BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Letjen TNI (Purn) TB Silalahi: Pemimpin Itu Milik Suatu Masa Tertentu

Letjen TNI (Purn) TB Silalahi: Pemimpin Itu Milik Suatu Masa Tertentu

Written By gusdurian on Kamis, 19 Mei 2011 | 15.44

LETJEN TNI (PURN) TB SILALAHI


RMOL. Hasil survei Indo Barometer yang menyebutkan rakyat saat ini lebih rindu Orde Baru mendapat respons beragam, baik dari pihak Istana maupun di luar Istana.

Terkait kesimpulan suvei ini, Letjen TNI (Purn) TB Silalahi, dosen senior Lemhannas yang saat ini menjadi Utusan Khusus Presi­den RI, teringat akan sebuah di­alog dengan Presiden Soeharto, saat dirinya menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara di kabinet Pembangunan VI.

Dia menuturkan, suatu hari men­dekati akhir masa bhakti Kabinet Pembangunan VI tahun 1997, Soeharto memanggilnya. “Pada saat itu suasana hati Pak Harto sangat ceria sehingga per­temuan itu sangat santai. Mung­kin karena akan ada pergantian Kabinet, beliau memberi pence­ra­han kepada saya soal kepemim­pinan,” kata TB Silalahi.

Berikut kutipan selengkapnya:

Apa yang disampaikan Soe­harto?
Beliau menekankan bahwa moti­vasi dari sumber daya manu­sia yang dipimpin akan menentu­kan berhasil tidaknya kepemim­pinan. Kalau motivasi itu sudah ada dalam dirinya (built in) maka pemimpin akan mudah mem­bawa mereka untuk mencapai tujuan. Sebaliknya jika motivasi itu rendah, maka tugas pemim­pinlah untuk meningkatkannya. Itulah sebabnya mengapa me­mim­pin bangsa kita pada periode revolusi kemerdekaan jauh lebih mudah karena pada masa itu semua rakyat Indonesia bertekad untuk merdeka, bersedia men­derita sampai mati sekalipun. Tujuan perjuangan pun hanya satu yakni mengusir penjajah.

Lalu?
Pak Harto mengatakan, masa pasca revolusi sejak tahun 1950 jauh lebih sulit memimpin bangsa ini. Semua rakyat menuntut hak­nya, ingin segera menikmati hasil kemerdekaan, sedangkan pem­bangunan itu sangat kom­pleks. Hal itulah yang menyebab­kan Bung Karno gagal sebagai Pre­siden pada masa mengisi kemer­dekaan dan jatuh sesudah G30 S PKI tahun 1965. Gagalnya Bung Karno untuk mengisi ke­merde­kaan membuktikan teori bahwa pemimpin adalah milik suatu masa tertentu. Bung Karno itu seorang revolusioner dan libe­rator, sehingga berhasil membe­sarkan negeri ini dengan cara revolusi. Jiwa revolusioner dan libarator itu terus dilaksana­kan­nya bukan saja terhadap Indo­nesia, malah untuk seluruh dunia. Mengisi kemer­dekaan jadi terlu­pakan. Seharus­nya mengisi kemer­dekaan diterus­kan kepada orang lain, umpanya Bung Hatta atau tokoh-tokoh lain. Bung Karno adalah pemimpin milik masa revolusi.

Apa Soeharto juga bicara soal Orde Baru?
Pak Harto mengatakan, masa Orde Baru jauh lebih sulit lagi karena rakyat menuntut saya (Pak Harto) lebih baik atau lebih ber­hasil dari Bung Karno. Di lain pihak, rakyat juga meminta kita segera memberlakukan sistem demokrasi. Menurut saya dalam situasi negara pasca G30 S di­mana ancaman komunis masih di depan mata, tidak mungkin se­kali­gus diberlakukan demokrasi dan pembangunan nasional se­cara bersamaan. Sebagai penutup beliau mengatakan, “Suatu ketika apabila demokrasi itu diberlaku­kan, maka siapapun pemimpin Indonesia ke depan akan jauh lebih sulit daripada masa saya dan Bung Karno memimpin, dan mungkin beberapa pemimpin akan gagal di tengah jalan.”

Apa kesimpulan Anda dari dialog dengan Soeharto ter­sebut?
Dari pembicaraan itu, saya menyimpulkan bahwa Pak Harto sudah meramalkan bahwa pada masa reformasi akan sangat sulit memimpin bangsa ini. Hal ini sudah terbukti dalam kurun waktu masa Pak Habibie, Gus Dur, Ibu Mega, dan masa seka­rang Pak SBY. Mayoritas masya­rakat kita itu awam karena tingkat pen­didikan yang terbatas. Itulah ma­salah utama kita sekarang meniru demokrasi ala Barat. Demokrasi perlu keseimbangan antara hak (right) dan kewajiban (obliga­tion). Untuk itu dibutuh­kan standar pendidikan tertentu bagi keseluruhan bangsa kita yang belum kita capai hingga saat ini.

Jadi?
Tidaklah heran kalau ada pendapat dari masyarakat awam yang menyatakan, jika Pak Harto (sekiranya masih hidup) yang memimpin, bangsa ini sekarang akan lebih baik. Malah ada pe­tinggi suatu partai tertentu me­nya­takan, jika Bung Karno yang memimpin bangsa ini maka peristiwa Ambalat di perbatasan dengan Malaysia tidak akan terjadi, TNI dan 220 juta rakyat Indonesia akan langsung me­nyerbu Malaysia.

Apa yang diramalkan Soe­harto sudah jadi kenyataan?
Tren yang dikatakan Pak Harto itu sudah terjadi dan benar. Bung Karno pada masa Orde Lama, Pak Harto pada masa Orde Baru dan sejak tahun 1998 masa Refor­masi. Tren dan kemajuan masa reformasi itupun sudah benar ter­jadi berkesinambungan dan me­ningkat. Dimulai pada awal yang sangat sulit Pak Habibie hanya bertahan 1 tahun 5 bulan, dilan­jut­kan Gus Dur masih sulit, ber­tahan 1 tahun 9 bulan, dan dilan­jutkan Ibu Mega yang bertahan 3 tahun 3 bulan. Sejak tahun 2004-2010 pada periode pertama 5 tahun disempurnakan Pak SBY, akan tetapi masih belum sepenuh­nya berhasil. Rakyat pun mem­percayai beliau untuk menyem­purnakannya.

Tepatkah membandingkan Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi?
Membandingkan kepemim­pinan masa reformasi dengan masa Orde Lama atau Orde Baru tidaklah tepat karena parameter­nya berbeda. Mari kita simulasi­kan sejenak kalau kondisi masa Pak Harto diterapkan kepada Pak SBY. SBY jadi otoriter, di­bentuk Kopkamtib dan diberla­kukan UU Subversi, demokrasi diharamkan. Setiap hari akan ada penangkapan tanpa proses hukum terhadap laskar-laskar, preman, NII, dan lain-lain yang vokal termasuk para demons­tran. Korupsi di atas 10 M dihu­kum mati serta semua media cetak dan elektronik di­kon­trol. Semua partai dilebur sehingga hanya ada 3 partai yakni satu partai Pemerintah, satu partai Nasionalis, dan satu lagi partai berbasis agama. Partai Peme­rin­tah harus mayoritas mutlak, dua partai lainnya hanya pelengkap “penderita”. Anggota DPR diku­rangi drastis, karena cuma tu­kang stempel sehingga tidak perlu pusing membangun ge­dung baru. Polri gabung dengan TNI dan TNI membawahi Polri. Pemerin­tah kembali sentralistik, peme­karan wilayah dihentikan dan yang sudah terlanjur dime­karkan disatukan kembali, dan seterus­nya, dan seterusnya.

Sesudah beberapa lama dengan Pemerintahan seperti itu kemung­kinan besar perekonomian kita akan lebih cepat maju. Lalu siapa yang akan jadi favorit? Pak Harto atau Pak SBY? Yang akan jadi favorit tetap Pak Harto karena responden adalah mereka yang relatif muda sekarang dan mereka masih anak-anak pada masa Pak Harto yang tidak merasakan pahitnya situasi politik pada masa itu. Di lain pihak, kalau itu terjadi dimana Pemerintah sekarang sangat represif, generasi muda­nya dan seluruh rakyat Indonesia akan menderita secara politik. Jadi SBY tetap disalahkan.

Pada masa sekarang dengan kemajuan teknoligi IT yang cepat sekali, kesadaran politik generasi muda mengikuti kemajuan IT. Walaupun rakyat kita relatif mak­mur seperti halnya di negara-negara Arab yang bergolak seka­rang, generasi muda justru akan mengobarkan revolusi untuk menuju demokrasi yang sekarang sudah mendunia. Dengan demi­kian kita mulai lagi dari nol.

Jadi, tak bisa Soeharto dan SBY dibandingkan?
Tidaklah relevan membanding­kan Pak SBY dengan Pak Harto. Saya yakin Pak Harto sendiri pun tidak menginginkan hal seperti itu. Sebaliknya tidak etis juga Pak SBY dibandingkan dengan man­tan Presiden sebelumnya walau­pun pada masa yang sama (re­formasi), karena proses demo­krasi itu berkesinambungan dan bertingkat. Walaupun Pak SBY mendapatkan rating tertinggi, kubu SBY pun tidak perlu me­nonjol-nonjolkan hal itu.

Apakah hasil poling Indo Baro­meter itu harus dicampak­kan bergitu saja?
Kita harus mengakui hak me­nya­takan pendapat dari masya­rakat kita. Mereka (responden) tidak bisa disalahkan. Poling dan questioner itu adalah ciptaan sutra­dara. Sebagai pemimpin yang bijak, seyogianya mengam­bil manfaat dari hasil poling ter­sebut, yaitu untuk lebih mem­bulat­kan tekad membangun bangsa ini sehingga tingkat ke­puasan masya­rakat kembali tinggi. Kita sudah memilih demokrasi. Demo­krasi itu tidak akan memakmurkan suatu negara dalam waktu singkat, akan tetapi membutuhkan perjua­ngan dan kesabaran rakyat untuk membangun bangsa dan negara­nya. Marilah kita memberi kesem­patan kepada Presiden SBY untuk bekerja dengan tenang, meng­akhiri masa pengabdiannya sesuai dengan amanat rakyat demi ke­pen­tingan kita semua. [RM]

http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=27551
Share this article :

0 komentar: