BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Orde Kedigdayaan Dehumanisasi

Written By gusdurian on Kamis, 19 Mei 2011 | 17.05

Catatan Perjalanan Reformasi Orde Kedigdayaan Dehumanisasi
M Bashori Muchsin Guru besar dan Pembantu Rektor II Universitas Islam Malang



I NTI hidup yang terja jah, kata Nirwan Hisyam (2007), adalah kondisi se seorang, masyarakat, atau bangsa yang masih menjalani kehidupan dalam ketidakberdayaan (empowerless), kebodohan, ketertindasan, jauh dari kesejahteraan, atau kesulitan menemukan kran sumber kehidupan yang `memanusiakan manusia', mengadakan relasi antaretnis, agama, budaya, politik, dan pendidikan, serta bukan relasi yang membinatangkan (dehumanisasi) manusia lainnya.

Pernyataan tersebut mengajarkan pada kita bahwa hidup yang terjajah itu cermin berbingkai penderitaan komplikatif. Tak ada rasa sakit yang mengerikan, yang diderita suatu masyarakat atau bangsa, kecuali rasa sakit sebagai masyarakat terjajah.
Keterjajahan menghilangkan makna kehidupan dalam masyarakat sehingga mereka terpuruk dalam kondisi inferior dan tak memiliki harga diri.

Tatkala di negeri ini masih sering atau `banjir' tragedi sosial kemanusiaan, pelecehan harkat kemanusiaan, pembinatangan orang lain, atau penganibalan orang-orang yang tidak berdosa, itu artinya potret kehidupan di republik ini masih lekat dengan ketidakberdayaan (empowerless). Masyarakat Indonesia masih dibelenggu berbagai bentuk perbuatan yang bercorak menghinakan atau merendahkan derajat kemanusiaan.

Namanya juga masih terjajah, tentu masyarakat Indonesia itu masih berkawan dekat dengan akumulasi penderitaan dan perampasan hak-hak. Adanya praktik kriminalitas serius (extraordinary crime), yang gampang mengoyak atau mencabikcabik ketenangan masyarakat Indonesia, merupakan realitas yang menunjukkan ketertindasan (keterjajahan), baik fisik maupun psikologis. Masyarakat tidak akan bisa hidup tenang dan damai selama kekejian ala pembinatangan masyarakat atau sesama lebih berjaya.

Kalau masyarakat Indonesia sudah benar-benar damai, praktik-praktik pembinatangan orang lain atau penciptaan extraordinary crime tentu tidak leluasa, digdaya, dan merdeka (bebas membantai, menghabisi, dan merajam). Dalam atmosfer reformasi, yang Nurcholish Madjid sebut `kemerdekaan jilid 2', sejatinya tidak boleh ada.
Apalagi, marak praktik-praktik penghinaan dan perampasan nyawa orang lain. Sebaliknya, wajib ditumbuhkan iklim saling menghormati dan melindungi sesama.

Anggota masyarakat, yang menjadi korban tangan-tangan kotor (the dirty hands) sehingga hak keberlanjutan hidup mereka terampas, sejatinya merupakan korban manusia yang menghalalkan modus perbuatan, yang sebenarnya itu tak layak dilakukan manusia. Kalau manusia itu merasa berstrata elite sebagai makhluk Tuhan, yang jauh lebih istimewa jika dibandingkan dengan binatang, seharusnya bukan perbuatan keji yang dilakukan, melainkan perbuatan yang mendukung pengembang an dan pemberdayaan derajat kemanusiaan.

Kasus pembantaian, penjagalan, mutilasi atau dehumanisasi kontemporer, merupakan realitas memilukan dan memalukan yang membenarkan bahwa sebagian elemen masyarakat belum berhasil `memerdekakan' atau mereformasi diri dari kecenderungan watak untuk menguasai,mendominasi, dan mengkriminalisasi sesa ma manusia. Tragedi sosial mudah dijumpai di tengah masyarakat, seperti seorang lelaki ditebas kepalanya di depan istri di pelataran parkir, yang notabene di hadapan banyak orang.
Sementara orang lain hanya menonton, seolah sudah kehilangan nyali untuk jadi `rasul kemanusiaan'.

Wa t a k d e m i kian itu mendeskripsikan watak komunitas penindas atau kriminal, yang suka `memproduksi' berbagai bentuk perbuatan yang menyakiti dan menyengsarakan, serta menjauhkan keberdayaan sesama manusia. Penjahat bisa beraktivitas untuk memperoleh kesenangan, serta kepuasan biologis dan psikologis, termasuk memenuhi berbagai ambisi. Sementara itu, masyarakat yang jadi korban terpuruk dalam penderitaan berlapis-lapis karena dijadikan objek pembinatangan atau penumbalan kejahatan secara berkelanjutan.

Kriminolog kena maan, JE Sahetapy (2002), pernah mempertanyakan mengapa bangsa, yang katanya ber budaya, berbudi luhur, ramah tamah, sopan, santun, reli gius, suka to long-meno long, go tong-royong, berubah men jadi bangsa atau masyarakat yang homo homini lupus, anarkis, brutal, dan radikal dalam hampir seluruh bidang kehidupan dan strata.

Apa yang disampaikan kriminolog tersebut merupakan gugatan terhadap realitas sosial kita yang masih berwajah bopeng, gampang berdarah, dan rentan dinodai berbagai bentuk praktik kekerasan yang jauh dari pantas, yang dilakukan sesama manusia.

Stigma sakral yang disandang manusia adalah pengemban atau penegak norma keadaban dan kemanusiaan, seperti digariskan dalam Pancasila.
Namun, kenyataannya, manusia lebih suka membelenggu dan menyengsarakan orang lain. Petani, yang semestinya bebas menjual harga gabah dengan layak, gagal mendapatkan hak mereka akibat kalah oleh kekuatan modal atau petani berdasi yang bermental tengkulak dan kriminalis. Perambah hutan, yang berasal dari masyarakat sekitar hutan, akhirnya gagal menikmati harkat kemanusiaan. Misalnya, mereka kesulitan mencari sedikit kayu bakar untuk kepentingan wajar, menyangga kebutuhan hidup.

Itu disebabkan sindikat sindikat yang terlibat pem balakan hutan.

Kita yang mempu nyai modal besar, akses kekuasaan, dan sedang menduduki jabatan stra tegis bisa men jadi `pembunuh' (perampas) kemerdekaan.

Kita yang jadi pengelola sekolah s atau perguruan tinggi kapitalis bisa dengan mudah menghabisi atau menjegal kemerdekaan seorang anak atau mahasiswa, dari keluarga miskin, yang bermaksud kuliah.
Kita, yang seperti itu, layak dikatakan sebagai sosok yang sedang menjadi `pembunuh atau penjajah kontemporer '.
Oleh karena itu, secara implisit, kita bisa digolongkan sebagai pelaku extraordinary crime.

Manusia, yang idealnya mampu mendidik atau membentuk diri sebagai pejuang sesama dan menjauhkan manusia atau makhluk lain dari ketertindasan (keterjajahan), justru lebih menyukai dan mengarogansikan praktik-praktik kebiadaban, melebihi perilaku binatang.
Sebab, perilaku demikian, bila dikalkulasi, jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan menjadi pejuang kemanusiaan sejati.

Kecenderungan yang terjadi dewasa ini benar-benar mudah terbaca, yakni maraknya pelaku individual dan sosial (kolektif) yang lebih menyukai dan membanggakan kekejian (kekerasan). Bahkan, pelaku sosial diberi ruang secara kriminogen supaya mereka tidak menjadi pejuang atau pemerdeka, tetapi menjadi penjajah, produsen extraordinary crime atau penyubur berbagai bentuk perilaku yang menindas sesama.

Kecenderungan seperti itu sudah seharusnya diperangi supaya tidak semakin berjaya di tengah masyarakat. Setiap elemen masyarakat punya kewajiban berdiri di garis depan dan mulai membangun gerakan kebersamaan untuk melawan setiap bentuk praktik penindasan, pembinatangan manusia atas manusia lain, dan peluangpeluang yang menyuburkan kriminogen.

Kalau orang miskin sering disalahkan sebagai golongan yang rentan akan kriminogen atau maraknya extraordinary crime, kalangan elite yang `menjagal' hak orang miskin untuk hidup sejahtera dan bermartabat pun wajib diperlakukan sebagai penindas (penjajah) secara riil. Sayangnya, paradigma yang berlaku sering terbalik.
Orang miskin sering dituduh sebagai penjahat atau mudah bersahabat dengan kekerasan, sedangkan elite dan penguasa menempatkan diri sebagai majikan yang baik hati.

Orang miskin tidak akan tergelincir untuk melakukan kejahatan kalau peluang memanusiakan atau menyejahterakan diri dan menjadi manusia-manusia berprestasi tidak selalu dikebiri komunitas elite ekonomi dan kekuasaan. Ketertindasan merupakan deskripsi lain dari `kemenangan kriminal' yang diberi tempat untuk berdaya, berjaya, dan menjadi digdaya, jika dibandingkan dengan komunitas akar rumput. Dus, kesadaran komunitas elitelah yang menentukan wajah masyarakat ini, apakah tetap langgeng dalam keterjajahan, ataukah bisa terbebas menikmati kemerdekaan makro.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/05/18/ArticleHtmls/18_05_2011_015_003.shtml?Mode=0

Merpati pun Ingkar Janji

Seluruh perusahaan penerbangan di antero bumi menjanjikan perjalanan yang aman kepada seluruh penumpang dan awaknya, termasuk PT Merpati Nusantara Airlines (MNA).


Malang tak dapat ditolak,Merpati pun “ingkar janji” di Teluk Kaimana,Sabtu,7 Mei,lalu. Jatuhnya pesawat milik Merpati telah menambah rentetan kecelakaan pesawat di Indonesia. Berbeda dengan kecelakaan pesawat sebelumnya yang dianggap kecelakaan lebih karena human error, kali ini yang dipersalahkan cuaca dan pesawatnya. Jika yang dipersalahkan adalah cuaca tentu sudah tidak ada lagi perdebatan panjang hingga diagendakan dalam sidang kabinet dan rapat dengar pendapat dengan DPR. Yang menarik adalah kasus ini dianggap menyalahi prosedur yang seharusnya.

Modus seperti ini, sebagaimana kita ketahui, selalu ada orang atau kelompok yang mengeruk keuntungan dan selalu masyarakat luas yang dirugikan. Permintaan layanan penerbangan dari beberapa kepala daerah yang ingin daerahnya menjadi tujuan penerbangan tentu didasari oleh niat baik menyediakan infrastruktur transportasi bagi pengembangan daerah yang dipimpinnya. Keputusan MNA untuk menyediakan itu juga sangat baik,karena di mana pun bisnis harus mengambil peluang sebanyakbanyaknya. Mungkin saja ada prosedur terlanggar demi menangkap peluang yang ada di depan mata.

Bertebarannya pulau-pulau dalam wilayah NKRI yang sedemikian luas memang harus dihubungkan dalam bentuk moda transportasi orang dan barang yang cepat dan efisien dalam rangka menumbuhkan ekonomi di seluruh wilayah Nusantara. Dalam hal ini pesawat memang menjadi solusi paling praktis.Namun, mahalnya harga dan biaya operasional pesawat pasti juga dikarenakan pengutamaan faktor keselamatan yang ditanamkan dalam pesawat tersebut.

Mengapa Bukan Buatan Sendiri?

Pesawat MA 60 buatan Xian Aircraft Company,China,dinyatakan telah laik terbang melalui sertifikasi yang dilakukan sendiri oleh Negeri Tirai Bambu itu. Memang kita bisa saja membuat sertifikat sendiri apa yang akan kita gunakan di dalam negeri. Bahkan pihak asing yang akan mengoperasikan pesawatnya di wilayah udara Indonesia juga harus lolos ketentuan sertifikasi yang dimiliki Indonesia,dengan syarat standar sertifikasi yang diterapkanlebihbaikdibanding negara lain. Kementerian Perhubungan semestinya bisa menetapkan standar penerbangan terbaik yang ada di dunia ini sebagai acuan utama jika kita belum bisa membuat sendiri standar yang lebih baik.

Akibat tidak digunakannya standar kelaikan pesawat dan standar penerbangan terbaik, maka sama saja kita mempertaruhkan nyawa manusia yang menumpang di dalam pesawat tersebut. Tidak dipilihnya pesawat buatan dalam negeri sangat mungkin karena kemampuan produsen lokal tidak sesuai kebutuhan bisnis industri ini, sekalipun produk dalam negeri dibuat dengan standar terbaik di dunia.Namun, dalam kasus ini produsen dan konsumen pesawat sama-sama perusahaan pelat merah.Tentu dengan tujuan membesarkan badan-badan usaha milik negara, sangat memungkinkan pemerintah menetapkan produsen dalam negeri menjadi pemasok.

Akhirnya, nilai tambah sepenuhnya ada di dalam negeri dan proses transaksi hanya bagaikan memindahkan uang dari saku kanan ke saku kiri, tanpa harus ada uang yang diberikan ke negara lain.

Memperkuat Industri Penerbangan Nasional

Sebuah industri akan kuat jika dapat menguasai bahan baku, teknologi dan pasar produknya. Dalam industri jasa penerbangan berkapasitas kecil, kita sudah memiliki seluruh bagian proses bisnis. Pesawat bisa diperoleh dari PT Dirgantara Indonesia.Teknologi pembuatan pesawat dan teknologi penerbangan juga sudah dikuasai oleh putra-putri Indonesia. Pasar produk jasa ini sudah ada di seluruh wilayah Nusantara. Perlu ada political will dari pengambil keputusan secara bersama-sama untuk mengedepankan buatan dalam negeri yang memang pantas dan laik digunakan.

Mungkin tidak hanya pada kasus ini saja kemauan pemerintah belum mengutamakan potensi lokal yang dimiliki. Saat ini pasar penerbangan dalam negeri hanya 28%, dikuasai oleh maskapai pelat merah. Pertumbuhan jumlah penumpang angkutan udara di Indonesia adalah keempat terbesar di Asia. dibandingkan Mei 2010 lalu,pada Mei 2011 ini pertumbuhan penumpang domestik mencapai 16,5% (year on year/yoy).Bandar Udara Soekarno- Hatta,Agustus 2010 lalu, ditetapkan sebagai bandara dengan pertumbuhan penumpang terbesar di Asia.Pertumbuhan jumlah permintaan kursi penumpang mencapai 43,6%. Menjelang ASEAN open sky di 2015 nanti tentu Indonesia merupakan ceruk pasar yang menggiurkan.

Namun, siapkah maskapai nasional jadi tuan rumah di negara sendiri? Pemerintah memiliki dua maskapai plat merah yang melayani penerbangan di dalam negeri. Dari kedua maskapai tersebut kita sama-sama tahu bahwa yang satu sangat besar, sering dibantu oleh pemerintah. Satu lainnya, yang lebih kecil,pernah merasakan hidup segan mati pun tak mau. Maskapai yang besar lebih dipercaya pasar daripada maskapai yang lain. Jasa penerbangan, sekali lagi, adalah bisnis janji keselamatan. Perusahaan yang bergerak di bidang ini akan sukses jika mampu mengedepankan keselamatan penumpang dibandingkan harga yang murah.

Jika memang demikian,akan efisien jika kedua maskapai pelat merah ini disatukan di bawah manajemen bisnis maskapai yang lebih dipercaya. Tentu konsumen tidak akan ragu dengan layanan yang diberikan perusahaan. Alhasil, konsumen akan semakin banyak, perusahaan (dan negara) akan mendapatkan laba yang tidak sedikit. Manajemen bisnis yang efisien tentu akan memberikan tingkat harga yang lebih terjangkau. Industri jasa penerbangan dalam negeri pun akan semakin kuat.

Jangan sampai kejadian yang dialami Merpati justru akan menguntungkan maskapai asing yang beroperasi di wilayah Indonesia hanya karena menurunnya kepercayaan konsumen kepada maskapai dalam negeri.●

ARIS YUNANTO
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/399646/

Pertumbuhan Minus Kualitas

BPS melaporkan bahwa perekonomian Indonesia pada kuartal I/2011 mengalami pertumbuhan yang cukup meyakinkan.

Berdasarkan pendekatan sektoral (lapangan usaha), secara q on q (kuartal I/2011 terhadap kuartal IV/2010) perekonomian tumbuh 1,5%, sedangkan secara y on y (kuartal I/2011 terhadap kuartal I/2010) ia tumbuh 6,5%,lebih tinggi dari kuartal I-2010 sebesar 5,7%. Tren pada beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi kuartal pertama selalu lebih rendah daripada kuartal-kuartal selanjutnya. Jika tren ini terus berlanjut, kemungkinan pertumbuhan ekonomi pada kuartal selanjutnya akan lebih tinggi dari 6,5% sehingga akumulasi pertumbuhan ekonomi 2011 bisa lebih tinggi dari yang ditargetkan (6,4%).

Meski tumbuh secara meyakinkan, seperti yang terjadi pada beberapa tahun terakhir, motor penggerak pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2011 masih tetap terfokus pada sektor non-tradable.Seacara y on y, pada kuartal I/2011,sektor nontradable berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 66,2% (4,3% dari 6,5%), sedangkan sektor tradable hanya menyumbang 33,8% (2,2% dari 6,5%). Relatif masih kecilnya peran sektor tradable dalam mendorong pertumbuhan menunjukkan bahwa meskipun tumbuh relatif tinggi, pola pertumbuhan ekonomi negeri ini tidak cukup berkualitas untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan.

Argumentasinya, kesempatan kerja yang diciptakan sektor tradable jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor non-tradable.Misalnya, sampai Februari 2011 tiga sektor tradable (pertanian, industri, dan pertambangan) mampu menyediakan kesempatan kerja 55,5% dari total kesempatan kerja yang bisa diciptakan perekonomian (111,28 juta orang). Jika pertumbuhan ekonomi di masa datang tetap mengikuti pola seperti yang terjadi pada kuartal I/2011, paling tidak terdapat dua kemungkinan yang muncul. Pertama, lemahnya pertumbuhan sektor tradable membuat kesempatan kerja yang bisa diciptakan sektor ini juga mengalami keterbatasan.

Akibatnya, kue pembangunan ekonomi terkonsentrasi dan hanya bisa dinikmati oleh kelompok kecil tertentu. Hal ini bisa membuat upaya mengatasi kesenjangan pendapatan yang sudah menjadi penyakit kronis perekonomian Indonesia berjalan di tempat. Kedua, kualitas kesempatan kerja yang tercipta tidak akan mengalami perbaikan yang signifikan. Argumentasinya, dalam sektor non-tradable, dua sektor utama yang mampu menciptakan kesempatan kerja terbesar adalah sektor perdagangan (23,24 juta) dan jasa kemasyarakatan (17,03 juta). Masalahnya, kedua sektor itu cenderung menciptakan kesempatan kerja informal yang lebih banyak daripada kesempatan kerja formal. Ini berarti bahwa proses informalisasi kesempatan kerja dalam perekonomian Indonesia akan terus berlanjut.

Karakter Pertumbuhan Ideal

Kualitas pertumbuhan yang mengandalkan sektor nontradeable juga akan mandul di dalam memerangi kemiskinan. Simulasi yang dikembangkan P2E-LIPI menunjukkan kemampuan sektor tradable dalam menekan proporsi kemiskinan tujuh kali lebih besar daripada sektor non-tradable. Setiap 1% pertumbuhan sektor tradableberpotensi mengurangi proporsi kemiskinan sebesar 0,069, sedangkan 1% pertumbuhan sektor non-tradable hanya akan mengurangi proporsi kemiskinan sebesar 0,011.

Dalam sektor tradable, kemampuan sektor industri dalam memerangi kemiskinan lebih baik dibandingkan dengan sektor pertanian (dan pertambangan). Setiap 1% pertumbuhan sektor industri berpotensi mengurangi proporsi kemiskinan sebesar 0,034, sedangkan 1% pertumbuhan sektor pertanian hanya mengurangi proporsi kemiskinan sebesar 0,027. Kemampuan sektor industri dalam menyediakan pekerjaan yang lebih berkualitas (seperti jaminan sosial, upah regional provinsi, dan perlindungan terhadap PHK) daripada sektor pertanian kemungkinan menjadi elemen krusial yang membuat sektor industri lebih mampu daripada sektor pertanian dalam menekan proporsi kemiskinan.

Sayangnya, sebagaimana dilaporkan BPS, secara q on q, sektor industri termasuk salah satu sektor yang pada kuartal I/2011 mengalami pertumbuhan negatif (-1,2%). Dalam kaitan dengan sektor pertanian, walaupun kemampuan sektor ini dalam menekan angka kemiskinan tidak setinggi seperti sektor industri, tidak bisa diterjemahkan bahwa upaya pengembangan sektor pertanian tidak perlu mendapat prioritas. Sebaliknya, pembangunan sektor ini perlu mendapat perhatian penting, tidak hanya karena sektor pertanian mampu menciptakan kesempatan kerja yang lebih besar dibandingkan dengan sektorsektor ekonomi lainnya, tetapi juga proporsi terbesar dari penduduk miskin banyak yang bekerja di sektor ini (63,6% dari total orang miskin).

Apabila sektor pertanian tumbuh dan berkembang, diharapkan akan berdampak secara positif terhadap pengurangan angka kemiskinan di sektor ini. Mengacu pada hasil simulasi, sinkronisasi dan integrasi di antara sektor industri dan sektor pertanian harus kuat mewarnai karakter pertumbuhan ekonomi di masa mendatang. Dalam konteks ini, pengembangan agricultural based industries menjadi salah satu cara untuk merealisasikan integrasi di antara sektor industri dan pertanian. Penting untuk dikemukakan bahwa selain diharapkan mampu menjadi perekat di antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan serta pengangguran, pengembangan agricultural based industries juga menyediakan beragam manfaat bagi perekonomian Indonesia.

Pengembangan agricultural based industries memungkinkan negeri ini memanfaatkan secara optimal sumber daya pertanian yang dimilikinya. Dengan demikian,Indonesia akan bisa menikmati manfaat dari proses nilai tambah dan mengurangi ketergantungan industri di negeri ini terhadap bahan baku impor. Pada gilirannya, pengurangan ketergantungan industri di Indonesia terhadap bahan baku impor akan bermanfaat terhadap upaya penghematan penggunaan cadangan devisa.●

LATIF ADAM
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/399649/

Uang Hasil Suap Harus Disita

*
Patrick Moulette:
Uang Hasil Suap Harus Disita

GENDERANG perang melawan suap lintas negara berkumandang di Nusa Dua, Bali, pekan lalu. Sejumlah negara menyatakan siap memberantas praktek sogok dalam bisnis internasional pada Konferensi Internasional Antisuap yang berlangsung di Hotel Grand Hyatt, Nusa Dua, itu. Konferensi akhirnya merumuskan 12 kesimpulan, antara lain suap lintas negara merusak pasar yang sehat.

Konferensi akbar itu digelar Komisi Pemberantasan Korupsi dan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan atau Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Acara ini dihadiri 400 peserta dari 38 negara yang mewakili lembaga antikorupsi serta penegak hukum, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pebisnis, dan lain-lain. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi pembicara kunci dalam konferensi internasional itu.

Di Indonesia, suap lintas negara dalam dunia bisnis internasional atau foreign bribery bukan isu baru. Namun Komisi Pemberantasan Korupsi baru mengusulkan tambahan pasal penyuapan lintas negara dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. "Indonesia sudah mengambil langkah bagus, terutama untuk penanganan di dalam negeri," kata Kepala Divisi Antikorupsi Direktorat Urusan Keuangan dan Perusahaan OECD Patrick Moulette. "Hanya, peraturannya belum mencakup pejabat asing."

Kasus suap lintas negara bisa terjadi di semua sektor. Moulette menyatakan suap lintas negara harus menjadi isu bersama dan perlu ada kesamaan persepsi tentang pentingnya penanganan kejahatan ini. Di Amerika Serikat, perkara ini sudah masuk The Foreign Corrupt Practices Act of 1977. Setelah mengikuti konferensi, Moulette, yang sudah enam kali mengunjungi Bali-salah satunya sebagai turis dan menyewa mobil berkeliling seluruh pulau yang indah ini-menerima Wahyu Muryadi, Riky Ferdianto, dan Wayan Agus Purnomo dari Tempo. Dia menjawab pertanyaan dengan lugas dan bersemangat.

Sejumlah negara menyepakati konvensi antisuap yang melibatkan pejabat asing, tapi seperti kesulitan melaksanakannya. Apa hambatan dalam upaya melawan suap lintas negara?

Terlalu banyak hambatan. Sifat kejahatan lintas negara yang melibatkan pejabat asing ini sulit dideteksi, sehingga susah juga mengatasinya. Dalam kejahatan ini seolah tak ada korban langsung. Kerugian kejahatan ini tak terlihat nyata, sehingga hampir tidak ada satu pun yang melaporkannya. Dalam kejahatan ini, uang tak pernah dilaporkan. Suap lintas negara menjadi kekhawatiran pemain besar ekonomi dunia, misalnya Amerika Serikat. Namun kejahatan ini bisa terjadi di semua negara, sehingga perlu ada konvensi yang melarang suap terhadap pejabat asing ini.

Bagaimana upaya OECD untuk mendorong sejumlah negara, termasuk Indonesia, dalam pemberantasan suap lintas negara?

Saya kira Indonesia sudah melakukan banyak hal dalam upaya melawan korupsi. Indonesia sudah mengambil langkah bagus, terutama untuk penanganan di dalam negeri. Namun Indonesia belum memiliki peraturan yang bisa menjangkau tingkat internasional. Belum ada aturan mengenai suap terhadap pejabat asing oleh pebisnis dalam negeri.

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, apa urgensi konvensi internasional ini?

Konvensi antisuap lintas negara ditandatangani pada 1997 oleh 34 negara anggota OECD ditambah Nigeria, Afrika Selatan, Brasil, dan Argentina. Tujuan konvensi adalah melawan penyuapan terhadap pejabat asing dalam negara-negara yang terlibat konvensi. Setiap anggota OECD akan meningkatkan kerja sama, misalnya dalam pertukaran informasi mengenai penyuapan lintas negara ini. Tentu saja akan banyak memberikan manfaat kepada Indonesia.

Seberapa besar uang gelap dalam praktek suap lintas negara ini dan bagaimana modusnya?

Dalam kejahatan ini, sulit menakar pasti jumlah uang yang beredar, bahkan sekadar estimasi pun tak bisa. Uang di sini beredar secara gelap dan susah dideteksi. Ada beberapa sektor yang sangat rentan suap lintas negara, seperti minyak, gas, pertahanan, kesehatan, dan konstruksi. Upaya penyuapan itu belum tentu dilakukan oleh perusahaan, tapi bisa oleh konsultan perusahaan itu yang menjadi perantara.

Apa yang harus dilakukan Indonesia dalam menghadapi kejahatan lintas negara ini?

Untuk mencegah penyuapan internasional ini, Indonesia harus memasukkan masalah penyuapan terhadap pejabat asing ke dalam undang-undang. Saat ini memang belum ada, tapi saya melihat sudah masuk rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang baru.

Presiden sudah menyatakan berkomitmen memerangi suap lintas negara....

Ya, itu poin yang sangat bagus. Tapi upaya melawan suap lintas negara juga harus didasari undang-undang. Setiap negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa harus meratifikasi konvensi UNCAC (United Nations Convention against Corruption). OECD membuat konvensi lebih spesifik, yakni melawan suap lintas negara.

Apakah pelaku bisnis di Indonesia yang beroperasi di luar negeri berpotensi me-lakukan penyuapan terhadap pejabat asing?

Perhatian kami tak hanya Indonesia, tapi juga negara seperti Cina, -Rusia, dan India. OECD melibatkan semua -negara, termasuk negara berkembang. Indonesia sedang berupaya menjadi -bagian dari pemberantasan praktek suap ini. Konferensi ini bisa menyamakan persepsi, sehingga bisa menciptakan ekonomi sehat tanpa suap.

Negara mana yang paling maju dalam pemberantasan suap lintas negara?

Dari sisi perundang-undangan, negara yang paling mapan dalam upaya pemberantasan suap lintas negara ini adalah Amerika Serikat. Sudah 30 tahun lebih Amerika merumuskan kejahatan ini dalam undang-undangnya. Sejumlah kasus dan penuntutan telah banyak dilakukan di Amerika.

Bagaimana mendorong aksi bersama memerangi penyuapan lintas negara ini?

Negara-negara harus mendefinisikan penyuapan terhadap pejabat asing sebagai kejahatan dalam peraturan perundang-undangannya. Setelah itu, negara harus berkomitmen untuk menindak kejahatan secara bersama-sama. Kalau sudah ada perangkat aturannya, perlu ada implementasi undang--undang itu. Di sinilah perlunya kemauan politik pemerintah dalam memerangi kejahatan ini.

Apakah Anda yakin kejahatan ini bisa diberantas sampai tuntas?

Upaya memerangi kejahatan suap lintas negara adalah tujuan bersama. Kami harus realistis bahwa membuat kejahatan penyuapan ini menjadi nol sangat susah. Tidak mungkin membuat kejahatan ini nihil. Tapi kita juga harus memiliki keyakinan bahwa kita bisa mengurangi angka kejahatan model ini. Kita berusaha menekan kejahatan ini melalui kerja sama antarnegara di seluruh dunia.

Sanksi apa yang sebaiknya diberikan terhadap pelaku kejahatan suap lintas negara ini?

Dalam konvensi di OECD sudah dijelaskan bahwa uang hasil penyuapan harus disita. Keuntungan yang diper-oleh juga akan disita. Pelakunya juga akan kena denda dan penjara. Tiap negara berbeda dalam menerapkan sanksi ini. Tapi, jika semua sanksi itu diberikan sekaligus, tentu saja akan efektif dan menimbulkan efek jera bagi pelakunya.

Patrick Moulette

Karier:
* Atase Administrasi Kementerian Ekonomi dan Keuangan Prancis, 1985-1992
* Administrator Sekretaris Satuan Tugas Pajak dan Keuangan, 1992-1995
* Sekretaris Eksekutif Satuan Tugas Pajak dan Keuangan, 1995-2004
* Kepala Divisi Antikorupsi Direktorat Urusan Keuangan dan Perusahaan OECD, 2004-sekarang

Pendidikan:
* Master dalam hukum publik dan master dalam hukum perusahaan Paris Institute of Political Studies

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/05/16/WAW/mbm.20110516.WAW136746.id.html

”Memanfaatkan” Lembaga Peradilan

Hukum telah mengatur bahwa seseorang dapat mengajukan tuntutan hukum apabila terdapat hubungan dan kepentingan hukum yang cukup, yang oleh Prof Dr Sudikno Mertokusumo SH disebut sebagai point d’interet point d’action.

Kepentingan dan hubunganhukumtersebutharus dibuktikan dalam persidangan sehingga tuntutan dari orang yang merasa berkepentingan dapat dikabulkan pengadilan. Namun demikian, tidak semua masyarakat paham akan hal tersebut. Masih banyak tuntutan hukum yang diajukan kepada lembaga peradilan, ternyata adalah tuntutan hukum yang tidak berdasarkan hukum sama sekali (onrechtmatig of ongegrond).Atau justru sebaliknya, tuntutan hukum yang diajukan hanya merupakan tuntutan hukum yang bertujuan mencari keuntungan finansial belaka atau untuk mengganggu suatu subjek hukum tertentu saja.

Dalam sistem hukum Amerika Serikat (AS), perbuatan mengajukan tuntutan kepada pengadilan secara tidak berdasar atau yang dilakukan dengan tujuan hanya untuk mengganggu pihak tertentu saja, disebut dengan frifolous litigation. Suatu tuntutan hukum dikategorikan sebagai frifolouslitigation apabila berdasarkan pengetahuan orang pada umumnya,dapat diketahui bahwa tuntutan yang diajukan adalah tuntutan yang tidakmemilikikemungkinanuntuk menang,namun tetap diajukan karena hanya bertujuan untuk mengganggu.

Misalnya karena ada tuntutan tersebut,pihak yang dituntut harus menggunakan jasa advokat untuk menghadapi tuntutan. Belum lagi beban dan biaya yang harus dikeluarkan untuk menghadapi tuntutan yang mengada-ada tersebut. Di AS, apabila terbukti seseorang dan/ atau kuasa hukumnya mengajukan tuntutan semacam itu, berdasarkan ketentuan Rules 11 C ayat (1) Federal Rules of Civil Procedures, orang dan/atau kuasa hukumnya tersebut dapat dijatuhi sanksi atau hukuman. Dalam sistem hukum Indonesia, belum terdapat pengaturan hukum positif atas tuntutan/ gugatan hukum yang tidak berdasar atau yang dikenal dengan nama frifolous litigation tersebut.

Namun, jika kita melihat kembali pada teori tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad), dapat kita telaah satu per satu unsurunsur dari tindakan melawan hukum tersebut. Menurut Prof J Satrio, suatu perbuatan merupakan tindakan yang melawan hukum apabila perbuatan tersebut: Pertama, melanggar hak subjektif orang lain.Kedua,bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku. Ketiga, bertentangan dengan kesusilaan.Atau keempat, bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup.

Suatu tuntutan hukum yang mengada-ada (frifolous litigation) dapat dikatakan sebagai tindakan melawan hukum, karena tuntutan tersebut telah melanggar hak subjektif orang lain. Dalam hal ini, misalnya, hak subjektif seseorang untuk mendapatkan ketenangan dari segala gangguan atas proses persidangan yang harus dijalaninya akibat frifolous litigation tersebut. Selain itu, tuntutan hukum yang mengada-ada (frifolous litigation) juga bertentangan dengan kepatutan untuk memperhatikan harta orang lain dalam pergaulan hidup.

Tuntutan semacam ini dapat mengakibatkan harta seseorang menjadi terkuras karena harus membiayai segala proses hukum berkenaan dengan tuntutan yang mengada-ada tersebut. Salah satu contoh putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dapat dijadikan preseden adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 1228/Pdt.G/ 2007/PN.Jkt.Sel tanggal 28 Februari 2008 dalam perkara antara Bulog melawan PT Goro Batara Sakti-Tommy Soeharto dkk. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan secara cermat telah mengabulkan gugatan rekonvensi yang diajukan PT Goro Batara Sakti-Tommy Soeharto dkk untuk menghukum Bulog,karena dalam persidangan terbukti Bulog telah mengajukan gugatan secara mengada- ada.

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan Bulog dengan iktikad tidak baik telah memanfaatkan lembaga peradilan mengajukan gugatan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa pengadilan menilai Bulog mengajukan tuntutan yang mengada-ada (frifolous litigation),dan oleh karenanya pengadilan menghukum Bulog mengganti kerugian sebesar Rp5 miliar kepada PT Goro Batara Sakti-Tommy Soeharto dkk. Apabila kita mencermati berbagai perkara yang disidangkan di berbagai pengadilan saat ini, tidak jarang masih kita temukan adanya pihakpihak yang mengajukan tuntutan yang mengada-ada (frifolous litigation).

Mungkin tindakan ini semata-mata diajukan hanya untuk mengganggu atau bahkan mencari keuntungan diri sendiri secara licik (unjust enrichment). Sebagai contoh, seorang pemegang saham publik yang membeli saham perusahaan di bursa mengajukan gugatan karenamendalilkan dirinya mengalami kerugian akibat adanya informasi yang tidak diungkapkan saat perusahaan tersebut melakukan penawaran umum perdana/initial public offering. Padahal, ternyata harga saham yang dibeli terus beranjak naik dari hari ke hari sejak dibeli hingga orang tersebut mengajukan gugatan, sehingga sesungguhnya tidak ada kerugian yang diderita orang tersebut.

Jelas bahwa tuntutan-tuntutan yang mengada-ada semacam ini adalah suatu bentuk tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) dalam bentuk/tren model baru dengan memanfaatkan lembaga peradilan sebagaimana contoh di atas. Oleh karena tuntutan-tuntutan yang mengada-ada tersebut merupakan suatu tindakan melawan hukum (onrechmatige daad),sudah sepatutnya apabila pengadilan menghukum orang-orang yang mengajukan tuntutan semacam tersebut dan menjatuhkan sanksi yang tegas bagi mereka,karena telah memanfaatkan lembaga peradilan untuk menjalankan niat buruknya (te kwadee trouw).

Apabila lembaga peradilan mendiamkan tuntutantuntutan semacam ini, hal ini akan menjadi tren model baru tindakan melawan hukum (onrechmatige daad) dengan memanfaatkan lembaga peradilan.●

BRYAN BERNADI
Associate pada Andi F Simangunsong Partnership

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/400018/

Suara Terbanyak dan Daulat Rakyat

alah satu terobosan penting dalam sistem Pemilu 2009 lalu adalah penetapan calon anggota legislatif (caleg) yang didasarkan pada perolehan suara terbanyak.

Hal ini mengacu pada amar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan uji materiil atas Pasal 124 huruf a,b,c,d,dan e UU No 10/2008 tentang Pemilu, yang menetapkan caleg terpilih tidak lagi memakai sistem nomor urut dan digantikan dengan sistem perolehan suara terbanyak. Salah satu pertimbangan utama dari keluarnya putusan ini adalah ketentuan yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif terpilih adalah— calon yang mendapat suara di atas 30% dari bilangan pembagian pemilu (BPP) atau menempati nomor urut lebih kecil—dinilai bertentangan dengan makna substantif dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 d ayat 1 UUD 1945.

Putusan MK ini dipandang kontributif dalam upaya penyehatan iklim politik nasional, karena putusan ini mencerminkan asas keadilan dan demokrasi.Keputusan MK itu juga mendorong adanya rasa keadilan di antara caleg, sehingga mereka berlomba secara fair dalam merebut simpati rakyat. Penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak ini merupakan suatu “revolusi” demokratik dalam sistem pemilu Indonesia,yang selama ini berdasarkan pada nomor urut yang kerap dituding sebagai sistem yang tertutup, manipulatif, dan mengokohkan oligarki partai.

Penetapan suara terbanyak dalam sistem pemilu kita merupakan kemajuan penting, terutama dalam penghormatan terhadap kedaulatan rakyat dalam menentukan orangorang yang dipandang kredibel (morally credible), kapabel (technically capable), dan akseptabel (socially acceptable) untuk duduk di lembaga legislatif.

Proporsional Campuran?

Dalam konteks revisi UU No 10/2008 tentang Pemilu, sejumlah kalangan menggagas sistem pemilu proporsional campuran (mixed-member proportional system) dengan menggeser penerapan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak. Basis argumentasinya bahwa sistem proporsional campuran ini dianggap memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan sistem proporsional terbuka yang selama ini digunakan. Sistem ini dianggap mampu memadukan keunggulan sistem proporsional dan sistem mayoritarian.

Sebelum menerapkan sistem ini,para pendukung gagasan sistem pemilu proporsional campuran menuntut disepakatinya terlebih dulu berapa kursi yang dibagi dalam pemilihan dengan sistem distrik atau berdasarkan perolehan suara terbanyak dan berapa yang berdasarkan sistem proporsional. Jika kursi di DPR sebanyak 560 dan disepakati pembagiannya 50% untuk sistem distrik dan 50% untuk proporsional, artinya 280 kursi diperebutkan langsung oleh calon di mana untuk satu dapil hanya ada satu kursi. Sementara itu, 280 kursi lainnya diperebutkan partai politik yang telah menyusun calon yang akan duduk di kursi tersebut sesuai nomor urut.

Oligarki Partai

Para pendukung gagasan sistem pemilu proporsional campuran ini menilai sistem suara terbanyakmurnitidakmemberi insentif kepada aktivis dan pekerja partai. Demikian pula sistem afirmasi kuota perempuan yang digariskan UU Pemilu dianggap tidak berjalan efektif. Sistem ini juga dipandang lebih efisien dan makin menguatkan sistem kepartaian. Berbagai argumentasi yang melandasi pemunculan gagasan sistem pemilu proporsional campuran ini tentu perlu dikritisi.

Sejauh ini dalam literatur ilmu politik, khususnya sistem pemilu,tidak ada sistem pemilu yang sempurna, selalu ada plus dan minusnya.Tugas kita sesungguhnya adalah bagaimana mendesain sistem pemilu yang mengutamakan spirit daulat rakyat dan mengeliminasi kecenderungan menguatnya oligarki partai. Gagasan sistem proporsional campuran ini kurang relevan dalam konteks perdebatan revisi UU No 10/2008 tentang Pemilu, karena beberapa hal. Pertama, penyusunan dan penetapan caleg pada daerah pemilihan dengan sistem mayoritarian maupun sistem proporsional berdasar nomor urut (tertutup) mengandung semangat untuk mengembalikan dominasi dan oligarki partai di satu sisi, dan mengebiri hak asasi caleg di sisi lain.

Kedua, pembagian sistem mayoritarian dengan sistem proporsional dalam praktik sistem proporsional campuran ini akan membingungkan rakyat sebagai pemilih (voter).Kebingungan ini dipastikan muncul karena terjadi praktik dualisme sistem pemilu di daerah pemilihan yang berbeda. Ketiga, pandangan bahwa proporsional campuran ini bisa memadukan kelebihan sistem proporsional dan sistem mayoritarian juga tidak sepenuhnya tepat. Karena sistem mayoritarian, dalam batas tertentu banyak dikritik sebagai pemerintahan ochlocracy yang melahirkan tirani mayoritas dan menegasi hak-hak minoritas.

Filosofi politik sistem mayoritarian menyatakan bahwa suatu mayoritas dalam populasi baik suku, agama, ideologi, atau bahasa, berhak membuat keputusan yang berpengaruh bagi masyarakat secara keseluruhan. Keempat, sistem proporsional campuran ini cenderung melahirkan konflik baik antarparpol maupun antarcalon di internal parpol, terutama dalam hal ketentuan penggantian antar waktu (PAW) bagi anggota yang berhalangan tetap.

Hal ini bisa terjadi pada dapil yang menerapkan sistem distrik maupun sistem proporsional berbasis nomor urut. Kelima, anggapan sistem suara terbanyak melemahkan sistem kepartaian juga tidak sepenuhnya akurat, karena penyusunan dan penetapan caleg di dapil pada Pemilu 2009 sepenuhnya ada di bawah otoritas partai. Demikian pula,kendati wakil rakyat yang terpilih ditetapkan dengan sistem suara terbanyak, sistem recall tetap menjadi kewenangan partai.

Beberapa argumentasi di atas saya kira perlu mendapat perhatian kita, agar perdebatan- perdebatan dalam revisi UU No 10/2008 tentang Pemilu lebih berorientasi pada penghormatan terhadap daulat rakyat dan bukan ekspresi syahwat politik elite parpol semata. Wallahu’alam.●

SAAN MUSTOPA
Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR RI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/400020/

Komunitas ASEAN 2015: Satu Visi, Sulit Beraksi?

ASEAN mengakhiri KTTnya ke-18 di Jakarta dengan sebuah tekad untuk tetap menjaga keutuhan kerja sama ASEAN, terutama menjelang berlakunya Komunitas ASEAN 2015.

KTT itu menerima sepuluh komitmen yang berkaitan dengan (1) konektivitas ASEAN; (2) ketahanan pangan dan energi; (3) konflik Thailand dan Kamboja; (4) arsitektur regional; (5) People Center Association; (6) penanganan bencana alam; (7) kerja sama subkawasan ASEAN; (8) penyelenggaraan the 1st East Asia Summit; (9) keanggotaan Timor Leste; dan (10) pertukaran Myanmar dan Laos sebagai ketua ASEAN.Komitmen itu tidak dapat dilihat terpisah dari sasaran ASEAN untuk merealisasi Komunitas ASEAN.

Apa yang telah disepakati para pemimpin ASEAN dalam KKT mereka di Jakarta, merupakan penegasan kembali mereka untuk mengubah wilayah Asia Tenggara yang bermasalah menjadi wilayah yang bersatu yang menekankan kerja sama dan saling toleransi. Komitmen itu, jika dilihat dari perspektif Komunitas ASEAN 2015, dianggap layak bukan hanya karena dasar-dasar untuk membangun Komunitas ASEAN sudah dimiliki ASEAN, tetapi juga karena tujuan-tujuan yang muncul dalam komitmen tersebut cukup logis,mengingat perubahan-perubahan fundamental yang terjadi di lingkungan regional.

Referensi utama gagasan Komunitas ASEAN adalah Bali Concord 2 yang menetapkan tiga pilar komunitas—ekonomi, sosial, dan politik keamanan. ASEAN Bali Concord 2 tersebut menjadi keharusan karena tantangan globalisasi dan situasi ekonomi dan keamanan yang berkembang sejak krisis keuangan 1997 dan wabah terorisme melanda wilayah tersebut. Komitmen yang muncul dari KTT ke-18 ASEAN di Jakarta logis karena mungkin memang dimaksudkan mengisi dan memperkaya Komunitas ASEAN dengan berbagai kegiatan.

Namun, apakah komitmen itu cukup realistis mengingat kapasitas ASEAN yang sangat terbatas dalam melansir berbagai aksi kebijakan akibat teguhnya posisi mereka terhadap prinsip kedaulatan negara (prinsip untuk tidak campur tangan). Selain itu, apakah ketiga pilar itu benar-benar akan menjamin kesuksesan ASEAN dalam membangun sebuah Komunitas ASEAN yang kokoh dan apakah kepentingan- kepentingan negaranegara anggota ASEAN yang saling ber-saing dapat diakomodasi ke dalam pilar-pilar tersebut ? Dilihat dari perspektif demikian dan jika ASEAN gagal menjalan komitmen- komitmennya, ASEAN hanya akan menjadi semacam struktur mekanis dan imajiner di kawasan Asia Tenggara.

Bukan hanya itu. Jika saja apa yang telah disepakati KTT ke- 18 ASEAN di Jakarta tidak dijalankan secara sungguh-sungguh dan misi Komunitas ASEAN 2015 tidak tercapai, ASEAN dipastikan tidak akan mencapai tahapan yang oleh sosiolog Jerman Ferdinand Tonnies disebut sebagai “real and organic life”. Dunia mungkin malah akan menyaksikan kenyataan bahwa tahun 2015 nanti akan menjadi tahun awal munculnya berbagai persoalan baru di kawasan Asia Tenggara.

Arah Komunitas ASEAN

Setelah 44 tahun, ASEAN masih mencari sebuah bentuk konkret dari komunitas yang nyata yang didasarkan atas kedekatan geografis, persahabatan, hubungan bertetangga baik, dan persamaan-persamaan lokal. Faktor-faktor demikian tidak akan memberi kontribusi nyata pada stabilitas Komunitas ASEAN jika masih ditemukan unsur-unsur “permusuhan” (enmity) dalam hubungan antar negara-negara anggota ASEAN. Efeknya para pemimpin ASEAN akan dipandang tidak cukup peka untuk mengisolasi berbagai fenomena baru yang dapat menghambat pembangunan kawasan, khususnya Komunitas ASEAN.

Lebih parah lagi adalah jika Komunitas ASEAN 2015 malah memunculkan gesekan-gesekan kepentingan antar anggota ASEAN. Kasus Thailand dan Kamboja, konflik perbatasan antara negara-negara anggota ASEAN misalnya adalah fenomena- fenomena yang dapat mempengaruhi kredibilitas dan efektivitas Komunitas ASEAN pada 2015 dan tahuntahun di atas itu. Jika hasil KTT ASEAN ke-18 di Jakarta dan misi Komunitas ASEAN dibaca secara dalam, para pemimpin ASEAN sebenarnya dalam proses menciptakan semacam citra mental ASEAN yang integratif. Pasalnya, hubungan ASEAN yang berbasis komunitas pada dasarnya didasarkan atas interaksi antara negara, berkaitan satu dengan lainnya dan belajar untuk hidup dengan lainnya karena mereka merasa “satu keluarga”.

Bagi ASEAN, membangun citra yang integratif tidak cukup hanya dengan memperlihatkan sentimen kedekatan geografis dan nuansa-nuansa hubungan yang bersahabat dan sebagainya. ASEAN juga harus berani mengambil kebijakan-kebijakan yang berbasis aturan dan menerapkan sanksi-sanksi tertentu bagi anggotanya yang tidak patuh pada aturan-aturan main kawasan (Piagam ASEAN). Mengabaikan aturanaturan main kerja sama karena alasan “satu keluarga”, hanya akan membuat Komunitas ASEAN lemah dan tidak berdaya dalam bekerja sama, karena ia tersandera oleh prinsip yang dibuatnya sendiri.

Akibat masih adanya kepentingan- kepentingan yang berbeda dari anggota ASEAN dan perbedaan posisi mereka dalam isu-isu tertentu, konflik antaranggota ASEAN pasti tidak terelakkan dan jalan menuju sebuah kelompok regional yang solid tidak akan mulus. Dengan latar belakang semacam itu,mungkin akan ada yang bertanya apakah dan kapan ASEAN dapat disebut sebagai true community, sesuatu yang mencerminkan rasa kedekatan, solidaritas, dan persamaan persepsi dalam berbagai isu yang memungkinkan mereka mencapai tujuan-tujuan bersama mereka.

Karena itu, tantangan Komunitas ASEAN di atas tahun 2015 adalah mencegah agar komunitas itu tidak diwarnai kebijakan-kebijakan yang sifatnya individualistis. Jika skenario ini terjadi, sulit bagi Komunitas ASEAN untuk berperan dalam komunitas global bangsa-bangsa seperti diharapkan oleh para pemimpin ASEAN.●

BANTARTO BANDORO
Pengamat Hubungan Internasional, Dosen di Universitas Pertahanan Indonesia, Jakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/400021/

Budaya Dadakan

Lebih dari 2.000 tahun lalu, seorang filsuf pernah berujar, ”Keberuntungan akan terjadi saat peluang bertemu persiapan,”(Seneca).

Seneca sepertinya ingin menasihati kita, betapa pun peluang yang Anda lihat begitu besar, tanpa persiapan, tak akan pernah bisa menjadikan Anda manusia atau bangsa yang beruntung. Apalagi bangsa yang kompetitif. Saya pernah membagi-bagikan kalimat itu kepada 300-an usahawan dan saya menemukan dua jawaban berbeda. Di kalangan industriawan saya selalu mendapat jawaban ”amin” alias ”laksanakan.” Mereka mengatakan,kata kuncinya ada pada ”persiapan.” Tanpa persiapan, percuma memburu peluang.”Persiapan itulah yang membuat kami menjadi besar, dihormati dalam industri, kompetitif, dan terdepan.” Jawaban sebaliknya saya terima di antara pedagang-pedagang kecil, pemilik warung kaki lima.

Mereka mengatakan, ”peluang segala-galanya”, sedangkan ”persiapan itu impossible.” Kalau pakai persiapan malah tidak jadi jualan, tidak jalan, banyak takutnya. ”Jadi, kapan diingat, begitu terpanggil, ya kerjakan saja. Malam dipikirkan, besok langsung buka usaha.” ”Tidak perlu pikirkan dari mana uangnya, siapa yang harus diajak bicara, berapa lama pihak terkait diberi tahu dan seterusnya. So, just do it,” ujar mereka. Saya jadi teringat dengan sindiran almarhum Prof Dr Slamet Imam Santoso di Aula FKUI lebih dari 25 tahun lalu. ”Banyak orang yang malam ini bermimpi membangun Fakultas Kedokteran,besoknya langsung bangun rumah sakit.

Padahal dokternya belum ada, apalagi kurikulumnya.” Semua serbadadakan, dan Anda lihat sendiri bagaimana kualitas output-nya yang berdampak sampai hari ini. Tapi,ngomong-ngomong,bagaimana pemerintahan dan birokrasi kita? Mereka menganut cara berpikir yang mana? Apakah cuti bersama yang jatuh pada Senin (16 Mei 2011) lalu sudah dipersiapkan jauhjauh hari atau dadakan? Apakah pemerintah bersungguhsungguh memperbaiki daya saing bangsa ini dalam menghadapi China-AFTA atau kita anggap saja ini bonus kecil yang tak perlu dipersoalkan?

Makna Persiapan

Setahun lalu seorang teman, mantan CEO perusahaan asing yang diangkat menjadi staf khusus seorang menteri, mengeluh hal yang sama. ”Serbadadakan,” ujarnya. Menteri yang dibantunya sibuk mengurusi hal-hal yang baginya tidak begitu penting. Menghadiri resepsi pernikahan semua yang mengundangnya, membuka seminar dan menjadi keynote speaker,melayani seluruh tamu yang minta bertemu, dan mengerjakan semua urusan surat-menyurat. Sudah begitu, para pejabat tinggi merasa tidak nyaman kalau tak selalu berada di depan atasannya.

Turun dari pesawat semua dirjen sudah harus ada di depan pintu atau ruang tunggu. Acara apa saja yang ada menteri, pejabat harus selalu hadir. Dia mengakui menteri sekarang umumnya pintar-pintar, tetapi itulah persoalannya. ”Orang pintar cenderung ingin mengerjakan semuanya sendiri, dan bodoh dalam berkoordinasi, menggerakkan orang lain. Satu-satunya yang digerakkan hanya otak dan tangannya sendiri,”katanya. Saya katakan, mungkin bukan itu point-nya.Persiapan adalah sebuah keterampilan, yaitu keterampilan menganalisis masalah dan melihat jauh ke depan, lalu membuat rencana-rencana yang terkoordinasi. Jadi selain terampil membuat rencana, seseorang juga harus terampil berkoordinasi dan membangun kerja sama.

Ini saja belum cukup, diperlukan latihan-latihan dan pengecekan-pengecekan. Jadi rencana yang berdiri sendiri saja bukanlah sebuah rencana yang baik. Kita butuh sekretariat kuat, yang bukan cuma jadi tukang ketik dan fotokopi, melainkan pemeriksa agenda dan mem-follow upkeputusan. Cobalah tengok negara-negara yang neraca perdagangannya surplus terhadap China dalam platform China – AFTA.Mereka semua bekerja dengan persiapan yang matang. Setiap isu mereka diskusikan hingga terwujud action plan beserta agenda-agendanya. Semuanya memiliki sekretariat negara dan sekretariat-sekretariat kementerian yang kuat.

Sementara di Indonesia sekretariat menteri hanya diisi sekretaris biasa yang hanya bertugas typing, filling, dan scheduling tamu plus travelling menteri.Sedangkan sekretaris jenderal sibuk dengan urusan administrasi dan birokrasi. Bagaimana dengan sekretariat negara? Saya punya kesan, di era sekarang ini sekretariat negara mengalami banyak kemunduran. Peranan manajemen modern, motivasi, dan leadership sudah pasti sangat memengaruhi keberadaannya.

Birokrasi Ribet

Tak dapat dipungkiri, bekerja dadakan telah menjadi semacam budaya di negeri ini. Banyak bawahan mengeluh pekerjaannya tidak selesaiselesai, karena atasannya banyak memberi tugas dadakan. Kalau ditanya ke atasannya, mereka semua mengatakan pihak terkait (klien, pasar, pejabat) juga mintanya mendadak. Birokrasi yang ditanya mengatakan,presidennya atau DPR-nya minta mendadak. Taruhlah semua yang mendadak itu tak bisa dihindari, tetapi bukankah ada di antara hal-hal yang mendadak itu yang dapat direncanakan?

Coba periksa kembali, apakah betul merencanakan cuti bersama atau libur nasional saja tidak bisa kita umumkan sebulan atau setahun sebelumnya? Kalau hal seperti ini saja tidak bisa,kemungkinan besar cara berpikir para pemimpin sudah terganggu. Ribet dan terlalu banyak benang kusut yang harus segera dibenahi. Birokrasi yang ribet sudah menjadi benalu dalam pembangunan negeri ini. Tinggal dipotong saja, kok malah disayang- sayang? 

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/400024/

Letjen TNI (Purn) TB Silalahi: Pemimpin Itu Milik Suatu Masa Tertentu

LETJEN TNI (PURN) TB SILALAHI


RMOL. Hasil survei Indo Barometer yang menyebutkan rakyat saat ini lebih rindu Orde Baru mendapat respons beragam, baik dari pihak Istana maupun di luar Istana.

Terkait kesimpulan suvei ini, Letjen TNI (Purn) TB Silalahi, dosen senior Lemhannas yang saat ini menjadi Utusan Khusus Presi­den RI, teringat akan sebuah di­alog dengan Presiden Soeharto, saat dirinya menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara di kabinet Pembangunan VI.

Dia menuturkan, suatu hari men­dekati akhir masa bhakti Kabinet Pembangunan VI tahun 1997, Soeharto memanggilnya. “Pada saat itu suasana hati Pak Harto sangat ceria sehingga per­temuan itu sangat santai. Mung­kin karena akan ada pergantian Kabinet, beliau memberi pence­ra­han kepada saya soal kepemim­pinan,” kata TB Silalahi.

Berikut kutipan selengkapnya:

Apa yang disampaikan Soe­harto?
Beliau menekankan bahwa moti­vasi dari sumber daya manu­sia yang dipimpin akan menentu­kan berhasil tidaknya kepemim­pinan. Kalau motivasi itu sudah ada dalam dirinya (built in) maka pemimpin akan mudah mem­bawa mereka untuk mencapai tujuan. Sebaliknya jika motivasi itu rendah, maka tugas pemim­pinlah untuk meningkatkannya. Itulah sebabnya mengapa me­mim­pin bangsa kita pada periode revolusi kemerdekaan jauh lebih mudah karena pada masa itu semua rakyat Indonesia bertekad untuk merdeka, bersedia men­derita sampai mati sekalipun. Tujuan perjuangan pun hanya satu yakni mengusir penjajah.

Lalu?
Pak Harto mengatakan, masa pasca revolusi sejak tahun 1950 jauh lebih sulit memimpin bangsa ini. Semua rakyat menuntut hak­nya, ingin segera menikmati hasil kemerdekaan, sedangkan pem­bangunan itu sangat kom­pleks. Hal itulah yang menyebab­kan Bung Karno gagal sebagai Pre­siden pada masa mengisi kemer­dekaan dan jatuh sesudah G30 S PKI tahun 1965. Gagalnya Bung Karno untuk mengisi ke­merde­kaan membuktikan teori bahwa pemimpin adalah milik suatu masa tertentu. Bung Karno itu seorang revolusioner dan libe­rator, sehingga berhasil membe­sarkan negeri ini dengan cara revolusi. Jiwa revolusioner dan libarator itu terus dilaksana­kan­nya bukan saja terhadap Indo­nesia, malah untuk seluruh dunia. Mengisi kemer­dekaan jadi terlu­pakan. Seharus­nya mengisi kemer­dekaan diterus­kan kepada orang lain, umpanya Bung Hatta atau tokoh-tokoh lain. Bung Karno adalah pemimpin milik masa revolusi.

Apa Soeharto juga bicara soal Orde Baru?
Pak Harto mengatakan, masa Orde Baru jauh lebih sulit lagi karena rakyat menuntut saya (Pak Harto) lebih baik atau lebih ber­hasil dari Bung Karno. Di lain pihak, rakyat juga meminta kita segera memberlakukan sistem demokrasi. Menurut saya dalam situasi negara pasca G30 S di­mana ancaman komunis masih di depan mata, tidak mungkin se­kali­gus diberlakukan demokrasi dan pembangunan nasional se­cara bersamaan. Sebagai penutup beliau mengatakan, “Suatu ketika apabila demokrasi itu diberlaku­kan, maka siapapun pemimpin Indonesia ke depan akan jauh lebih sulit daripada masa saya dan Bung Karno memimpin, dan mungkin beberapa pemimpin akan gagal di tengah jalan.”

Apa kesimpulan Anda dari dialog dengan Soeharto ter­sebut?
Dari pembicaraan itu, saya menyimpulkan bahwa Pak Harto sudah meramalkan bahwa pada masa reformasi akan sangat sulit memimpin bangsa ini. Hal ini sudah terbukti dalam kurun waktu masa Pak Habibie, Gus Dur, Ibu Mega, dan masa seka­rang Pak SBY. Mayoritas masya­rakat kita itu awam karena tingkat pen­didikan yang terbatas. Itulah ma­salah utama kita sekarang meniru demokrasi ala Barat. Demokrasi perlu keseimbangan antara hak (right) dan kewajiban (obliga­tion). Untuk itu dibutuh­kan standar pendidikan tertentu bagi keseluruhan bangsa kita yang belum kita capai hingga saat ini.

Jadi?
Tidaklah heran kalau ada pendapat dari masyarakat awam yang menyatakan, jika Pak Harto (sekiranya masih hidup) yang memimpin, bangsa ini sekarang akan lebih baik. Malah ada pe­tinggi suatu partai tertentu me­nya­takan, jika Bung Karno yang memimpin bangsa ini maka peristiwa Ambalat di perbatasan dengan Malaysia tidak akan terjadi, TNI dan 220 juta rakyat Indonesia akan langsung me­nyerbu Malaysia.

Apa yang diramalkan Soe­harto sudah jadi kenyataan?
Tren yang dikatakan Pak Harto itu sudah terjadi dan benar. Bung Karno pada masa Orde Lama, Pak Harto pada masa Orde Baru dan sejak tahun 1998 masa Refor­masi. Tren dan kemajuan masa reformasi itupun sudah benar ter­jadi berkesinambungan dan me­ningkat. Dimulai pada awal yang sangat sulit Pak Habibie hanya bertahan 1 tahun 5 bulan, dilan­jut­kan Gus Dur masih sulit, ber­tahan 1 tahun 9 bulan, dan dilan­jutkan Ibu Mega yang bertahan 3 tahun 3 bulan. Sejak tahun 2004-2010 pada periode pertama 5 tahun disempurnakan Pak SBY, akan tetapi masih belum sepenuh­nya berhasil. Rakyat pun mem­percayai beliau untuk menyem­purnakannya.

Tepatkah membandingkan Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi?
Membandingkan kepemim­pinan masa reformasi dengan masa Orde Lama atau Orde Baru tidaklah tepat karena parameter­nya berbeda. Mari kita simulasi­kan sejenak kalau kondisi masa Pak Harto diterapkan kepada Pak SBY. SBY jadi otoriter, di­bentuk Kopkamtib dan diberla­kukan UU Subversi, demokrasi diharamkan. Setiap hari akan ada penangkapan tanpa proses hukum terhadap laskar-laskar, preman, NII, dan lain-lain yang vokal termasuk para demons­tran. Korupsi di atas 10 M dihu­kum mati serta semua media cetak dan elektronik di­kon­trol. Semua partai dilebur sehingga hanya ada 3 partai yakni satu partai Pemerintah, satu partai Nasionalis, dan satu lagi partai berbasis agama. Partai Peme­rin­tah harus mayoritas mutlak, dua partai lainnya hanya pelengkap “penderita”. Anggota DPR diku­rangi drastis, karena cuma tu­kang stempel sehingga tidak perlu pusing membangun ge­dung baru. Polri gabung dengan TNI dan TNI membawahi Polri. Pemerin­tah kembali sentralistik, peme­karan wilayah dihentikan dan yang sudah terlanjur dime­karkan disatukan kembali, dan seterus­nya, dan seterusnya.

Sesudah beberapa lama dengan Pemerintahan seperti itu kemung­kinan besar perekonomian kita akan lebih cepat maju. Lalu siapa yang akan jadi favorit? Pak Harto atau Pak SBY? Yang akan jadi favorit tetap Pak Harto karena responden adalah mereka yang relatif muda sekarang dan mereka masih anak-anak pada masa Pak Harto yang tidak merasakan pahitnya situasi politik pada masa itu. Di lain pihak, kalau itu terjadi dimana Pemerintah sekarang sangat represif, generasi muda­nya dan seluruh rakyat Indonesia akan menderita secara politik. Jadi SBY tetap disalahkan.

Pada masa sekarang dengan kemajuan teknoligi IT yang cepat sekali, kesadaran politik generasi muda mengikuti kemajuan IT. Walaupun rakyat kita relatif mak­mur seperti halnya di negara-negara Arab yang bergolak seka­rang, generasi muda justru akan mengobarkan revolusi untuk menuju demokrasi yang sekarang sudah mendunia. Dengan demi­kian kita mulai lagi dari nol.

Jadi, tak bisa Soeharto dan SBY dibandingkan?
Tidaklah relevan membanding­kan Pak SBY dengan Pak Harto. Saya yakin Pak Harto sendiri pun tidak menginginkan hal seperti itu. Sebaliknya tidak etis juga Pak SBY dibandingkan dengan man­tan Presiden sebelumnya walau­pun pada masa yang sama (re­formasi), karena proses demo­krasi itu berkesinambungan dan bertingkat. Walaupun Pak SBY mendapatkan rating tertinggi, kubu SBY pun tidak perlu me­nonjol-nonjolkan hal itu.

Apakah hasil poling Indo Baro­meter itu harus dicampak­kan bergitu saja?
Kita harus mengakui hak me­nya­takan pendapat dari masya­rakat kita. Mereka (responden) tidak bisa disalahkan. Poling dan questioner itu adalah ciptaan sutra­dara. Sebagai pemimpin yang bijak, seyogianya mengam­bil manfaat dari hasil poling ter­sebut, yaitu untuk lebih mem­bulat­kan tekad membangun bangsa ini sehingga tingkat ke­puasan masya­rakat kembali tinggi. Kita sudah memilih demokrasi. Demo­krasi itu tidak akan memakmurkan suatu negara dalam waktu singkat, akan tetapi membutuhkan perjua­ngan dan kesabaran rakyat untuk membangun bangsa dan negara­nya. Marilah kita memberi kesem­patan kepada Presiden SBY untuk bekerja dengan tenang, meng­akhiri masa pengabdiannya sesuai dengan amanat rakyat demi ke­pen­tingan kita semua. [RM]

http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=27551

Indonesia Versus FIFA, Siapa Takut?

Christianto Wibisono, CEO GLOBAL NEXUS INSTITUTE

Pada Mei 2006, Andrew Jennings meluncurkan buku Foul! The Secret World of FIFA: Bribes, Vote-Rigging and Ticket Scan dals (Harper Collins). Buku itu menggemparkan FIFA karena membongkar korupsi skandal kontrak komersial terkait dengan bangkrutnya ISL, mitra bisnis FIFA. Pada 11 Juni, Jennings tampil di program Panorama BBC mengungkap praktek suap oleh Sepp Blatter bernilai US$ 1 miliar.

Mel Brennan, dosen Towson University, Amerika Serikat; Kepala Proyek Khusus 2001-2003 CONCACAF; dan anggota delegasi 2002 FIFA World Cup, tampil dalam acara Panorama mengungkap skandal suap dalam tubuh FIFA. Seri Panorama, November, menyebut Nicolas Leoz, Issa Hayatou, dan Ricardo Teixeira sebagai pengurus FIFA penerima 175 kali suap dari ISL pada 1989-1999 berjumlah total US$ 100 juta.

Jack Warner, pengurus lain, menjual tiket FIFA kepada calo, sedangkan Sepp Blatter, yang diinterogasi polisi Swiss, berlagak pilon dan dibebaskan dari perkara. Belanda tidak mau tunduk kepada tuntutan suap oleh FIFA untuk memenangi penunjukan menjadi tuan rumah.
Adapun Perdana Menteri Inggris David Cameroon, yang tahun itu bersama Andy Anson memimpin delegasi Inggris mencalonkan diri sebagai tuan rumah World Cup, menyesalkan kampanye Jennings dan media massa karena bisa menggagalkan pencalonan Inggris sebagai tuan rumah. Kemenangan Rusia sebagai tuan rumah pada 2018 dan Qatar 2022 dinilai sarat korupsi.

Empat belas tahun sebelumnya, Jennings menulis buku The Lord of the Rings tentang skandal suap International Olympic Committee (IOC) yang mengupas riwayat para Presiden IOC yang bergelimang kemewahan korupsi IOC. Nama para tokoh yang disebut Jennings adalah Havelange dari FIFA, Samaranch, Nebiolo, Nellyu, dan Horst Dassler. Semuanya flamboyan, jet set, dan sukses membisniskan olahraga dalam berinteraksi dengan produsen seperti Adidas dan Coca-Cola.
Kini menyusul di belakang Jennings adalah para wartawan investigasi, seperti David Conn, penulis The Football Business; David Yallop; John Sugden; dan Alan Tomlinson--semuanya menguak skandal suap dan korupsi tingkat tinggi, termasuk doping dan perjudian dengan pertaruhan hasil pertandingan sepak bola yang bisa diatur mirip bandar kasino mengatur meja rolet.

Pada Mei 2011 kebetulan ada Konferensi Anti-Foreign Bribery KPK di Bali dan juga klimaks perebutan pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia.
Sejak dulu saya sudah memperingatkan bahwa Indonesia itu tidak bisa jadi malaikat di tengah globalisasi maksiat, korupsi, dan skandal suap model IOC dan FIFA. Nurdin Halid, yang terkena kasus korupsi dan telah dihukum sebagai narapidana, bukan satu-satunya koruptor di bumi ini. Tokoh FIFA dan IOC sendiri adalah "Nurdin Halid"tingkat global yang punya solidaritas. Mirip slogan bus kota, sesama sopir bus kota jangan saling mendahului. Karena itu, kalau Blatter merestui Nurdin Halid, itu bukan berita.
Kalau sekarang FIFA mengancam Indonesia, itu juga bukan berita.

Jadi kita memang tidak perlu minder kenapa PSSI dikorup oleh Nurdin Halid dan FIFA ambivalen serta kemudian sok kuasa mau menskors Indonesia.Yang memang bisa saja dilakukan seperti ketika di zaman Bung Karno, secara politis Bung Karno tidak mengundang Taiwan dan Israel ke Asian Games IV 1962 di Jakarta. Akibatnya, Ketua Federasi Asian Games G.D. Sondhi mengadukan Indonesia ke IOC dan memperingatkan Bung Karno. Bung Karno malah bandel menantang dan mendirikan Olympic tandingan dengan nama Games of the New Emerging Forces (Ganefo). Tapi yang ikut di situ semua atlet kelas dua, karena atlet utama disimpan untuk bisa ikut Olimpiade Tokyo 1964. Ganefo 1963 adalah kegagalan besar karena mengakibatkan RI diskors dari Olimpiade Tokyo.

Tragisnya dan ironisnya, atlet Arab asyik bertanding bersama Israel di Tokyo, sedangkan kita dikucilkan tidak boleh ikut karena membela Arab mengucilkan Israel dari Asian Games Jakarta. Bung Karno bukan cuma nekat keluar dari Olympic, bahkan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Januari 1965, karena Malaysia masuk jadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Ini adalah akrobat politik paling mengenaskan, karena hanya satu-satunya negara yang pernah sok keluar dari PBB, yang akhirnya pada 1966 harus melamar masuk lagi.

Mengikuti gejolak PSSI sampai elite menerjunkan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal George Toisutta bagaikan perang merebut wilayah strategis memang sangat menyedihkan. Elite Indonesia tidak memahami konstelasi struktur internasional dan semua selalu sok pintar sendiri, benar sendiri, dan mau menang sendiri. Kalau kebetulan ketemu seperti "sesama Nurdin Halid, lokal global"bersatu padu, ya, bisa menipu rakyat selama belasan tahun. Tapi, kalau "Nurdin Halid global"-nya bertarung sendiri seperti Sepp Blatter lawan seterunya, yang lihai harus bisa mengadu domba para NH global itu. Celakanya, Indonesia ini memang semua jago kandang. Kalau giliran menantang secara serampangan, akhirnya toh kalah divonis, diskors seperti nasib Bung Karno di Olimpiade Tokyo 1964.
Celakanya, tidak ada solidaritas dari negara Arab. RI diskors gara-gara solider terhadap Arab yang menolak Israel, eh, Arabnya malah berlenggang kangkung bertanding bersama Israel di Tokyo.

Olahraga memang terpengaruh politik.
Sebab, setelah itu terjadi saling boikot antara Amerika, yang memboikot Olimpiade Moskow 1980 karena Uni Soviet menyerbu Afganistan, dan Uni Soviet, yang pada 1984 memboikot Olimpiade Los Angeles serta membentuk tandingan World Friendship Games, tapi nasibnya sama seperti Ganefo, bubar tak berbekas.
Semua tetap setia kepada Olympic walaupun kepengurusannya penuh skandal, seperti dibongkar oleh Jennings.

Tampaknya memang korupsi dan skandal itu bukan cuma monopoli Indonesia dan PSSI. Korupsi dan skandal mendunia, tinggal kita berlomba siapa yang paling bersih dan siapa paling kotor. Untuk itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat juga berani omong aneh bahwa Singapura lebih korup daripada Indonesia karena lebih kaya daripada koruptor Indonesia.
Cara berpikir Ketua DPR ini sama saja bilang, ayo kita balapan siapa paling korup, bukan siapa paling bersih. FIFA bukan malaikat, demikian juga IOC. Tapi itu tidak berarti kita terus rela jadi "setan"koruptor karena sesama koruptor harus solider secara global.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/05/19/ArticleHtmls/19_05_2011_012_003.shtml?Mode=1