BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Orde Kedigdayaan Dehumanisasi

Orde Kedigdayaan Dehumanisasi

Written By gusdurian on Kamis, 19 Mei 2011 | 17.05

Catatan Perjalanan Reformasi Orde Kedigdayaan Dehumanisasi
M Bashori Muchsin Guru besar dan Pembantu Rektor II Universitas Islam Malang



I NTI hidup yang terja jah, kata Nirwan Hisyam (2007), adalah kondisi se seorang, masyarakat, atau bangsa yang masih menjalani kehidupan dalam ketidakberdayaan (empowerless), kebodohan, ketertindasan, jauh dari kesejahteraan, atau kesulitan menemukan kran sumber kehidupan yang `memanusiakan manusia', mengadakan relasi antaretnis, agama, budaya, politik, dan pendidikan, serta bukan relasi yang membinatangkan (dehumanisasi) manusia lainnya.

Pernyataan tersebut mengajarkan pada kita bahwa hidup yang terjajah itu cermin berbingkai penderitaan komplikatif. Tak ada rasa sakit yang mengerikan, yang diderita suatu masyarakat atau bangsa, kecuali rasa sakit sebagai masyarakat terjajah.
Keterjajahan menghilangkan makna kehidupan dalam masyarakat sehingga mereka terpuruk dalam kondisi inferior dan tak memiliki harga diri.

Tatkala di negeri ini masih sering atau `banjir' tragedi sosial kemanusiaan, pelecehan harkat kemanusiaan, pembinatangan orang lain, atau penganibalan orang-orang yang tidak berdosa, itu artinya potret kehidupan di republik ini masih lekat dengan ketidakberdayaan (empowerless). Masyarakat Indonesia masih dibelenggu berbagai bentuk perbuatan yang bercorak menghinakan atau merendahkan derajat kemanusiaan.

Namanya juga masih terjajah, tentu masyarakat Indonesia itu masih berkawan dekat dengan akumulasi penderitaan dan perampasan hak-hak. Adanya praktik kriminalitas serius (extraordinary crime), yang gampang mengoyak atau mencabikcabik ketenangan masyarakat Indonesia, merupakan realitas yang menunjukkan ketertindasan (keterjajahan), baik fisik maupun psikologis. Masyarakat tidak akan bisa hidup tenang dan damai selama kekejian ala pembinatangan masyarakat atau sesama lebih berjaya.

Kalau masyarakat Indonesia sudah benar-benar damai, praktik-praktik pembinatangan orang lain atau penciptaan extraordinary crime tentu tidak leluasa, digdaya, dan merdeka (bebas membantai, menghabisi, dan merajam). Dalam atmosfer reformasi, yang Nurcholish Madjid sebut `kemerdekaan jilid 2', sejatinya tidak boleh ada.
Apalagi, marak praktik-praktik penghinaan dan perampasan nyawa orang lain. Sebaliknya, wajib ditumbuhkan iklim saling menghormati dan melindungi sesama.

Anggota masyarakat, yang menjadi korban tangan-tangan kotor (the dirty hands) sehingga hak keberlanjutan hidup mereka terampas, sejatinya merupakan korban manusia yang menghalalkan modus perbuatan, yang sebenarnya itu tak layak dilakukan manusia. Kalau manusia itu merasa berstrata elite sebagai makhluk Tuhan, yang jauh lebih istimewa jika dibandingkan dengan binatang, seharusnya bukan perbuatan keji yang dilakukan, melainkan perbuatan yang mendukung pengembang an dan pemberdayaan derajat kemanusiaan.

Kasus pembantaian, penjagalan, mutilasi atau dehumanisasi kontemporer, merupakan realitas memilukan dan memalukan yang membenarkan bahwa sebagian elemen masyarakat belum berhasil `memerdekakan' atau mereformasi diri dari kecenderungan watak untuk menguasai,mendominasi, dan mengkriminalisasi sesa ma manusia. Tragedi sosial mudah dijumpai di tengah masyarakat, seperti seorang lelaki ditebas kepalanya di depan istri di pelataran parkir, yang notabene di hadapan banyak orang.
Sementara orang lain hanya menonton, seolah sudah kehilangan nyali untuk jadi `rasul kemanusiaan'.

Wa t a k d e m i kian itu mendeskripsikan watak komunitas penindas atau kriminal, yang suka `memproduksi' berbagai bentuk perbuatan yang menyakiti dan menyengsarakan, serta menjauhkan keberdayaan sesama manusia. Penjahat bisa beraktivitas untuk memperoleh kesenangan, serta kepuasan biologis dan psikologis, termasuk memenuhi berbagai ambisi. Sementara itu, masyarakat yang jadi korban terpuruk dalam penderitaan berlapis-lapis karena dijadikan objek pembinatangan atau penumbalan kejahatan secara berkelanjutan.

Kriminolog kena maan, JE Sahetapy (2002), pernah mempertanyakan mengapa bangsa, yang katanya ber budaya, berbudi luhur, ramah tamah, sopan, santun, reli gius, suka to long-meno long, go tong-royong, berubah men jadi bangsa atau masyarakat yang homo homini lupus, anarkis, brutal, dan radikal dalam hampir seluruh bidang kehidupan dan strata.

Apa yang disampaikan kriminolog tersebut merupakan gugatan terhadap realitas sosial kita yang masih berwajah bopeng, gampang berdarah, dan rentan dinodai berbagai bentuk praktik kekerasan yang jauh dari pantas, yang dilakukan sesama manusia.

Stigma sakral yang disandang manusia adalah pengemban atau penegak norma keadaban dan kemanusiaan, seperti digariskan dalam Pancasila.
Namun, kenyataannya, manusia lebih suka membelenggu dan menyengsarakan orang lain. Petani, yang semestinya bebas menjual harga gabah dengan layak, gagal mendapatkan hak mereka akibat kalah oleh kekuatan modal atau petani berdasi yang bermental tengkulak dan kriminalis. Perambah hutan, yang berasal dari masyarakat sekitar hutan, akhirnya gagal menikmati harkat kemanusiaan. Misalnya, mereka kesulitan mencari sedikit kayu bakar untuk kepentingan wajar, menyangga kebutuhan hidup.

Itu disebabkan sindikat sindikat yang terlibat pem balakan hutan.

Kita yang mempu nyai modal besar, akses kekuasaan, dan sedang menduduki jabatan stra tegis bisa men jadi `pembunuh' (perampas) kemerdekaan.

Kita yang jadi pengelola sekolah s atau perguruan tinggi kapitalis bisa dengan mudah menghabisi atau menjegal kemerdekaan seorang anak atau mahasiswa, dari keluarga miskin, yang bermaksud kuliah.
Kita, yang seperti itu, layak dikatakan sebagai sosok yang sedang menjadi `pembunuh atau penjajah kontemporer '.
Oleh karena itu, secara implisit, kita bisa digolongkan sebagai pelaku extraordinary crime.

Manusia, yang idealnya mampu mendidik atau membentuk diri sebagai pejuang sesama dan menjauhkan manusia atau makhluk lain dari ketertindasan (keterjajahan), justru lebih menyukai dan mengarogansikan praktik-praktik kebiadaban, melebihi perilaku binatang.
Sebab, perilaku demikian, bila dikalkulasi, jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan menjadi pejuang kemanusiaan sejati.

Kecenderungan yang terjadi dewasa ini benar-benar mudah terbaca, yakni maraknya pelaku individual dan sosial (kolektif) yang lebih menyukai dan membanggakan kekejian (kekerasan). Bahkan, pelaku sosial diberi ruang secara kriminogen supaya mereka tidak menjadi pejuang atau pemerdeka, tetapi menjadi penjajah, produsen extraordinary crime atau penyubur berbagai bentuk perilaku yang menindas sesama.

Kecenderungan seperti itu sudah seharusnya diperangi supaya tidak semakin berjaya di tengah masyarakat. Setiap elemen masyarakat punya kewajiban berdiri di garis depan dan mulai membangun gerakan kebersamaan untuk melawan setiap bentuk praktik penindasan, pembinatangan manusia atas manusia lain, dan peluangpeluang yang menyuburkan kriminogen.

Kalau orang miskin sering disalahkan sebagai golongan yang rentan akan kriminogen atau maraknya extraordinary crime, kalangan elite yang `menjagal' hak orang miskin untuk hidup sejahtera dan bermartabat pun wajib diperlakukan sebagai penindas (penjajah) secara riil. Sayangnya, paradigma yang berlaku sering terbalik.
Orang miskin sering dituduh sebagai penjahat atau mudah bersahabat dengan kekerasan, sedangkan elite dan penguasa menempatkan diri sebagai majikan yang baik hati.

Orang miskin tidak akan tergelincir untuk melakukan kejahatan kalau peluang memanusiakan atau menyejahterakan diri dan menjadi manusia-manusia berprestasi tidak selalu dikebiri komunitas elite ekonomi dan kekuasaan. Ketertindasan merupakan deskripsi lain dari `kemenangan kriminal' yang diberi tempat untuk berdaya, berjaya, dan menjadi digdaya, jika dibandingkan dengan komunitas akar rumput. Dus, kesadaran komunitas elitelah yang menentukan wajah masyarakat ini, apakah tetap langgeng dalam keterjajahan, ataukah bisa terbebas menikmati kemerdekaan makro.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/05/18/ArticleHtmls/18_05_2011_015_003.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: