan kepadanya sebelum pemerintah memutuskan untuk menyerahkan orang tersebut untuk diekstradisi atau tidak. Memperlihatkan sikap hormat terhadap hukum yang berlaku Pakistan akan mengembalikan kepercayaan rakyat Pakistan pada lembaga hukum dan juga menunjukkan komitmen Amerika untuk memperkuat lembaga-lembaga negara di Pakistan.

Akhirnya, jika RUU Biden-Lugar di Amerika (yang memberi wewenang bantuan tahunan non-militer kepada Pakistan senilai $1,5 miliar selama sepuluh tahun) menjadi undang-undang, sebagian dana tersebut bisa diberikan kepada organisasi-organisasi lokal di Pakistan yang bekerja dalam isu-isu hak asasi manusia, khususnya mereka yang berjuang untuk mengembalikan orang-orang hilang di Pakistan. Dana lain bisa dialokasikan bagi para keluarga tahanan yang disekap secara ilegal.

Saat ini adalah momen penting untuk menegakkan supremasi hukum di Pakistan dan memperbaiki hubungan AS dengan masyarakat Pakistan. Menyelesaikan isu orang hilang akan mewujudkannya, sekaligus membangun kemampuan Pakistan untuk membasmi ekstremisme dalam jangka panjang.

###

* Mehlaqa Samdani adalah seorang konsultan di AS yang meneliti hubungan AS-Pakistan. Artikel ini disebarluaskan oleh Kantor Berita Common Ground (CGNews) dengan izin dari Daily Times, Pakistan.

Sumber: Daily Times, Pakistan 8 Januari 2009, www.dailytimes.com.pk
Telah memperoleh hak cipta.

Kembali ke atas




Layanan ini merupakan prakarsa nirlaba Search for Common Ground, sebuah lembaga swadaya masyarakat (NGO), yang bermarkas di Washington dan Brussels, yang misinya adalah untuk mengubah cara dunia menangani konflik - menjauhi konfrontasi penuh permusuhan menuju penyelesaian dengan kerja sama.

Eropa Boikot Impor Buah Israel

Eropa Boikot Impor Buah Israel
Buah-buahan itu kini tertumpuk dan membusuk di gudang.
TEL AVIV -- Para petani buah Israel kemarin melaporkan terjadinya penundaan dan pengurangan pesanan dari luar negeri karena pemboikotan terhadap produk negeri Yahudi itu sejak operasi militernya ke Gaza pada 27 Desember lalu.

Para petani mengatakan banyak produk mereka kini masih tertahan di gudang-gudang karena pesanan dari luar dibatalkan. Mereka khawatir terjadi penurunan tajam ekspor buah ke negara-negara Eropa dan Timur Tengah, seperti Inggris, Yordania, dan negara-negara Skandinavia.

"Kami mengekspor kesemek, dan, karena perang itu, sejumlah negara serta distributor telah membatalkan pesanannya," kata Giora Almagor, petani di wilayah selatan Kota Bitzaron, kepada media Israel, Ynet.

Almagor mengaku sebagian produknya telah dikirim, tapi sebagian lagi masih menunggu di gudang. Menurut dia, sebagian besar pembatalan pesanan berasal dari Yordania. "Produk masih dalam kemasan di gudang dan ini menyebabkan kerugian besar bagi kami," katanya.

"Makin lama buah-buah itu tertumpuk di gudang setelah disortir, makin turun kualitasnya. Kami juga harus membayar biaya pendinginan barang yang seharusnya sudah dikeluarkan, dan biayanya sangatlah mahal," kata Almagor.

Direktur Organisasi Petani Buah Israel Ilan Eshel mengatakan negara-negara Skandinavia juga telah membatalkan banyak pesanannya. "Kebanyakan dari Swedia, Norwegia, dan Denmark. Di Skandinavia, kecenderungan ini umum, dan boleh jadi termasuk semua rantai distribusinya," katanya.

Dia menambahkan, musim dingin secara khusus merupakan musim yang sulit untuk mengekspor buah, padahal permintaan pasar avokad, kesemek, dan jeruk sedang tinggi.

Eshel menjelaskan bahwa pemboikotan ini tak pernah terjadi sebelum invasi Israel ke Gaza. "Hingga operasi militer itu dimulai, bisnis kami sangat bagus, meskipun resesi ekonomi di Eropa menyebabkan sedikit penurunan di pasar," katanya.

"Sekarang keadaan bertambah buruk dan lebih banyak suara menyerukan pemboikotan terhadap barang dagangan Israel," kata Eshel.

Pemboikotan terhadap bisnis Israel dan sekutunya, Amerika Serikat, merebak belakangan ini. Aksi itu umumnya dinyatakan sebagai protes terhadap invasi Israel ke Gaza dan dukungan kepada Palestina.

Perhimpunan Konsumen Muslim dan Himpunan Pengelola Restoran Muslim di Malaysia telah memboikot produk pabrik pasta gigi Colgate-Palmolive Co, pembuat minuman ringan Coca-Cola, dan jaringan kedai kopi Starbucks untuk memprotes sikap diam Amerika Serikat terhadap serangan itu.

Berbagai seruan pemboikotan juga menyeruak di tengah unjuk rasa menentang Israel di berbagai negara. Serikat pekerja Flaica-Uniti-Cub, yang mewakili 8.000 toko kelontong dan makanan di Roma, meminta anggotanya dan mengajak orang lain memboikot produk serta toko-toko yang terkait dengan Israel.

Kongres Serikat Dagang Afrika Selatan (Cosatu), federasi serikat dagang terbesar yang beranggotakan 1,8 juta pekerja, juga menyerukan pemboikotan produk dan bisnis Israel.

Adapun Serikat Pekerja Publik Kanada (Cupe), yang beranggotakan setengah juta pekerja sektor publik, mengusulkan pelarangan akademisi Israel berbicara, mengajar, dan meneliti di kampus-kampus di Ontario, Kanada, setelah Israel mengebom Universitas Islam di Gaza.

Israel juga menghadapi pemboikotan dari para jurnalis. Kamis lalu Foreign Press Association (FPA) meminta anggotanya memboikot foto dan video tentara Israel sebagai protes terhadap pengeboman sebuah bangunan tempat berbagai media Arab dan internasional berkantor di Gaza.

Israel mengebom menara Al-Shuruq di Rimal, Kota Gaza, yang melukai dua kamerawan yang bekerja untuk televisi Abu Dhabi. Menara itu menjadi markas berbagai media, termasuk AFP, Reuters, Fox, Sky, dan Al-Arabiya. “FPA menolak dan mengecam kebijakan pasukan Israel dalam mengendalikan peliputan berita di Gaza,” kata kelompok yang mewakili jurnalis asing di wilayah Israel dan Palestina itu. YNETNEWS | AFP | IWANK



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/17/Internasional/krn.20090117.154082.id.html

Berawal dari Deir Yassin

Berawal dari Deir Yassin
Husein Ja'far al-Hadar, pengamat pemikiran dan politik Timur Tengah

Konflik klasik berkepanjangan antara Israel dan Palestina kini kembali memanas. Brutalitas militer kembali dilancarkan kubu Israel ke Jalur Gaza guna melumpuhkan kekuatan militer-politik Hamas yang berkuasa sekaligus bermarkas di Jalur Gaza, yang kian dinilai kembali “mengganggu” otoritas serta stabilitas politik-militer Israel serta sepak terjang negeri Zionis tersebut di Palestina.

Berkembangnya konflik antara Israel dan Palestina ke ranah militer seolah telah menjadi tradisi ketika konflik di antara kedua kubu itu sedang kritis dan memanas. Pasalnya, Israel masih cenderung berpegang teguh pada dogma politik klasik yang sempat berkembang di era kekaisaran Romawi: "Si vis pacem, para bellum" (Bila Anda ingin damai, siapkanlah perang). Sehingga serangan militer ofensif dianggap sebagai mekanisme dalam mencapai kondisi damai. Ketika itu terjadi, nilai-nilai kemanusiaan menjadi taruhannya. Saat itu, nyawa manusia segera akan menjadi murah. Kondisi itulah yang kini sedang terjadi di Jalur Gaza.

Bagi sosok Edward Said, salah satu “kenangan” refleksional yang lekat dalam benak mereka ketika melihat konflik militer, khususnya brutalitas militer sepihak Israel ke Palestina, adalah tragedi horor yang terjadi di Deir Yassin pada 1948. Tragedi Deir Yassin begitu lekat terekam dalam benak rakyat Palestina, sehingga kenangan tentang tragedi itu akan selalu melintas tiap kali mereka melihat--apalagi merasakan--brutalitas militer Israel di tanah airnya. Bagi rakyat Palestina, tragedi Deir Yassin merupakan awal rentetan horor yang menyelimuti tanah airnya hingga kini. Tragedi Deir Yassin ternilai sebagai titik tolak timbul dan berkembangnya mimpi buruk yang hingga kini mendera rakyat Palestina; menjadi tanah terjajah.

Tepat pada Jumat subuh pada 9 April 1948, pasukan Irgun--kelompok militan Zionis yang beroperasi di Palestina antara 1931 dan 1948--di bawah pimpinan Menachem Begin, bersama pasukan Lehi (pasukan pembebasan Israel) melancarkan serangan militer ofensif ke sebuah desa damai di kawasan Palestina yang bernama Deir Yassin. Dalam hitungan jam, Deir Yassin disulap menjadi kuburan bagi orang Arab-Palestina yang bermukim di sana, termasuk perempuan dan anak-anak. Sederet “drama” penyiksaan mengerikan yang sarat akan sadisme terjadi di Deir Yassin saat itu. Kisah “horor” dari Desa Deir Yassin itu diriwayatkan dari sebagian orang Arab-Palestina yang saat itu juga menjadi korban dan menyaksikan tragedi kemanusiaan di Deir Yassin, namun sengaja dilepaskan dan diusir ke Yerusalem Timur oleh militer Zionis untuk menjadi perawi kisah horor di Deir Yassin yang mereka alami dan saksikan itu. Maksudnya agar cerita mereka menebarkan ketakutan bagi rakyat Palestina yang lain. Karena itu, hingga kini, trauma atas tragedi kemanusiaan mengerikan di Deir Yassin itu masih melekat di benak rakyat Palestina, sebagaimana diakui Edward Said.

Benny Morris, sejarawan Israel aliran "Sejarawan Baru", cenderung menyebut brutalitas militer sepihak kubu Israel yang menerobos etika dan nilai kemanusiaan itu sebagai pembantaian (massacre). Sebutan tersebut ternilai relevan, terlebih jika mengingat bahwa serangan militer tersebut memang diorientasikan sebagai momentum show of force oleh negeri Zionis tersebut, baik kepada Palestina maupun kepada negara-negara internasional. Dalam artian, Deir Yassin sengaja dijadikan obyek oleh negeri Zionis itu untuk menggertak Palestina dan negara-negara internasional akan eksistensi politik-militer negeri Zionis tersebut, dengan melancarkan pembantaian ke desa damai di Palestina itu.

Tragedi tersebut merupakan titik awal eksodus besar-besaran rakyat Palestina dari tanah airnya sendiri, guna memberi ruang bagi bangsa Yahudi, khususnya korban Holocaust, untuk bermukim dan membentuk negara. Tragedi tersebut sekaligus menjadi titik tolak tumbuh dan berkembangnya konflik wilayah berkepanjangan antara Israel dan Palestina. Tragedi Deir Yassin merupakan episode awal rentetan kisah orang-orang yang terusir. Pasalnya, selaras dengan pengakuan Benny Morris dan Menachem Begin, aksi di Deir Yassin tersebut adalah suatu keniscayaan bagi Israel jika negeri Zionis itu hendak berdiri.

Bertolak dari sini, sejatinya tragedi Deir Yassin selamanya akan menjadi variabel kontroversi menyangkut berdirinya negara Israel. Tragedi Deir Yassin akan menjadi mimpi buruk abadi sekaligus menggugat eksistensi negeri Zionis tersebut. Pasalnya, sederet kejanggalan kental mewarnai aksi militer di Deir Yassin yang menjadi titik awal berdirinya negara Israel. Pertama, Deir Yassin dinilai sebagai sebuah desa yang penuh akan nilai-nilai perdamaian dalam tatanan sosial-politik masyarakatnya. Bahkan pemimpin desa tersebut selalu mengusir setiap bagian masyarakatnya yang cenderung beraliran politik militan-destruktif. Kedua, operasi militer di Deir Yassin dilancarkan ketika desa itu masih berada di bawah mandat dan tanggung jawab militer-politik Inggris. Ketiga, Deir Yassin bukanlah bagian dari wilayah yang mendapat rekomendasi dari PBB untuk menjadi wilayah Israel di masa depan.

Sederet kontroversi atas tragedi Deir Yassin itu akan selalu “mengganggu” dan menggugat eksistensi Israel. Namun, ironisnya, sejarah kelam tragedi Deir Yassin itu hingga kini relatif tidak dijamah oleh “tangan” sejarah secara komprehensif. Keberadaan sejarah horor di Deir Yassin itu akan bernasib “malang” seperti sejarah horor di Hotel King David, Yerusalem, yang terjadi pada Juli 1946 yang kian mulai “dirabunkan” oleh kubu Israel. Padahal, sebagaimana harapan Martin Buber, kisah horor tentang tragedi Deir Yassin tersebut harus selalu dilestarikan secara komprehensif dalam catatan sejarah, agar selalu menjadi peringatan bagi negara-negara internasional, khususnya Israel. Bahwa hajat politik maupun militer apa pun tidak sepatutnya menjadi legitimasi untuk aksi pembantaian, sebagaimana terjadi di Deir Yassin. Sebab, hanya itu yang tersisa dari Desa Deir Yassin. *



http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/17/Opini/krn.20090117.154067.id.html

Blog, Lintas Media

blog
Lintas Media
Wicaksono

WARTAWAN TEMPO
MEDIA jejaring sosial bermekaran bak jamur di musim hujan. Dewasa ini ada lebih dari 30 media sosial yang populer di ranah Internet, seperti Facebook, MySpace, LinkedIn, Tumblr, Blogger, Bebo, Friendster, Plaxo, hi5, Plurk, Jaiku, Twitter, Flickr, YouTube, dan Imeem. Masing-masing memiliki layanan berbeda, dengan segala kelebihan dan kekurangan.

Mat Bloger, yang aktif di hampir semua jenis layanan itu, ternyata lama-kelamaan merasa pusing sendiri. Bayangkan, selain memiliki blog di Wordpress dan Blogspot, ia rajin mengunggah foto koleksinya di Flickr, memperbaiki statusnya di Facebook, serta berbagi kabar dengan teman-temannya lewat Plurk dan Twitter. Ia merasa waktunya habis untuk merawat semua media sosial miliknya.

"Apa rahasia sampean bisa aktif di semua media jejaring sosial, Mas? Saya lihat sampean sudah seperti Dewa Wisnu, yang tangannya empat, dan bisa melakukan banyak pekerjaan sekaligus, ya, mengirim posting baru di Wordpress, berbagi kabar di Plurk, memperbarui status di Facebook. Kok bisa?" tanya Mat Bloger.

"Pakai otak, Mat," jawab saya singkat.

"La iya, mosok pakai lem tikus sih, Mas?" kata Mat Bloger sewot karena merasa saya ledek.

Saya ngakak. "Sebetulnya tak ada rahasia, Mat. Saya bisa multitasking karena ada layanan lintas media atawa multiplatform service. Layanan ini sedang jadi tren di kalangan blogger."

"Waduh, apa itu, Mas?"

"Layanan lintas media itu adalah satu jenis layanan pengiriman posting atau pembaruan status ke semua media jejaring sosial secara seketika hanya dengan sekali klik."

"Halah, hebat amat. Saya kok baru dengar layanan itu. Baru, ya? Siapa saja yang menyediakan layanan canggih itu, Mas?"

"Banyak, Mat. Misalnya ada Ping.fm (http://ping.fm), HelloTxt (http://hellotxt.com), dan Tagalus MultiTweet (http://twitter.tagal.us/client). Mereka ini sebetulnya bukan layanan yang baru-baru amat. HelloTxt, misalnya, dibuat di Italia pada 2007, tapi kemudian dibeli oleh perusahaan mobile entertainment Rocket Mobile, yang bermarkas di Los Gatos, California, Amerika. Layanan-layanan itu terwujud berkat teknologi yang disebut API (application program interface). Gampangnya, ini program yang memungkinkan pelbagai media sosial itu bercakap-cakap satu sama lain.

Layanan lintas media dibuat untuk membantu orang-orang yang memiliki banyak media jejaring sosial. Ya, seperti sampean ini, yang aktif di mana-mana, mengisi Plurk, Jaiku, Facebook, Flickr, Wordpress, dan hi5. Sampean kan kerap kerepotan dan tak punya cukup waktu merawat semua koleksi sampean itu. Nah, layanan lintas media adalah teman yang tepat mengatasi masalah itu. Dengan layanan ini, sampean hanya perlu membuat satu posting baru, lalu secara otomatis pesan itu akan dipancarkan ke semua media jejaring sosial secara serentak dan seketika. Anggota komunitas atau jaringan sosial sampean juga langsung tahu bahwa sampean telah mengirim posting baru atau memperbarui status.

Hebatnya, pengiriman posting bisa dilakukan lewat situs web, e-mail, maupun pesan pendek (SMS). Sampean bahkan dapat mengirim posting dalam pelbagai bentuk, baik teks, foto, audio, maupun video, dari telepon seluler. Caranya gampang kok. Sampean hanya perlu mendaftar agar dapat memanfaatkan layanan gratis itu. Setelah mendapatkan username dan password, sampean tinggal mengatur ke layanan mana saja posting sampean juga akan muncul."

"Wah, asyik juga, ya. Saya juga mau mencoba ah, Mas."

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/17/iTempo/krn.20090117.154020.id.html

Israel Lumpuhkan Fasilitas Kesehatan di Gaza

SERANG RUMAH SAKIT, Warga Palestina mengamati gedung Rumah Sakit Al-Quds di Gaza City yang rusak terkena serangan rudal Israel sepanjang malam kemarin.


GAZA(SINDO) – Mesin-mesin perang Israel kemarin terus membombardir Gaza City dengan 40 serangan udara, melumpuhkan fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit dan klinik. Agresi berdarah Israel di hari ke-21 kemarin telah menewaskan lebih 1.139 warga Palestina, termasuk 355 anak-anak serta melukai 5.130 orang.

Pemimpin Hamas Khaled Meshaal menegaskan penolakan pejuang Palestina atas syarat gencatan senjata yang ditawarkan Israel. Penolakan Hamas itu membuat Israel semakin gencar melancarkan agresi berdarah. ”Serangan udara Israel menghancurkan banyak terowongan dan sebuah masjid di kota utama Gaza,”kata militer Israel kemarin.

Beberapa jam sebelum fajar kemarin, tank-tank Israel ditarik dari wilayah tetangga Gaza City, Tal Al-Hawa, setelah mereka menghancurkan wilayah pemukiman penduduk dan meratakan sebuah rumah sakit. Sedikitnya 23 jenazah diambil dari puing-puing gedung di Tal Al-Hawa. Wilayah itu merupakan salah satu medan pertempuran paling sengit antara tentara Israel dan pejuang Hamas.

Kamis (15/1) lalu Menteri Dalam Negeri Hamas Said Siam tewas akibat serangan Israel. Said merupakan salah satu pemimpin paling senior Hamas yang tewas sejak Israel menggelar Operation Cast Lead mulai 27 Desember silam.

Pemimpin Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Gaza, Tony Laurance, memperingatkan bahwa sistem medis di Gaza lumpuh dan warga Palestina menghadapi bencana kemanusiaan paling mengerikan jika agresi Israel terus berlangsung. ”Enam belas fasilitas kesehatan, termasuk rumah sakit dan klinik kesehatan telah dihancurkan sejak Israel menggelar agresi,”katanya.

Kemarin petugas kesehatan masih berada di puingpuing rumah sakit lima lantai Al-Quds yang dioperasikan Masyarakat Palang Merah Palestina.Tidak ada lagi yang tersisa di rumah sakit itu setelah dihantam tiga bom Israel. ”Mereka menghancurkan gedung Rumah Sakit Al-Quds.

Kami mencoba mengevakuasi orang sakit,yang terluka,dan semua orang di sana.Jet tempur datang dan menembakkan bom, lagi dan lagi, hingga tiga kali,” ujar petugas medis Ahmad Al-Haz. Serangan brutal itu terjadi tatkala di rumah sakit itu terdapat 400 pasien.Para petugas medis terperangkap di dalam gedung rumah sakit.

”Sebagian besar pasien kini dipindah ke rumah sakit Al-Shifa di Gaza City yang telah penuh pasien,”ujar Laurance kemarin. ”Serangan itu merupakan pelanggaran besar hukum kemanusiaan internasional.Jika ini berlanjut,akan terjadi bencana kemanusiaan, khususnya bagi sistem perawatan kesehatan di Gaza,”papar Laurance.

Kebrutalan Israel menyulut aksi unjuk rasa di Tepi Barat dan berakhir dengan tewasnya seorang remaja Palestina kemarin. ”Tentara Israel membunuh seorang remaja Palestina saat unjuk rasa di Kota Hebron,Tepi Barat,”kata paramedis. Perdana Menteri (PM) Palestina Salam Fayyad menyebut serangan Israel itu ”bencana yang belum pernah terjadi sebelumnya.”

Fayyad menyerukan penghentian pertempuran. ”Setiap jam yang berlalu berarti lebih banyak orang tewas,”katanya. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon menyatakan kesepakatan gencatan senjata tampaknya ”sangat dekat”. Dia berharap kesepakatan itu dapat ditandatangani dalam beberapa hari ke depan.

Israel telah mengirimkan delegasi ke Mesir untuk membahas rencana gencatan senjata. Israel tidak sedikit pun merasa bersalah atas agresi berdarah yang menewaskan ribuan warga Palestina. ”Kami berharap menuju berakhirnya agresi.Ada banyak aktivitas diplomatik dan pada saat yang sama, tekanan militer pada Hamas terus berlangsung,” ungkap Juru Bicara (Jubir) Israel Mark Regev.

Namun semua upaya diplomasi itu tidak mengurangi kebrutalan Israel yang terus memuntahkan bom-bom fosfor putih yang dilarang hukum internasional. Pejabat Israel juga menyatakan bahwa zionis tidak ingin sedikit pun mengurangi serangan militer di wilayah Gaza.

”Perdana Menteri (PM) Israel yakin militer harus terus menekan Hamas untuk menguatkan langkah yang sudah dibuat saat ini dan menjamin bahwa gencatan senjata yang dibuat itu akan berlaku dalam jangka panjang,” kata pejabat Israel yang menolak disebut namanya.

Wakil Pemimpin Hamas di Damaskus, Mussa Abu Marzuk menegaskan, pejuang siap menerima gencatan senjata selama satu tahun jika Israel menarik mundur tentaranya dari Gaza. ”Hamas menunggu respons Israel. Ini termasuk syarat agar Israel mencabut blokade yang diberlakukan di Gaza sejak Hamas menang pemilu Palestina,”ujarnya.

Pemimpin Hamas di Damaskus Khaled Meshaal menegaskan bahwa pejuang tidak akan menerima syarat Israel untuk gencatan senjata. ”Saya pastikan pada Anda, meskipun seluruh Gaza hancur,kami tidak akan menerima syarat Israel untuk gencatan senjata,” serunya dalam pertemuan tingkat tinggi di ibu kota Qatar,Doha.

”Kami katakan pada mereka yang kami cintai di Gaza, agresi akan segera menguji puncak ketabahan Anda,” papar Meshaal dalam pertemuan yang juga dihadiri musuh Israel, Presiden Iran Mahmoud Adhmadinejad dan 13 dari 22 negara anggota Liga Arab. Meshaal menekankan, permintaan Hamas ialah agresi Israel dihentikan, penarikan mundur pasukan Israel dari Gaza, dan pencabutan blokade, serta dibukanya perbatasan Rafah (antara Gaza-Mesir).

Hadirnya kepemimpinan Hamas dan absennya Otoritas Palestina yang dipimpin Presiden Mahmud Abbas menunjukkan perpecahan di antara negara-negara Arab. Qatar dan Suriah mendukung Hamas, sedangkan Mesir dan Arab Saudi mendukung Abbas. Qatar gagal mencapai batas kuorum yang diperlukan untuk menggelar konferensi tingkat tinggi Liga Arab secara sah.

Mereka kurang dua negara anggota. Kendati demikian, konferensi itu tetap digelar. ”Kami akan mengharapkan partisipasi Presiden Palestina Mahmud Abbas yang memutuskan tidak hadir,” ujar Emir Qatar dalam pembukaan konferensi kemarin. (AFP/Rtr/ syarifudin)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/205461/38/

Uni Eropa Janji Cabut Larangan Terbang

JAKARTA (SINDO) – Uni Eropa (UE) berjanji segera mencabut larangan terbang ke Eropa bagi maskapai Indonesia. Janji tersebut disampaikan Kepala Delegasi Komisi Eropa untuk Indonesia Julian Wilson ketika diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Kantor Kepresidenan, Jakarta,kemarin.


Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal menuturkan, dalam pertemuan itu Julian menyampaikan kepada Presiden SBY bahwa Komisi Uni Eropa optimistis pencabutan larangan terbang dapat dilakukan paling lambat pertengahan tahun ini. ”Ada dua kemungkinan, yaitu kalau tidak bulan Maret, bulan Juni.

Jadi kita lihat saja,ini tergantung konsultasi teknis antara kedua belah pihak,” ujar Dino di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta,kemarin. Dino mengatakan, pencabutan larangan terbang bagi maskapai Indonesia tidak lepas dari disahkannya Undang-Undang Penerbangan, 18 Desember 2008.

Pengesahan undang-undang itu dianggap oleh UE sebagai suatu perubahan yang dilakukan Indonesia. ”Ditekankan pula bahwa ini adalah masalah teknis, bukan politis,sehingga kalau mau diselesaikan juga harus dengan teknis,”katanya. Dino menuturkan, Presiden SBY menyambut baik rencana pencabutan itu.

Presiden optimistis maskapai penerbangan Indonesia dapat segera beroperasi kembali ke Eropa pada pertengahan tahun ini. ”Presiden mendorong ini harus segera diselesaikan karena sudah cukup lama dan mengganggu penerbangan kita dan mengganggu usaha promosi turis. Jadi beliau ingin agar ini (masalah teknis) diselesaikan,”ujarnya. (rarasati syarief)


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/205459/38/

Israel,Hamas,dan Subaltern

Israel,Hamas,dan Subaltern


Dunia menghadapi tahun baru dengan sukacita, tapi Palestina menyambutnya dengan tangisan.Tepat pada 1 Januari, dua minggu lalu,sebuah bom seberat satu ton menghantam rumah tokoh Hamas, Nizar Rayan.


Serangan itu menimbulkan ledakan dahsyat dan menghancurkan tubuh Rayan. Pembunuhan ini seolah dianggap sah dalam perang karena Rayan adalah salah seorang tokoh Hamas, kelompok garis keras yang lebih sering menolak berunding dengan Israel.

Tapi serangan roket itu juga menewaskan istri dan dua anaknya yang masih belia. Pembantaian dan serangan roket Israel yang membabi buta ini yang dimulai sejak 27 Desember tahun lalu telah menyebabkan lebih 1.100 jiwa tewas dan lebih 5.000 jiwa terluka. Lebih 500 jiwa yang meninggal adalah anak-anak dan perempuan.

Subaltern versus Dominan

Gagasan tentang subalternini menjadi populer kembali setelah Gayatri C Spivak menuliskan sebuah artikel pada 1985 dengan judul Can the Subaltern Speak: Speculations on Widow Sacrifice. Dari judulnya tergambar bahwa yang dimaksud subaltern adalah ungkapan lain dari keberadaan janda (sati) di India.

Para janda dianggap berpangkat kelas sosial terendah. Dalam tradisi Hindu India,seorang istri yang telah ditinggal suami adalah seorang individu yang nobody dan sepatutnya membakar diri bersama jenazah suaminya. Jika melanjutkan kehidupan, seorang janda mengalami situasi yang berat.

Janda dan kemiskinan adalah kombinasi terjelek pada konteks kultur India,bahkan belum hilang sampai sekarang. Konsep subaltern Spivak bersinggungan dengan ungkapan Ranajit Guha, seorang sejarawan yang melihat bahwa historiografi India juga dipenuhi oleh konsep kolonial (bukan hanya Inggris tapi pribumi yang bersekongkol dengan Inggris).

Dalam On Some Aspects of the Historiography of Colonial India (1982), Guha melihat bahwa sejarah India terlalu kosong dari sejarah para subalterndan kelompok menengah bawah kota-desa. Makanya dia menekankan penulisan sejarah ulang.Yang dimaksud subaltern oleh Guha adalah yang bukan elite; yang selalu menjadi objek dan diatasnamakan.

Kedua konsep ini secara generik terambil dari konsep Antonio Gramsci,seperti terbaca pada Notes on Italian History (1934), bahwa sejarah kelas subaltern sebenarnya tak kalah kompleks dibanding kelompok dominan. Sayang,hanya kelas dominan sajalah yang dapat mencatatkan sejarahnya. Subaltern selalu dihalanghalangi mendapatkan akses pada sejarah dan representasi mereka sendiri.

“Hanya sebuah kemenangan permanenlah, yaitu melalui revolusi kelas, yang dapat memutus subordinasi ini,”kata Gramsci. Dari penjelasan ini, terutama didukung dengan konsep sati dari Spivak, terlihat struktur penindasan terhadap subaltern tidak hanya dilakukan oleh kelompok dominan di luar dirinya, tetapi dipercepat persuasi yang dilakukan oleh komunitas luar nondominan atau internal subaltern sendiri.

Para janda di India seolah-olah menyadari mereka menginginkan mati bersama suaminya.Problem ini muncul karena hancurnya ruang untuk merepresentasikan diri sendiri dan kandasnya suprastruktur di luar dirinya untuk membangun relasi penghadiran kembali diri sendiri (selfrepresenting).

Dalam ungkapan Spivak, “Tak ada mulut yang bisa menyuarakan kepentingan dirinya (sang janda) dan tak ada telinga yang mau mendengarkan.” Kompleksitas ini melahirkan konstruksi budaya patriarkal yang menjadi pengetahuan untuk semua, sekaligus ketidakadilan untuk subaltern.

Menghancurkan Subalternitas Hamas-Palestina

Realitas perang Israel-Hamas di Gaza (dan sekarang telah meluas ke Libanon) memperlihatkan langgengnya struktur sosial dan hukum internasional yang tidak adil terkait hubungan kelas dominan-subaltern. Pembantaian lebih dari 1.000 jiwa dalam waktu tiga pekan ini harus dilihat sebagai kejahatan kemanusiaan.

Jari-jemari subalternitas yang telah menyebar ke luar hubungan dominan- subaltern ini harus diputus. Atau dalam bahasa Spivak disebut sebagai decentering dominant cultures (membongkar pusat-pusat budaya dominan).

Walaupun PBB,CNN,BBC dan Amerika Serikat bukan pihak yang terkait langsung pada pemusnahan massal, tapi cara pandang mereka yang tidak seimbang ikut menjerumuskan konflik ini, dan ujungujungnya semakin membuat masyarakat Palestina menderita, baik melanjutkan perang atau gencatan senjata.

Salah satu yang harus diubah adalah cara melihat efek pelaku (subjecteffect) dari subalternitas Hamas.Walaupun Hamas merupakan kelompok garis keras di Palestina,bukan berarti membenarkan pembantaian anakanak dan perempuan, bahkan sipil yang tidak bersenjata.Itu dua hal yang berbeda.

Keberadaan Hamas adalah representasi logis dari penderitaan puluhan tahun, dan kemenangan mereka pada pemilu legislatif tiga tahun lalu (78 dari 138 kursi parlemen) adalah bukti kecintaan dan ekspresi demokrasi rakyat Palestina atas komitmen perjuangan yang dipilih. Can the subaltern speak? Dapatkah Hamas berbicara atas nama dirinya sendiri? (*)

Teuku Kemal Fasya
Mahasiswa Doktoral Universitas Frankfurt,
Jerman Dosen Universitas Malikussaleh, Aceh


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/205453/

Ibu dan Lima Anak Tewas Dibom Israel

Ibu dan Lima Anak Tewas Dibom Israel


Kota Gaza,(ANTARA News) - Bom tank Israel menghancurkan satu rumah pada Jumat petang di bagian tengah Jalur Gaza sehingga menewaskan seorang ibu dan lima anaknya, kata beberapa sumber medis lokal dan saksi mata seperti dilaporkan Xinhua.

Saksi mata setempat mengatakan ibu berusia 30 tahun itu dan anak-anaknya meninggal di kamp pengungsi Al-Bureij, tempat tank Israel bergerak maju ke arah daerah tersebut pada Jumat petang.

Kepala Dinas Darurat di Kota Gaza Mo'aweya Hassanein mengatakan sebelum pemboman oleh tank Israel, seorang pria meninggal akibat serangan udara Israel sewaktu ia sedang mengendarai sepeda motor di Khan Younis, bagian selatan Jalur Gaza.

Menurut Hassanein, jumlah korban jiwa sejak awal serangan besar-besaran Israel ke Jalur Gaza pada 27 Desember telah mencapai 1.148, dan sebanyak 5.200 orang lagi cedera.

Sementara itu Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice dan Menteri Luar Negeri Israel Tzipi Livni, Jumat, menandatangani persetujuan di Washington dengan tujuan menghentikan penyelundupan senjata ke Jalur Gaza sebagai bagian dari upaya untuk mewujudkan gencatan senjata.

Rice, yang menyalahkan HAMAS atas serangan militer 21 hari Israel, mengatakan saat upacara penandatanganan di Washington bahwa kesepakatan itu bertujuan menjamin bahwa "Jalur Gaza tak pernah lagi digunakan sebagai tempat penembakan roket dan serangan lain".(*)


COPYRIGHT © 2009



http://antara.co.id/arc/2009/1/17/ibu-dan-lima-anak-tewas-dibom-israel/

Catatan Dahlan Iskan tentang Strategi Merebut Hati dan Mengisi Perut di Golden Triangle

Catatan Dahlan Iskan tentang Strategi Merebut Hati dan Mengisi Perut di Golden Triangle (4)

Terinspirasi Kualitas Kopi dari Luwak Brrruuuttt....

Produk holtikultura pengganti opium mulai membuahkan hasil. Agar bisa bertahan dan menguat di pasar, Kun Chai mempunyai cara kreatif bagaimana memasarkan produk-produk Doi Tung.

KINI sebagian wilayah Doi Tung yang dikenal sebagai pusat ladang opium dunia sudah menjadi hutan macadamia. Banyak yang sudah berbuah pula. Pohonnya memang sudah tinggi-tinggi dan dari kejauhan pun pegunungan itu terlihat seperti hutan. Bukan hutan pinus, tapi hutan macadamia!

Terdapat 200.000 pohon macadamia di Doi Tung. Tiap pohon akan menghasilkan 40 kg kacang macadamia. Tahun lalu saja, meski baru sebagian yang berbuah, tanaman itu sudah menghasilkan 380 ton. Sudah bisa mulai menjadi sumber kehidupan yang kontinu bagi masyarakat setempat.

Bahkan, di situ sudah mendirikan pabrik pemrosesan, pengolahan, dan pengemasan kacang macadamia. Selain untuk mendapatkan nilai tambah, itu untuk menampung tenaga kerja setempat. Mereka bikin snack macadamia berbagai rasa: asin, bawang, rasa rumput laut, wasabi, dan banyak lagi. Baru di sini saya makan macadamia rasa wasabi. Mereka memang terus menciptakan jenis tanaman, jenis industri makanan, jenis kemasan, dan resep mereka sendiri. Makanan Thailand memang sudah menjadi salah satu senjata unggulan bagi promosi negeri itu di seluruh dunia.

Tidak semua lahan ditanami macadamia. Kawasan tersebut terlalu luas. Beberapa plot lainnya ditanami kopi. Kebun kopinya sudah seluas 820 ha. Juga sudah jadi. Sudah 2 juta pohon berbuah.

Uniknya, kebun kopi itu tidak dikelola seperti perkebunan kopi pada umumnya bahwa rakyat setempat sebagai buruh pemetik kopi. Di Doi Tung, rakyat tidak sekadar menjadi buruh. Rakyat menjadi pemilik: pemilik pohonnya saja, bukan sekalian dengan tanahnya. Yayasan Ibu Suri memang memilih strategi menyewakan pohon-pohon kopi itu kepada petani. Tentu dengan uang sewa yang bukan saja terjangkau, tapi begitu murahnya sehingga saya lihat sewa-menyewa itu hanya sebagai ''ijab kabul'' bahwa sejak hari itu pohon-pohon tersebut telah menjadi milik mereka.

Sejak sistem persewaan pohon itu dijalankan, produktivitas dan kualitas kopinya naik drastis. ''Petani merasa kopi itu milik mereka sendiri,'' ujar Khun Chai di hadapan delegasi dari Indonesia. Di dalam delegasi ini, selain dari Badan Narkotika Nasional (BNN) dipimpin Komjen Pol Gories Mere dan dari tim Artha Graha Peduli yang dipimpin sendiri oleh Tomy Winata, ada Brigjen Pol Surya Darma dan Kol Tomy Sugiman dari Satgas Antiteror. Di luar tugasnya sebagai pemberantas teroris, Brigjen Surya Darma saya lihat sangat gelisah untuk bisa menemukan pemikiran dan cara-cara baru mengatasi terorisme dengan jalan yang tidak seperti dilakukan Amerika.

Bagaimana penyewaan pohon kopi itu bisa meningkatkan produktivitas dan kualitas? ''Kalau petani hanya disuruh bekerja memetik kopi, pasti kopi yang baru kelihatan agak merah sudah ikut mereka petik. Tapi, dengan memiliki sendiri, petani benar-benar hanya memetik kopi yang sudah merah masak,'' ujar Khun Chai. Dengan demikian, kopi yang diolah kelak benar-benar hanya kopi yang memang sudah masak. Logika itu dia samakan dengan kopi luwak di Indonesia. ''Luwak kan hanya mau makan kopi yang sudah masak di pohon,'' ujar Khun Chai yang ternyata bisa mengucapkan kata ''luwak'' dengan nada yang sempurna. ''Kalau luwak sudah brrruuutttt, biji kopi yang keluar dari sininya memang biji kopi yang terpilih,'' katanya sambil menudingkan jarinya ke pantatnya dan merendahkan pantatnya memeragakan bagaimana luwak buang kotoran.

Dengan kiat itu, secara berseloroh Khun Chai berani bertaruh bahwa dalam waktu dekat kopi terbaik di Asia akan datang dari Doi Tung. ''Bukan lagi dari Indonesia,'' katanya. ''Kami punya ribuan luwak di sini,'' guraunya. Sistem penyewaan pohon itu, kata Khun Chai, berhasil menaikkan kualitas kopi sampai tiga kali dari sebelumnya. Sedangkan produktivitasnya bisa naik dua kali lipat.

Upaya menyejahterakan petani kopi belum berhenti di sini. Khun Chai tidak mau kalau rakyat menjual kopi mentah. Petani harus memprosesnya dan bahkan mengolahnya. ''Harga kopi mentah cuma 0,5 dolar per kg. Kalau sudah dikeringkan, harganya langsung naik menjadi 2 dolar per kg. Dan, kalau sudah dibuat bubuk yang dijual dalam kaleng, bisa mencapai 20 dolar per kg,'' ujar Khun Chai. ''Karena itu, kami membuat pabrik kopi agar bisa menjual kopi dalam bentuk sudah jadi bubuk,'' tambahnya. Mereknya juga Doi Tung. Kopi Doi Tung akan dipromosikan secara besar-besaran sebagai kopi luwak Thailand.

Langkah berikutnya adalah mendirikan dan memperluas kafe ''Kopi Doi Tung'', semacam Starbucks. ''Kopi, kalau sudah di kafe, bisa laku 100 dolar per kg. Bandingkan dengan hanya 0,5 atau 2 dolar per kg di tangan petani,'' tegasnya. Khun Chai bertekad, dengan melakukan penjagaan atas kualitas yang keras, bisa menjadikan kopi Doi Tung mengalahkan kopi apa pun yang menguasai kafe saat ini. Termasuk di Starbucks sekalipun.

Macadamia Doi Tung, kopi Doi Tung, dan sayur bebas kimia Doi Tung belum cukup. Masih ada perkebunan teh yang juga dikelola dan diolah dengan pemikiran yang sama. Jadilah teh Doi Tung.

Di samping untuk memasok supermarket dan dimakan sendiri, diapakan hasil holtikultura yang kini sudah total menggantikan ladang opium di Golden Triangle itu? Juga harus dibuat snack. Maka, snack yang di dalamnya berisi campuran irisan wortel, mentimun, pisang, apel, dan entah apa lagi diciptakan. Rasanya rame. Mentimun pun dalam bentuk snack ternyata gurih juga.

Khun Chai tidak mau produk-produk serba-Doi Tung ini masuk begitu saja ke supermarket atau toko biasa. Sebagai produk baru, dia melihat merek-merek Doi Tung akan langsung tenggelam kalau harus dipersaingkan dengan produk-produk lama yang sudah berjaya di pasar. Doi Tung lantas mendirikan toko-toko Doi Tung. Di kawasan Doi Tung sendiri maupun di Bangkok. ''Di Bangkok kami sudah punya lima toko Doi Tung. Dan, masih akan tambah terus,'' ujar Khun Chai.

Toko-toko Doi Tung selalu khas: ada satu seksi yang menjual produk-produk industri makanan Doi Tung, ada satu seksi berupa kafe Doi Tung, ada satu seksi menjual bibit tanaman dan bunga Doi Tung, lalu ada satu seksi lagi menjual hasil kerajinan tangan Doi Tung.

Doi Tung punya nilai tambah untuk bahan promosinya. Di semua kemasan produk Doi Tung ditempelkan pernyataan dari UNESCO bahwa produk ini telah berjasa dalam memberantas opium dan menghutankan kawasan pegunungan. Lalu, ada lambang Perserikatan Bangsa-Bangsanya di atasnya.

Kini opium sudah menjadi masa lalu yang jauh di golden triangle. Apalagi, pemerintah Myanmar juga meminta agar Khun Chai menangani yang di sisi Myanmar. Dulu, perbatasan Thai-Myanmar itu tidak jelas. Hanya sama-sama berupa gunung gundul yang gersang. Kini perbatasan itu amat jelas: yang rimbun hijau itu adalah wilayah Thailand. Sedangkan yang masih gundul adalah wilayah Myanmar. Itu mirip dengan bagaimana cara membedakan wilayah Indonesia dan Malaysia di Pulau Sebatik, yang terbagi dua di bagian utara Kaltim itu. Yang terlihat hijau, tertata rapi, dan menyenangkan itu adalah wilayah Malaysia dengan tanaman kelapa sawitnya yang subur. Sisi yang berbeda adalah wilayah Indonesia. (*)

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=46985

Lembaga Pendidikan Akan Dikenai Pajak

JAKARTA, KOMPAS–Sebagai konsekuensi dari disahkannya Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan, lembaga penyelenggara pendidikan menjadi
subyek pajak. Karena itu, lembaga penyelenggara pendidikan yang kelak
akan berubah nama menjadi badan hukum pendidikan akan dikenai pajak.

"Saya belum cek ke Dirjen Pajak, tapi katanya bakal ada keringan pajak
untuk penyelenggara pendidikan," kata Menteri Pendidikan Nasional
Bambang Sudibyi di hadapan pimpinan redaksi media cetak dan elektronik
di Jakarta, Jumat (16/1) siang. Belum dipastikan jenis pajak yang akan
dikenakan kepada badan hukum pendiidikan (BHP).

Khusus untuk perguruan tinggi negeri (PTN) yang umumnya memiliki areal
tanah yang luas, menurut Mendiknas, status tanahnya milik negara yang
ditangani Departemen Keuangan. Pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk PTN
akan ditangani khusus Departemen Keuangan.

Mendiknas mengatakan, UU BHP, yang pada 17 Desember 2008 disetujui DPR
untuk disahkan oleh pemerintah, berprinsip pada pengelolaan dana
secara mandiri, nirlaba, otonomi, akuntabilitas, dan transparansi
untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Mendiknas juga membantah jika dikatakan UU BHP identik dengan
komersialisasi. "BHP berprinsip nirlaba. Jika ada sisa hasil usaha,
harus ditanamkan kembali untuk penyelengaraan pendidikan, " ujarnya.

Selain itu, lanjut Mendiknas, diberikan jaminan 20 persen kursi untuk
peserta didik yang miskin secara ekonomi, tetapi berprestasi.
Pemerintah dan badan hukum pendidikan pemerintah (BHPP) pun
berkewajiban memenuhi 2/3 biaya operasionalnya, sedangkan 1/3
ditanggung mahasiswa. "Apa yang dimaksud biaya operasional akan
dirumuskan dengan Ikatan Akuntan Indnesia," ujarnya.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Fasli Jalal mengatakan dalam UU
BHP memang tak diatur soal lembaga pendidikan asing. Meski demikan,
pemerintah menggariskan, lembaga pendidikan asing harus memenuhi tiga
prinsip, yakni nirlaba, hanya mebuka bidang keahlian setara politeknik
bidang elektronika dan otomotif, serta hanya boleh dibuka di lima
kota, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Yogyakarta.

"Setelah mengetahui tiga syarat yang ditetapkan, peminat asing yang
semula akan membuka pendidikan di Indonesia, mundur," kata Fasli.

Sumber berita: Harian Kompas, Sabtu, 17 Januari 2009)

Agresi Israel ke Gaza sudah direncanakan berbulan-bulan

Operation "Cast Lead": Israeli Air Force strike followed months of planning
by Barak Ravid
Global Research, December 28, 2008

Haaretz http://www.globalre search.ca/ index.php? context=va& aid=11521

Global Research Editor's Note

While
the Western media remains silent and complicit, the Israeli Press
(Haaretz) reveals the unspoken truth: the careful planning of
a military operation entitled "Cast Lead" coupled with a media
disinformation and diplomatic campaign. What we are witnessing is
genocide. Let us be under no illusiions, this operation was implemented with the knowledge and approval of Israeli's allies.

Long-term planning, meticulous intelligence- gathering, secret
discussions, visual deception tactics and disinformation preceded
operation "Cast Lead" which the Israel Air Force launched yesterday in
Gaza to take out Hamas targets in the Strip.

The disinformation effort, according to defense
officials, took Hamas by surprise and served to significantly increase
the number of its casualties in the strike.
Sources in the defense establishment said Defense
Minister Ehud Barak instructed the Israel Defense Forces to prepare for
the operation over six months ago, even as Israel was beginning to
negotiate a ceasefire agreement with Hamas. According to the sources,
Barak maintained that although the lull would allow Hamas to prepare
for a showdown with Israel, the Israeli army needed time to prepare, as
well.
Barak gave orders to carry out a comprehensive
intelligence- gathering drive which sought to map out Hamas' security
infrastructure, along with that of other militant organizations
operating in the Strip.

This intelligence- gathering effort brought back
information about permanent bases, weapon silos, training camps, the
homes of senior officials and coordinates for other facilities.
The plan of action that was implemented in Operation
Cast Lead remained only a blueprint until a month ago, when tensions
soared after the IDF carried out an incursion into Gaza during the
ceasefire to take out a tunnel which the army said was intended to
facilitate an attack by Palestinian militants on IDF troops.

On November 19, following dozens of Qassam rockets
and mortar rounds which exploded on Israeli soil, the plan was brought
for Barak's final approval. Last Thursday, on December 18, Prime
Minister Ehud Olmert and Ehud Barak met at IDF Kiryat headquarters in
central Tel Aviv to approve the operation.

However, they decided to put the mission on hold to
see whether Hamas would hold its fire after the expiration of the
ceasefire. They therefore put off bringing the plan for the cabinet's
approval, but they did inform Foreign Minister Tzipi Livni of the
developments.

That night, in speaking to the media, sources in the
Prime Minister's Bureau said that "if the shooting from Gaza continues,
the showdown with Hamas would be inevitable." On the weekend, several
ministers in Olmert's cabinet inveighed against him and against Barak
for not retaliating for Hamas' Qassam launches.

"This chatter would have made Entebe or the Six Day
War impossible," Barak said in responding to the accusations. The
cabinet was eventually convened on Wednesday, but the Prime Minister's
Bureau misinformed the media in stating the discussion would revolve
around global jihad. The ministers learned only that morning that the
discussion would actually pertain to the operation in Gaza.
In its summary announcement for the discussion, the
Prime Minister's Bureau devoted one line to the situation in Gaza,
compared to one whole page that concerned the outlawing of 35 Islamic
organizations.

What actually went on at the cabinet meeting was a
five-hour discussion about the operation in which ministers were
briefed about the various blueprints and plans of action. "It was a
very detailed review," one minister said.

The minister added: "Everyone fully understood what
sort of period we were heading into and what sort of scenarios this
could lead to. No one could say that he or she did not know what they
were voting on." The minister also said that the discussion showed that
the lessons of the Winograd Committee about the performance of
decision-makers during the 2006 Second Lebanon War were "fully
internalized. "

At the end of the discussion, the ministers
unanimously voted in favor of the strike, leaving it for the prime
minister, the defense minister and the foreign minister to work out the
exact time.
While Barak was working out the final details with
the officers responsible for the operation, Livni went to Cairo to
inform Egypt's president, Hosni Mubarak, that Israel had decided to
strike at Hamas.
In parallel, Israel continued to send out
disinformation in announcing it would open the crossings to the Gaza
Strip and that Olmert would decide whether to launch the strike
following three more deliberations on Sunday - one day after the actual
order to launch the operation was issued.
"Hamas evacuated all its headquarter personnel after
the cabinet meeting on Wednesday," one defense official said, "but the
organization sent its people back in when they heard that everything
was put on hold until Sunday."
The final decision was made on Friday morning, when
Barak met with Chief of Staff General Gabi Ashkenazi, the head of the
Shin Bet Security Service Yuval Diskin and the head of the Military
Intelligence Directorate, Amos Yadlin. Barak sat down with Olmert and
Livni several hours later for a final meeting, in which the trio gave
the air force its orders.
On Friday night and on Saturday morning, opposition
leaders and prominent political figures were informed about the
impending strike, including Likud Chairman Benjamin Netanyahu, Yisrael
Beuiteinu's Avigdor Liebermen, Haim Oron from Meretz and President
Shimon Peres, along with Knesset Speaker Dalia Itzik.


 Global Research Articles by Barak Ravid



Satrio Arismunandar
Executive Producer
News Division, Trans TV, Lantai 3
Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790
Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 4034, Fax: 79184558, 79184627

http://satrioarismunandar6.blogspot.com
http://satrioarismunandar.multiply.com

ILMUWAN dan SENIMAN Inggris mengutuk agresi Israel

http://www.guardian .co.uk/world/ 2009/jan/ 16/gaza-israel- petitions/ print

The massacres in Gaza are the latest phase of a war that Israel has been waging against the people of Palestine for more than 60 years. The goal of this war has never changed: to use overwhelming military power to eradicate the Palestinians as a political force, one capable of resisting Israel's ongoing appropriation of their land and resources. Israel's war against the Palestinians has turned Gaza and the West Bank into a pair of gigantic political prisons. There is nothing symmetrical about this war in terms of principles, tactics or consequences. Israel is responsible for launching and intensifying it, and for ending the most recent lull in hostilities.
Israel must lose. It is not enough to call for another ceasefire, or more humanitarian assistance. It is not enough to urge the renewal of dialogue and to acknowledge the concerns and suffering of both sides. If we believe in the principle of democratic self-determination, if we affirm the right to resist military aggression and colonial occupation, then we are obliged to take sides... against Israel, and with the people of Gaza and the West Bank.
We must do what we can to stop Israel from winning its war. Israel must accept that its security depends on justice and peaceful coexistence with its neighbours, and not upon the criminal use of force.
We believe Israel should immediately and unconditionally end its assault on Gaza, end the occupation of the West Bank, and abandon all claims to possess or control territory beyond its 1967 borders. We call on the British government and the British people to take all feasible steps to oblige Israel to comply with these demands, starting with a programme of boycott, divestment and sanctions.

Professor Gilbert Achcar, Development Studies, SOAS
Arshin Adib-Moghaddam, Politics and International Studies, SOAS
Dr. Nadje Al-Ali, Gender Studies, SOAS
Professor Eric Alliez, Philosophy, Middlesex University
Dr. Jens Andermann, Latin American Studies, Birkbeck
Dr. Jorella Andrews, Visual Cultures, Goldsmiths
Professor Keith Ansell-Pearson, Philosophy, University of Warwick
John Appleby, writer
Dr. Claudia Aradau, Politics, Open University
Dr. Walter Armbrust, Politics, University of Oxford
Dr. Andrew Asibong, French, Birkbeck
Professor Derek Attridge, English, University of York
Burjor Avari, lecturer in Multicultural Studies, Manchester Metropolitan University
Dr. Zulkuf Aydin, International Development, University of Leeds
Dr. Claude Baesens, Mathematics, University of Warwick
Dr. Jennifer Bajorek, Cultural Studies, Goldsmiths
Professor Mona Baker, Centre for Translation Studies, University of Manchester
Jon Baldwin, lecturer in Communications, London Metropolitan University
Professor Etienne Balibar, Birkbeck Institute for the Humanities
Dr. Trevor Bark, Criminology, WEA Newcastle
Dr. Susan Batchelor, Sociology, Glasgow University
Dr. David Bell, Tavistock Clinic and British Psychoanalytic Society
Dr. Anna Bernard, English, University of York
Professor Henry Bernstein, Development Studies, SOAS
Anindya Bhattacharyya, writer and journalist
Dr. Ian Biddle, Music, Newcastle University
Sana Bilgrami, filmmaker and lecturer, Napier University, Edinburgh
Professor Jon Bird, School of Arts & Education, Middlesex University
Nicholas Blincoe, writer
Dr. Jelke Boesten, Development Studies, University of Leeds
Dr. Julia Borossa, Psychoanalysis, Middlesex University
Dr. Mark Bould, Film Studies, UWE
Dr. Mehdi Boussebaa, Said Business School, University of Oxford
Professor Wissam Boustany, Trinity College of Music, London
Professor Bill Bowring, Law, Birkbeck
Dr. Alia Brahimi, Politics, University of Oxford
Professor Haim Bresheeth, Media Studies, University of East London
Professor John D Brewer, Sociology, Aberdeen
Victoria Brittain, writer and journalist
Professor Celia Britton, French, UCL
Professor Charles Brook, Paediatric Endocrinology, UCL
Dr. Muriel Brown, writer
Professor Ian Buchanan, Critical and Cultural Theory, University of Cardiff
Professor Ray Bush, African Studies and Development Politics, University of Leeds
Professor Alex Callinicos, European Studies, KCL
Dr. Conor Carville, Irish Studies, St. Mary's University College
Professor Noel Castree, Geography, University of Manchester
Matthew Caygill, lecturer in History and Politics, Leeds Metropolitan University
Dr. Rinella Cere, Arts, Design, Communication and Media, Sheffield Hallam University
Dr. John Chalcraft, Government, LSE
Dr. Claire Chambers, English Literature, Leeds Metropolitan University
Dr. Sue Chaplin, Cultural Studies, Leeds Metropolitan University.
Dr. Sharad Chari, Geography, LSE
Dr. Lorenzo Chiesa, Critical Theory, University of Kent
Dr. Andrew Chitty, Philosophy, University of Sussex
Professor Emilios Christodoulidis, Law, Glasgow
Professor Sue Clegg, Education, Leeds Metropolitan University
Professor Claire Colebrook, English Literature, Edinburgh University
Dr. John Collins, Philosophy, UEA
Professor Guy Cook, Education and Language Studies, The Open University
Professor Diana Coole, Politics and Sociology, Birkbeck
Professor Annie E. Coombes, History of Art, Birkbeck
Charlie Cooper, lecturer in Social Policy, University of Hull
Julia Copus, poet
Professor Andrea Cornwall, Institute of Development Studies, Sussex
Dr. Don Crewe, Criminology, Roehampton University
Professor Simon Critchley, Philosophy, University of Essex
Dr. Stephanie Cronin, Social Sciences, University of Northampton
Eleanor Crook, sculptor & lecturer, University of the Arts London
Laura Cull, artist and researcher, Drama, University of Exeter
Dr. Sonia Cunico, Modern Languages, University of Leicester
Dr. David Cunningham, English, University of Westminster
Catherine Czerkawska, writer and historian
Dr. Sarah Dadswell, Drama, University of Exeter
Dr. Gareth Dale, Politics and History, Brunel University
Dr. Gary Daniels, Public Policy and Management, Keele University
Neil Davidson, Senior Research Fellow, Geography and Sociology, University of Strathclyde
Dr. Graham Dawson, Cultural History, University of Brighton
Christophe Declercq, lecturer in Translation, Imperial College London
Dr. Helen May Dennis, English and Comparative Literary Studies, University of Warwick
Dr. Caitlin DeSilvey, Geography, University of Exeter
Dr. Mark Devenney, Humanities, University of Brighton
Dr. Pat Devine, Social Science, University of Manchester
Dr. Jorge Díaz-Cintas, Translation, Imperial College London
Professor James Dickins, Arabic, University of Salford
Kay Dickinson, Media and Communications, Goldsmiths College
Jenny Diski, writer
Dr. Bill Dixon, Sociology & Criminology, Keele University
Noel Douglas, lecturer and graphic designer, University of Bedfordshire
Professor Sionaidh Douglas-Scott, Law, University of Oxford
Professor Allison Drew, Department of Politics, University of York
Dr. Judit Druks, Psychology & Language Science, UCL
Professor Mick Dunford, Geography, University of Sussex
Dr. Sam Durrant, English, Leeds University
Dr. Graham Dyer, Economics, SOAS
Professor Abbas Edalat, Computer Science, Imperial College
Professor Rasheed El-Enany, Arab and Islamic Studies, University of Exeter
Gregory Elliott, writer and translator
Dr. Richard Elliott, Music, Newcastle University
Professor Hoda Elsadda, Arabic Studies, University of Manchester
Bernardine Evaristo, writer
Dr. Howard Feather, Sociology, London Metrolitan University
Professor Patrick ffrench, French, King's College London
Dr. Clare Finburgh, Theatre Studies, University of Essex
Professor Jean Fisher, Fine Art, Middlesex University
Dominic Fox, writer
Dr. Jennifer Fraser, Spanish, Birkbeck
Professor Murray Fraser, Architecture, University of Westminster
Dr. Des Freedman, Media and Communications, Goldsmiths
Maureen Freely, writer and journalist, English, University of Warwick
Dr. Diane Frost, Sociology, University of Liverpool
Dr. Geetanjali Gangoli, School for Policy Studies, University of Bristol
Juliet Gardiner, writer
Dr. James Garvey, philosopher
Professor Conor Gearty, Centre for the Study of Human Rights, LSE
Dr. Julie Gervais, Government, LSE.
Dr. Jeremy Gilbert, Cultural Studies, University of East London
Dr. Aisha Gill, Criminologist, Roehampton University, UK
Professor Paul Gilroy, Sociology, London School of Economics
Charles Glass, writer
Dr. Andrew Goffey, Media, Middlesex
Professor Barry Goldson, Sociology and Social Policy, University of Liverpool
Professor Philip Goodchild, Theology and Religious Studies, University of Nottingham
Dr. Paul Goodey, lecturer and oboist
Professor Ian Gough, Social Policy, University of Bath
Dr. David Graeber, Anthropology, Goldsmiths
Dr. James Graham, Media Culture and Communication, Middlesex University
Professor Penny Green, Law, Kings College London
Dr. Simon Gieve, Education, University of Leicester
Dr. Steve Hall, Sociology and Criminology, Northumbria
Professor Peter Hallward, Philosophy, Middlesex University
Keith Hammond, lecturer in Education, University of Glasgow
Dr. Sameh F. Hanna, Translation Studies, University of Salford
Nicky Harman, lecturer in Translation, Imperial College London
M John Harrison, writer
Dr. Rumy Hasan, Science & Technology Policy Research, University of Sussex
Owen Hatherley, journalist and academic
Dr. Jane Haynes, writer & dialogic psychotherapist
Dr. Jonathan Hensher, French Studies, University of Manchester
Dr. Barry Heselwood, Linguistics & Phonetics, University of Leeds
Tom Hickey, Tutor in Philosophy, Politics and Aesthetics, University of Brighton
Dr. Jane Hiddleston, Modern Languages, University of Oxford
Dr. Nicki Hitchcott, French and Francophone Studies, University of Nottingham
Professor Eric Hobsbawm, President, Birkbeck
Dr. Jane Holgate, Working Lives Research Institute, London Metropolitan University
Professor Derek Holt, Mathematics, University of Warwick
Professor Ted Honderich, Philosophy, UCL
Professor David Howell, Politics, University of York
Professor Richard Hudson, Linguistics, UCL
Professor John Hutnyk, Centre for Cultural Studies, Goldsmiths
Dr. Colin Imber, Turkish, University of Manchester
Professor Lyn Innes (emeritus), English, University of Kent
Professor Yosefa Loshitzky, Film, Media and Cultural Studies, University of East London
Dr. Lars Iyer, Philosophy, Newcastle University
Dr. Ian James, French, University of Cambridge
Dr. Daniel Katz, English and Comparative Literary Studies, University of Warwick
Dr. Mark Kelly, Philosophy, Middlesex University
Joanna Gilmore, lecturer in the School of Law, University of Manchester
Susan Kelly, lecturer in Fine Art, Goldsmiths
Dr. Christian Kerslake, Philosophy, Middlesex University
Dr. Alexander King, Anthropology, University of Aberdeen
David Kinloch, poet
Dr. Dianne Kirby, History and International Affairs, University of Ulster
Dr. Graeme Kirkpatrick, Sociology, University of Manchester
Dr. Laleh Khalili, Politics and International Studies, SOAS
Dr. Stathis Kouvelakis, European Studies, KCL
Professor Basil Kouvaritakis, Engineering Science, University of Oxford
Dr. John Kraniauskas, Spanish, Birkbeck
Dr. Cecile Laborde, Political Science, UCL
Professor Ernesto Laclau, Government, Essex
Dave Laing, writer and journalist
Dr. Juan Antonio Lalaguna, Humanities, Imperial College London
Professor William Large, Philosophy, University College Plymouth, St Mark and St John
Nicholas Lawrence, lecturer in English & Comparative Literary Studies, University of Warwick
Professor Andrew Leak, French, UCL
Dr. Barbara Lebrun, French, University of Manchester
Dr. Keekok Lee, Philosophy, University of Manchester
Professor Esther Leslie, English and Humanities, Birkbeck
Dr. Jo Littler, Media and Cultural Studies, Middlesex University
Tim Llewellyn, journalist and writer
Dr. Caroline Lloyd, Social Sciences, Cardiff University
Dr. Jill Lovecy, Politics, University of Manchester
Simon Lynn, lecturer in Social Work, UEL
David Mabb, artist and Reader in Art, Goldsmiths
Dr. Stephen Maddison, Cultural Studies, University of East London
Dr. Kevin Magill, Arts and Humanities, University of Wolverhampton
Michael Mahadeo, lecturer in Health and Social Sciences, University of Ulster
Dr. Suhail Malik, Art, Goldsmiths
Dr. Johanna Malt, French, KCL
Dr. Matteo Mandarini, Business and Management, QMUL
Professor Susan Marks, Law, KCL
Dr. Lee Marsden, International Relations, University of East Anglia
Professor Lauro Martines, historian
Dr. Luciana Martins, Spanish, Birkbeck College
Dr. Nur Masalha, Religion and Politics, St Mary's University College
Dr. Dina Matar, Centre for Media and Film Studies, SOAS
Dr. Graeme Macdonald, English, University of Warwick
Professor (emeritus) Moshé Machover, Philosophy, KCL
Dr. Maeve McCusker, French Studies, Queen's University Belfast
Dr. James McDougall, History, SOAS
Dr. Sonia McKay, Working Lives Research Institute, London Metropolitan University
Dr. Susan McManus, Politics, Queen's University Belfast
Dr. Saladin Meckled-Garcia, Human Rights Studies, UCL
Professor Susan Melrose, Performing Arts, Middlesex University
Dr. Farah Mendlesohn, Media and Creative Writing, Middlesex University
Dr. Mahmood Messkoub, Business, University of Leeds
Dr. China Miéville, writer and academic
Dr. Anna-Louise Milne, French, University of London Institute in Paris
Dr. Surya Monro, Politics, University of Sheffield
John Moore, lecturer in Sociology & Criminology, University of the West of England
Professor Bart Moore-Gilbert, English and Comparative Literature, Goldsmiths
Dr Farhang Morady, Globalisation and Development, University of Westminster
Dr. Stephen Morton, English, Southampton University
Dr. Pablo Mukherjee, English and Comparative Literature, University of Warwick
Professor John Mullarkey, Philosophy, University of Dundee
Professor John Muncie, Criminology, The Open University
Professor Martha Mundy, Anthropology, LSE
Dr. Alex Murray, English, University of Exeter
Dr. Karma Nabulsi, Politics, University of Oxford
Ali Nasralla, Senior Fellow (retired) at Manchester University Business School
Professor Mica Nava, Cultural Studies, University of East London
Marga Navarrete, Lecturer in Spanish and Translation, Imperial College
Dr. Nick Nesbitt, French, Aberdeen
Dr. Michael Niblett, Translation and Comparative Cultural Studies, University of Warwick
Professor Christopher Norris, Philosophy, University of Cardiff
Julia O'Faolain, writer
Michael Oliva, composer and lecturer, Royal College of Music
Wendy Olsen, Development Studies, University of Manchester
Professor Peter Osborne, Philosophy, Middlesex University
Dr. George Paizis, French, UCL
Professor Ilan Pappé, History, University of Exeter
Professor Benita Parry, English and Comparative Literature, University of Warwick
Dr. Diana Paton, History, Newcastle University
Dr. Ian Patterson, Queens' College, Cambridge
Lara Pawson, writer and journalist
Dr. Maeve Pearson, English, University of Exeter
Carmen Perea-Gohar, lecturer in Spanish, Imperial College
Dr. Luis Perez-Gonzalez, Translation Studies, University of Manchester
Dr. Andrea Phillips, Art, Goldsmiths
Dr. Nina Power, Philosophy, Roehampton University
Dr. Jane Poyner, English, University of Exeter
Professor Scott Poynting, Sociology, Manchester Metropolitan University
Dr. Nicola Pratt, Political, Social & International Studies, UEA
Professor Al Rainnie, Centre for Labour Market Studies, University of Leicester
Dr. Kamran Rastegar, Arabic and Persian Literatures, University of Edinburgh
Professor Jane Rendell, Architecture, UCL
Professor Dee Reynolds, French, University of Manchester
Dr. Chris Roberts, School of Community Based Medicine, University of Manchester
Dr. Mark Robson, English Studies, University of Nottingham
Professor William Roff, Islamic & Middle Eastern Studies, University of Edinburgh
Professor Bill Rolston, Sociology, University of Ulster
Caroline Rooney, English and Postcolonial Studies, Kent
Professor Hilary Rose, Social Policy, University of Bradford
Michael Rosen, writer
Dr. Elaheh Rostami-Povey, Development Studies, SOAS
Professor William Rowe, Spanish and English, Birkbeck
Dr. Juliet Rufford, Theatre Studies, University of Reading
Professor Jonathan Rutherford, Cultural Studies, Middlesex University
Professor Alfredo Saad Filho, Development Studies, SOAS
Dr. Gabriela Saldanha, English Language, University of Birmingham
Dr. Shahira Samy, Politics, University of Oxford
Dr. Stella Sandford, Philosophy, Middlesex University
Professor Sanjay Seth, Politics, Goldsmiths
Carole Satyamurti, writer
Professor Yezid Sayigh, War Studies, KCL
Professor Phil Scraton, Law and Criminology, Queen's University Belfast
Professor Richard Seaford, Classics and Ancient History, University of Exeter
Amanda Sebestyen, writer and asylum campaigner
Professor David Seddon, Development Studies, University of East Anglia
Richard Seymour, writer and activist
Dr. Subir Sinha, Development Studies, SOAS
Dr. Debra Benita Shaw, Social Sciences, Media & Cultural Studies, University of East London
Professor Avi Shlaim, International Relations, St Antony's College, University of Oxford
Mark Shuttleworth, lecturer in Translation, Imperial College London
Professor David Slater, Geography, Loughborough University
Dr. Andrew Smith, Sociology, Anthropology and Applied Social Science, University of Glasgow
Dr. Graham Smith, Law, University of Manchester
Professor Neil Smith (emeritus), Linguistics, UCL
Olivia Smith, Centre for Editing Lives and Letters, Queen Mary, University of London
Dr. Anthony Soares, Portuguese, Queen's University Belfast
Ahdaf Soueif, writer and journalist
Professor William Spence, Physics, QMUL
Dr. Robert Spencer, Postcolonial Literatures, University of Manchester
Professor Paul Stewart, Human Resource Management, University of Strathclyde
Dr. Alison Stone, Philosophy, Lancaster
Colin Stoneman, writer
Professor Paul Sutton, Caribbean Studies, London Metropolitan University
Professor Helen Taylor, English, University of Exeter
Professor Phil Taylor, Business, University of Strathclyde
Dr. Jennifer Terry, English Studies, University of Durham
Dr. Nicholas Thoburn, Sociology, University of Manchester
Adriana Tortoriello, translator
Dr. Alberto Toscano, Sociology, Goldsmiths
Professor Martin Upchurch, Business, Middlesex University
Dr. Anastasia Valassopoulos, English and American Studies, University of Manchester
Dr. Rashmi Varma, English and Comparative Literary Studies, University of Warwick
Dr. Ritu Vij, International Relations, University of Aberdeen
Professor Dennis Walder, Ferguson Centre for African and Asian Studies, Open University
Dr. Geoffrey Wall, English, University of York
Sean Wallis, Survey of English Usage, UCL
Dr. Vron Ware, Social Sciences, The Open University
Dr. Eyal Weizman, Centre for Research Architecture, Goldsmiths
Professor Lynn Welchman, Law, SOAS
Dr. Jutta Weldes, Politics, University of Bristol
Tony White, writer
Geoff Whittam, Reader in Entrepreneurship, University of the West of Scotland
Dr. David Whyte, Sociology, University of Liverpool
Dr. Paula Wilcox, Criminology, University of Brighton
Dr. Caroline Williams, Politics, QMUL
Professor Eddie Williams, Linguistics, Bangor University
Professor James Williams, Philosophy, University of Dundee
Dr. Carla Willig Psychology, City University
Dr. Jon E. Wilson, History, KCL
Dr. Nicole Wolf, Visual Cultures, Goldsmiths
Dr. Jim Wolfreys, French and European Politics, KCL
Professor Andy Wood, History, University of East Anglia
Professor Geof Wood, International Development, University of Bath
Robin Yassin-Kassab, novelist
Professor Nira Yuval-Davis, Gender & Ethnic Studies, University of East London
Dr. Shamoon Zamir, American Studies, KCL
Professor Slavoj Zizek, Birkbeck Institute for the Humanities
Dr. Paquita de Zulueta, Medicine, Imperial College

We regard Israel's indiscriminate killing in Gaza as a crime against humanity. We protest against Israel's exterminating tactics and offer our wholehearted support to the people of Gaza.

Stephen Frears – Film Director – UK
Nigel Kennedy - Musician, Poland/UK
Miriam Margolyes – Actress UK
Brian Eno – Musician and producer UK
Robert Wyatt – Musician UK
William Dalrymple - Writer and historian
Dhafer Youssef – Musician France
Dave Robinson - Producer & pioneer of Stiff Records, UK
Razanne Carmey – Playwright UK
Chaz Jankel – Musician UK
Philip Bagenal - Music Producer and mixer UK
Christine Tobin - Singer UK
Jeffrey Blankfort - Photographer USA
Liane Carroll - Musician singer UK
Martin Coogan - Musician UK
Anis Hamadeh - Musician Germany
Radhika Jha – Writer India
Prem Shankar Jha Author & journalist India
Uzma Aslam Khan - Novelist and Essayist Pakistan
Sarah Gillespie - Musician UK
Darrell Lawrence - Music & film producer USA
Shadia Mansour - Singer UK
Moni Ovadia - Actor Italy
Gilad Atzmon - Musician and writer UK
Susheela Raman - Singer UK
Karl Sabbagh – Writer UK
Rich Siegel – Musician USA
Paul Sussman – Author UK
Sunny Singh – Writer India
David Toop- Musician & author UK
John Turnbull – Musician UK

As members of the Jewish Black Asian Forum, we are distressed and outraged at the pointless loss of life and humanitarian disaster in Gaza. The values we share, and the stories of loss and exclusion we bring to our discussions , drive us to speak out together. As members of British communities closely connected to Israel and Palestine, we call on Israel to immediately end its use of military force in Gaza and on Hamas to cease firing rockets into Israel. Our government, together with other governments and international actors, must engage with the authorities in Israel, Palestine and Gaza to help facilitate a lasting peace in the region and an end to the occupation.

Tanaka Loha, Antony Lerman, Geoffrey Bindman, Francesca Klug, June Jacobs, Imam Sajid, Arlington Trotman, Lincoln Crawford, Mumtaz Rahim, Simon Wooley