BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Komunitas ASEAN 2015: Satu Visi, Sulit Beraksi?

Komunitas ASEAN 2015: Satu Visi, Sulit Beraksi?

Written By gusdurian on Kamis, 19 Mei 2011 | 16.36

ASEAN mengakhiri KTTnya ke-18 di Jakarta dengan sebuah tekad untuk tetap menjaga keutuhan kerja sama ASEAN, terutama menjelang berlakunya Komunitas ASEAN 2015.

KTT itu menerima sepuluh komitmen yang berkaitan dengan (1) konektivitas ASEAN; (2) ketahanan pangan dan energi; (3) konflik Thailand dan Kamboja; (4) arsitektur regional; (5) People Center Association; (6) penanganan bencana alam; (7) kerja sama subkawasan ASEAN; (8) penyelenggaraan the 1st East Asia Summit; (9) keanggotaan Timor Leste; dan (10) pertukaran Myanmar dan Laos sebagai ketua ASEAN.Komitmen itu tidak dapat dilihat terpisah dari sasaran ASEAN untuk merealisasi Komunitas ASEAN.

Apa yang telah disepakati para pemimpin ASEAN dalam KKT mereka di Jakarta, merupakan penegasan kembali mereka untuk mengubah wilayah Asia Tenggara yang bermasalah menjadi wilayah yang bersatu yang menekankan kerja sama dan saling toleransi. Komitmen itu, jika dilihat dari perspektif Komunitas ASEAN 2015, dianggap layak bukan hanya karena dasar-dasar untuk membangun Komunitas ASEAN sudah dimiliki ASEAN, tetapi juga karena tujuan-tujuan yang muncul dalam komitmen tersebut cukup logis,mengingat perubahan-perubahan fundamental yang terjadi di lingkungan regional.

Referensi utama gagasan Komunitas ASEAN adalah Bali Concord 2 yang menetapkan tiga pilar komunitas—ekonomi, sosial, dan politik keamanan. ASEAN Bali Concord 2 tersebut menjadi keharusan karena tantangan globalisasi dan situasi ekonomi dan keamanan yang berkembang sejak krisis keuangan 1997 dan wabah terorisme melanda wilayah tersebut. Komitmen yang muncul dari KTT ke-18 ASEAN di Jakarta logis karena mungkin memang dimaksudkan mengisi dan memperkaya Komunitas ASEAN dengan berbagai kegiatan.

Namun, apakah komitmen itu cukup realistis mengingat kapasitas ASEAN yang sangat terbatas dalam melansir berbagai aksi kebijakan akibat teguhnya posisi mereka terhadap prinsip kedaulatan negara (prinsip untuk tidak campur tangan). Selain itu, apakah ketiga pilar itu benar-benar akan menjamin kesuksesan ASEAN dalam membangun sebuah Komunitas ASEAN yang kokoh dan apakah kepentingan- kepentingan negaranegara anggota ASEAN yang saling ber-saing dapat diakomodasi ke dalam pilar-pilar tersebut ? Dilihat dari perspektif demikian dan jika ASEAN gagal menjalan komitmen- komitmennya, ASEAN hanya akan menjadi semacam struktur mekanis dan imajiner di kawasan Asia Tenggara.

Bukan hanya itu. Jika saja apa yang telah disepakati KTT ke- 18 ASEAN di Jakarta tidak dijalankan secara sungguh-sungguh dan misi Komunitas ASEAN 2015 tidak tercapai, ASEAN dipastikan tidak akan mencapai tahapan yang oleh sosiolog Jerman Ferdinand Tonnies disebut sebagai “real and organic life”. Dunia mungkin malah akan menyaksikan kenyataan bahwa tahun 2015 nanti akan menjadi tahun awal munculnya berbagai persoalan baru di kawasan Asia Tenggara.

Arah Komunitas ASEAN

Setelah 44 tahun, ASEAN masih mencari sebuah bentuk konkret dari komunitas yang nyata yang didasarkan atas kedekatan geografis, persahabatan, hubungan bertetangga baik, dan persamaan-persamaan lokal. Faktor-faktor demikian tidak akan memberi kontribusi nyata pada stabilitas Komunitas ASEAN jika masih ditemukan unsur-unsur “permusuhan” (enmity) dalam hubungan antar negara-negara anggota ASEAN. Efeknya para pemimpin ASEAN akan dipandang tidak cukup peka untuk mengisolasi berbagai fenomena baru yang dapat menghambat pembangunan kawasan, khususnya Komunitas ASEAN.

Lebih parah lagi adalah jika Komunitas ASEAN 2015 malah memunculkan gesekan-gesekan kepentingan antar anggota ASEAN. Kasus Thailand dan Kamboja, konflik perbatasan antara negara-negara anggota ASEAN misalnya adalah fenomena- fenomena yang dapat mempengaruhi kredibilitas dan efektivitas Komunitas ASEAN pada 2015 dan tahuntahun di atas itu. Jika hasil KTT ASEAN ke-18 di Jakarta dan misi Komunitas ASEAN dibaca secara dalam, para pemimpin ASEAN sebenarnya dalam proses menciptakan semacam citra mental ASEAN yang integratif. Pasalnya, hubungan ASEAN yang berbasis komunitas pada dasarnya didasarkan atas interaksi antara negara, berkaitan satu dengan lainnya dan belajar untuk hidup dengan lainnya karena mereka merasa “satu keluarga”.

Bagi ASEAN, membangun citra yang integratif tidak cukup hanya dengan memperlihatkan sentimen kedekatan geografis dan nuansa-nuansa hubungan yang bersahabat dan sebagainya. ASEAN juga harus berani mengambil kebijakan-kebijakan yang berbasis aturan dan menerapkan sanksi-sanksi tertentu bagi anggotanya yang tidak patuh pada aturan-aturan main kawasan (Piagam ASEAN). Mengabaikan aturanaturan main kerja sama karena alasan “satu keluarga”, hanya akan membuat Komunitas ASEAN lemah dan tidak berdaya dalam bekerja sama, karena ia tersandera oleh prinsip yang dibuatnya sendiri.

Akibat masih adanya kepentingan- kepentingan yang berbeda dari anggota ASEAN dan perbedaan posisi mereka dalam isu-isu tertentu, konflik antaranggota ASEAN pasti tidak terelakkan dan jalan menuju sebuah kelompok regional yang solid tidak akan mulus. Dengan latar belakang semacam itu,mungkin akan ada yang bertanya apakah dan kapan ASEAN dapat disebut sebagai true community, sesuatu yang mencerminkan rasa kedekatan, solidaritas, dan persamaan persepsi dalam berbagai isu yang memungkinkan mereka mencapai tujuan-tujuan bersama mereka.

Karena itu, tantangan Komunitas ASEAN di atas tahun 2015 adalah mencegah agar komunitas itu tidak diwarnai kebijakan-kebijakan yang sifatnya individualistis. Jika skenario ini terjadi, sulit bagi Komunitas ASEAN untuk berperan dalam komunitas global bangsa-bangsa seperti diharapkan oleh para pemimpin ASEAN.●

BANTARTO BANDORO
Pengamat Hubungan Internasional, Dosen di Universitas Pertahanan Indonesia, Jakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/400021/
Share this article :

0 komentar: