BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Sulitnya Meregulasi "Obat Latah"

Sulitnya Meregulasi "Obat Latah"

Written By gusdurian on Jumat, 26 Februari 2010 | 13.01

Sulitnya Meregulasi "Obat Latah"



Irwan Julianto

Sejak 30 tahun terakhir, Indonesia masih berkutat dengan sulitnya
mengatur peresepan dokter, yang sebagian besar adalah ”obat-obat
latah” atau me-too drugs. Obat-obat ini dikemas dan dipasarkan
layaknya obat ”paten”, padahal tak lain adalah obat-obat generik yang
”bermerek”. Akibatnya, harga obat resep di Indonesia tergolong
termahal di ASEAN, bahkan di dunia!

Akhir November 2009, diantar Heru Santosa, Sekretaris I Kedubes RI
untuk Kuba, Kompas sempat mengunjungi beberapa fasilitas kesehatan dan
sebuah apotek di Kota Havana.

Walaupun didera kesulitan ekonomi sejak bubarnya Uni Soviet, tetap
saja fasilitas kesehatan dasar Kuba jauh lebih baik ketimbang
Indonesia. Pusat kesehatan masyarakat tingkat rukun warga di Kuba jauh
lebih lengkap dibanding puskesmas tingkat kecamatan di Indonesia.

Dengan merata, murah/gratis, dan baiknya layanan kesehatan serta
pendidikan tak mengherankan jika Kuba berada di peringkat 50-an
teratas untuk Indeks Pembangunan Manusia (HDI), sementara Indonesia
justru terpuruk di peringkat ke-114.

Kita coba bandingkan harga salah satu obat esensial, misalnya
metformin, obat lini pertama diabetes tipe-2. Obat ini lazim dikenal
dengan merek dagang Glucophage, obat ”originator” temuan Bristol-Myers-
Squibb. Di apotek di Jakarta, Glucophage, yang sudah lewat masa
patennya, untuk satu strip berisi 10 tablet 500 mg dipatok dengan
harga Rp 14.100, sedang untuk merek lain yang sebenarnya hanya ”obat
latah” dihargai Rp 11.000, dan obat generik dengan tulisan Metformin
hanya Rp 3.000/10 tablet.

Di apotek untuk warga Kuba, harga satu dus obat Metformina berisi 10
strip yang masing-masing berisi 10 tablet 850 mg harganya hanya 1 peso
Kuba atau sama dengan Rp 400. Berarti satu strip obat generik
metformin di Kuba buatan perusahaan Cipla, India, (walaupun berdosis
lebih besar) harganya cuma Rp 40! Ini berarti pula harga metformin di
Indonesia lebih mahal 75 kali dibanding di Kuba.

Tentu kita bisa berkilah, Kuba adalah negara sosialis komunis. Dan,
Kuba dikenal sebagai negara yang tak menghargai hak paten dan hak atas
kekayaan intelektual. Namun, seyogianya Indonesia sebagai negara
dengan ideologi Pancasila adalah negara kesejahteraan (welfare state)
dan sosial demokratis, bukan negara dengan ekonomi liberal.

Menurut Direktur Utama PT Kimia Farma M Syamsul Arifin, saat ini 80
persen bahan baku obat-obatan di Indonesia diimpor dari India dan
China. Anehnya, walaupun harga bahan baku impor ini murah, setelah
diproduksi menjadi ”obat-obat latah” oleh industri farmasi Indonesia
harganya jadi berlipat kali lebih mahal dibanding harga obat-obat yang
sama di India dan China. Ini tak lain karena industri farmasi di
Indonesia masih tetap terjangkit ”penyakit” mencari rente (rent
seeking), mencari keuntungan sebesar-besarnya yang telah berlangsung
sejak era Orde Baru.

Mengontrak dokter

Dengan margin keuntungan yang amat besar—karena bahan baku yang
supermurah sebab pembuatnya di India dan China umumnya tidak melakukan
riset untuk menemukan molekul-molekul bahan aktifnya— harga ”obat
latah” atau generik bermerek di Indonesia dijual dengan harga tak
banyak beda dengan harga obat ”originator”-nya, bahkan kadang-kadang
bisa lebih tinggi. Penyebabnya, industri farmasi swasta nasional
Indonesia lebih agresif ”mengontrak” para dokter dibanding industri
farmasi asing.

Tak mengherankan jika belasan industri farmasi swasta nasional
mendominasi pangsa pasar obat resep Indonesia, jauh meninggalkan
sekitar 30 industri farmasi asing. Awal tahun 2000, Bristol-Myers-
Squibb dan Hoechst menduduki peringkat ke-6 dan ke-10 (Kompas,
22/11/2000), tetapi belakangan hanya Pfizer yang masuk dalam 10 besar
industri farmasi.

Fenomena ”kontrak-mengontrak” industri farmasi-dokter sudah
berlangsung lama. Namun, istilah industrio-medical complex baru
pertama kali diungkapkan oleh Prof dr Iwan Darmansjah ketika ia
dikukuhkan sebagai Guru Besar Farmakologi di FK UI tahun 1983 sebagai
otokritik terhadap profesi kedokteran (Kompas, 23/5/1983).

Tahun 1970-an hingga awal 1980-an praktik ”memberi imbalan” kepada
para dokter lebih banyak dilakukan oleh industri farmasi asing. Namun,
belakangan, industri farmasi swasta nasional—termasuk di Indonesia—
makin ”pintar” dan lebih jago menghalalkan segala cara untuk merayu
para dokter agar meresepkan ”obat-obat latah” produksi mereka.

Selama dekade 1980-an hingga awal 1990-an Kompas amat sering
menurunkan berita di halaman 1 tentang mahalnya harga obat di
Indonesia dan perlunya mengatur praktik peresepan obat oleh para
dokter. Hasilnya, antara lain, sampel obat dilarang. Departemen
Kesehatan (ketika itu) pun mulai memperkenalkan istilah ”obat generik”
tahun 1984, disusul dibuatnya ketentuan resep dokter untuk pasien
”berkantong tipis” yang tak lain adalah daftar 80-an obat esensial.

Kekuasaan absolut

Selama sistem pelayanan kesehatan di Indonesia masih menganut fee for
service (pasien harus membayar sendiri jasa dan produk kesehatan,
termasuk obat)—belum berupa asuransi kesehatan—semuanya tidak akan
menyelesaikan masalah secara mendasar. Hal itu berlangsung terus
hingga kini. Dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/
Menkes/068/-I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah juga tak akan menyentuh
masyarakat yang masih amat banyak berobat ke praktik dokter/rumah
sakit swasta.

Kunci pengendalian harga obat dan kerasionalan peresepan obat di
Indonesia adalah pada dokter yang terikat sumpah dokter/etika
kedokteran. Industri farmasi adalah entitas bisnis, sehingga sulit
mengharapkan mereka menjalankan praktik bisnis yang ”beretika” dan
tidak melakukan penyuapan.

Obat resep (ethical drugs) adalah satu-satunya komoditas di dunia yang
tidak memberikan kebebasan kepada konsumen/ pasien untuk memilih
sendiri. Semuanya bergantung pada pena dokter. ”Kekuasaan absolut”
inilah yang tak jarang disalahgunakan oleh sebagian dokter kita, yang
sudah melupakan darma panggilannya sebagai ”penyelamat/pemelihara
kehidupan”.

Jika ingin melakukan reformasi sektor dan sistem kesehatan nasional di
Indonesia, resep dokter harus boleh diaudit. Tak ada salahnya
Indonesia meniru cara Filipina yang pada masa pemerintahan Presiden
Corazon Aquino mengeluarkan Undang Undang Generik (Generic Law).
Peraturan itu mewajibkan para dokter menulis resep dengan nama generik/
bahan aktif obat. Kebebasan memilih diserahkan ke konsumen dengan
bimbingan petugas apotek. Awalnya para dokter protes (baca
Prescription for Change, 1992).

Beranikah Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih melakukan terobosan ini?
Tentu ia perlu meminta dukungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Selama
niat baik mengutamakan kepentingan pasien—seperti yang tersurat dalam
sumpah dokter—tidak ada alasan bagi para dokter dan IDI menentangnya.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/25/03382956/sulitnya.meregulasi.obat.latah
Share this article :

0 komentar: