BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Indonesia Versus FIFA, Siapa Takut?

Indonesia Versus FIFA, Siapa Takut?

Written By gusdurian on Kamis, 19 Mei 2011 | 15.40

Christianto Wibisono, CEO GLOBAL NEXUS INSTITUTE

Pada Mei 2006, Andrew Jennings meluncurkan buku Foul! The Secret World of FIFA: Bribes, Vote-Rigging and Ticket Scan dals (Harper Collins). Buku itu menggemparkan FIFA karena membongkar korupsi skandal kontrak komersial terkait dengan bangkrutnya ISL, mitra bisnis FIFA. Pada 11 Juni, Jennings tampil di program Panorama BBC mengungkap praktek suap oleh Sepp Blatter bernilai US$ 1 miliar.

Mel Brennan, dosen Towson University, Amerika Serikat; Kepala Proyek Khusus 2001-2003 CONCACAF; dan anggota delegasi 2002 FIFA World Cup, tampil dalam acara Panorama mengungkap skandal suap dalam tubuh FIFA. Seri Panorama, November, menyebut Nicolas Leoz, Issa Hayatou, dan Ricardo Teixeira sebagai pengurus FIFA penerima 175 kali suap dari ISL pada 1989-1999 berjumlah total US$ 100 juta.

Jack Warner, pengurus lain, menjual tiket FIFA kepada calo, sedangkan Sepp Blatter, yang diinterogasi polisi Swiss, berlagak pilon dan dibebaskan dari perkara. Belanda tidak mau tunduk kepada tuntutan suap oleh FIFA untuk memenangi penunjukan menjadi tuan rumah.
Adapun Perdana Menteri Inggris David Cameroon, yang tahun itu bersama Andy Anson memimpin delegasi Inggris mencalonkan diri sebagai tuan rumah World Cup, menyesalkan kampanye Jennings dan media massa karena bisa menggagalkan pencalonan Inggris sebagai tuan rumah. Kemenangan Rusia sebagai tuan rumah pada 2018 dan Qatar 2022 dinilai sarat korupsi.

Empat belas tahun sebelumnya, Jennings menulis buku The Lord of the Rings tentang skandal suap International Olympic Committee (IOC) yang mengupas riwayat para Presiden IOC yang bergelimang kemewahan korupsi IOC. Nama para tokoh yang disebut Jennings adalah Havelange dari FIFA, Samaranch, Nebiolo, Nellyu, dan Horst Dassler. Semuanya flamboyan, jet set, dan sukses membisniskan olahraga dalam berinteraksi dengan produsen seperti Adidas dan Coca-Cola.
Kini menyusul di belakang Jennings adalah para wartawan investigasi, seperti David Conn, penulis The Football Business; David Yallop; John Sugden; dan Alan Tomlinson--semuanya menguak skandal suap dan korupsi tingkat tinggi, termasuk doping dan perjudian dengan pertaruhan hasil pertandingan sepak bola yang bisa diatur mirip bandar kasino mengatur meja rolet.

Pada Mei 2011 kebetulan ada Konferensi Anti-Foreign Bribery KPK di Bali dan juga klimaks perebutan pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia.
Sejak dulu saya sudah memperingatkan bahwa Indonesia itu tidak bisa jadi malaikat di tengah globalisasi maksiat, korupsi, dan skandal suap model IOC dan FIFA. Nurdin Halid, yang terkena kasus korupsi dan telah dihukum sebagai narapidana, bukan satu-satunya koruptor di bumi ini. Tokoh FIFA dan IOC sendiri adalah "Nurdin Halid"tingkat global yang punya solidaritas. Mirip slogan bus kota, sesama sopir bus kota jangan saling mendahului. Karena itu, kalau Blatter merestui Nurdin Halid, itu bukan berita.
Kalau sekarang FIFA mengancam Indonesia, itu juga bukan berita.

Jadi kita memang tidak perlu minder kenapa PSSI dikorup oleh Nurdin Halid dan FIFA ambivalen serta kemudian sok kuasa mau menskors Indonesia.Yang memang bisa saja dilakukan seperti ketika di zaman Bung Karno, secara politis Bung Karno tidak mengundang Taiwan dan Israel ke Asian Games IV 1962 di Jakarta. Akibatnya, Ketua Federasi Asian Games G.D. Sondhi mengadukan Indonesia ke IOC dan memperingatkan Bung Karno. Bung Karno malah bandel menantang dan mendirikan Olympic tandingan dengan nama Games of the New Emerging Forces (Ganefo). Tapi yang ikut di situ semua atlet kelas dua, karena atlet utama disimpan untuk bisa ikut Olimpiade Tokyo 1964. Ganefo 1963 adalah kegagalan besar karena mengakibatkan RI diskors dari Olimpiade Tokyo.

Tragisnya dan ironisnya, atlet Arab asyik bertanding bersama Israel di Tokyo, sedangkan kita dikucilkan tidak boleh ikut karena membela Arab mengucilkan Israel dari Asian Games Jakarta. Bung Karno bukan cuma nekat keluar dari Olympic, bahkan keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Januari 1965, karena Malaysia masuk jadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Ini adalah akrobat politik paling mengenaskan, karena hanya satu-satunya negara yang pernah sok keluar dari PBB, yang akhirnya pada 1966 harus melamar masuk lagi.

Mengikuti gejolak PSSI sampai elite menerjunkan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal George Toisutta bagaikan perang merebut wilayah strategis memang sangat menyedihkan. Elite Indonesia tidak memahami konstelasi struktur internasional dan semua selalu sok pintar sendiri, benar sendiri, dan mau menang sendiri. Kalau kebetulan ketemu seperti "sesama Nurdin Halid, lokal global"bersatu padu, ya, bisa menipu rakyat selama belasan tahun. Tapi, kalau "Nurdin Halid global"-nya bertarung sendiri seperti Sepp Blatter lawan seterunya, yang lihai harus bisa mengadu domba para NH global itu. Celakanya, Indonesia ini memang semua jago kandang. Kalau giliran menantang secara serampangan, akhirnya toh kalah divonis, diskors seperti nasib Bung Karno di Olimpiade Tokyo 1964.
Celakanya, tidak ada solidaritas dari negara Arab. RI diskors gara-gara solider terhadap Arab yang menolak Israel, eh, Arabnya malah berlenggang kangkung bertanding bersama Israel di Tokyo.

Olahraga memang terpengaruh politik.
Sebab, setelah itu terjadi saling boikot antara Amerika, yang memboikot Olimpiade Moskow 1980 karena Uni Soviet menyerbu Afganistan, dan Uni Soviet, yang pada 1984 memboikot Olimpiade Los Angeles serta membentuk tandingan World Friendship Games, tapi nasibnya sama seperti Ganefo, bubar tak berbekas.
Semua tetap setia kepada Olympic walaupun kepengurusannya penuh skandal, seperti dibongkar oleh Jennings.

Tampaknya memang korupsi dan skandal itu bukan cuma monopoli Indonesia dan PSSI. Korupsi dan skandal mendunia, tinggal kita berlomba siapa yang paling bersih dan siapa paling kotor. Untuk itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat juga berani omong aneh bahwa Singapura lebih korup daripada Indonesia karena lebih kaya daripada koruptor Indonesia.
Cara berpikir Ketua DPR ini sama saja bilang, ayo kita balapan siapa paling korup, bukan siapa paling bersih. FIFA bukan malaikat, demikian juga IOC. Tapi itu tidak berarti kita terus rela jadi "setan"koruptor karena sesama koruptor harus solider secara global.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/05/19/ArticleHtmls/19_05_2011_012_003.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: