BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » DJENAR MAESA AYU - Kegelisahan Seorang Novelis

DJENAR MAESA AYU - Kegelisahan Seorang Novelis

Written By gusdurian on Sabtu, 17 Januari 2009 | 13.18

Djenar masih sibuk menyelesaikan novel terbarunya. Ia kian berani memaparkan serangkaian fakta bertema feminisme.

M ALAM di Cikini terasa berbeda ketika pintu restoran tua Oasis yang masih berdiri anggun dengan arsitektur khas 60-an di Jalan Raden Saleh me nyambut setiap tamunya dengan alunan musik gamelan Jawa.
Begitu memasuki ruangan, wewangian rempahrempah menyelimuti suasana romantis akibat efek pencahayaan yang sengaja diset temaram. Restoran yang sempat jaya empat dekade lalu karena banyak didatangi tamu-tamu dari para pejabat nasional dan internasional ini masih memperlihatkan pesonanya. Memukau tiap pengunjung dengan detail interior klasiknya sekaligus musik jazz yang sempurna membuat restoran ini sebagai 'the most visited place' di Jakarta.

Djenar Maesa Ayu menjadi salah satu tamu malam itu. Duduk santai di sofa dengan memakai tank-top hitam dan selendang batik dengan ditemani segelas bir dingin, ia segera memberi citra wanita Indonesia sederhana. Djenar dan bir memang bagai sepasang sahabat lama. Ibu dari Banyu Bening dan Btari Maharani ini mengonsumsi bir layaknya air mineral. Terlebih lagi ketika ia menyelesaikan novel terbarunya, Ranjang yang masih dalam proses produksi.

"Padahal sudah dua tahun buatnya, tapi masih belum selesai juga," ujar wanita ber-shio tikus ini santai. Selain faktor umur yang kian bertambah, putri dari seniman Sjuman Djaya dan aktris di era 70-an Tutie Kirana ini mengaku sulit berbagi waktu dan konsentrasinya sebagai single parent dan lagi-lagi soal kondisi badannya yang mudah sekali pegal-pegal.

Novel keduanya yang sekaligus menjadi buku kelima menambah anggapan banyak pihak bahwa Djenar berani memaparkan serangkaian fakta bertema feminisme.

Perempuan, yang memulai debut karier menulisnya dengan cerita pendek Lintah di sebuah harian nasional ini, dengan intonasi pelan dan santai menjawab, "Begitu banyak hal dalam dunia ini yang sebenarnya menempatkan posisi perempuan di titik yang tidak aman. Hanya dengan menulis saya bisa mengekspresikan perasaan gelisah itu."

Djenar yang lahir 35 tahun silam di Jakarta ini berbagi kegelisahannya terhadap kekerasan seksual yang dialami banyak kaum perempuan lewat Mereka Bilang Saya Monyet (2002), Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) (2004), Nayla (2005), dan Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek (2006). Cerita dari buku Mereka Bilang Saya Monyet (MBSM) yang sempat dicetak ulang sebanyak delapan kali divisualisasikan menjadi film Indonesia pertama yang menggunakan format digital dan dirilis ke publik di awal 2007.

Terinspirasi dari cerpennya Lintah dan Melukis Jendela, Djenar masih memakai benang merah antara perempuan dan seksualitas. Dengan bujet produksi sangat minim dan masih banyak kekurangan teknis, film ini berhasil menunjukkan gagasannya dalam bercerita.

Karya perdananya sebagai sutradara ini berhasil menembus Osian's-Cinefan Festival of Asian and Arab Cinema, sampai Australian-Malaysian Film Festival di Melbourne. "Ada perbedaan antara menulis dan membuat film, dan MBSM adalah hasil kolaborasi sebuah tim untuk menghasilkan karya yang komunikatif," tutur aktris yang pernah bermain bersama Anjasmara di film Koper-The Lost Suitcase (2006) yang disutradarai oleh Richard Oh.

Saat ini, Djenar sedang menyiapkan dua proyek film yang ia bagi ke dalam dua kategori, idealis dan komersial. Film idealisnya yang sudah mendapatkan konsep terlebih dahulu. "Di MBSM memperlihatkan bagaimana kekerasan terhadap wanita terjadi, sedangkan di film selanjutnya memfokuskan pada reaksi tubuh dari kekerasan itu," ujar Djenar yang memutuskan filmnya kelak hanya akan diputar di festival karena tidak ingin satu adegan pun mendapat sensor dari BSF.

Djenar dibesarkan dengan cara begitu demokratis oleh kedua orang tuanya. Dia mendapatkan keleluasaan memilih berbagai pilihan hidup dengan bebasnya sejak berusia 12 tahun.

Adik tiri dari Aksan Sjuman, yang lebih dikenal sebagai Wong Aksan sang penabuh drum Dewa 19 ini, memutus kan untuk menikah pada usia masih sangat belia, 18 tahun. "Saat itu saya merasa sangat yakin bahwa harus ada suatu perubahan dalam kehi dupan saya, dan menikah adalah jawaban yang tepat," tuturnya bercerita.

Memiliki kehidupan bersama seorang putri yang kini beranjak remaja dan seorang lagi yang masih kecil dengan status pernikahannya yang sudah resmi bercerai, tetap membuat hidupnya begitu santai. "Ayah mereka tinggal berdekatan dengan rumah kami, ya jadi tidak ada masalah," imbuh wanita yang tidak suka berbelanja di mal dan lebih memilih pasar tradisional ini.

Djenar bercerita, cara orang tuanya membesarkan dirinya ketika itu memberi pengaruh besar terhadap gaya yang ia pakai dengan kedua putrinya. "Saya tidak memaksakan mereka untuk apa pun, saat mereka malas berangkat sekolah, maka dengan senang hati saya akan mengajaknya jalan-jalan seharian," tuturnya sambil meng isap sebatang rokok.

Djenar, yang setia menjadi seorang vegetarian sejak setahun lalu ini menjadikan kedua putrinya se bagai inspirasi sekaligus alarm pada hidupnya. "Keterbu kaan yang komunikatif sungguh membuat se galanya menjadi begitu mudah untuk menjadi seorang ibu sekaligus kepala rumah tangga," tuturnya. (I-1)



<script language="JavaScript" src="http://c2.zedo.com/jsc/c2/ff2.js"></script><noscript> <a href="http://xads.zedo.com/ads2/r?n=563;c=2209;s=748;x=2304;u=j;z=[timestamp]" target="_blank"><img border="0" width="300" height="250" src="http://xads.zedo.com/ads2/x?n=563;c=2209;s=748;x=2304;u=j;z=[timestamp]" alt="Click here"></a> </noscript>

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/01/12/ArticleHtmls/12_01_2009_011_001.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: