BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Israel,Hamas,dan Subaltern

Israel,Hamas,dan Subaltern

Written By gusdurian on Sabtu, 17 Januari 2009 | 12.40

Israel,Hamas,dan Subaltern


Dunia menghadapi tahun baru dengan sukacita, tapi Palestina menyambutnya dengan tangisan.Tepat pada 1 Januari, dua minggu lalu,sebuah bom seberat satu ton menghantam rumah tokoh Hamas, Nizar Rayan.


Serangan itu menimbulkan ledakan dahsyat dan menghancurkan tubuh Rayan. Pembunuhan ini seolah dianggap sah dalam perang karena Rayan adalah salah seorang tokoh Hamas, kelompok garis keras yang lebih sering menolak berunding dengan Israel.

Tapi serangan roket itu juga menewaskan istri dan dua anaknya yang masih belia. Pembantaian dan serangan roket Israel yang membabi buta ini yang dimulai sejak 27 Desember tahun lalu telah menyebabkan lebih 1.100 jiwa tewas dan lebih 5.000 jiwa terluka. Lebih 500 jiwa yang meninggal adalah anak-anak dan perempuan.

Subaltern versus Dominan

Gagasan tentang subalternini menjadi populer kembali setelah Gayatri C Spivak menuliskan sebuah artikel pada 1985 dengan judul Can the Subaltern Speak: Speculations on Widow Sacrifice. Dari judulnya tergambar bahwa yang dimaksud subaltern adalah ungkapan lain dari keberadaan janda (sati) di India.

Para janda dianggap berpangkat kelas sosial terendah. Dalam tradisi Hindu India,seorang istri yang telah ditinggal suami adalah seorang individu yang nobody dan sepatutnya membakar diri bersama jenazah suaminya. Jika melanjutkan kehidupan, seorang janda mengalami situasi yang berat.

Janda dan kemiskinan adalah kombinasi terjelek pada konteks kultur India,bahkan belum hilang sampai sekarang. Konsep subaltern Spivak bersinggungan dengan ungkapan Ranajit Guha, seorang sejarawan yang melihat bahwa historiografi India juga dipenuhi oleh konsep kolonial (bukan hanya Inggris tapi pribumi yang bersekongkol dengan Inggris).

Dalam On Some Aspects of the Historiography of Colonial India (1982), Guha melihat bahwa sejarah India terlalu kosong dari sejarah para subalterndan kelompok menengah bawah kota-desa. Makanya dia menekankan penulisan sejarah ulang.Yang dimaksud subaltern oleh Guha adalah yang bukan elite; yang selalu menjadi objek dan diatasnamakan.

Kedua konsep ini secara generik terambil dari konsep Antonio Gramsci,seperti terbaca pada Notes on Italian History (1934), bahwa sejarah kelas subaltern sebenarnya tak kalah kompleks dibanding kelompok dominan. Sayang,hanya kelas dominan sajalah yang dapat mencatatkan sejarahnya. Subaltern selalu dihalanghalangi mendapatkan akses pada sejarah dan representasi mereka sendiri.

“Hanya sebuah kemenangan permanenlah, yaitu melalui revolusi kelas, yang dapat memutus subordinasi ini,”kata Gramsci. Dari penjelasan ini, terutama didukung dengan konsep sati dari Spivak, terlihat struktur penindasan terhadap subaltern tidak hanya dilakukan oleh kelompok dominan di luar dirinya, tetapi dipercepat persuasi yang dilakukan oleh komunitas luar nondominan atau internal subaltern sendiri.

Para janda di India seolah-olah menyadari mereka menginginkan mati bersama suaminya.Problem ini muncul karena hancurnya ruang untuk merepresentasikan diri sendiri dan kandasnya suprastruktur di luar dirinya untuk membangun relasi penghadiran kembali diri sendiri (selfrepresenting).

Dalam ungkapan Spivak, “Tak ada mulut yang bisa menyuarakan kepentingan dirinya (sang janda) dan tak ada telinga yang mau mendengarkan.” Kompleksitas ini melahirkan konstruksi budaya patriarkal yang menjadi pengetahuan untuk semua, sekaligus ketidakadilan untuk subaltern.

Menghancurkan Subalternitas Hamas-Palestina

Realitas perang Israel-Hamas di Gaza (dan sekarang telah meluas ke Libanon) memperlihatkan langgengnya struktur sosial dan hukum internasional yang tidak adil terkait hubungan kelas dominan-subaltern. Pembantaian lebih dari 1.000 jiwa dalam waktu tiga pekan ini harus dilihat sebagai kejahatan kemanusiaan.

Jari-jemari subalternitas yang telah menyebar ke luar hubungan dominan- subaltern ini harus diputus. Atau dalam bahasa Spivak disebut sebagai decentering dominant cultures (membongkar pusat-pusat budaya dominan).

Walaupun PBB,CNN,BBC dan Amerika Serikat bukan pihak yang terkait langsung pada pemusnahan massal, tapi cara pandang mereka yang tidak seimbang ikut menjerumuskan konflik ini, dan ujungujungnya semakin membuat masyarakat Palestina menderita, baik melanjutkan perang atau gencatan senjata.

Salah satu yang harus diubah adalah cara melihat efek pelaku (subjecteffect) dari subalternitas Hamas.Walaupun Hamas merupakan kelompok garis keras di Palestina,bukan berarti membenarkan pembantaian anakanak dan perempuan, bahkan sipil yang tidak bersenjata.Itu dua hal yang berbeda.

Keberadaan Hamas adalah representasi logis dari penderitaan puluhan tahun, dan kemenangan mereka pada pemilu legislatif tiga tahun lalu (78 dari 138 kursi parlemen) adalah bukti kecintaan dan ekspresi demokrasi rakyat Palestina atas komitmen perjuangan yang dipilih. Can the subaltern speak? Dapatkah Hamas berbicara atas nama dirinya sendiri? (*)

Teuku Kemal Fasya
Mahasiswa Doktoral Universitas Frankfurt,
Jerman Dosen Universitas Malikussaleh, Aceh


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/205453/
Share this article :

0 komentar: