BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Republik Kulkas

Written By gusdurian on Jumat, 26 Februari 2010 | 13.08

Oleh Max Regus Alumnus Pascasarjana Sosiologi UI Direktur Parrhesia
Institute

MEDIA INDONESIA (19/2) menurunkan berita utama dan editorial yang amat
menghentak. Dengan judul berita tanpa sembunyi-sembunyi `Tifatul Kena
Batunya' sekaligus Editorial yang menggigit `Menteri Urusan Sensor'
Media Indonesia mengungkapkan kemunduran negara pada salah satu inti
alasan keberadaannya.
Negara sebagai institusi politik yang memberi- kan garansi ekspresi
hak-hak sosial politik publik sedang mendapatkan gugatan serius. Dua
RPP, Penyadapan dan Internet, yang diluncurkan sebagai program
unggulan Menkominfo Tifatul Sembiring, menjadi pemicu sinisme publik
ter- hadap negara.

Tidak dapat dimungkiri, langkah semacam ini, sejak awal terbentuknya
rezim SBY-Boediono su- dah mendapatkan sorotan luas masyarakat. Banyak
soal substantif yang dapat ditarik dari tragedi ini.
Bukan hanya sebatas pelanggaran protokoler se- orang pejabat negara
sehingga yang bersangkutan mendapatkan teguran dari pimpinan.
Melainkan ada semacam `serangan balik' memalukan ter- hadap demokrasi
justru dari penguasa yang mendapatkan dukungan politik rakyat.

Lebih krusial justru pada titik implikasi setiap kebijakan politik
institusi negara terhadap keber- langsungan aspek-aspek penting
kehidupan in- dividu maupun publik politik. Awasan bahwa saat
kebijakan publik justru berpeluang mence- derai esensi
kewarganegaraan, maka setiap ke- bijakan publik dan para pejabat yang
menyusun- nya harus terlebih dahulu melewati mekanisme sensor
internal. Dengan sebuah pertanyaan fundamental, apakah hak-hak politik
publik menda- patkan apresiasi signifikan dalam setiap detail kalimat
paraturan yang ada.
Otoriter Benar apa yang diulas melalui Editorial Media Indonesia bahwa
bau amis otoritarianisme politik dalam RPP Penyadapan dan Internet
begitu menusuk napas reformasi demokratik. Ini ber- hubungan dengan
persoalan mendasar dalam konteks keadaban politik publik. Ada intensi
membangun batasan yuridis tentang bagaimana publik mendapatkan
informasi yang dibutuhkan sebagai warga negara. Negara hadir sebagai
kekuatan yang berseberangan dengan suasana batin publik. Seperti
gergaji tajam yang memo- tong saluran informasi untuk publik.

Usaha mempersempit ruang diskusi publik merefleksikan kemerosotan
kesadaran negara berhubungan dengan keterjaminan hak-hak so- sial
politik warga. Ada semacam pola komu- nikasi politik para pejabat
publik dengan pem- besaran posisi negara sebagai pokok utama pe-
nuturan mereka. Secara akumulatif, gerakan kekuasaan semacam ini akan
merugikan masa depan demokrasi. Pembatasan medium ekspresi sosial
politik warga negara merupakan penyakit jamak yang mencuat di arena
negara otoritarian.
Hasrat yang tersembunyi di dalam selimut tran- sisi menuju demokrasi.

Intensi negara otoriter serentak berseberangan dengan arus kuat
demokratisasi. Pengendalian dan penguasaan informasi dan saluran komu-
nikasi antarwarga politik memiliki efek menge- rikan berkaitan dengan
pembisuan publik ter- hadap segenap problem politik kekuasaan.
Kontrol langsung publik pada ranah kekuasaan akan semakin berkurang.
Kekuasaan tanpa kon- trol tidak saja akan muncul dalam bentuk bangunan
kekuasaan otoriter, tapi dengan lekas menimbulkan kematian demokrasi.
Sampai se- jauh ini, belum ada metode politik yang cukup representatif
untuk memperjuangkan kepenting- an rakyat selain demokrasi.
Virus Idealnya, aturan maupun kebijakan politik publik memiliki fungsi
mengatur pemenuhan hak-hak warga negara. Namun, dengan naluri
absolutisme kekuasaan maka setiap kata dalam rancangan peraturan
negara bisa dijadikan semacam justifikasi untuk mengadili dan mendak-
wa setiap gerakan sosial warga politik yang me- nentang perilaku
destruktif penguasa. Aturan bisa menjadi `stempel' politik yang biasa
diletakkan pada kelompok kritis. Penguasa mendefinisikan setiap
tindakan yang masuk dalam kategori melawan aturan negara. Ini
bertujuan memudah- kan penguasa meringkus dan mendakwa gerakan sosial
sebagai tindakan anarkistis.

Colin Ward (2004) menyebutkan bahwa ketidakberdayaan negara
menyelesaikan urusan kejahatan politik yang membekapnya memun- culkan
perlawanan konstan publik. Negara dengan kualitas demokrasi yang
mencukupi akan mengambil perlawanan publik sebagai bagian dari
ketersediaan energi politik penting.
Namun, negara dengan para maniak kekuasaan yang berkumpul di dalamnya
akan memperlaku- kan perlawanan publik sebagai virus yang harus
dibasmi. Inilah ranah `psikologi politik' negara otoriter yang
menebarkan ancaman kepada publik dengan senjata aturan dan hukum.

Otoritarianisme negara merupakan factum kekerasan politik terhadap
warga negara. Seba- liknya, sikap kritis publik adalah gejala normal
sebagai jawaban politik sah warga negara yang merasa tidak puas
terhadap segenap tata kelola politik kekuasaan. Protes politik publik
mengung- kapkan penolakan total atas kegagalan mendasar negara
mengurus kehidupan publik dengan baik.
Yang benar adalah bahwa pembenahan tanggung jawab politik negara
kepada rakyat merupakan langkah paling awal menghindari perlawanan
politik publik. Mempersempit ruang diskusi dan dialog publik justru
menyuburkan benih-benih kekuasaan otoriter di negeri ini. Virus yang
me- rusak kesadaran politik bangsa ini.
Merosot David Miller (2003) mengajukan sebuah per- tanyaan penting
ini. Apakah mungkin terjadi semacam kooperasi sosial terhadap negara
manakala kewibawaan politik negara untuk mengurus kebutuhan rakyat
amat merosot? Ini bersentuhan langsung dengan kewibawaan pe- merintah
dalam konteks mengurus kebutuhan mendasar rakyat. Dengan kecenderungan
bahwa aturan dan hukum di negara transisi demokrasi dapat berubah
menjadi senjata pemukul gerakan sosial rakyat, perlawanan publik
terhadap setiap kecenderungan terbentuknya politik otoriter menjadi
kebutuhan mendesak saat ini.

Mengulang rencana yang mirip dalam rangka mengatur lalu lintas
komunikasi publik menjelas- kan bahwa penguasa di mana pun kurang
sekali mengoreksi secara kritis kinerja yang seharusnya sepadan dengan
kepercayaan politik yang telah diterima dari rakyat. Ada kemerosotan
yang se- makin menguat. Membiarkan terjadinya pem- batasan ruang
diskusi, dialog, dan penuturan warga politik akan mendorong negara ini
men- jadi semacam `Republik Kulkas'. Sekian meluas, menyentuh area
fundamental, dengan bias `pem- bekuan' sikap dan pikiran kritis yang
lahir dari kegalauan sosial, di hadapan kekuasaan yang semakin jauh
dari nasib rakyat kebanyakan.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/02/25/ArticleHtmls/25_02_2010_007_003.shtml?Mode=0

Indonesia Butuh Kebijakan ”Hutan Energi”

Indonesia Butuh Kebijakan ”Hutan Energi”

Pergeseran isu global ke masalah keberanjuran lingkungan
(environmental sustanaibility) membuat rakyat dan pemerintah
membutuhkan strategi, kebijakan, dan regulasi yang mumpuni yang dapat
memenuhi ekspektasi masyarakat dunia dan menguntungkan Indonesia.


Salah satu kebijakan yang menurut saya sangat tepat untuk
diimplementasikan secepatnya adalah hutan energi (energy
forrestpolicy). Krisis besar dunia akibat perubahan iklim dan
pemanasan global semakin meningkatkan kebutuhan kita untuk beralih
dari penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuels) ke sumber-sumber
energi yang berkelanjutan (sustainable). Pilihannya ialah hutan energi
(energy forrest) atau umum juga disebut biomass forrest karena karbon
dioksida (CO2) yang diambil dari atmosfer melalui vegetasi dapat
menghasilkan biomassa baru.

Berdasarkan berbagai penelitian, hutan-hutan kita dapat mengakumulasi
sejumlah besar biomassa. Akumulasi biomassa ini merupakan lumbung
potential energy yang dapat dikonversi menjadi kinetic energy jika
teknologi dan lingkungannya tepat.Untuk itu dibutuhkan teknologi yang
memenuhi standar clean, efficient, dan reliable operation untuk
memasok energi spesifik yang dapat diperbarui (renewable). Bagi rakyat
dan pemerintah saat ini,kebutuhan dan pilihan kebijakan hutan energi
(energy forrest policy) jauh lebih memiliki nilainilai dan manfaat
strategis.Pengelolaan sumber energi dari hutan akan membantu pemulihan
hutan rusak, penanaman ulang hutan kritis, dan pemulihan lingkungan
pada umumnya.

Pengelolaan sumber- sumber energi yang berasal dari hutan juga
membantu mengurangi krisis energi, menciptakan lapangan
kerja,menyediakan pasokan pangan rakyat, dan mengurangi pemanasan
global (global warming). Kita saksikan dewasa ini, biomassa dijadikan
bahan bakar di sejumlah zona pasar,seperti Eropa, AS, India, dan RRC.
Energi dari biomassa menjamin keamanan pasokan energi dan meningkatkan
lapangan kerja, pendapatan, dan kegiatan arus barang, jasa, uang, dan
manusia di daerah-daerah pedesaan. (Dominik Röser dkk, 2008). Kita
perlu mengelola peluangpeluang ini dengan merumuskan regulasi dan
kebijakan khusus di bidang sumber-sumber energi yang berasal dari
hutan-hutan kita. Ada sejumlah sektor komersial dan industri yang
membutuhkan sumber-sumber biomassa lokal seperti wood pellets,wood
chips,nut shells, dan produk-produk pertanian lainnya.

Lingkup Kebijakan Hutan Energi

Lingkup kebijakan strategis kehutanan untuk pengadaan sumber energi
meliputi kebijakan energy forrestry.Misalnya,kebijakan pemerintah
daerah membangun satu lahan hutan yang dijadikan lahan budidaya
spesies-spesies pohon dan tumbuhan untuk memasok biomassa atau
biofuelspenghasil listrik atau pemanas. Di tingkat-tingkat lokal pada
level pemerintahan daerah,mula-mula disiapkan lahan khusus yang dapat
berasal dari lahan hutan tanam ulang hutan kritis, hutan rusak,atau
lahan hutan baru.

Desain kebijakan energi dan hutan seperti ini mesti dibuat dengan
merujuk pada hasil-hasil riset tentang jenis lahan dan jenis
tanamannya. Kebijakan ilmiah seperti ini perlu dilakukan guna
meredusir kelemahan dari desain kebijakan hutan lestari (sustainable
forrest management) selama ini yang kurang didahului dan didasari oleh
hasil riset ilmiah. Misalnya, apakah yang dikembangkan di satu wilayah
adalah kebijakan hutan dengan rotasi waktu pendek 2-5 tahun ataukah
pilihan kebijakan hutan jangka panjang sekitar 8-20 tahun. Pilihan
desain kebijakan ilmiah di sektor hutan energi tersebut di atas juga
dapat mengatasi kelemahan kebijakan di sektor kehutanan kita selama
ini.

Yakni perubahan kebijakan hutan sangat dipengaruhi oleh siklus
pergantian pemerintahan. Harus dihindari risiko gagalnya implementasi
kebijakan hutan energi akibat pergantian pemerintahan baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah. Sebab siklus hidup hingga panennya
hutan tidak selalu sama dengan siklus pemilu dan pilkada. Aspek
penting lainnya dari kebijakan hutan energi yaitu sisi pengawasan
implementasi kebijakan hutan energi. Selama ini implementasi berbagai
kebijakan hutan lestari di Indonesia lemah di bidang pengawasan.
Umumnya pengawasan pelaksanaan kebijakan sektor kehutanan dilaksanakan
per triwulan atau bulanan.

Kebijakan hutan energi mesti diawasi per hari dan per pekan.Pengawasan
seperti ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa kebijakan hutan energi
benar-benar meraih lima manfaat strategis yakni; menyerap karbon
dioksida (CO2),menghasilkan energi,menyediakan lapangan kerja, merawat
kearifan lokal rakyat di desa-desa,dan menyeimbangkan kebijakan
pasokan energi dan pasokan pangan rakyat.

Potensi Hutan Indonesia

Hingga tahun 2008, produksi biofuels dunia mencapai berkisar 83 miliar
liter atau naik hampir 4 kali lipat dari total produksi biofuels tahun
2000. Menurut International Energy Agency (IEA), jumlah itu hanya
dapat melayani kebutuhan sekitar 1,5% dari konsumsi bahan bakar
transportasi dunia.Pada masa-masa datang,kemajuan teknologi,semakin
mahalnya bahan bakar fosil dan kebutuhan untuk meredam pemanasan
global akan mendorong semakin tingginya kebutuhan dan penggunaan
biofuels di sektor transportasi dan sektor-sektor industri komersial
lainnya.

Menurut hasil riset peneliti biofuels di Universitas Wageningen
(Belanda) minyak sawit Indonesia, misalnya, termasuk salah satu
penghasil biofuel crops yang sangat sustainable sama seperti gula tebu
asal Brasil. Sedangkan jagung asal Amerika Serikat dan gandum di Eropa
termasuk jenis sumber energi yang tidak sustainable.Jagung di China,
seperti halnya gula tebu Brazil dan minyak sawit Indonesia dan
Malaysia sangat efisien menggunakan lahan, air, nitrogen, dan
pestisida untuk menghasilkan satu unit energi (Bloomberg,21/2/2010).
Kebijakan hutan energi tidak hanya merawat mega-biodiversity di
Indonesia, tetapi juga merupakan salah satu terobosan strategis untuk
menjadikan Indonesia sebagai energy super-power abad ke- 21.

Indonesia adalah lokasi hutan hujan tropis ke-3 terbesar dunia. Ada
10% spesies bunga dunia,2% spesies mamalia, 16% spesies reptil dan
amfibi,17% spesies burung, dan 25% spesies ikan dunia. Merawat
keragaman hayati ini harus dimulai dari hutan. Pada awal abad
ini,pemerintah telah menetapkan empat kawasan hutan tetap,yaitu hutan
konservasi seluas 20.500.988 ha,hutan lindung seluas 33.519.600 ha,
hutan produksi seluas 58.254.460 ha, dan hutan produksi yang dapat
dikonversi seluas 8.078.056 ha.

Total luas 120.353.1094 ha. Hingga tahun 2009,hanya 20 juta dari luas
hutan itu yang tidak gundul.Pemerintah perlu menambahkan satu kawasan
lagi yaitu hutan energi. Maka kini saatnya telah tiba,kita merumuskan
strategi, kebijakan, dan regulasi hutan lestari “hutan energi.”(*)

Marwan Ja’far
Anggota Komisi Infrastruktur Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR RI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/306788/

Koalisi (Bukan) Periuk Nasi

Koalisi (Bukan) Periuk Nasi

Oleh Saldi Isra

Spekulasi yang berkembang bahwa hasil Panitia Khusus DPR tentang Hak
Angket Bank Century akan bergerak ke arah pemakzulan, terjawab sudah.
Penyampaian pandangan akhir fraksi-fraksi di Pansus dapat dikatakan
sebagai politik ”jalan tengah”. Meski tidak eksplisit, semua kekuatan
politik dapat dikatakan ”sepakat” untuk tak masuk ke wilayah
pemakzulan.

Pandangan itu membenarkan dugaan sebelumnya, guna menutup peluang ke
arah pemakzulan, mayoritas kekuatan politik mencari ”terobosan” lain
yang mereka nilai mampu menyelamatkan gagasan pembentukan Pansus
Century. Cara yang dilakukan sejumlah kekuatan politik, melempar bola
panas kepada penegak hukum untuk menindaklanjuti indikasi tindak
pidana yang dilakukan sejumlah tokoh sentral dalam skandal Century.

Padahal, dengan menyebut nama bekas Gubernur BI, sekarang Wakil
Presiden, sebagai pihak yang diduga bertanggung jawab, rekomendasi
dapat saja bergerak ke arah pemakzulan. Namun, langkah ke arah
pemakzulan tidak menjadi pilihan politik Pansus. Bagaimanapun, bagi
sejumlah kekuatan politik, mendorong semua pihak yang bertanggung
jawab ke jalur hukum jadi pilihan paling masuk akal guna menyelamatkan
berbagai kepentingan.

Bahkan, sejak awal sudah dapat dibaca, Pansus sengaja menghindari
pemenuhan logika bangunan sistem pemerintahan presidensial. Upaya
penghindaran dilakukan dengan tidak memanggil Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi. Tidak terlalu mengherankan
bahwa penarikan kesimpulan hanya bisa menjamah sampai Boediono dan Sri
Mulyani Indrawati. Bahkan, bagi sejumlah parpol dalam koalisi,
penyebutan nama itu pun dilakukan dengan keberanian luar biasa.

Pengkhianatan

Banyak kalangan berpendapat, pembentukan Pansus merupakan batu ujian
untuk menilai kesetiaan parpol terhadap hati nurani, terutama sebagai
wakil rakyat. Khusus parpol dalam koalisi, pembentukan Pansus jadi
batu ujian ganda antara kesetiaan terhadap hati nurani dan kesetiaan
menjaga bangunan koalisi.

Dari perspektif apa pun, kekuatan-kekuatan politik di Pansus Century
harusnya menempatkan kepentingan yang lebih luas sebagai bagian
pelaksanaan tugas-tugas konstitusional yang diamanatkan UUD 1945.
Dalam konteks itu, melihat spektrum di balik skandal Century, menutup
fakta-fakta yang terungkap selama Pan- sus bekerja dengan tujuan
menjaga keutuhan bangunan koalisi dapat dikatakan bentuk pengkhianatan
terhadap amanat rakyat.

Sulit dibantah, pilihan politik mengutamakan menjaga bangunan koalisi
akan memberikan dampak sistemik terhadap keberadaan DPR sebagai
lembaga perwakilan rakyat. Selain membunuh harapan sebagian besar
masyarakat untuk membongkar skandal Century sampai ke akar- akarnya,
pilihan politik menjaga keutuhan koalisi dengan mengabaikan aspirasi
yang berkembang berpotensi memperpanjang krisis kepercayaan kepada
DPR. Padahal, sejak awal banyak kalangan berharap, hasil Pansus mampu
menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada DPR.

Tidak hanya itu, ”menggadaikan” fungsi dan hak konstitusional dengan
tujuan menjaga keutuhan koalisi dapat dinilai sebagai bentuk
pengkhianatan atas UUD 1945. Padahal, saat dilantik, anggota DPR
berjanji mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan.

Koalisi presidensial

Dalam sistem pemerintahan presidensial, koalisi jadi pilihan sulit.
Namun, itu tak terhindarkan, terutama saat parpol yang mendukung
presiden tak mendapatkan dukungan mayoritas di DPR. Bahkan, Scott
Mainwaring (1993) menyatakan, pemerintahan presidensial dengan sistem
kepartaian majemuk merupakan kombinasi yang sulit dan dilematis.

Dengan posisi sebagai minority government, guna mendapat dukungan di
DPR, presiden berupaya membentuk pemerintahan koalisi dengan merangkul
sejumlah parpol. Dalam ”Simalakama Koalisi Presidensial” dikemukakan,
cara yang paling umum dilakukan presiden adalah membagikan posisi
menteri kabinet kepada parpol yang memberikan dukungan (Kompas,
27/11-08). Faktanya, langkah darurat membentuk koalisi tak pernah
kondusif dalam sistem pemerintahan presidensial.

Namun, yang sering dilupakan, dalam sistem pemerintahan presidensial
posisi legislatif tak dapat begitu saja tertakluk kepada eksekutif.
Bahkan, sekalipun berasal dari parpol pendukung presiden, parpol di
DPR tetap punya posisi politik yang berbeda dengan presiden. Karena
itu, sulit dipahami jika sebagian kekuatan politik di Pansus Century
memosisikan diri sebagai pasukan berani mati pihak eksekutif.

Sekalipun eksekutif berupaya membangun koalisi, kekuatan politik di
DPR seharusnya tak menggadaikan posisi konstitusionalnya. George C
Edwards III dan Stephen J Wayne dalam Presidential Leadership:
Politics and Policy Making (2002) menyatakan, dalam bangunan sistem
pemerintahan presidensial partai politik di DPR tidak dapat begitu
saja membenarkan semua tindakan pemerintah.

Jika semua tindakan yang dilakukan pemerintah dibenarkan, parpol di
DPR sedang menggadaikan posisi sebagai pemegang kekuasaan legislatif
terutama dalam pelaksanaan fungsi pengawasan. Dalam sistem parlementer
sekalipun, tak semua kebijakan pemerintah dibenarkan oleh parpol
pendukung eksekutif. Oleh karena itu, bangunan koalisi hanya dapat
dibenarkan sepanjang tak menghancurkan fungsi pokok masing-masing
lembaga.

Berdasarkan itu, dalam pengungkapan skandal Century, pilihan parpol
membenarkan semua tindakan pemerintah merupakan pilihan untuk bertahan
di jalur kekuasaan. Bisa jadi, bagi mereka, kelangsungan koalisi
sekaligus kelangsungan kekuasaan dan rezeki (baca: periuk nasi).

Sekalipun ada yang menggadaikan idealisme lembaga legislatif, sebagian
partai politik masih tetap berpendirian, jadi bagian koalisi bukan
segala-galanya. Bagi mereka, menjadi bagian koalisi bukan masalah
periuk nasi.

Oleh karena itu, menjelang sidang paripurna DPR, banyak kalangan
berharap, mereka yang membenarkan semua tindakan pemerintah dapat
merenungkan pilihan tersebut. Yang jauh lebih penting, parpol yang
dinilai cukup mampu menjaga idealisme lembaga perwakilan tidak berubah
pendirian hanya karena kepentingan memelihara periuk nasi.

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi
Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/25/03374119/koalisi.bukan.periuk.nasi

Myelin Susan Boyle“

Myelin Susan Boyle“
NAMA saya Susan Boyle.” Kalimat itu keluar dari seorang perempuan
separuh baya yang naik ke atas panggung di hadapan sekitar 1.000
orang. Mungkin Anda juga pernah menyaksikannya di televisi.


Di depannya duduk tiga orang juri, satu perempuan cantik dan dua pria.
Salah satunya sudah sering Anda lihat.Saya yakin Anda pasti sangat
familiar dengannya: Simon Cowell. Benar! Dialah Simon Cowell, juri
American Idol yang biasa berkomentar sinis kepada calon–calon artis
yang cuma bisa mejeng. Di hadapan Simon, calon artis yang sedang
mengikuti audisi Britain’s Got Talent itu bisa menjadi sangat gugup
dan malu karena dikritik pedas atau dihentikan saat sedang bernyanyi,
setelah itu marah– marah karena tidak terima dirinya dinilai secara
kasar.

Jadi,wajar kalau kontes seperti ini lebih banyak menuai sakit hati
daripada rasa bahagia. Sama seperti pemilihan bintang-bintang di sini,
apakah itu penyanyi dangdut maupun penyanyi pop. Sebuah perjalanan
panjang buat orang yang tidak muda lagi seperti Susan, tetapi Simon
dapat menjadi jembatan bagi mereka yang sudah menumbuhkan myelinnya.

Saya Ingin Mengubah Dunia

Demikianlah perasaan Susan Boyle. “Dari mana asalmu,Susan?” Dia
menyebut nama sebuah desa kecil yang tak banyak dikenal. Sadar
audience mengernyitkan dahi, dia melanjutkan. “Blackburn, Westlothian,
Scotland, sebuah desa kecil, kumpulan… kumpulan….” Tiba–tiba Susan
kehabisan kata–kata. Wajahnya yang lebih mirip seorang nenek dengan
rambut pirang yang sudah mulai menipis itu tampak bingung.Tapi, dia
mencoba melanjutkan kalimatnya sambil menggerakkan jari telunjuk ke
dahinya, seperti seseorang yang sedang mengetuk– ngetuk monitor
komputer ketika mesin data itu lemot, lambat menarik data,atau lebih
tepat: hang! Akhirnya keluar juga kata yang dia cari.

“Itu adalah kumpulan dari... ah, kumpulan dari komunitas religius,”
ujarnya sambil tersenyum tipis. “OK, berapa umurmu, Susan?” tanya
Simon. “Saya 47 tahun….” Ruang auditorium bergemuruh. Semua orang
menertawakannya. Entah karena grogi,Susan lalu memutar pinggulnya,
mirip penyanyi dangdut yang seksi.Namun, sayangnya tubuh Susan terlalu
tambun. Badannya bongsor sehingga goyang pinggulnya lebih merupakan
upaya menahan malu. Dia lalu menambahkan: “Itu hanya satu sisi dari
diri saya….” Selanjutnya dialog di atas panggung begitu singkat. “Apa
impianmu Susan?” “Saya ingin menjadi penyanyi profesional!” Sekali
lagi penonton bergemuruh menertawakannya.

“Seperti siapa?” “Allain Page!” Ucapan itu terdengar datar, tetapi
audience tertawa lebih keras lagi.Seorang yang sudah tidak muda lagi
begitu percaya diri menyebut nama seorang penyanyi besar sebagai acuan
hidupnya. “Mengapa seperti itu?” “Saya tidak pernah mempunyai
kesempatan sebelumnya, dan kalau saya berhasil, saya ingin mengubah
dunia. Mengubah pandangan orang-orang.” Tatkala semua orang
berkomentar sinis, musik pengiring mengalun. Begitu dia mulai
menyanyi, seluruh audience terpana. Susan tampil memukau. Suara
emasnya mengalir amat jernih, melantunkan lagu yang digemari banyak
orang I Dreamed a Dream.

Tarikan suaranya mengingatkan audience pada Josh Groban.Yang
membedakannya hanya kemasan fisik, penampakan luar, dan usianya. Semua
orang tiba–tiba tersentak dan berubah. Mereka terkejut karena ternyata
orang ini begitu hebat.Tepuk tangan tidak berhenti.Sebagian orang
bertepuk tangan sambil berdiri. “Sungguh mengagumkan,” ujar seorang
juri seusai Susan menyelesaikan lagunya. “Pada saat Anda mulai, semua
orang tidak percaya.Saya lihat mata dan mulut mereka begitu sinis.”
Itulah awal perjalanan Susan Boyle, pemenang Britain’s Got Talent yang
menjadi perbincangan di mana–mana. Di Amerika dia menjadi tamu acara
televisi terkenal, Larry King.

Hari Natal kemarin dia memperoleh penghargaan Triple Platinum karena
album “I Dreamed a Dream” yang terjual di atas lima juta keping. Dia
menjadi orang yang paling banyak dicari di situs pencari Googledan
situs video streaming Youtube. “Saya sudah menunggu saat ini sejak
lama,” ujar Susan suatu ketika. Jauh sebelum muncul, Susan sudah giat
berlatih. Tapi apa yang membuat Susan bergerak dan berlatih? Setiap
orang yang bergerak tentu memiliki faktor pemicu. Dia tidak dengan
serta-merta terbentuk begitu saja. Keterampilan menyanyi adalah suatu
bentuk intangibles—tidak berwujud secara fisik dan tidak dapat
diperoleh dalam sekejap. Namun, untuk menjadi terkenal dan menjadi
penyanyi komersial yang hebat, Susan masih harus membangun satu
jembatan lagi,yaitu brand image.Brand image juga merupakan elemen
penting intangibles. Sekarang ditemukan, intangibles dibangun di atas
fondasi myelin.

Myelin dan Intangibles

Susan hadir dalam audiensi itu untuk menjembatani internal
intangibles– nya dengan eksternal audience. Dia sedang membangun
jembatan dan melengkapi intangibles– nya. Sama halnya dengan dunia
usaha, bisa membuat saja tidak cukup. Sebuah usaha yang hebat dibangun
di atas fondasi intangibles yang kuat. Selain brand image, tentu saja
kepercayaan dan reputasi. Di buku baru saya yang berjudul Myelin
(terbit Maret 2010) Anda akan menemukan penjelasannya. Myelin adalah
nama lain dari muscle memoryyang beberapa penjelasannya sudah Anda
temukan pada tulisan saya dua kali berturutturut sebelum ini.

Myelin terbentuk karena latihan,semakin dilatih, selubung insulator
yang membungkus sel-sel syaraf manusia akan semakin tebal dan akan
semakin otomatis manusia bergerak melakukan sesuatu dan semakin mahir.
Itulah yang dialami Susan Boyle, sama seperti atlet atau pemimpin-
pemimpin besar.Ketika Susan tampil dalam audisi yang memukau, dia
menunjukkan hasil transformasi dari myelin menjadi intangibles dan
sekaligus menemukan intangibles yang belum dia miliki, yaitu reputasi.
Seperti kata John Maxwell, “Talenta adalah sekadar potensi yang
dimiliki manusia. Dia baru menjadi sesuatu bila berhasil menemukan
pintunya. Lalu manusia punya memori di otak dan juga di seluruh otot-
ototnya.Memori otot (myelin) itulah yang menggerakkan Susan menemukan
pintunya.

Kalau sudah seperti ini saya jadi berpikir,mungkin kita harus mengkaji
ulang sistem pendidikan sejak taman kanak-kanak di sini dan pelatihan
kita yang selalu mengedepankan brain memory. Sebab, menanam
pengetahuan pada brain memoryhanya menghasilkan pengetahuan. Itulah
modalnya kaum sarjana. Pengetahuan belum akan menghasilkan karya yang
hebat sebelum dia “dipakai” atau digerakkan.Itu sebabnya,kita hanya
punya kereta cepat yang bisa cepat sampai tujuan daripada mobil karena
dia bergerak di jalan bebas hambatan.

Andaikan di setiap gerbongnya ada prinsip lokomotif, saya kira kereta
kita akan secepat Shinkansen dan dia benar-benar cepat karena bergerak
otomatis dengan sistem lokomotif pada setiap gerbong.Jadi,sama dengan
myelin yang bekerja seperti lokomotif yang baru aktif bergerak kalau
kita melatihnya.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/306809/

Sebenarnya Ada Apa di Balik Skandal Bank Century

Sebenarnya Ada Apa di Balik Skandal Bank Century
Ayu Susanti - suaraPembaca



Jakarta - Awal tahun seakan tidak bisa mengubah keadaan Indonesia yang
semakin terpuruk. Tahun 2010 yang sedang dijalani pun tidak bisa
membuat Indonesia menjadi lebih baik. Masalah-masalah tahun 2009
berulang menjadi rentetan masalah di tahun 2010.

Kemiskinan yang semakin meningkat, tingkat kriminalitas yang semakin
membengkak, hutang luar negeri yang seperti bom waktu, para koruptor
yang selalu bertambah, keadaan politik yang kacau dan masih banyak
lagi. Walaupun sudah ganti pemerintahan tapi tetap masalah yang sama
selalu ada menghampiri Indonesia.

Salah satunya yakni masalah Century yang akhir-akhir ini menguras
kepercayaan masyarakat Indonesia pada pemerintah. Berbagai media pun
tak kalah untuk mengangkat masalah ini ke permukaan. Sehingga, seluruh
masyarakat Indonesia tahu apa yang sedang terjadi pada para penguasa.
Kenapa masalah Century ini menjadi begitu rumit. Sebenarnya ada apa di
balik Century ini?

Di tengah kehidupan Indonesia yang sangat rumit pemerintah dan Bank
Indonesia mengeluarkan kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat.
Pada akhir 2008 Bank Century yang sudah bangkrut dibantu oleh
pemerintah sebesar 6,762 triliun.

Dana tersebut diberikan secara cuma-cuma kepada segelintir konglomerat
pemilik dan nasabah Bank Century. Skandal Century merupakan skandal
keuangan terbesar kedua setelah kasus Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia yang mencapai lebih dari Rp 600 triliun tanpa ada
penyelesaian yang tuntas.

Jika kita melihat secara kronologi Skandal Century ini dimulai dengan
tahun 1989 oleh Robert Tantular yang mendirikan Bank Century Intervest
Corporation (Bank CIC). Tahun 1999 pada bulan Maret Bank CIC melakukan
penawaran umum terbatas pertama dan Robert Tantular dinyatakan tidak
lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh Bank Indonesia.

Pada tahun 2002 Auditor Bank Indonesia menemukan rasio modal Bank CIC
amblas hingga minus 83,06% dan CIC kekurangan modal sebesar Rp 2,67
triliun. Tahun 2003 bulan Maret bank CIC melakukan penawaran umum
terbatas ketiga.

Bulan Juni Bank CIC melakukan penawaran umum terbatas keempat. Pada
tahun 2003 pun bank CIC diketahui terdapat masalah yang diindikasikan
dengan adanya surat-surat berharga valuta asing sekitar Rp 2 triliun
yang tidak memiliki peringkat, berjangka panjang, berbunga rendah, dan
sulit dijual.

BI menyarankan merger untuk mengatasi ketidakberesan pada bank ini.
Tahun 2004, 22 Oktober dileburlah Bank Danpac dan Bank Picco ke Bank
CIC. Setelah penggabungan nama tiga bank itu menjadi PT Bank Century
Tbk, dan Bank Century memiliki 25 kantor cabang, 31 kantor cabang
pembantu, 7 kantor kas, dan 9 ATM. Tahun 2005 pada bulan Juni Budi
Sampoerna menjadi salah satu nasabah terbesar Bank Century Cabang
Kertajaya Surabaya.

Tahun 2008, Bank Century mengalami kesulitan likuiditas karena
beberapa nasabah besar Bank Century menarik dananya seperti Budi
Sampoerna akan menarik uangnya yang mencapai Rp 2 triliun. Sedangkan
dana yang ada di bank tidak ada sehingga tidak mampu mengembalikan
uang nasabah dan tanggal 30 Oktober dan 3 November sebanyak US$ 56
juta surat-surat berharga valuta asing jatuh tempo dan gagal bayar.

Keadaan ini diperparah pada tanggal 17 November Antaboga Delta
Sekuritas yang dimiliki Robert Tantular mulai tak sanggup membayar
kewajiban atas produk discreationary fund yang dijual Bank Century
sejak akhir 2007. Dengan sigap kemudian Budiono selaku gubernur BI
saat itu mengadakan rapat konsultasi melalui telekonferensi dengan
Menteri Keuangan Sri Mulyani yang sedang berada di Washington bersama
Presiden Bambang Yudhoyono (SBY).

Tanggal 20 November BI mengirim surat kepada Menteri Keuangan yang
menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan
mengusulkan langkah penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Sehingga, diputuskan menyuntikkan dana sebesar Rp 632 miliar untuk
menambah modal sehingga dapat menaikkan CAR menjadi 8%.

Enam hari dari pengambilalihan LPS mengucurkan dana Rp 2,776 triliun
pada Bank Century untuk menambah CAR menjadi 10%. Karena permasalahan
tak kunjung selesai Bank Century mulai menghadapi tuntutan ribuan
investor Antaboga atas penggelapan dana investasi senilai Rp 1,38
triliun yang mengalir ke Robert Tantular.

Pada 5 Desember 2008 LPS menyuntikkan dana kembali sebesar Rp 2,2
triliun untuk memenuhi tingkat kesehatan bank. Akhir bulan Desember
2008 Bank Century mencatat kerugian sebesar Rp 7,8 triliun.

Bank yang tampak mendapat perlakuan istimewa dari Bank Indonesia ini
masih tetap diberikan kucuran dana sebesar Rp 1,55 triliun pada
tanggal 3 Februari 2009. Padahal bank ini terbukti lumpuh. KPK menduga
ada suap menyuap antara pejabat maupun penegak hukum. Sehingga, KPK
gencar melakukan penyelidikan.

Ini dibuktikan pada 1 April penyidik KPK akan menangkap petinggi
kepolisian karena diduga menerima suap. Namun, penangkapan dibatalkan
karena suap dibatalkan. Rencana penangkapan ini diketahui oleh Kepala
Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Bambang Danuri. Hingga saat itu
hubungan KPK - POLRI kurang harmonis.

Pada Bulan Juni Bank Century mencairkan dana yang telah diselewengkan
Robert sebesar Rp 180 miliar pada Budi Sampoerna. Namun, dibantah oleh
Budi yang merasa tidak menerima sedikit pun uang dari Bank Century.
Atas pernyataan itu LPS mengucurkan dana lagi kepada Bank Century
sebesar Rp 630 miliar untuk menutupi CAR. Sehingga, total dana yang
dikucurkan kepada Bank Century sebesar Rp 6,762 triliun.

DPR baru turun tangan dalam permasalahan ini sehingga memanggil Sri
Mulyani, Menteri keuangan, dimintai penjelasan mengenai pembengkakan
kucuran dana kepada Century sebesar Rp 6,7 triliun. Padahal awalnya
hanya meminta persetujuan Rp 1,3 triliun. Sri Mulyani lagi-lagi
berpendapat apabila Century ditutup maka akan berdampak sistemik pada
perbankan Indonesia.

Kasus Century ini semakin rumit dan menyeret beberapa nama petinggi
negara yang terlibat. Seperti bantahan mantan wakil presiden yang
mengatakan bahwa ada perampokan di Bank Indonesia. Penegak hukum pun
memvonis Robert Tantular 4 tahun penjara dengan denda Rp 50 miliar.

Pada tanggal 30 September laporan awal audit BPK mengungkapkan bahwa
banyak kejangggalan dalam masalah pengucuran dana pada Bank Century.
Atas temuan BPK yang janggal tersebut dibentuklah Panitia Khusus Hak
Angket sebanyak 139 anggota dari 8 fraksi.

Ayu Susanti
Geger Kalong Bandung
zanyoe@yahoo.co.id
085222886142

http://suarapembaca.detik.com/read/2010/02/25/075604/1306406/471/sebenarnya-ada-apa-di-balik-skandal-bank-century?882205470

Menimbang Tax Holiday

Menimbang Tax Holiday
Oleh: Makmun

DALAM pekan-pekan terakhir, masalah tax holiday (pembebasan pajak) kembali hangat dibicarakan. Setidaknya terdapat beberapa alasan yang dikemukakan sehubungan dengan wacana menghidupkan kembali tax holiday ini. Pertama, tax holiday perlu dibuka kembali untuk menarik investasi asing. Argumennya bahwa pemberian tax holiday kepada investor tidak akan merugikan negara dalam jangka panjang.

Dengan tax holiday diharapkan investor asing tertarik menanamkan modal ke daerah. Hal itu diharapkan mampu mendorong pengembangan industri ke luar Jawa sehingga mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi. Dengan demikian, negara justru mendapatkan manfaat dari investasi asing dalam bentuk pengembangan infrastruktur di luar Jawa, sedangkan penerimaan dari berbagai sumber pajak lain masih bisa dioptimalkan.

Kedua, pemberian sejumlah insentif melalui stimulus fiskal selama ini, khususnya dalam APBN 2009 yang mencapai Rp 73,3 triliun, untuk mengatasi krisis global dinilai masih belum cukup. Untuk itu Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) meminta percepatan pemberian fasilitas pembebasan pajak bagi pengusaha (tax holiday).

Ketiga, Indonesia tidak dapat berkompetisi dengan negara-negara lain karena saat ini banyak yang sudah memberikan fasilitas pembebasan pajak, seperti Uni Emirat Arab, Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan. Untuk itu pemberian tax holiday diharapkan mampu mendorong kegiatan pada sektor-sektor industri hulu. Sebab, kegiatan di sektor hulu bakal sulit berjalan sempurna tanpa ada fasilitas tax holiday. Lebih buruk dari itu, para investor juga dikhawatirkan hengkang dan memindahkan kegiatan investasinya ke negara-negara lain yang menawarkan sejumlah sweeteners yang menggiurkan.

Selain sejumlah argumen di atas, pemberian tax holiday dapat pula dimaksudkan untuk mendorong arus perubahan capital inflow yang sekarang ini membanjiri Indonesia ke arah foreign direct investment. Sebagaimana diketahui bahwa capital inflow yang ada sekarang ini lebih banyak diparkir pada instrumen yang menjanjikan return cukup besar, seperti penempatan pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN) maupun pasar saham.

Di satu sisi, capital inflow ini berdampak positif pada pengendalian nilai tukar rupiah. Di sisi lain capital inflow perlu diwaspadai karena dapat saja sewaktu-waktu pindah ke negara lain. Sesuai dengan falsafah investasi, dana akan selalu mencari atau ditempatkan pada instrumen investasi yang memberikan return maksimum. Dalam rangka memaksimumkan manfaat capital inflow ke Indonesia dan dalam rangka mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, pemerintah perlu mengarahkan capital inflow menjadi foreign direct investment (investasi langsung asing). Sejumlah sweeteners tentu diperlukan, dan salah satu bentuk yang dapat ditawarkan adalah pemberian tax holiday.

Perlu Evaluasi

Sejarah mencatat bahwa tax holiday pernah diberlakukan di Indonesia, dengan diterbitkannya UU No 1 Tahun 1967 jo UU No 11 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Namun, dalam kurun 15 tahun pemberlakuan tax holiday, jumlah foreign direct investment yang disetujui hanya sekitar 473 proyek atau rata-rata 28 proyek per tahun. Realisasi proyek yang disetujui hanya mencapai 75 persen, alias 355 proyek terealisasi atau 21 proyek per tahun.

Mungkin dengan alasan kurang efektif, melalui UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984, ketentuan tentang tax holiday dicabut. Sebagai ganti pemerintah menerapkan ketentuan umum perpajakan yang memberikan sejumlah kemudahan. Namun, dalam perjalanannya, melalui UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal muncul lagi pengaturan tentang pembebasan pajak.

Dalam rangka menarik investasi asing ke Indonesia dan mengubah orientasi capital inflow menjadi foreign direct investment, wacana pemberian tax holiday memang layak dipertimbangkan. Dengan demikian, Indonesia mampu bersaing dengan negara tetangga. Namun, terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, dalam rangka menarik investasi dari luar, pemerintah telah membentuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kebijakan ini telah diamanatkan dalam UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Ketentuan mengenai Kawasan Ekonomi Khusus diatur dengan UU (pasal 31 ayat (3)).

Kebijakan yang bertujuan mengoreksi kegagalan pasar demi efisiensi; membuat program untuk melakukan pemerataan pendapatan dengan menggunakan instrumen pajak dan pengeluaran pemerintah; dan membuat kebijakan fiskal dan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tangguh ini boleh dibilang baru seumur jagung. Seyogianya dilakukan evaluasi terlebih dahulu tentang seberapa efektif dampak kebijakan ini terhadap pertumbuhan foreign direct investment. Evaluasi juga mencakup kelemahan-kelemahan terhadap kebijakan tersebut, sehingga dapat dicarikan jalan keluarnya. Jangan sampai yang sebenarnya terjadi bukan masalah perpajakan, sehingga dikhawatirkan obat yang ditawarkan dalam bentuk tax holiday tidak memecahkan masalah.

Kedua, kegagalan tax holiday sebagai pendorong masuknya foreign direct investment pada 1967-1983 mungkin saja disebabkan aliran modal asing pada masa tersebut memang sangat kecil. Sementara itu banyak sekali negara yang memperebutkannya. Saat ini situasinya sangat berbeda karena capital inflow ke Indonesia cukup besar. Untuk mempertahankan capital inflow diperlukan cost (biaya) cukup besar. SUN dan SBI harus tetap menarik. Akibatnya, kredit tak pernah turun yang ujung-ujungnya sektor riil kesulitan mencari dana murah.

Tidak ada salahnya dalam jangka menengah, tax holiday diwacanakan untuk diterapkan kembali. Tentu bukan saja dimaksudkan agar Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara lain dalam memperebutkan investasi. Di depan mata tampak sekali bahwa capital inflow ke Indonesia cukup besar. Tinggal bagaimana mengubah orientasi capital inflow pada instrumen SBI, SUN, dan Pasar Modal menjadi foreign direct investment, sehingga akhirnya mampu memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Indonesia memang termasuk tiga negara, di luar Tiongkok dan India, yang mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi dalam masa krisis global. Namun, tingkat pertumbuhan tersebut dinilai sangat rapuh karena hanya mengandalkan konsumsi masyarakat. Dengan mengalirnya foreign direct investment diharapkan tercipta kualitas pertumbuhan yang lebih baik. Ini mengingat multiplier effect investasi dalam jangka menengah dan panjang cukup besar, bukan hanya pada penciptaan lapangan kerja, namun juga pada ekspor, sektor finansial, dan tentu penerimaan negara. (*)

*). Makmun, peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Depkeu

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

Sulitnya Meregulasi "Obat Latah"

Sulitnya Meregulasi "Obat Latah"



Irwan Julianto

Sejak 30 tahun terakhir, Indonesia masih berkutat dengan sulitnya
mengatur peresepan dokter, yang sebagian besar adalah ”obat-obat
latah” atau me-too drugs. Obat-obat ini dikemas dan dipasarkan
layaknya obat ”paten”, padahal tak lain adalah obat-obat generik yang
”bermerek”. Akibatnya, harga obat resep di Indonesia tergolong
termahal di ASEAN, bahkan di dunia!

Akhir November 2009, diantar Heru Santosa, Sekretaris I Kedubes RI
untuk Kuba, Kompas sempat mengunjungi beberapa fasilitas kesehatan dan
sebuah apotek di Kota Havana.

Walaupun didera kesulitan ekonomi sejak bubarnya Uni Soviet, tetap
saja fasilitas kesehatan dasar Kuba jauh lebih baik ketimbang
Indonesia. Pusat kesehatan masyarakat tingkat rukun warga di Kuba jauh
lebih lengkap dibanding puskesmas tingkat kecamatan di Indonesia.

Dengan merata, murah/gratis, dan baiknya layanan kesehatan serta
pendidikan tak mengherankan jika Kuba berada di peringkat 50-an
teratas untuk Indeks Pembangunan Manusia (HDI), sementara Indonesia
justru terpuruk di peringkat ke-114.

Kita coba bandingkan harga salah satu obat esensial, misalnya
metformin, obat lini pertama diabetes tipe-2. Obat ini lazim dikenal
dengan merek dagang Glucophage, obat ”originator” temuan Bristol-Myers-
Squibb. Di apotek di Jakarta, Glucophage, yang sudah lewat masa
patennya, untuk satu strip berisi 10 tablet 500 mg dipatok dengan
harga Rp 14.100, sedang untuk merek lain yang sebenarnya hanya ”obat
latah” dihargai Rp 11.000, dan obat generik dengan tulisan Metformin
hanya Rp 3.000/10 tablet.

Di apotek untuk warga Kuba, harga satu dus obat Metformina berisi 10
strip yang masing-masing berisi 10 tablet 850 mg harganya hanya 1 peso
Kuba atau sama dengan Rp 400. Berarti satu strip obat generik
metformin di Kuba buatan perusahaan Cipla, India, (walaupun berdosis
lebih besar) harganya cuma Rp 40! Ini berarti pula harga metformin di
Indonesia lebih mahal 75 kali dibanding di Kuba.

Tentu kita bisa berkilah, Kuba adalah negara sosialis komunis. Dan,
Kuba dikenal sebagai negara yang tak menghargai hak paten dan hak atas
kekayaan intelektual. Namun, seyogianya Indonesia sebagai negara
dengan ideologi Pancasila adalah negara kesejahteraan (welfare state)
dan sosial demokratis, bukan negara dengan ekonomi liberal.

Menurut Direktur Utama PT Kimia Farma M Syamsul Arifin, saat ini 80
persen bahan baku obat-obatan di Indonesia diimpor dari India dan
China. Anehnya, walaupun harga bahan baku impor ini murah, setelah
diproduksi menjadi ”obat-obat latah” oleh industri farmasi Indonesia
harganya jadi berlipat kali lebih mahal dibanding harga obat-obat yang
sama di India dan China. Ini tak lain karena industri farmasi di
Indonesia masih tetap terjangkit ”penyakit” mencari rente (rent
seeking), mencari keuntungan sebesar-besarnya yang telah berlangsung
sejak era Orde Baru.

Mengontrak dokter

Dengan margin keuntungan yang amat besar—karena bahan baku yang
supermurah sebab pembuatnya di India dan China umumnya tidak melakukan
riset untuk menemukan molekul-molekul bahan aktifnya— harga ”obat
latah” atau generik bermerek di Indonesia dijual dengan harga tak
banyak beda dengan harga obat ”originator”-nya, bahkan kadang-kadang
bisa lebih tinggi. Penyebabnya, industri farmasi swasta nasional
Indonesia lebih agresif ”mengontrak” para dokter dibanding industri
farmasi asing.

Tak mengherankan jika belasan industri farmasi swasta nasional
mendominasi pangsa pasar obat resep Indonesia, jauh meninggalkan
sekitar 30 industri farmasi asing. Awal tahun 2000, Bristol-Myers-
Squibb dan Hoechst menduduki peringkat ke-6 dan ke-10 (Kompas,
22/11/2000), tetapi belakangan hanya Pfizer yang masuk dalam 10 besar
industri farmasi.

Fenomena ”kontrak-mengontrak” industri farmasi-dokter sudah
berlangsung lama. Namun, istilah industrio-medical complex baru
pertama kali diungkapkan oleh Prof dr Iwan Darmansjah ketika ia
dikukuhkan sebagai Guru Besar Farmakologi di FK UI tahun 1983 sebagai
otokritik terhadap profesi kedokteran (Kompas, 23/5/1983).

Tahun 1970-an hingga awal 1980-an praktik ”memberi imbalan” kepada
para dokter lebih banyak dilakukan oleh industri farmasi asing. Namun,
belakangan, industri farmasi swasta nasional—termasuk di Indonesia—
makin ”pintar” dan lebih jago menghalalkan segala cara untuk merayu
para dokter agar meresepkan ”obat-obat latah” produksi mereka.

Selama dekade 1980-an hingga awal 1990-an Kompas amat sering
menurunkan berita di halaman 1 tentang mahalnya harga obat di
Indonesia dan perlunya mengatur praktik peresepan obat oleh para
dokter. Hasilnya, antara lain, sampel obat dilarang. Departemen
Kesehatan (ketika itu) pun mulai memperkenalkan istilah ”obat generik”
tahun 1984, disusul dibuatnya ketentuan resep dokter untuk pasien
”berkantong tipis” yang tak lain adalah daftar 80-an obat esensial.

Kekuasaan absolut

Selama sistem pelayanan kesehatan di Indonesia masih menganut fee for
service (pasien harus membayar sendiri jasa dan produk kesehatan,
termasuk obat)—belum berupa asuransi kesehatan—semuanya tidak akan
menyelesaikan masalah secara mendasar. Hal itu berlangsung terus
hingga kini. Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/
Menkes/068/-I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah juga tak akan menyentuh
masyarakat yang masih amat banyak berobat ke praktik dokter/rumah
sakit swasta.

Kunci pengendalian harga obat dan kerasionalan peresepan obat di
Indonesia adalah pada dokter yang terikat sumpah dokter/etika
kedokteran. Industri farmasi adalah entitas bisnis, sehingga sulit
mengharapkan mereka menjalankan praktik bisnis yang ”beretika” dan
tidak melakukan penyuapan.

Obat resep (ethical drugs) adalah satu-satunya komoditas di dunia yang
tidak memberikan kebebasan kepada konsumen/ pasien untuk memilih
sendiri. Semuanya bergantung pada pena dokter. ”Kekuasaan absolut”
inilah yang tak jarang disalahgunakan oleh sebagian dokter kita, yang
sudah melupakan darma panggilannya sebagai ”penyelamat/pemelihara
kehidupan”.

Jika ingin melakukan reformasi sektor dan sistem kesehatan nasional di
Indonesia, resep dokter harus boleh diaudit. Tak ada salahnya
Indonesia meniru cara Filipina yang pada masa pemerintahan Presiden
Corazon Aquino mengeluarkan Undang Undang Generik (Generic Law).
Peraturan itu mewajibkan para dokter menulis resep dengan nama generik/
bahan aktif obat. Kebebasan memilih diserahkan ke konsumen dengan
bimbingan petugas apotek. Awalnya para dokter protes (baca
Prescription for Change, 1992).

Beranikah Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih melakukan terobosan ini?
Tentu ia perlu meminta dukungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Selama
niat baik mengutamakan kepentingan pasien—seperti yang tersurat dalam
sumpah dokter—tidak ada alasan bagi para dokter dan IDI menentangnya.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/25/03382956/sulitnya.meregulasi.obat.latah

Amien: Risiko Pertahankan Sri Mulyani

Amien: Risiko Pertahankan Sri Mulyani
Demonstrasi yang sekarang ratusan orang bisa berkembang menjadi ribuan
orang

Arfi Bambani Amri, Mohammad Adam


VIVAnews - Amien Rais paham betul bahwa memang untuk memberhentikan
Boediono dan Sri Mulyani, memerlukan keberanian dan ketegasan Presiden
SBY. Namun, menurut Amien, itu pilihan yang harus diambil agar kemelut
permasalahan Bank Century bisa selesai.

"Jika keduanya diberhentikan saya yakin demonstrasi akan kempes,
publik akan terpuaskan, dan huru-hara pun relatif akan hilang," kata
Amien dalam jumpa pers di rumahnya, Komplek Taman Gandaria, Jakarta,
Rabu 24 Februari 2010.

Sebaliknya, bila Boediono dan Sri Mulyani tetap dipertahankan, akan
muncul risiko lebih besar. Karena menurut Amien, masyarakat luas sudah
paham apa masalah yang terjadi dalam kasus Bank Century. Sehingga
gelombang demonstrasi menuntut Boediono dan Sri Mulyani mundur yang
tadinya ribuan orang mungkin bisa bertambah menjadi puluhan ribu
orang.

"Saya hanya ingin katakan di sini bahwa ini ujian sulit bagi SBY untuk
menuntaskan masalah Century ini," kata Amien.

Lalu jika Boediono dan Sri Mulyani mundur, siapa yang akan
menggantikan? "Saya melihat orang-orang muda, yang katakanlah umurnya
kepala empat atau kepala lima, kalau disaring akan banyak yang cukup
mampu," kata Amien.

Dalam hal ini, Amien menegaskan bahwa PAN tidak punya ambisi tertentu.
Anggapan mengenai mundurnya Boediono berarti 'jalan lurus' bagi Hatta
Rajasa adalah salah.

"Jadi jangan anda mencurigai bahwa ini akan melempangkan jalan Pak
Hatta. Saya sudah tanya Pak Hatta, dia bahkan malu sekali dengan
anggapan itu," kata Amien.

Apabila terlalu ambisius, tentu akan sangat mencolok di mata publik
bahwa PAN memang ada kepentingan tertentu. Oleh karena itu, Amien
menegaskan PAN tidak ada ambisi sama sekali untuk mendapat 'durian
runtuh' menggantikan Boediono.

"Ini saya bicara dari nurani saya. Tidak ada sedikitpun ambisi dari
Pak Hatta untuk menerima durian runtuh. Apalagi saya yakin durian
runtuh itu tidak pernah ada," kata Amien.

http://politik.vivanews.com/news/read/132116-amien__risiko_pertahankan_sri_mulyani

Indonesia Jadi Musuh Kapitalisme Karena Open Source Software

Indonesia Jadi Musuh Kapitalisme Karena Open Source Software


Sumber: http://politikana.com/baca/2010/02/25/indonesia-jadi-musuh-kapitalisme-karena-open-source-software.html



Tahukan Anda, kalau penggunaan FOSS (Free Open Source Software) nantinya akan disamakan dengan pembajakan (piracy)? Bahkan lebih buruk; pengguna FOSS akan dijadikan "enemy of the state", lebih tepatnya "enemy of capitalism". Oleh siapa? Siapa lagi kalau bukan US goverment. Heck, they even already put Indonesia in their watchlist.

It turns out that the International Intellectual Property Alliance, an umbrella group for organisations including the MPAA and RIAA, has requested with the US Trade Representative to consider countries like Indonesia, Brazil and India for its "Special 301 watchlist" because they use open source software.

What's Special 301? It's a report that examines the "adequacy and effectiveness of intellectual property rights" around the planet - effectively the list of countries that the US government considers enemies of capitalism. It often gets wheeled out as a form of trading pressure - often around pharmaceuticals and counterfeited goods - to try and force governments to change their behaviours (source).

Sekilas info, Indonesia adalah negara nomor enam penggunaan FOSS (Linux) terpopuler, setelah India, Cuba, Federasi Rusia, Republik Czech dan Bangladesh (sumber).

Lebih jauh lagi, dalam sebuah rekomendasinya pada tahun 2009 lalu, IIPA (International Intellectual Property Alliance) menyebutkan Indonesia layak mendapatkan Special 301 status, karena menyarankan, sekali lagi menyarankan, bukan memaksa seluruh departemen negara dan BUMN menggunakan FOSS pada tahun 2011. Berikut petikan rekomendasinya:

The Indonesian government's policy... simply weakens the software industry and undermines its long-term competitiveness by creating an artificial preference for companies offering open source software and related services, even as it denies many legitimate companies access to the government market (source).

Halah, dasar kapitalis maunya cari untung dengan meng-eksploitasi negara orang. Kalau bicara soal IP (Intellectual Property), dunia open source software justru lebih strict ketimbang dunia proprietary software. Saya tidak tahu dengan Anda, tapi saya justru bangga dengan sebutan "enemies of capitalism". Ayo gunakan dan sebarkan FOSS, lawan kapitalisme!

(juga di posting di: pedy.posterous.com/indonesia-jadi-musuh-kapitalisme-karena-open)

Nasib Koalisi dan Bim Salabim Kasus Century

Nasib Koalisi dan Bim Salabim Kasus Century

Koalisi pemerintahan SBYBoediono retak.Demikianlah kira-kira kesan
yang didapat banyak orang setelah mengikuti persidangan maraton Pansus
Century DPR.

Ada partaipartai yang memandang kebijakan bailoutitu tidak bermasalah
meskipun mereka mempermasalahkan proses terbentuknya Bank Century dan
adanya tata kelola yang buruk di Bank Century. Ada juga partai,
PKS,yang terang-terangan menyalahkan kebijakan bailout dan memandang
Boediono dan Sri Mulyani sebagai bagian dari pihak yang harus
bertanggung jawab atas kesalahan itu. Tidak hanya itu, kasus Bank
Century juga melebar ke kasuskasus lain yang berkaitan dengan aktor-
aktor yang bersinggungan dengan koalisi. Pengemplang pajak besar yang
diduga melibatkan perusahaan milik Aburizal Bakrie dipermasalahkan dan
diusut.

Demikian juga dengan kasus Lapindo yang sebelumnya sudah di-SP3- kan
sekarang dipermasalahkan kembali. LC yang diduga melibatkan Misbakhun,
inisiator Pansus Century dari PKS, juga muncul ke permukaan. Indonesia
saat ini memang bukan penganut sistem parlementer, di mana retaknya
koalisi berpengaruh terhadap keberlangsungan suatu
pemerintahan.Meskipun demikian, retaknya koalisi itu masih memunculkan
pertanyaan, apakah koalisi Pemerintahan SBYBoediono bisa bertahan
sampai 2014.

Implikasi Politik dan Hukum

Menggunakan kesimpulan dari masing-masing partai memang masih terlalu
pagi kalau dipakai sebagai pijakan untuk menjawab pertanyaan
itu.Tetapi, dari kesimpulan itu memiliki dua implikasi yang bisa kita
jadikan rujukan penting. Pertama, ketika ada partaipartai anggota
koalisi yang secara langsung menyebut nama Boediono bertanggung jawab
terhadap kebijakan bailout Bank Century, partai-partai itu secara
tegas telah berposisi bahwa Boediono sudah tidak layak lagi menjadi
wakil presiden. Kalau konsisten, partaipartai ini berarti akan
mendukung adanya usulan pemakzulan terhadap Boediono. Kedua,
kesimpulan itu berpengaruh terhadap proses hukum dari Bank Century.

Sejauh ini kasus Bank Century sudah diproses secara hukum. Robert
Tantular, salah satu pemilik Bank Century, bahkan sudah diputus
pengadilan masuk penjara. Kesimpulan partai-partai dalam pansus itu
akan mendorong para penegak hukum untuk melakukan perluasan
penyelidikan dan penyidikannya. Dua implikasi itu, kalau terus
berproses,jelas akan berpengaruh terhadap Pemerintahan SBY-Boediono.
Ketika secara politik dan hukum Boediono dipandang bermasalah,
misalnya akan memunculkan perdebatan tentang perlu tidaknya Boediono
dipertahankan di dalam posisinya. Secara prosedural,untuk melakukan
pemakzulan terhadap Boediono tidak mudah. Usulan itu harus disetujui
mayoritas mutlak anggota DPR.

Masalahnya,minus PD saja, suara DPR sudah tidak bisa lagi mayoritas
mutlak.Apalagi ditambah oleh PKB, PAN, dan PPP, DPR akan kesulitan
untuk mencapai suara mayoritas mutlak di dalam upaya memakzulkan.
Meskipun demikian,ketika sudah seperti itu tidak berarti
permasalahannya selesai. Pemerintahan SBY-Boediono akan menghadapi
guncangan-guncangan lanjutan yang tidak bisa dielakkan. Fraksi-fraksi
di DPR yang ingin memakzulkan Boediono tidak akan berhenti begitu
saja.

Lebih-lebih kalau proses hukum terhadap kasus Century itu dipandang
tidak berkesesuaian dengan rekomendasi fraksi-fraksi itu.Fraksi-fraksi
itu bisa saja tambah kencang mengkritisi Pemerintahan SBY. Dalam
situasi semacam itu, konsentrasi SBY-Boediono di dalam menjalankan
pemerintahannya mau tidak mau akan terganggu. Energi SBY-Boediono akan
terbagi untuk menghadapi fraksifraksi yang kritis dan keras kepadanya.

Rekonstruksi Koalisi?

Meskipun demikian, situasi yang akan muncul bisa jadi tidak akan
seserius itu.Hal ini terkait dengan kepentingan masing-masing yang
terlibat di dalam koalisi.SBYBoediono jelas tetap menginginkan
pemerintahannya didukung koalisi yang kuat.Untuk itu,SBYBoediono akan
berusaha melakukan persuasi agar partai-partai yang menjadi bagian
dari koalisi tetap mendukungnya.

Hanya, kepentingan di dalam mengusut kasus Century ini kompleks
sekali.Kepentingannya tidak sebatas untuk membongkar tuntas kasus ini.
Partai-partai itu juga mempertimbangkan perolehan kekuasaan yang ada
saat ini,berikut upaya membangun citra demi Pemilu 2014, berikut
kepentingankepentingan jangka pendek. Dalam situasi semacam
itu,pertimbangan untung rugi (cost and benefit) akan mengemuka bagi
masing-masing partai. Terhadap partai-partai yang kritis,SBY-Boediono
akan melakukan kalkulasi, lebih untung atau rugikah kalau partai-
partai itu tetap menjadi bagian dari koalisi atau di luar koalisi.
Pertimbangan serupa akan dilakukan oleh partai-partai yang kritis itu.

Ketika pertimbangan untung rugi mengemuka, pertimbanganpertimbangan
pragmatis, jangka pendek, tidak bisa dielakkan. Maka, masa depan
koalisi, dalam situasi semacam itu bisa semacam sulapan. Hari-hari ini
koalisi terkesan retak,dalam waktu tak lama lagi akan utuh kembali.
Tetapi, karena pertimbangan untung rugi itu pula arah yang sebaliknya
yang akan terjadi. Bisa saja partai-partai yang kritis itu akan
berbalik arah, bergabung dengan PDIP sebagai kekuatan oposisi. Arah
yang terakhir itu bisa saja didasari oleh pertimbangan yang memiliki
nuansa spekulasi bahwa menjadi bagian dari pemerintahan saat ini
dianggap merugikan karena Pemerintahan SBYBoediono dianggap sudah
terkotori. Sebaliknya,menjadi bagian dari kekuatan oposisi,
dipersepsikan sebagai bagian dari kekuatan bersih.

Harapannya, pada pemilu yang akan datang bisa memperoleh kenaikan
perolehan suara. Meskipun demikian,namanya juga spekulasi,argumentasi
itu bisa saja terjadi,bisa pula tidak.Sebagai contoh, pada dua tahun
pemerintahannya, citra SBY-JK mengalami penurunan. Hal ini terjadi,
khususnya, karena adanya kenaikan harga BBM secara besar-
besaran.Tetapi, dalam satu tahun terakhir pemerintahannya, SBY justru
memperoleh kenaikan dukungan. Konteks waktu dan situasi yang
berkembang, bisa berpengaruh terhadap besar tidaknya dukungan partai-
partai yang ada di dalam pemerintahan dan yang ada di luar
pemerintahan.

Selain itu, karena kita ini menganut sistem multipartai, tingkat
spekulasinya menjadi lebih besar. Sebagai contoh,karena dukungan
terhadap Pemerintahan SBY-JK di akhir-akhir pemerintahannya cukup
besar, seharusnya yang memperoleh kenaikan suara bukan hanya
PD,melainkan juga Golkar dan partai-partai pendukungnya.Realitasnya,
Golkardanpartai-partailain memperoleh penurunan perolehan suara.
Selain PD, hanya PKS yang sedikit memperoleh kenaikan. Terlepas dari
pertimbanganpertimbangan semacam itu, belajar dari kasus ini, kita
perlu berpikir ulang tentang bangunan koalisi. Adanya dukungan koalisi
yang besar tidak serta-merta melahirkan pemerintahan yang solid dan
efektif.

Selain itu,ketika berbicara koalisi, kita seolah-olah sudah melupakan
bahwa sistem pemerintahan kita ini sistem presidensial. Di dalam
sistem pemerintahan demikian, bisa saja presiden hanya didukung oleh
partai kecil. Mengingat sejatinya kita ini tidak murni menganut sistem
presidensial, adanya dukungan minimal dari partai di parlemen itu
perlu.Tetapi, dukungan itu tidak perlu harus di atas 50%. Yang penting
adalah pemerintahan itu didukung kekuatan yang solid dan didasari
prinsip-prinsip tata kelola yang baik di dalam pemerintahan.

Ketika pertimbangan itu yang diambil,bukan tidak mungkin koalisi
pemerintahan SBY-Boediono akan mengalami perubahan-perubahan. Tetapi,
hal itu bisa jadi akan lebih baik bagi semuanya daripada kumpul tetapi
terus menerus dihinggapi perbedaan-perbedaan yang tidak berujung.(*)

Kacung Marijan
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/306789/