BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

Peta Kekuatan Politik dan Arah Koalisi Pilpres

Written By gusdurian on Rabu, 29 April 2009 | 12.49

Peta Kekuatan Politik dan Arah Koalisi Pilpres
Oleh Iberamsjah Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia


Semoga koalisi apa pun yang akan terbentuk dan koalisi apa pun yang akan menang, tidak bersifat dagang sapi (sekadar bagi-bagi kekuasaan).
MINGGU ter-akhir bulanApril 2009, dinamika politik In-donesiamenunjukkan perkembangan sangat dinamis denganperubahan-perubahan yang sangat sulit diprediksi. Dinamika ini bermula dari hasil Pemilu Legislatif 2009 (versi hitung cepat berbagai lembaga survei) yang menunjukkan adanya perubahan sangat signifikan pada konstelasi posisi partai politik di Indonesia. Perubahan konstelasi partai politik tersebut menunjukkan adanya pergeseran yang sangat berarti pada peta kekuatan politik Indonesia menjelang pemilihan presiden (pilpres) pada 8 Juli 2009 yang akan datang. Peta kekuatan politik baru ini menjadi sangat penting untuk membaca koalisi-koalisi yang mungkin akan terjadi dengan berbagai variasinya.
Untuk menggambarkan peta kekuatan politik tersebut, dapat kita jelaskan dengan menganalisis perolehan dukungan suara pada dua partai politik besar yaitu Partai Golkar dan PDIP serta lima partai menengah yaitu PKB, PPP, Demokrat, PKS, dan PAN. Hasil pemilu legislatif yang lalu menunjukkan dua partai besar di atas tidak dapat bertahan, atau dengan kata lain telah mengalami penurunan jumlah dukungan suara yang cukup signifikan. Adapun lima partai politik menengah, dua di antaranya yaitu Partai Demokrat dan PKS mengalami perolehan suara yang semakin menaik meskipun dengan gradasi yang berbeda.
Partai Demokrat mengalami perolehan suara spektakuler sedangkan PKS mengalami perolehan suara yang kecil.
Untuk menggambarkan perubahan perolehan suara partai politik di Indonesia, yang telah mengubah peta kekuatan politik dapat kita gambarkan sebagai berikut: Pertama, Partai Demokrat menunjukkan kenaikan sangat spektakuler, pada Pemilu 2004 hanya memperoleh suara 7,45% menjadi 20,6% pada Pemilu 2009, mengalami kenaikan sebesar 13,15%. Apabila ini kita terjemahkan dari posisi awal, Partai Demokrat mengalami penambahan jumlah suara sekitar 185%. Hal ini merupakan suatu kejutan dan pencapaian sangat luar biasa bagi suatu partai politik yang tidak mempunyai basis massa yang loyal. Dengan perolehan suara tersebut, Partai Demokrat bukan hanya memosisikan dirinya sebagai partai politik pemenang Pemilu 2009, melainkan juga menempatkan Partai Demokrat sebagai partai terbesar di peta politik Indonesia sekarang ini.
Kedua, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), juga telah mengalami kenaikan meskipun kecil.
PKS yang pada Pemilu 2004 mendapat dukungan 7,34%, pada Pemilu 2009 ini memperoleh dukungan 8,10%. Dengan kata lain, PKS mengalami kenaikan sebesar 0,76%. Yang dapat kita tangkap bukan dari perolehan suara yang kecil, melainkan kemampuan PKS untuk dapat bertahan dari ketatnya persaingan politik dan dampak dari kenaikan perolehan suara Partai Demokrat yang sangat besar. Analisis selanjutnya kita arahkan pada dua partai politik besar dan tiga partai politik menengah yang telah mengalami penurunan jumlah dukungan pada Pemilu 2009 ini.
Ketiga, Partai Golongan Karya (Golkar) yang merupakan partai pemenang Pemilu 2004 dan sekaligus merupakan partai terbesar di Indonesia.
Golkar adalah partai politik yang mengalami jumlah penurunan terbesar. Pada Pemilu 2004 Partai Golkar memperoleh suara sebesar 21,57% sedangkan pada Pemilu 2009 hanya mendapat 14,60% yang berarti mengalami penurunan sebesar 6,9%. Dengan ini berarti di samping mengalami kekalahan, Golkar juga hanya mampu menduduki posisi kedua di bawah Partai Demokrat pada peta politik Indonesia sekarang ini.
Keempat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), juga mengalami penurunan jumlah dukungan yang cukup signifikan. PDIP yang pada Pemilu 2004 mendapatkan dukungan sebesar 18,53%, pada Pemilu 2009 ini hanya mendapatkan dukungan sebesar 14,1% yang berarti mengalami penurunan sebesar 4,43%.
Posisi ini menggeser PDIP dari posisi kedua menjadi posisi ketiga dalam konstelasi partai politik Indonesia di bawah Demokrat dan Golkar.
Kelima, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ia adalah partai menengah terbesar dengan basis massa yang jelas yang pada Pemilu 2004 yang lalu, memperoleh suara sebesar 10,56%.
Namun pada Pemilu 2009 ini hanya mendapat 5,10%. Ini berarti PKB mengalami penurunan jumlah dukungan yang sangat tajam yaitu sebesar 5,46%. Apabila kita terjemahkan PKB telah kehilangan suara lebih dari 50%. Penurunan suara yang sangat tajam ini adalah buah dari konfl ik berkepanjangan dalam internal PKB sendiri.
Keenam, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), juga mengalami penurunan jumlah dukungan. Pada Pemilu 2004 yang lalu PPP memperoleh 8,15%, sedangkan pada Pemilu 2009 ini hanya memperoleh suara sebesar 5,30% yang berarti mengalami penurunan sebesar 2,80%.
Ketujuh, Partai Amanat Nasional (PAN), salah satu partai menengah yang mengalami jumlah penurunan suara paling rendah. Pada Pemilu 2004 PAN memperoleh dukungan sebesar 6,44% dan pada Pemilu 2009 PAN mendapat 6,20%, artinya terjadi penurunan sebesar 0,24%. Dengan kondisi seperti ini tidak berlebihan bila dikatakan bahwa PAN mempunyai kemampuan untuk dapat bertahan meskipun juga tidak mengalami kenaikan jumlah dukungan.
Arah koalisi Setelah kita membahas peta kekuatan politik yang telah bergeser tersebut dengan membuat perbandingan hasil Pemilu 2004 dengan hasil Pemilu 2009, mari kita mencoba membahas arah koalisi dengan posisi tawar dari setiap partai politik.
Dalam membahas arah koalisi ini beberapa catatan dapat kita buat: Pertama, bahwa varian arah koalisi sangat banyak dan bergerak sangat dinamis dari waktu ke waktu dan sangat tergantung pada hasil lobi serta posisi tawar tiap-tiap partai politik. Kedua, kita juga menyadari bahwa perilaku para elite politik yang selalu didasarkan pada kepentingan-kepentingan yang terkadang sangat tersembunyi, bersifat sulit diramal (unpredictable). Ketiga, selalu ada faktor-faktor yang tidak terduga yang pada saat-saat terakhir sangat berpengaruh terhadap terbentuknya sebuah koalisi.
Berdasarkan pertimbangan ketiga faktor di atas, penulis mencoba untuk menawarkan beberapa kemungkinan varian koalisi politik, yaitu: Varian A. Koalisi yang dimotori oleh Partai Demokrat sebagai partai pemenang Pemilu 2009, yang mungkin akan didukung oleh PKS dan PKB, serta sangat mungkin oleh PAN.
Pecahnya rencana koalisi Partai Demokrat dengan Partai Golkar yang disebabkan tidak adanya titik temu tentang jumlah nama cawapres yang diusulkan, telah mengubah peta koalisi secara fundamental. Perkiraan awal Partai Demokrat yang dimotori oleh SBY akan bersanding dengan Golkar dan JK-nya, yang telah bersanding selama satu periode pemerintahan (20042009), ternyata kedua partai tidak dapat melunturkan egoego partai masing-masing yang pada akhirnya menyinggung martabat dan harga diri partai lainnya. Varian A ini tidak akan mengalami kesulitan untuk maju ke pilpres karena diperkirakan telah mendapatkan dukungan sebesar 33,8% hingga 39% (apabila PAN bergabung), satu permasalahan yang akan muncul dan sangat mungkin akan mengganjal koalisi ini adalah untuk menetapkan cawapres yang akan mendampingi capres SBY dari partai Demokrat karena setiap partai pendukung PKS, PKB, dan PAN telah mempunyai cawapres masing-masing. Dari berbagai kesempatan, masingmasing partai telah mengumumkan cawapresnya untuk mendampingi SBY. PKS, meskipun belum ada kepastian, arah dukungan pada Hidayat Nur Wahid tinggal menunggu waktu. PKB telah sejak awal mencalonkan Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB) untuk menjadi cawapres. PAN yang dimotori oleh Amien Rais telah mencalonkan Mensesneg Hatta Rajasa sebagai cawapres.
Varian B, koalisi Golkar, PDIP, Hanura, dan Gerindra.
Gabungan partai-partai ini menghasilkan 36,6% suara yang telah cukup untuk dapat mengusung pasangan presiden dan wapres. Varian B ini mengalami suatu dilema mengenai siapa yang akan diusung menjadi capres dan cawapres. Karena, seperti yang kita ketahui, Golkar dengan capresnya Jusuf Kalla, PDIP dengan Megawati sebagai capres, Gerindra dengan Prabowo Subianto sebagai capresnya. Begitu pula Hanura dengan Wiranto sebagai capresnya, akan mengalami kesulitan apabila ingin memajukan salah satu capres dan cawapres. Pendukung koalisi varian B ini perlu meninggalkan ego masing-masing demi kepentingan bersama.
Varian C. Varian ini muncul manakala varian B tidak dapat mencapai kata sepakat untuk mengusung salah satu capres dan cawapres. Varian ini terbentuk oleh Golkar, Hanura, PPP, dan sejumlah partai baru yang tidak mencapai parliamentary threshold, yang diperkirakan mendapatkan dukungan sekitar 25% suara. Atau bahkan dapat mencapai 37%, apabila partai-partai baru (kecil) tersebut bergabung. Varian ini juga mengalami kesulitan untuk menentukan cawapresnya sedangkan capresnya adalah Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Varian D. Yang mungkin muncul adalah koalisi antara PPP, PAN, Gerindra, dan sejumlah partai baru yang tidak memenuhi parliamentary threshold. Koalisi partai-partai ini diperkirakan dapat mengumpulkan 25% dukungan suara. Koalisi ini hampir dapat dipastikan akan mengusung Prabowo Subianto sebagai capres dan bermasalah dalam mengusulkan cawapres.
Varian E. Yang mungkin muncul adalah koalisi antara PDIP, PPP, Hanura, dan beberapa partai kecil yang juga diperkirakan akan dapat mencapai 20% dukungan suara. Pada varian ini penetapan capres dan cawapres secara umum tidak akan mengalami kesulitan.
Di samping keempat varian ini, mungkin saja muncul varian baru seiring dengan dinamika politik Indonesia yang terus berkembang. Semoga koalisi apa pun yang akan terbentuk dan koalisi apa pun yang akan menang, tidak bersifat dagang sapi (sekadar bagi-bagi kekuasaan) tapi lebih diarahkan untuk kepentingan bangsa dan negara.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/27/ArticleHtmls/27_04_2009_014_002.shtml?Mode=0

Pencucian Uang dalam Pemilihan Presiden

Pencucian Uang dalam Pemilihan Presiden
Yenti Garnasih
Doktor yang menulis disertasi tentang pencucian uang, dosen Universitas Trisakti, Jakarta
Pemilihan umum legislatif telah berlalu dengan meninggalkan sejumlah kekurangan dan kekecewaan yang mendalam bagi masyarakat, malah ditambah dengan pemandangan yang sangat tidak elok, yaitu betapa partai politik bereuforia untuk menjalin koalisi demi mendapatkan kekuasaan bagi para wakilnya di pemerintahan mendatang, tidak lebih. Ada yang lebih parah, seperti yang disampaikan Badan Pengawas Pemilu bahwa tak satu pun partai politik yang menyampaikan laporan dana awal kampanye dengan benar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dari berbagai pemberitaan dikatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan terkait dengan masalah sumber dana yang tidak jelas, baik penyumbangnya maupun jumlahnya, dan tidak memerinci pemasukan. Selain itu, soal pengeluaran untuk pendanaan kampanye, misalnya untuk iklan jumlahnya sungguh sangat mencengangkan, yaitu mencapai Rp 2, 2 triliun, belum lagi untuk biaya yang lain.
Transparansi atas dana yang masuk dan penggunaannya dalam rangka pemilu adalah masalah yang penting bagi hampir semua negara demokratis, termasuk Indonesia. Betapapun dana yang masuk dalam keuangan partai politik seharusnya jelas dalam hal sumbernya, penggunaannya dan diaudit, serta dapat diakses oleh masyarakat. Hal ini telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Pasal 34 ayat (1) huruf b UU Partai Politik yang menyebutkan keuangan partai politik harus bersumber pada sumbangan yang sah menurut hukum.
Jadi, bila asal-usul uang tidak jelas atau berasal dari hasil kejahatan, berarti dalam pelaksanaan pemilu telah terindikasi terjadi praktek pencucian uang atau dapat dikatakan bahwa proses pemilu telah dijadikan sarana pencucian uang. Dalam pemilu legislatif kemarin, ada kemungkinan hal ini terjadi: terbukti begitu besarnya dana dihabiskan, tanpa laporan/audit. Padahal untuk mengantisipasi terjadinya praktek pencucian uang terkait dengan dana pemilu telah dilakukan penandatanganan kerja sama antara Bawaslu dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (6 November 2008), yang pada intinya Bawaslu bisa memanfaatkan temuan PPATK terkait dengan perolehan dana dan penggunaan dana oleh para calon legislator ataupun oleh dan untuk kepentingan partai politik. Dan PPATK mempunyai akses untuk mengetahui profil calon legislator dan partai politik berikut susunan pengurusnya agar dapat memantau aliran dana mereka terkait dengan kegiatan pemilu. Ternyata hal ini tidak dimanfaatkan, malah Komisi Pemilihan Umum menolak dengan tegas dengan alasan tidak ada pengaturannya.
Dalam pemilu pemilihan presiden seharusnya kita lebih berhati-hati karena pendanaan untuk meloloskan calon presiden akan jauh lebih tinggi dan "pesanan" oknum di balik terpilihnya calon juga demikian tinggi. Alangkah ironisnya bila nasib bangsa ini digadaikan dan hanya disandarkan pada kepentingan oknum penyumbang dana, apalagi bila terbukti dari hasil kejahatan. Jangan sampai presiden terpilih merasa berutang budi kepada penyumbang dana, bukan berutang budi kepada rakyat yang telah menyerahkan kepercayaan melalui suara yang diberikan untuk memimpin bangsa.
Kita harus ingat bahwa hasil kejahatan di negara ini yang "masih beredar" sangat tinggi, misalnya dari illegal logging yang setiap tahun Rp 55 triliun. Dari korupsi yang baru bisa dikembalikan hanya sekitar Rp 400 miliar, atau dari perjudian dan narkoba yang juga sangat besar. Dana tersebut bisa sangat menggiurkan bagi partai politik dan calon presiden. Sedangkan, bagi penjahat, proses demokrasi ini adalah way out untuk mengamankan diri agar terhindar dari jeratan hukum yang selama ini membayangi keselamatan mereka dan "usaha" mereka.
Bila seorang presiden terpilih ternyata partai atau dirinya menerima sumbangan dari para pelaku kejahatan, berarti dia mendapatkan suara atas dukungan dana haram yang berasal dari orang yang tidak bermoral. Dikhawatirkan kebijakan presiden terpilih akan sangat dipengaruhi oleh keinginan para penyumbang dana yang tidak bermoral tersebut. Misalnya penegakan hukum terhadap kejahatan melemah. Apalagi bila presiden terpilih tersebut didukung suara yang signifikan di Dewan Perwakilan Rakyat, maka keadaan akan lebih parah lagi, misalnya tertundanya pengesahan rancangan undang-undang antikorupsi. Bila sudah demikian, dapat dipastikan pemerintah tidak mungkin lagi bisa melakukan kontrol terhadap para penjahat tersebut. Bahkan kebijakan dalam bidang apa pun cenderung akan berpihak pada kepentingan penyandang dana ilegal tersebut dan kepentingan rakyat akan menduduki urutan berikutnya.
Berangkat dengan kekecewaan terhadap hasil pemilu legislatif yang baru berlalu, diharapkan kesadaran semua pihak, terutama KPU, Panwaslu, pemerintah, serta partai politik, untuk mengindahkan rambu-rambu yang ditentukan terkait dengan transparansi sumber dana dan penggunaannya untuk pemilihan presiden. Selain itu, harus dipastikan adanya mekanisme pelaporan penerimaan dana partai politik kepada PPATK. Misalnya setiap penyumbang tidak diizinkan menggunakan nama palsu atau anonim dan sedapat mungkin sumbangan dilakukan melalui transfer perbankan.
Segala upaya yang telah diatur, baik ketentuan Undang-Undang Partai Politik maupun kerja sama yang telah ditandatangani antara Bawaslu dan PPATK, hendaknya tidak dipandang sebagai deretan kata tanpa makna semata. Kemudian KPU harus mau memahami segala sesuatu terkait dengan ketentuan pendanaan pemilu, termasuk bahaya yang akan mengintai bila hal itu diabaikan. Pada akhirnya, bagaimanapun sulitnya memantau sumber dana yang masuk ke partai, tetap penting untuk menjaga jangan sampai sistem politik goyah dan pilar demokrasi runtuh hanya karena partai politik menjadi kendaraan bagi orang-orang yang menyumbangkan dana hasil kejahatannya, dan masyarakat menjadi tumbalnya.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/27/Opini/krn.20090427.163693.id.html

Ujian Nasional dan Matinya Kolaborasi Pendidikan

Ujian Nasional dan Matinya Kolaborasi Pendidikan
Oleh Ahmad Baedowi Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta


KARUT-marut penyelenggaraan ujian nasional (UN) sedikit demi sedikit menyeruak kembali ke permukaan. Praktik-praktik yang dari tahun ke tahun selalu berulang adalah maraknya kecurangan yang dilakukan secara berjamaah, yaitu apakah melalui instruksi institusi maupun oleh individui guru dan siswa. Beberapa daerah di Aceh dan Jawa Barat disinyalir melakukan praktik kecurangan terselubung dengan model instruksi, mulai dari bupati/wali kota hingga kepala dinas yang mengancam para kepala sekolah mereka yang jika mengalami penurunan persentase kelulusan, konsekuensinya adalah mutasi hingga pemecatan. Secara individual banyak juga para guru kita yang tidak percaya diri terhadap kemampuan mengajar dan kemampuan siswa-siswi mereka sehingga praktik mencuri dan membagibagikan jawaban UN kepada siswa juga marak terjadi. Itukah potret visi, misi, dan tujuan pendidikan kita yang sebenarnya? Wirt dan Kirst, dalam The politics of education: Schools in confl ict (1989), mengatakan bahwa dalam perspektif politik pendidikan selalu terdapat dualisme pandangan terhadap performance pendidikan. Di satu pihak, pendidikan secara demokratis memberikan peluang untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi dan keadilan sosial, tetapi di lain pihak pendidikan justru meneruskan tradisinya dalam menumbuhkan kembali hakhak privilese golongan, kelas, dan ras tertentu untuk mendapatkan posisi yang lebih baik. Namun, jika kebijakan sistemik yang dikembangkan suatu negara dalam mengelola pendidikannya mengabaikan aspek kolaborasi, bandul yang lebih memberatkan terjadinya segmentasi kelas akan lebih terbuka untuk terjadi.
Tanda-tanda bahwa UN akan menjadi penyebab matinya kolaborasi pendidikan sangat kuat. Itu terlihat dari bagaimana terpecahnya birokrasi pendidikan hingga manajemen sekolah dalam memaknai UN. Di satu pihak ada birokrasi yang menginginkan UN sebagai indikator meningkatnya kualitas pendidikan. Karena itu, mereka melakukan penetrasi melalui simpul-simpul kekuasaan, sedangkan yang lain ada kalangan birokrasi yang masih memiliki akal sehat dan melihat bahwa kebijakan UN justru membuat birokrasi pendidikan kita menjadi tidak sehat. Hal itu berimplikasi juga pada sikap orang tua dan juga secara diam-diam muncul ketidakpercayaan pasar terhadap dunia pendidikan kita.
Kondisi semacam ini secara perlahan tapi pasti akan mengakibatkan munculnya ambivalensi yang berkarat dan membuat anak didik juga mengalami perkembangan mental yang tidak baik.
Ambil contoh bagaimana munculnya sikap enggan belajar dan bekerja keras.
Karena, mereka berpendapat bahwa pada saatnya nanti ketika UN para guru mereka pasti akan melakukan segala cara untuk membantu mereka lulus.
Belum lagi sikap dan rasa takut kepala sekolah dan para guru karena menganggap bahwa UN adalah satu-satunya indikator yang akan melihat performa mereka masing-masing.
Mungkinkah kebijakan UN dapat mengarah pada matinya sistem kolaborasi pendidikan kita yang terkenal sangat kuat itu? Memaknai kolaborasi pendidikan Praktik kecurangan dalam UN bisa jadi merupakan bentuk negatif dari terma partnership, dalam pengertian kolaborasi pendidikan yang sesungguhnya. Meskipun tak ada terminologi baku untuk memaknai kolaborasi pendidikan yang sebenarnya. Namun, dalam pandangan Huxham (1996:7) kolaborasi pendidikan adalah a very positive form of working in association with others for some mutual benefit. Namun, dalam konteks pendidikan, Bennett et al. (2004) berargumentasi bahwa partnership memiliki kompleksitas arti yang sangat luas, tetapi memiliki karakter yang kuat untuk selalu berbagi tanggung jawab, komitmen, dan kesetaraan dalam berbagi tujuan. Karena itu, kolaborasi dalam pendidikan harus didasari kesadaran moral yang tinggi tentang nilai-nilai yang akan diajarkan dan diserap seluruh yang terlibat dalam proses pendidikan.
Diperlukan kesadaran oleh seluruh stakeholders pendidikan kita, bahwa meskipun kolaborasi dalam pendidikan merupakan sebuah pengalaman ambisius yang penuh dengan paradoks dan kontradiksi, tapi jika dilakukan sebuah kesadaran dan kepercayaan kolektif akan perlunya suatu perubahan, kolaborasi dapat bermakna positif (Huxham and Vangen, 2000). Namun begitu, baik birokrasi maupun masyarakat harus memiliki agenda yang jelas dalam mengawal bentuk-bentuk kolaborasi yang harus dilakukan secara bersama.
Weiss (1987) memberikan sistematika kolaborasi yang baik untuk menilai apakah sebuah bentuk kolaborasi pendidikan dijalankan dengan baik atau tidak oleh suatu sistem. Pertama, para pihak yang terlibat dalam manajemen pendidikan harus mampu menghitung secara cermat bagaimana seluruh stakeholders dapat bekerja sama secara terstruktur berdasarkan aturan main yang disepakat. Kedua, harus disepakati normanorma dan nilai yang akan ditegakkan dalam sebuah proses kolaborasi. Dalam konteks pendidikan, misalnya, nilai mana yang lebih utama, hasil UN atau kejujuran guru dan murid? Kemudian para stakeholders tersebut juga dapat mengelaborasi sebanyak mungkin norma dan nilai dalam skala kecil lingkungan pendidikan mereka masing-masing, yaitu sekolah. Semakin banyak kesepakatan muncul, ikatan dan komitmen untuk menjaga nilai tersebut akan bertambah kuat.
Ketiga, meskipun dalam praktiknya kolaborasi memiliki nilai-nilai politis, nilai-nilai tersebut harus disepakati sebagai ba gian untuk menguji kebersamaan dalam se buah bentuk kola borasi. Dalam ling kup pengalaman pen didikan kita, patut dibuat ko mitmen ter tulis antara, misalnya, komite sekolah yang kuat dengan biro krasi maupun partai politik yang concern terhadap pentingnya makna kolaborasi. Dengan demikian para stakeholders yang akan terlibat akan selalu memiliki kemampuan untuk mengelola segala bentuk internal problem yang mereka miliki sebagai sistematika bangunan keempat dari kolaborasi. Kelima, Wiess juga menyarankan agar para stakeholders yang terlibat dalam suatu kolaborasi pendidikan dapat meminimalisir kondisi lingkungan tertentu yang dapat menyebabkan terganggunya mekanisme kolaborasi. Yang terakhir, keenam, kolaborasi harus dibuat dalam skema formal. Dalam konteks pendidikan kita, melakukan exercise pelaksanaan Undang-Undang BHP di tingkat sosial.
Meskipun disadari bahwa kolaborasi dalam pendidikan memiliki konsekuensi pembiayaan, tetapi jika semangat menegakkan norma dan nilai yang akan disepakati tertuang dalam kesepakatan formal akan menyebabkan semua orang berpikir dua kali dalam melakukan kesalahan dan pelanggaran. Peters (1996) menggambarkan dengan bijak hal ini dengan kalimat collaboration is costly and the costs usually have to be borne before the benefits emerge. Kesadaran semacam ini perlu dibangun dalam konteks budaya gotong-royong kita yang secara tradisi kurang memiliki unsur modal dalam menjalankan suatu kolaborasi.
Jika kita memiliki definisi baru tentang bagaimana memaknai kolaborasi dalam pendidikan, kesadaran bahwa UN bukan merupakan hasil akhir dari sebuah proses pendidikan pastilah akan meningkat. Hanya, yang tidak terlihat hingga saat ini adalah ketiadaan contoh dari birokrasi untuk melakukan inisiasi di tingkat komunitas sekolah untuk membangun kolaborasi pendidikan yang berorientasi pada proses dan mutu proses belajar mengajar itu sendiri.
Karena itu, jika ada penilaian bahwa UN merupakan pertanda dari matinya rasa dan kolaborasi sosial-pendidikan secara positif, hal itu merupakan hal yang wajar.
Kolaborasi pendidikan yang selama ini berjalan hanya merupakan lip service pemerintah, yang seakan-akan masih tumbuh kepedulian masyarakat terhadap pendidikan. Namun, jika dipersempit sudah sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat terhadap kualitas belajar mengajar, dapat dipastikan tak ada bentuk konkret kolaborasi di tingkat masyarakat yang dapat menjamin baiknya kualitas pendidikan di tingkat sekolah di lingkungan mereka masing-masing.
Mattessich and Monsey (1992) mengidentifikasi enam faktor kunci bagi terciptanya kolaborasi pendidikan yang baik di tingkat komunitas sekolah. Pertama, memperbaiki lingkungan sekolah ke arah yang lebih positif dari sebelumnya. Cara yang mungkin dilakukan untuk mengetahui hal ini adalah dengan mengundang jasa konsultan untuk me lakukan assessment terhadap potensi pendidikan di tingkat komunitas mereka. Hasil assessment akan menentukan pihak komunitas sekolah dalam membentuk kolaborasi pendidikan dengan pihak lain maupun masyarakat Kedua, bagaimana memilih anggota komite sekolah yang memiliki karakter dan peduli terhadap kualitas proses belajar mengajar.
Ketiga, penting bagi masyarakat untuk belajar bagaimana proses belajar mengajar seharusnya berlangsung di ruang-ruang belajar, baru kemudian mendesain struktur organisasi yang mampu mengontrol proses tersebut. Keempat adalah menjalin komunikasi yang aktif dengan seluruh stakeholders pendidikan, dalam rangka menjelaskan tujuan kolaborasi yang merupakan saran kelima dari Mattessich and Monsey. Yang terakhir, keenam, adalah melakukan identifikasi secara cermat terhadap sumber daya yang dimiliki.
Dengan kata lain, kata Mattessich and Monsey, “The mission and goals of a collaborative educational group must create a sphere of activity which overlaps significantly but not completely with the spheres of each member organisation.”

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/27/ArticleHtmls/27_04_2009_022_002.shtml?Mode=0

Enabling State No, Welfare State, Yes?

Enabling State No, Welfare State, Yes?
Oleh Zainuddin Maliki *

Bantuan langsung tunai (BLT) menjadi isu utama perseteruan PDI Perjuangan dan Partai Demokrat. Secara konsisten Partai Demokrat menegaskan sebagai pengawal program ini. Golkar, seperti dikemukakan Jusuf Kalla di depan peserta rapimnasus, juga merasa berjasa dalam soal BLT, bahkan mengklaim sebagai konsep Golkar (JP, 25/4). Adapun PDIP pada awal masa kampanye menyerang kebijakan BLT. Namun, di tengah jalan PDIP mengoreksi strategi itu dengan berbalik mendukung BLT.

Agaknya, kritik PDIP terhadap BLT berpengaruh terhadap penurunan perolehan suara. Koreksi dukungannya melalui iklan di media massa tidak sempat menolong keadaan. Namun, beruntung PDIP memiliki pemilih fanatik. Mereka tidak mudah mempertukarkan pilihan ke partai lain. Karena itu, suara PDIP tetap saja besar meski tidak menjadi pemenang pemilu legislatif. Andaikata PDIP tidak melakukan kritik terhadap program pembagian BLT, agaknya suara PDIP bisa menjadi lebih banyak daripada yang diperoleh sekarang.

BLT: Ideologi Welfare State

Argumen yang dipakai untuk menolak BLT selama ini menyerupai logika kalangan neoliberal atau neokonservatif. Kedua aliran ideologi pembangunan itu menolak kebijakan welfare state. Sementara itu, BLT memang bisa dikategorikan sebagai bentuk dana sosial seperti yang dialokasikan negara-negara welfare state.

Dalam melakukan redistribusi ekonomi, pemerintah welfare state menyediakan dana sosial. Dana itu diberikan secara karitatif untuk melindungi masyarakat miskin dari kekerasan mekanisme pasar. Di negara-negara OECD dana karitas itu diberikan dalam bentuk fasilitas pembebasan biaya pendidikan, kesehatan, perumahan, dan berbagai infrastruktur. Namun, ada juga yang diberikan langsung tunai ke rekening atau tangan penerima.

Di negara-negara welfare state, pemerintah melakukan intervensi untuk mengawal proses redistribusi kesejahteraan hidup supaya lebih adil. Negara membuka peluang bagi masyarakat lemah, lebih besar dibanding yang bisa dilakukan oleh mekanisme pasar. Menurut Jens Alber (1988) bukan berarti welfare state tidak memperhatikan kelompok masyarakat berkecukupan. Mereka tetap didorong untuk tampil menjadi pilar pertumbuhan ekonomi sehingga dengan demikian dapat diperoleh pajak yang cukup untuk menghimpun anggaran dana sosial.

Kritik Welfare State

Pada 1970-an penganut welfare state menuai kritik. Welfare state dinilai telah menimbulkan krisis, seperti ditulis James O'Connor (1973), dalam The Fiscal Crisis of the State, kemudian diikuti Claus Offe (1984), Ramesh Mishra (1984), dan Esping-Andersen (1996). Kritik tajam datang dari protagonis pasar bebas yang menganut pandangan neoliberal dan neokonservatif. Mereka menilai welfare state tidak ekonomis karena mengambil alih insentif pasar, dan mengurangi insentif modal yang diinvestasikan ke lapangan kerja. Dana sosial yang dialokasikan jadi tak produktif karena membesarkan peran birokrasi pemerintah.

Langkah yang menimbulkan monopoli pemerintah ini dalam praktik acap mendorong inflasi. Dalam praktik, kebijakan karitas itu juga tidak efektif. Sebab, meski sudah dialokasikan dana sosial yang besar, alih-alih menghapus kemiskinan dan ketimpangan, yang terjadi justru melahirkan siklus ketergantungan.

Lebih tajam lagi, seperti dikatakan Pierson (1991), kalangan protagonis pasar bebas menuduh pemerintah welfare state despotik, karena birokrasi menjadikan pembagian dana sosial secara karitatif itu untuk memperbesar kontrol sosial terhadap individu dan seluruh masyarakat yang dilayani.

Karena itu, strategi menghapus ketimpangan melalui dana sosial harus dikoreksi. Biarkan ketimpangan diatasi melalui mekanisme pasar. Tentu dengan cara mengurangi pengeluaran dana sosial. Masalahnya, welfare state dalam praktik dinilai berdampak negatif terhadap investasi di negara OECD. Dana sosial yang dialokasikan negara di samping memicu timbulnya praktik 'moral hazard' menghilangkan rasa tanggung jawab.

Penganut neoliberalisme dan neokonservatisme lalu mengajukan konsep enabling state atau post-welfare state. Dalam konsep baru tersebut seperti dikatakan Gilbert (1995), pemberian hak harus disertai kewajiban. Keuntungan ekonomi harus diorientasikan investasi. Prinsip kesederajatan dilaksanakan dengan menggunakan mekanisme pasar, sehingga tidak bisa dilakukan dengan cara memberi privelese kepada mereka yang lemah.

Apakah partai penolak BLT berarti bisa dikatakan sebagai penganut ideologi enabling state atau post-welfare state? Guna menjawabnya masih perlu pengamatan lebih cermat.

Siklus Bisnis Politik

PDIP mengkhawatirkan jangan-jangan penguasa memberikan BLT hanya untuk tebar pesona menjelang pemilu. Jika itu terjadi, birokrasi pada hakikatnya menerapkan apa yang disebut oleh Nordhaus (1975) dengan strategi 'siklus bisnis politik oportunistik'.

Dalam model siklus bisnis politik, terdapat model kebijakan oportunis tradisional. Dalam model ini perilaku partai hanya peduli dengan pemenangan pemilu, sementara pemilih berperilaku naif dan retrospektif. Pemilih dengan mudah memberi reward suara pada saat pemilu terhadap perbaikan ekonomi menjelang pemilu. Pejabat partai cenderung mengembangkan ekonomi sebelum pemilu agar dapat terpilih kembali dan mempertahankan kekuasaan.

Strategi oportunistik ini menurut Nordhous efektif pada pemilih yang berperilaku tradisional. Mereka yang diuntungkan dengan kebijakan perbaikan ekonomi menjelang pemilu, akan ganti memberi reward kepada incumbent dengan memberikan dukungan pada saat pencontrengan di bilik suara.

Pada masyarakat yang berperilaku rasional, pemilih tidak lagi bersikap naif, namun bersikap kritis. Mereka hanya akan memberikan suara untuk incumbent jika diyakini kebijakannya rasional, dalam arti bukan hanya untuk tebar pesona menjelang pemilu. Mereka enggan memberi dukungan kalau kebijakan perbaikan ekonomi menjelang pemilu dinilai bermasalah. Misalnya, menaikkan gaji pegawai dan pembagian dana karitas seperti BLT, tetapi ternyata justru membawa kesulitan pasca pemilu karena timbul inflasi yang tak terkendali.

SBY menolak anggapan dirinya melakukan strategi siklus bisnis politik dengan mengharap sikap naif dan retrospektif dari pemilih tradisional. Sebagai pendatang baru, dia sadar partainya belum memiliki pemilih tradisional. Dia berharap bisa mendulang suara dari swing voters yang rata-rata bersikap kritis. Itulah sebabnya, SBY lalu berusaha meyakinkan bahwa kebijakan pemberian BLT tidak untuk tebar pesona. Kebijakan ini tidak dia maksudkan untuk membangun despotisme, inflasi, dan atau ekonomi biaya tinggi, melainkan satu rangkaian kebijakan dalam meringankan rakyat kecil.

*. Prof Dr Zainuddin Maliki MSi, rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya dan ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur.

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=65813

Jakarta Makin Gila Episode I

Jakarta Makin Gila Episode I
Jakarta kota sejuta kesempatan. Mau apa saja, di sana tempatnya. Termasuk mungkin kalau mau menjadi gila. Berdasar data dari tiga rumah sakit jiwa utama di ibu kota, didapati bahwa jumlah pasien gangguan jiwa terus meningkat.

---

Baru-baru ini seorang duta besar negara penting mampir ke kantor Jawa Pos di Surabaya. Dia bilang, banyak warganya agak takut datang ke Jakarta. ''Mata orang-orang Jakarta begini-begini,'' katanya sambil menunjukkan ekspresi mata yang didapat ketika kita mengernyitkan dahi.

Bagi yang tidak berasal dari Jakarta, atau yang tidak tinggal di Jakarta, memang ada dua sudut pandang berbeda tentang kota tersebut. Pertama adalah harapan dan kesempatan, mengingat di sanalah segalanya terjadi dan kebanyakan uang beredar. Kedua adalah segala kekacauan yang mengiringi kota. Kemacetan, banjir, kekumuhan, dan lain sebagainya.

Di kota yang penuh paradoks itu, yang kuat mungkin akan terus bertahan. Sementara yang kalah, mungkin, menjadi gila.

Entah memang makin gila atau tidak, yang jelas angka gangguan jiwa di ibu kota terus meningkat. Paling tidak sejak 2007, berdasar data dari tiga rumah sakit di Jakarta yang memiliki poliklinik jiwa.

Di RSJ Soeharto Heerdjan Grogol, misalnya. Pada 2008, pasien jiwa di sana 20.040 orang. Naik cukup tinggi bila dibandingkan dengan 2007 yang jumlahnya 17.124 orang (kenaikan 17 persen).

Di RSUP Cipto Mangunkusumo juga begitu. Pada 2008, pasien jiwa di sana 14.983 orang, atau 26,8 persen lebih banyak daripada 2007 yang jumlahnya 11.816 orang.

Peningkatan serupa juga terjadi di RS Persahabatan. Pasien jiwa di rumah sakit yang berlokasi di Jakarta Timur itu pada 2008 lalu adalah 2.386 orang, atau naik 8,9 persen dari 2007 (2.189 orang).

Direktur Utama RS Soeharto Heerdjan Grogol Ratna Mardiati SpKJ mengatakan, kecenderungan itu memang terlihat dalam beberapa tahun terakhir. ''Angkanya memang bergerak naik,'' ucapnya.

Ketika ditanya alasannya, Ratna memberikan jawaban-jawaban yang mungkin mudah ditebak. Mulai kepadatan jumlah penduduk yang kemudian berimbas kepada tingginya tingkat persaingan hidup. ''Mereka yang tidak dapat bertahan bisa tersingkir dan kemudian stres,'' tandasnya.

Ratna membeberkan, secara garis besar, gangguan jiwa bisa dibagi dua kelompok. Yaitu, gangguan jiwa ringan (neurosis) dan gangguan jiwa berat (psikotik).

Kasus neurosis, menurut dia, belakangan ini meningkat di perkotaan, terutama Jakarta. Contohnya, stres hingga depresi. ''Mereka yang terkena gangguan ini nggak harus ada faktor biologis. Penyebabnya lebih pada faktor eksternal,'' jelasnya. Penyebabnya ya itu tadi: kepadatan penduduk, tingkat kompetisi yang tinggi, tuntutan dan beban hidup yang tinggi, faktor psikososial, maupun deadline pekerjaan. ''Sekitar 70 persen kasus gangguan jiwa adalah jenis neurosis,'' tandas Ratna.

Masalahnya, gangguan jiwa jenis neurosis sering dianggap ringan. Maka, kerap orang meremehkan itu. Padahal, kata Ratna, gangguan jiwa tersebut bisa berpengaruh terhadap penurunan kualitas hidup seseorang. Ratna mencontohkan, depresi memiliki beberapa gejala. Di antaranya, perasaan sedih terus-menerus, kehilangan minat terhadap segala sesuatu, mengalami gangguan tidur, rasa lelah yang berlebihan meski tidak beraktivitas, atau cenderung menarik diri dan menyendiri. ''Seseorang dikatakan depresi bila mengalami gejala itu selama dua minggu. Jika kurang dari itu, belum bisa dikategorikan depresi,'' ujarnya.

Jika gejala-gejala itu terus-menerus dialami, kualitas hidup seseorang akan berkurang. ''Bayangkan, selama dua minggu banyak sekali waktu yang terbuang karena merasa sedih, enggan beraktivitas, dan menarik diri. Praktis, produktivitas seseorang turun,'' jelasnya.

Kepala Balitbang RSJ Soeharto Heerdjan Grogol Dr Prianto SpKJ menegaskan hal tersebut. ''Inilah yang saat ini dialami banyak orang. Tapi, mereka tidak menyadari,'' katanya.

Prianto mengungkapkan, di RSJ Grogol sehari bisa sampai 100 orang yang berobat (angka tahun lalu 20 ribuan). Mayoritas mengalami stres, depresi, atau panik. ''Dulu, orang yang ekonominya lemah dinilai rentan terkena stres maupun depresi. Sekarang tidak lagi. Semua orang, terutama yang tinggal di perkotaan, rentan mengalaminya,'' ujarnya.

Di Luar Lebih Banyak

Banyak orang bilang sedang stres. Tapi, tidak banyak yang tahu bahwa dia mungkin membutuhkan perawatan. Spesialis Kedokteran Jiwa FKUI Mardi Susanto dari RS Persahabatan mengatakan, jumlah penderita gangguan di luar mungkin jauh lebih besar bila dibandingkan dengan mereka yang sudah datang berobat ke rumah sakit. ''Sebab, banyak yang tidak menyadari bahwa mereka terkena gangguan jiwa. Padahal, quality of life mereka sudah lama menurun,'' tutur pria asli Jogjakarta itu.

Mereka yang punya gangguan jiwa berat (psikotik) pun mungkin banyak yang belum berobat ke rumah sakit. Untuk gangguan yang satu itu, syaratnya seseorang memiliki faktor genetik (bawaan). ''Mereka yang berbakat sangatlah rentan. Sedikit saja stres bisa langsung jatuh sakit,'' ucapnya.

Mardi menjelaskan, berdasar perkiraan WHO, jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 1-3 persen dari penduduk dunia. Artinya, kata Mardi, jika penduduk Jakarta sekitar 12 juta orang, yang rentan terkena penyakit itu bisa 360 ribu orang.

Kalau yang mengalami gangguan jiwa berat saja bisa sebanyak itu, bagaimana dengan yang terkena gangguan jiwa ringan? Ya bisa jauh lebih besar lagi!

Psikiater RSUP Cipto Mangunkusumo Dr Surjo Dharmono SpKJ mengatakan, prevalensi atau angka kejadian gangguan jiwa ringan bisa 10-15 persen dari jumlah penduduk. Berarti, di Jakarta saja, jumlahnya sekitar 1,5 juta orang!

Jumlah itu, menurut Surjo, masih bisa meningkat lagi bila tidak diantisipasi sejak awal. Terutama untuk gangguan jiwa ringan. Apalagi, masyarakat perkotaan rentan dengan berbagai stressor. ''Mulai sekarang saja sudah bisa dilihat bahwa angka penderita gangguan jiwa terus bergerak naik,'' tandasnya. (titik andriyani)


http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=65958

Kisah-Kisah Gangguan Jiwa Warga Jakarta

Kisah-Kisah Gangguan Jiwa Warga Jakarta
Crazy Kejar Lifestyle Teman

Jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa di Jakarta bisa mencapai 1,5 juta orang. Karena itu, mungkin ada 1,5 juta pula kisahnya. Berikut kisah beberapa di antara mereka.

---

Wajah Rohaya (bukan nama sebenarnya) muram saat ditemui harian ini pada Hari Kartini, Selasa, 21 April lalu. Duduk dan mondar-mandir di Poliklinik RSJ Soeharto Heerdjan Grogol, paras rambut perempuan 49 tahun itu agak kusut, matanya lelah.

Ibu tiga anak itu begitu gelisah, seolah ingin membagi beban hidupnya dengan orang lain. Saat itu, Rohaya memang sedang mencemaskan kondisi kejiwaan putri bungsunya, sebut saja Sinta (Juli nanti 20 tahun).

Sudah sebulan ini Sinta ogah beraktivitas. Kata Rohaya, sudah berminggu-minggu dia ogah masuk kuliah. Padahal, sebelumnya, gadis yang hobi main bulu tangkis itu adalah sosok yang ceria dan mudah bergaul. Sikapnya berubah ketika duduk di bangku kuliah.

Sinta mengenyam ilmu di sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) terkenal di ibu kota. PTS yang berlokasi di Grogol itu dikenal sebagai tempat belajarnya anak-anak orang berada. Rohaya mengaku keluarganya tergolong mampu, tapi tidak termasuk dalam kalangan "berada" itu. Mereka menyekolahkan Sinta di sana murni untuk menuruti keinginan anak gadis satu-satunya tersebut.

"Soalnya, yang masih kuliah tinggal dia saja. Masak nggak dituruti?" tutur Rohaya.

Masuklah Sinta ke PTS terkemuka itu dan mengambil jurusan ekonomi. Namun, baru dua semester mencicipi bangku kuliah, Sinta kerap berkeluh kesah.

"Sebenarnya, sudah dari semester awal dia sering curhat. Katanya, nggak kerasan teman-temannya yang cuek," kata perempuan yang bekerja di sektor swasta tersebut.

Awalnya, Rohaya tidak begitu merespons keluh kesah Sinta. "Maklum, namanya anak muda. Pasti kan sering berselisih dengan teman. Saya pikir, itu wajar-wajar saja," kenangnya. Rohaya menambahkan, ketika itu dirinya tidak tahu persis persoalan yang dihadapi Sinta.

Makin lama, perilaku Sinta makin berubah. Ketika pulang kuliah, Sinta makin sering uring-uringan. Rohaya dan sang suami, Sumitra, kerap menjadi korban amarah sang anak.

Rohaya berupaya mendekati sang anak. Dari pembicaraan antara ibu dan anak itu, Rohaya pun paham akar persoalan yang dialami Sinta.

Rupanya, Sinta sering minder bila disejajarkan dengan teman-temannya. Sinta mengaku tidak kuat lantaran tiap hari teman-temannya selalu menilai penampilan dirinya dari atas sampai bawah. Apa merek bajunya, apa model tas yang dia pakai, hingga apa kendaraan yang dia setiri.

Begitu tahu Sinta kuliah "hanya" naik Daihatsu Taruna, teman-temannya mulai menjauhi. "Itu yang mungkin membuat Sinta bete. Saya sudah nasihati dia agar sabar, tapi malah menangis," cerita Rohaya.

Tidak ingin sang anak bersedih, Rohaya dan Sumitra mencoba menuruti beberapa keinginan Sinta. Berbagai baju bermerek mereka beli untuk Sinta. Untuk melakukan itu, berbagai pengeluaran lain harus di-cut. "Maklum, satu baju harganya Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta," ungkap Rohaya.

Itu belum termasuk model tas cantik yang harus dibeli sebulan sekali. "Itu pun Sinta masih marah-marah karena teman-temannya ganti tas hampir setiap hari," ujarnya.

Lama-lama, Rohaya dan Sumitra tidak sanggup lagi memenuhi keinginan sang anak. Apalagi ketika Sinta minta dibelikan mobil baru. Tidak tanggung-tanggung, dia minta sebuah BMW!

Setelah rasa terkejut mereda, Rohaya dan Sumitra mencoba memberikan pengertian kepada Sinta. "Saya beri pengertian dia agar tidak usah menggubris teman-temannya," kata Rohaya.

Menanggapi itu, Sinta hanya bisa menangis. Dampaknya, nilainya turun drastis. Jika pada semester awal indeks prestasinya mendekati 3,0, pada semesternya turun hingga 2,3. Rohaya menawari Sinta untuk pindah kuliah saja. "Tapi, dia tidak mau. Telanjur malu sama teman-temannya," ujar Rohaya.

Setelah itu, segalanya terus memburuk. Dalam beberapa bulan terakhir, Sinta malas kuliah. Dia jarang bepergian dan banyak mengurung diri di dalam kamar. Padahal, Sinta biasanya sering keluar bareng teman-teman SMA-nya.

''Saya begitu takut ketika malam-malam dia nangis sendiri. Nggak selesai-selesai dan nggak bisa tidur. Dan, itu tidak satu dua kali. Hampir tiap malam begitu,'' ujarnya.

Rohaya memiliki feeling bila Sinta tidak hanya stres, tapi sudah depresi. Maklum, sudah berbulan-bulan kondisi itu dia alami. Bahkan, kini Sinta sudah tidak mau masuk kuliah. ''Sudah tiga minggu ini dia tidak mau kuliah. Kerjanya hanya tidur dan menangis,'' tuturnya.

Khawatir terjadi apa-apa pada putrinya, Rohaya dengan berat hati membawanya ke rumah sakit jiwa. ''Daripada telat, mending saya bawa sekarang,'' ucapnya.

Rohaya tidak peduli meski suaminya tidak setuju Sinta dibawa berobat. Yang penting, masa depan Sinta tidak rusak. Benar saja, ketika keluar dari poliklinik rumah sakit itu, wajah Sinta terlihat muram. Wajahnya tidak secerah baju warna pink yang dia kenakan. Ketika diajak tersenyum, Sinta juga tidak merespons. Pandangan matanya juga terlihat kosong. Wajahnya juga agak pucat.

''Jangan tersinggung ya Mbak kalau Sinta nggak mau senyum,'' ucap Rohaya kepada Jawa Pos. (kit)

---

Solusi untuk sinta

Menanggapi kasus yang dialami Sinta, psikiater dari RS Persahabatan Dr Mardi Susanto mengatakan, kasus depresi banyak disebabkan seseorang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Seperti halnya yang dialami Sinta. Ketidakmampuan seseorang beradaptasi menimbulkan perasaan terasing.

Untuk mengatasi hal itu, seseorang seperti Sinta tidak harus memaksakan diri agar bisa mengikuti gaya hidup lingkungannya. Yakinlah bahwa semua orang memiliki kelebihan. ''Tidak perlu memaksakan diri harus seperti orang lain. Dengan kelebihan yang dimiliki, seseorang harus merasa dirinya istimewa,'' ungkapnya.

Jika ternyata lingkungan tidak mau menerima diri kita apa adanya, carilah lingkungan baru yang mau menerima diri kita apa adanya. ''Tidak usah memaksakan diri harus menjadi si A atau si B. Jadilah, diri sendiri dengan kelebihan yang dimiliki. Orang akan menghargai kita apa adanya,'' ungkapnya. (kit)

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=65957

Koalisi demi Kepentingan Siapa?

Koalisi demi Kepentingan Siapa?
Berbagai manuver yang dilakukan pimpinan parpol untuk berkoalisi begitu cepat mengubah perkembangan politik. Nyaris jam demi jam muncul perubahan. Mereka melakukan penjajakan ke sana sini. Saling mendekat dan saling menjauh mencari posisi yang paling menguntungkan.

Pertanyaannya, sejauh mana manuver demi manuver itu terkait kepentingan politik sebagian besar rakyat Indonesia? Meski mereka selalu mengatasnamakan rakyat, tetap patut dipertanyakan benarkah semua langkah koalisi itu demi rakyat?

Manuver untuk koalisi adalah hal lumrah. Di mana pun kompetisi politik yang sehat senantiasa diwarnai langkah memperkuat diri melalui pengelompokan untuk memenangi kompetisi politik dan merebut kekuasaan.

Hanya, dalam kompetisi politik yang sehat dan fair, kekuasaan yang berhasil direbut senantiasa bermuara untuk diabdikan kepada kepentingan umum atau kepentingan masyarakat.

Di negara yang demokrasinya sudah matang dan dewasa, perebutan kekuasaan tidak memisahkan jauh dari upaya untuk memenangkan kewajiban politik guna menyejahterakan masyarakat.

Karena itu, sekeras apa pun perebutan kekuasaan tetap mencerminkan kehendak publik. Bahwa kelak yang menang adalah kekuatan atau kelompok kekuatan politik yang paling mendapatkan kepercayaan publik untuk memajukan kesejahteraan umum.

Dalam konteks seperti itu, siapa pun yang berkuasa atau memenangi kekuasaan harus bisa mempertanggungjawabkan di hadapan publik. Masyarakat pun berhak menuntut kewajiban penguasa untuk setiap saat menepati janji politiknya ketika berkampanye.

Di sini harus diakui bahwa perebutan kekuasaan sering masih bersifat elitis. Kurang populis. Kalau melibatkan masyarakat, sebagian besar cenderung dimobilisasi, terutama melalui ''sogok'' dan ''suap politik''.

Celakanya, dalam Pemilu Legislatif 9 April 2009 banyak ditemukan bukti sogok-menyodok untuk mendapatkan dukungan politik. Bahkan, sudah ada calon legislatif yang ditangkap dan diadili.

Karena itu, yang kita khawatirkan adalah jika kekuasaan yang diraih parpol dari pemilu atau kelak presiden terpilih karena ''membeli'' dukungan pemilih, mereka setelah berkusa menjadi tidak bertanggung jawab.

Bukankah mereka dalam hati masing-masing sudah merasa ''membeli'' dukungan. Jadi, buat apa bertanggung jawab kepada masyarakat ''penjual'' dukungan?

Koalisi demi koalisi yang kini ramai justru menyisakan persoalan tentang komitmen politik itu lantaran mereka berhasil memperoleh suara pemilih signifikan dari hasil ''membeli'' dukungan. Yang kita khawatirkan ialah konsep, visi, dan energi yang terkuras untuk koalisi hanya untuk memuaskan nafsu merebut kekuasaan daripada sebagai ikhtiar untuk berkomitmen menyejahterakan masyarakat.

Tentu kita berharap tidak demikian. Semoga Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Megawati, Prabowo, dan Wiranto masih kuat nuraninya bahwa koalisi yang mereka jajaki saat ini untuk kemaslahatan rakyat dan berkhidmat kepada kepentingan bangsa Indonesia.

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=65812

Demokrasi dan Nomokrasi Kita

Demokrasi dan Nomokrasi Kita
Oleh Moh. Mahfud M.D. *

Tak dapat disangkal, keadaan politik dan ketatanegaraan kita saat ini mendapatkan banyak kritik dari kita sendiri. Pemilu yang berlangsung 9 April lalu mendapatkan sorotan dan hardikan ketidakpuasan karena penyelenggaraannya tidak beres. Sudah hampir tiga pekan pemilu berlangsung, tetapi penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik manual maupun yang elektronik, tak beres-beres. Protes dan penolakan atas rekapitulasi hasil pemungutan suara terjadi di berbagai daerah.

Tetapi, kalau kita mau melihat dari segi positif, perkembangan sekarang ini dapat dilihat sebagai kemajuan dalam kehidupan demokrasi kita. Saat ini rakyat sudah bisa memilih dengan bebas, termasuk bebas menerima uang dengan janji memililh calon atau parpol tertentu tetapi kemudian tidak benar-benar memilih sang pemberi uang.

Banyak yang telanjur memberikan uang, tetapi diri atau partainya tidak dipilih juga. Sudah banyak rakyat yang berpandangan bahwa menerima uang sekaligus memilih pemberinya bisa dosa dua kali, yakni dosa karena menerima uang (suap) dan dosa karena memilih berdasar suap. Jadi, kalau menerima uang tetapi tidak memilih yang memberikan uang, dosanya hanya satu, malah bisa berpahala karena mendorong orang untuk kapok berpolitik uang kepada pemilih.

Kemajuan lainnya, KPU sebagai penyelenggara pemilu sekarang ini adalah lembaga yang mandiri, tidak menjadi bagian struktural dari pemerintah dan dibentuk oleh peserta pemilu sendiri (parpol-parpol) melalui DPR.

Tuduhan kecurangan pemilu tidak bisa lagi dialamatkan kepada pemerintah dan parpol tertentu karena pemerintah terdiri atas berbagai partai. Di tingkat pusat pemerintah merupakan koalisi, sedangkan di tingkat daerah pemerintahan dikuasai oleh parpol yang berbeda-beda.

Jadi, kalau pemerintah dituduh curang, hampir semua parpol menjadi tertuduh karena hampir semua parpol turut memerintah; kalau tidak di pusat, ya di daerah.

Di tingkat masyarakat pun kecurangan dalam pemilu memang terjadi di sana-sini, tetapi bukan lagi kecurangan yang dihegemoni oleh negara untuk satu parpol tertentu. Menurut media massa, kecurangan-kecurangan pemilu seperti money politics serta isu penggelembungan suara melalui kolusi dan penyuapan terhadap petugas rekapitulasi dilakukan oleh oknum atau caleg berbagai parpol di berbagai daerah. Kecurangan-kecurangan yang terjadi sekarang tidak lagi didominasi oleh dan untuk satu parpol tertentu.

Keadaan tersebut berbeda dengan era Orde Baru yang mengesankan kecurangan dilakukan oleh dan untuk satu parpol pendukung rezim yang berkuasa. Dulu penyelenggara pemilu bukan KPU, melainkan Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai oleh menteri dalam negeri dan menjadi tertuduh utama atas kecurangan yang masif.

Pelaksanaan pemilu sekarang memang buruk, terjadi kesemrawutan dan isu kecurangan di berbagai lini. Tetapi, keadaan itu dapat dilihat sebagai kemajuan dalam demokrasi kita karena kesemrawutan tersebut menjadi tanggung jawab bersama.

Tegasnya, kesemrawutan yang sebenarnya merupakan kemunduran pemilu ini merupakan kemajuan demokrasi karena ia menjadi tanggung jawab bersama, tidak lagi karena hegemoni negara.

Kemajuan lain dalam perkembangan demokrasi kita dewasa ini ialah adanya kebebasan bagi siapa pun untuk melancarkan kritik bahkan mengajukan diri untuk menjadi presiden. Setiap hari kita dapat mendengar kritik tajam dan menonton demonstrasi tentang kehebatan orang yang merasa hebat, meski kemudian ternyata tidak punya kehebatan apa pun.

Kita juga dapat menonton berbagai trik politik dalam pencalonan presiden yang sekarang bisa dilakukan oleh siapa pun secara sangat bebas dan demokratis.

Ini dapat kita catat sebagai kemajuan dalam demokrasi. Sebelum reformasi, tak mungkinlah kita bisa menyaksikan itu karena (dulu) tak ada yang berani melakukannya kecuali mau ditangkap atau diisolasi. Itulah yang mungkin dapat disebut sebagai kemajuan dalam kemerosotan demokrasi.

Tetapi, kemajuan yang tampaknya tidak paradoks dalam perkembangan ketatanegaraan kita adalah menguatnya nomokrasi (kedaulatan hukum) sebagai pengimbang atas demokrasi (kedaulatan rakyat). Jika dulu keputusan-keputusan politik yang hegemonik selalu bisa dipaksakan atas nama demokrasi, sekarang keputusan lembaga demokrasi dapat dibatalkan oleh lembaga nomokrasi.

Lihat saja betapa banyaknya UU yang ditetapkan secara demokratis di DPR tetapi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan nomokrasi. Ini kemajuan yang signifikan, tidak paradoks, dan perlu dikuatkan.

*. Moh. Mahfud M.D., mantan Menhan, kini hakim pada Mahkamah Konstitusi.

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

Begawan Bedah Kembar Dempet

Begawan Bedah Kembar Dempet
NAMANYA melekat dengan operasi pemisahan bayi kembar siam dempet kepala (craniopagus) Pristian Yuliana-Pristian Yuliani, 21 tahun silam. Gabungan yang unik antara pengetahuan kedokteran, karakter seorang Jawa yang sabar serta telaten, dan strategi operasi yang jitu membuat Profesor Padmosantjojo menatahkan prestasi langka dalam dunia medis.
Di tengah keterbatasan alat, dana, dan pengalaman, Padmo bersama timnya berhasil memisahkan kembar siam itu dalam sebuah operasi yang memakan waktu 13 jam. Operasi itu dicatat sebagai pemisahan pasangan dempet kepala termuda di dunia. Teknik operasi—yang disebut ”Prinsip Padmosantjojo—menjadi dikenal dan dipelajari oleh para dokter dan ahli bedah saraf sejagat.
HARI itu 1 Agustus 1987. Pimpinan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mengadakan rapat dengan Bagian Kesehatan Anak. Saya, sebagai Kepala Bagian Bedah Saraf, hadir bersama Prof Dr Iskandar Wahidijat, Kepala Bagian Kesehatan Anak.
Rapat membicarakan kondisi pasien kembar siam yang baru berumur satu hari. Kembar ini dempet di bagian kepala (craniopagus).
Kedua bayi itu, masing-masing bernama Pristian Yuliana dan Pristian Yuliani, lahir di Rumah Sakit Tanjung Pinang, kini Kepulauan Riau, pada 31 Juli 1987.
Ayah mereka Tularji, tukang batu, ibunya Hartini. Mereka dirujuk ke RSCM karena rumah sakit di daerah tak mampu menangani. Bayi kembar siam itu harus segera dipisahkan untuk menyelamatkan hidupnya.
Kasus kembar siam yang berasal dari satu telur dan satu ketuban kemungkinannya hanya satu dari dua ratus ribu kelahiran. Lantaran mengalami pelekatan fisik, harapan hidupnya hanya 40 persen. Mereka yang lahir hidup, 75 persen meninggal pada hari-hari pertama. Dalam kasus bayi dempet di bagian kepala—hanya 2 persen dari kasus kelahiran kembar siam—harapan hidupnya lebih tipis. Hanya 15 persen yang bisa hidup sampai umur lima tahun. Dan hanya satu yang mencapai usia dewasa.
Jelas kasus ini sangat langka dan kompleks. Literaturnya juga minim. Sebagai ahli bedah saraf, semula saya ditunjuk mengetuai tim operasi. Saya menolak. Alasannya sepele. Ibarat sedang bertempur, mata saya tidak bisa ke mana-mana, hanya tertuju ke meja operasi.
Saya lalu menganjurkan membentuk kelompok kerja dengan anggota selengkap mungkin. Seperti dari bagian anak, yang melibatkan ahli neontologi, hematologi, kardiologi anak, radiologi anak, hingga saraf anak. Bagian bedah pun diminta ikut terlibat, dari bedah anak, bedah plastik, radiologi, anestesi, hingga bagian bedah saraf.
Sarana penunjang melibatkan peralatan laboratorium, unit transfusi darah, hingga teknisi listrik dan pengawas alat-alat pemantau operasi. Secara keseluruhan, anggota tim berjumlah 96 orang, meliputi tenaga dokter dan nondokter. Saya menyarankan kepada pimpinan RSCM agar menunjuk ketua tim yang bukan spesialis bedah saraf.
Ketua tim dapat disamakan dengan panglima di markas besar yang bertugas memimpin peperangan. Sedangkan ahli bedah bagaikan jenderal di medan pertempuran. Kenyataannya, dalam hampir semua operasi bedah kembar siam, baik sebelum maupun sesudah kasus Yuliana-Yuliani, ketua tim selalu dipegang ahli bedah. Menurut saya, arogansi ahli bedah sering dominan, sehingga mereka tidak mau mengalah dan selalu ingin tampil. Akibatnya bisa buruk terhadap pasien.
Pada pembedahan kembar siam dempet kepala ini, masalah yang akan dihadapi adalah bedah saraf dan bedah plastik untuk menutup tulang dan kulit kepala yang menempel. Setelah melakukan pembicaraan berkali-kali, termasuk simulasi operasi, diputuskan untuk melakukan operasi ketika bayi berusia 2 bulan 21 hari.
l l l
OPERASI dilakukan pada 21 Oktober 1987. Secara keseluruhan, operasi berlangsung 13 jam, dengan delapan jam sendiri untuk proses pemisahan. Dana operasi dan perawatan praktis tidak bisa diharapkan dari pihak orang tua pasien. Saya berhasil menggalang dana dari berbagai kalangan, senilai Rp 42 juta, untuk mengongkosi operasi tersebut.
Keberhasilan operasi mendapat pemberitaan luas. Yuliana-Yuliani adalah bayi kembar dempet kepala termuda di dunia yang dapat dipisahkan. Semua koran Indonesia memberitakan, bahkan sampai koran di Cina.
Stasiun televisi BBC menyiarkan berita operasi itu dari berita TVRI. Inilah pertama kalinya dokter Indonesia bisa memisahkan kembar dempet pada tengkorak kepala. Ada yang menyebut operasi ini lompatan besar dunia kesehatan, mengingat minimnya peralatan rumah sakit di Indonesia.
Banyak orang menghubungkan sukses operasi itu dengan bakat lain dalam diri saya. Menurut saya, kemampuan itu memang sangat menolong. Malah ada yang menyebut, meskipun sama-sama dokter bedah saraf, bisa jadi operasi akan gagal bila si dokter tidak setelaten saya.
Dalam operasi Yuliana-Yuliani, saya bekerja berdasarkan cara yang saya pahami. Bisa saja dokter di Singapura atau di Amerika, bahkan sesama dokter di Indonesia, melakukan dengan cara lain, meski tujuannya sama. Umumnya, dokter Barat tidak tahan melakukan operasi berjam-jam, sehingga mereka selalu mencoba cara yang singkat. Kemampuan mengoperasi itu sangat bergantung pada bakat seseorang. Dalam hal ini, saya merasa beruntung sebagai orang Jawa, karena terbiasa sabar dan telaten.
Saya merasa ada hal yang unik dalam hidup. Dulu, semasa sekolah, nilai saya selalu jelek dalam pelajaran menulis halus. Namun, saya bisa melukis. Malah sewaktu saya bekerja di Groningen, Negeri Belanda, saya pernah membuat irisan pada kulit pasien sekecil-kecilnya, lebih kecil dari irisan para dokter Belanda. Maka banyak pasien meminta dioperasi oleh ”dokter Jawa”, begitu mereka menyebut saya.
l l l
SAYA lahir di Kediri, Jawa Timur, pada 26 Februari 1938. Ayah saya ketika itu Kepala Stasiun Kereta Api Kediri, posisi yang hanya bisa dijabat para priayi. Saya sendiri mendapat warisan gelar raden mas. Kami keluarga besar. Orang tua saya memiliki 17 anak, 11 di antaranya laki-laki.
Semasa kecil, saya beberapa kali berpindah tempat tinggal. Pada masa perang kemerdekaan, keluarga kami pindah ke Solo, lalu ke Yogyakarta. Seiring dengan perkembangan karier Ayah di Djawatan Kereta Api, kami kemudian pindah ke Jakarta, dan terakhir ke Bandung, tempat saya melanjutkan pendidikan sampai sekolah menengah atas.
Setamat SMA, pada 1957, saya meneruskan kuliah ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ketika pertama kali kuliah, fakultas kedokteran ini diasuh oleh sebagian dokter Amerika dari University of California, Los Angeles (UCLA).
Ketika masa kuliah itulah saya memutuskan mengambil program ikatan dinas, dengan pertimbangan bisa mendapat dana bantuan kuliah. Semata untuk meringankan beban orang tua. Dengan program ikatan dinas, selama 15 tahun setelah lulus kuliah saya harus bekerja membantu pemerintah. Kelak pilihan ini menimbulkan beberapa implikasi dalam karier dokter saya.
Kuliah di fakultas kedokteran bisa saya selesaikan dalam waktu enam tahun. Teman yang sama-sama lulus pada tahun itu—disebut angkatan 1963—ada 131 orang. Tetapi hanya 43 orang yang lulus dalam waktu enam tahun. Kebetulan, sebelum saya lulus, setiap bagian di fakultas kedokteran mencari dokter muda sebagai kader jurusan. Saya kemudian memilih mengabdi ke almamater dengan menjadi ahli bedah saraf.
Dorongan menjadi ahli bedah sedikit-banyak ditentukan oleh cacat di wajah saya. Otot wajah sebelah kanan mengalami kelumpuhan berat, yang membuat wajah saya miring. Mata kanan saya tidak bisa dipejamkan.
Tanpa bermaksud meledek siapa pun, kalau meringis mulut saya akan miring ke kiri. Sudah pasti saya tidak bisa bersiul. Lantaran itu, sewaktu kecil saya dipanggil Perot, ungkapan Jawa yang artinya miring. Setelah dewasa, berdasarkan keterangan dokter yang dulu merawat keluarga, saya simpulkan hal itu terjadi karena kelumpuhan saraf otak VII, tipe perifere, akibat infeksi di daerah telinga.
Paralel dengan pengalaman keilmuan saya, hasrat untuk menolong pasien cacat saraf ternyata hanya bisa dilalui dengan satu hal: pembedahan. Hanya dengan cara itulah penyakit saraf bisa disembuhkan tuntas.
Ketika saya melamar menjadi asisten ilmu bedah, bedah saraf belum dikenal, bahkan belum diajarkan di kampus. Bukan karena ilmu ini belum berkembang, melainkan karena bagian ini tidak berhubungan dengan fakultas. Saat itu khusus untuk bedah saraf hanya ada satu rumah sakit, yakni Princes Margriet Hospital, Klieniek voor Neurochierurgie, di Jalan Raden Saleh, Cikini, Jakarta Pusat.
Rumah sakit Princes Margriet bisa disebut cikal-bakal bedah saraf di Indonesia. Didirikan pada 1948 oleh Palang Merah Belanda, saat itu semua ahli bedahnya masih berkebangsaan asing. Dokter bedah saraf yang pertama bertugas di rumah sakit itu adalah Hanraet.
Setiap enam bulan ada mutasi dokter. Menyusul bertugas di antaranya Noordenbos, Wiersma, De Groot, dan Lenshoek. Pedro Albert, seorang dokter Spanyol, juga pernah bertugas di rumah sakit tersebut. Baru pada 1952 ada seorang dokter Indonesia yang berdinas di rumah sakit tersebut, yakni S.K. Handoyo, yang baru lulus dari Belanda.
Ketika saya meniti karier di bedah saraf, hanya ada tiga ahli bedah saraf di Indonesia. Dua di antaranya berpraktek di rumah sakit tersebut, yakni S.K. Handoyo dan Soewadji. Seorang lagi, yakni Basoeki, memilih membuka klinik sendiri di Surabaya. Ketika memilih menjadi asisten bagian bedah saraf, saya sudah mendapat gambaran betapa suramnya jurusan ini. Dokter Soewadji menguji saya begitu rumit dan lama dengan berbagai pertanyaan.
Rupanya dia ingin mengetes kesungguhan saya. Saat itu, bahkan hingga sekarang, dokter bedah saraf tidak seberuntung dokter lain, bahkan dibanding dokter umum. Padahal sekolahnya terbilang paling lama dibanding spesialisasi lain. Ditambah umumnya pasien saraf memerlukan perawatan panjang, dan akibatnya memerlukan biaya besar. Operasinya lama, dan tingkat kematian pasien juga tinggi.
Pada 1964 terjadi peristiwa dramatis. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat (sekarang RS Cipto Mangunkusumo), Djaka Sutadiwirja, memerintahkan menutup klinik saraf di Raden Saleh. Lokasi itu, menurut dia, akan digunakan untuk klinik kebidanan. Dua orang senior saya, Handoyo dan Soewadji, merasa tersinggung karena perintah itu tidak pernah dibicarakan sebelumnya dengan mereka.
Mereka berdua kemudian mogok dan memilih pensiun. ”San, kau saja yang mengambil alih urusan,” kata Soewadji. ”Kami berdua akan segera pensiun. Masa depan bedah saraf, kamu sendirilah yang harus menghadapinya.”
Dengan bekal uang Rp 16 juta dari RSUP, saya kemudian membangun ruang baru untuk klinik bedah saraf di rumah sakit tersebut. Peralatan medis dari klinik Raden Saleh dilarang dibawa dan dialihkan. Dengan kata lain, saya harus membangun klinik saraf dari nol.
Pada 1965, saya tugas belajar di Universitas Groningen, Belanda. Di situ saya bertemu dengan senior saya, seorang perintis bedah saraf di Indonesia: Prof Lenshoek. Sambil belajar, saya mendapat pengalaman praktek di RS Groningen sebagai dokter bedah saraf.
Ketika itu Belanda hanya memiliki 18 ahli bedah saraf untuk melayani sekitar 1.300 operasi setahun. Di situ saya belajar menjadi ahli bedah saraf modern. Hal ini berbeda dengan keadaan yang saya hadapi di Indonesia, sepulang dari Belanda pada 1970. Selain sempat setahun tak bergaji, saya harus bekerja dengan kondisi kelangkaan tenaga dan minimnya alat pendukung operasi.
Kini kondisi memang sudah membaik. Jumlah ahli bedah saraf di Indonesia cukup meningkat, meskipun masih belum memadai. Tapi nasib mereka tak berbeda jauh dengan seniornya. Setelah 47 tahun berkarya, di usia 71 tahun ini saya serba punya satu. Satu rumah, satu mobil Mercedes tua, satu istri, dan satu anak. Tapi saya bersyukur masih sehat, dan bisa berkarya.
l l l
KEBERHASILAN operasi Yuliana-Yuliani tentu saja mengangkat nama banyak pihak, dari rumah sakit hingga penguasa. Ketika itu ada seorang petinggi mengaku di koran bahwa dia ikut menyumbang untuk operasi tersebut. Padahal sepeser pun saya tidak menerima bantuan dari dia.
Ketika ucapan saya muncul di koran, yang menyatakan bahwa dana operasi Rp 40 juta itu didapat dari hasil mencari sumbangan ke sana-kemari, ada pejabat yang teramat tinggi posisinya dan sangat berkuasa marah karena dia sudah telanjur mengklaim. Saya bahkan ditelepon agar mencabut pengakuan itu. Tentu saja saya menolak. Kalau mau dibunuh, saya siap saja. Saya berpikir, mungkin bakal enggak naik pangkat. Saya pikir biar saja, toh saya mengatakan yang sebenarnya.
Lantaran khawatir hasil operasi yang bagus itu gagal, saya memantau kehidupan si kembar selesai operasi. Bahkan pemantauan itu ternyata sampai hari ini, selama 21 tahun. Itu suatu ketidaksengajaan, tapi saya anggap ibadah saja.
Sebelum kasus pembedahan Yulia-na-Yuliani, ada kasus operasi bayi kembar siam dari Nias, Sumatera Utara. Kedua bayi yang mengalami perlekatan di perut itu sukses dioperasi di Jakarta. Setelah kondisinya membaik, keduanya dipulangkan ke Nias. Tapi, apa yang kemudian terjadi? Keduanya meninggal karena mencret. Saya tidak mau kasus serupa menimpa si kembar. Jika Tuhan memberi kesempatan membuat masterpiece, mestinya harus mau menjaganya juga.
Saya memantau Yuliana-Yuliani karena khawatir mengingat ayah mereka cuma tukang batu. Jika salah perawatan atau memberi makan, mereka terancam mati kapan saja. Dua bulan setelah operasi, kedua bayi tersebut saya openi. Kemudian, di masa balita kedua anak itu pun saya jaga. Selama lima tahun, mereka dengan kedua orang tuanya berada di Jakarta. Mula-mula mereka satu rumah dengan saya, tetapi kemudian mengontrak sendiri.
Setelah lewat usia lima tahun, saya pulangkan mereka ke Tanjung Pinang. Tapi saya tetap tut wuri handayani, mendorong dan mencoba memajukan kehidupan mereka. Ketika saya ada rezeki, saya belikan rumah yang layak, meskipun hanya Perumnas. Orang tuanya juga saya carikan modal untuk membuka usaha. Sekarang kedua anak itu sudah dewasa. Selama duduk di bangku SMA, mereka bahkan menempati peringkat satu di sekolahnya. Sekarang mereka masuk fakultas kedokteran. Kata mereka, ”Karena ingin mencontoh Pakde.” Begitulah keduanya memanggil saya.
Setelah kasus Yuliana-Yuliani, saya tidak pernah mendapat pasien serupa. Mungkin memang Tuhan memberi saya kesempatan satu kali saja. Meski hal itu sebenarnya misteri bagi saya. Banyak operasi yang lebih sulit dari pemisahan si kembar kerap saya lakukan, seperti operasi tumor otak, tapi tak ada yang memberitakan.
Saya tidak paham atau ikut-ikutan berpolitik. Bagi saya, sumpah dokter itu di atas segalanya. Maka, sebagai anggota tim dokter kepresidenan, saya tidak mau minta fasilitas dan bayaran. Itu sebabnya, meski akhirnya seorang diri, saya menolak membuat surat sakit untuk mantan presiden Soeharto. Bagi saya, kalau sehat haruslah dikatakan sehat, begitu pun jika sakit. Seorang dokter tidak boleh berbohong.
Karena sikap tidak tegas dan tidak jujur, kredibilitas dokter kini sering diragukan. Apalagi bila berurusan dengan kekuasaan. Maka tak mengherankan jika bisa muncul satu bahkan lebih tim dokter dalam urusan kesehatan mantan presiden Soeharto. Masing-masing dengan kesimpulan berbeda. Mungkin saja, kelak, akan ada kasus serupa.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/04/27/MEM/mbm.20090427.MEM130138.id.html
Pengukuhan ’Prinsip Padmosantjojo’
KEBERHASILAN operasi pemisahan Yuliana-Yuliani yang ramai diberitakan media massa membuat kehidupan saya berubah drastis hampir sepanjang 1987. Sebagai ahli bedah saraf, yang saat itu jumlahnya tak lebih dari jari tangan di Indonesia, mana sempat saya berpikir bakal dikenal orang? Wong, pasien saja jarang.
Suatu hari, saya naik kereta api ke Surabaya untuk mengikuti seminar. Sampai di Stasiun Gubeng, seorang tukang becak mendekati saya. Dia bertanya, ”Maaf, apa benar Bapak yang memisahkan kembar dempet di Jakarta?” Saya terkejut, dan berpikir si tukang becak cuma iseng. Dengan malas saya mengiyakan.
”Cihui… Saya menang taruhan!” si tukang becak berteriak gembira. Rupanya para tukang becak di Surabaya sudah membaca berita operasi si kembar dari koran. Sebagian koran memuat pula foto saya yang berwajah ”miring” ini. Maka, begitu melihat saya, para tukang becak yang mangkal di muka stasiun bertaruh apa benar saya dokter yang mengoperasi si kembar. Seumur hidup, sekali itulah saya tahu rasanya jadi barang taruhan....
Di lain waktu, saya hendak pulang ke Jakarta, usai seminar di Bali. Sopir taksi yang mengantar saya ke Bandara Ngurah Rai bolak-balik mencuri pandang lewat kaca spion di dalam mobil. Saya diamkan saja tingkahnya itu. Akhirnya ia tak kuat menahan rasa penasaran. ”Apa benar Anda dokter Padmo dari Jakarta?” ia bertanya. Saya mengangguk.
Tak dinyana, sopir taksi itu langsung berubah wajahnya. ”Pak, tolong ikut saya setengah jam saja,” katanya. ”Nanti saya antar lagi ke bandara. Gratis dan tidak akan terlambat,” ujarnya dengan nada merengek. Di rumahnya, saya mendapati seorang ibu tua dengan kaki bengkak. Si sopir rupanya berpikir saya dokter hebat untuk apa saja, termasuk patah tulang.
Beragam reaksi orang terhadap saya, sebetulnya, lebih banyak karena rasa ingin tahu. Namun, saya akui, ada sebagian kecil yang punya atensi atas keberhasilan operasi pemisahan dempet kepala pertama di Indonesia itu. Tak hanya dari pemerhati di dalam negeri, tetapi juga para dokter dari luar negeri.
Ketika si kembar berumur empat bulan, para ahli bedah saraf anak (paediatric neuro surgeon) yang dipimpin oleh Profesor Mario Brock dari Berlin, Jerman, bersama Profesor Becks dari Universitas Groningen, Belanda, berkunjung ke Jakarta. Mereka didampingi oleh Menteri Pendidikan Belanda, Deeyman. Di sini mereka meminta saya memutar ulang rekaman operasi dan menjelaskan strategi dan prinsip yang dipegang dalam operasi tersebut.
Inti operasi pemisahan kembar siam adalah membelah selaput otak yang menempel di antara kedua otak bayi. Pembelahan selaput setipis kertas itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kedua sisinya tidak rusak. Sebab, pada sisi ke arah dalam otak bayi ada pembuluh balik induk, yang bila mengalami cacat atau rusak dapat menimbulkan kematian.
Pemisahan ini seperti membelah uang kertas, tanpa merusak gambar pada masing-masing sisi. Membelah selaput otak sudah menjadi pekerjaan rutin bagi dokter bedah saraf, karena tindakan semacam itu selalu diperlukan pada jenis cacat bawaan yang disebut craniostenosis.
Prinsip dasar operasi yang saya terapkan pada prinsipnya tidak berbeda dengan prinsip yang dianut secara umum di negara-negara Barat. Prinsip saya lebih mengandalkan ketelatenan, ketepatan waktu operasi, dan logika medis. Saya percaya, operasi sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada pasien. Umur sehari pun boleh. Dan saya juga lebih suka membiarkan selaput otak luar membentuk lapisan tulang kepala sendiri ketimbang membuat tulang buatan.
Belakangan, cara ini diakui oleh para dokter bedah dunia dan disebut sebagai Prinsip Padmosantjojo. Begitu tinggi apresiasi yang diberikan oleh para ahli bedah terhadap ”temuan” saya itu, sehingga saya diberi kesempatan melakukan presentasi dalam pertemuan ahli bedah saraf dunia di Marrakesh, Maroko, pada 2005. Saat itu si kembar sudah berumur 18 tahun dan hidup sehat.
Kunjungan para ahli bedah Universitas Groningen ternyata menyisakan ”kejutan”. Setelah mendapat penjelasan proses operasi kembar siam, para ahli bedah internasional itu kembali ke negaranya. Tak berselang lama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan langsung memanggil anggota tim pembedahan yang jumlahnya mencapai seratusan orang itu.
Saya ikut dipanggil oleh Fuad Hassan. Sebelumnya, Menteri Kesehatan dan Presiden Soeharto tidak pernah memberikan tanggapan atas hasil operasi si kembar. Mereka menganggapnya biasa dan bukan prestasi besar dunia kedokteran Indonesia. Ketika saya menemui Fuad, ia segera memulai pembicaraan. ”Padmo, sewaktu saya bertemu kolega saya dari Belanda, saya malu,” katanya. Saya menduga, para ahli bedah itu menyampaikan informasi buruk saat berpamitan dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Maka saya memilih diam.
”You diminta jadi profesor di Groningen, Holland,” ujar Fuad. ”Apa you pikir saya tidak bisa mengangkat you jadi profesor di sini?” Mendengar ucapan itu, seketika saya merasa lega. Tapi, dalam batin saya berkata, ”Kalau mau mengangkat jadi profesor, ya, enggak usah cerita macem-macem.”
Seolah membaca pikiran saya, Fuad Hassan langsung minta persetujuan Rektor Universitas Indonesia Prof Sujudi dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Prof Harsja W. Bachtiar. Mereka setuju, dan Fuad langsung menghubungi Biro Hukum Departemen untuk mengurus pengangkatan saya sebagai guru besar.
Saya kemudian diangkat sebagai profesor di Universitas Indonesia, meski masih berpangkat IIID atau asisten ahli. Padahal, saat itu seorang calon guru besar harus sudah mencapai pangkat IVC. Barangkali, karena menerabas jalur itu, surat keputusan pengangkatan sebagai mahaguru, yang tertanggal 1 April 1988, baru saya terima pada awal 1989. Begitu kontroversialnya keputusan itu bagi pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia saat itu. Padahal, surat keputusan mahaguru lain, yang ditandatangani bersamaan dengan keputusan saya, sudah turun lebih awal.
Beberapa tahun setelah itu, menjelang peringatan 17 Agustus 2003, saya mendapat undangan dari Sekretaris Militer Presiden. Saya diberi tahu mendapat kehormatan menjadi salah satu penerima penghargaan negara pada ulang tahun kemerdekaan ke-58. Bersama dua belas orang lainnya, saya dianugerahi penghargaan Bintang Jasa Utama. Penghargaan itu sekaligus menjadi obat kesedihan saya, karena per 1 Maret 2003, saya harus pensiun. Namun ternyata akhir tahun itu juga saya menerima surat keputusan Menteri Kesehatan, yang memperpanjang usia pensiun saya menjadi 70 tahun.
Pada 19 Desember 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan penghargaan kepada sejumlah pihak, institusi dan pribadi, yang dianggap berjasa besar di bidang kesehatan. Saya dianugerahi Ksatria Bhakti Husada, penghargaan tertinggi di bidang kesehatan, bersama sejumlah kalangan.
Kendati sudah melewati masa pensiun, bukan berarti kesibukan saya berkurang. Saya masih mengajar para dokter muda dan memimpin bagian bedah saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Belum lagi tanggung jawab sebagai anggota Konsorsium Ilmu Medis (Consortium of Medical Sciences) yang mengatur pendidikan para dokter spesialis.
Namun, waktu praktek yang saya lakukan di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, selama 40 tahun lebih, saya kurangi. Sekarang hanya dua kali seminggu. Praktek saya ini tidak komersial, malah lebih banyak gratisnya. Untungnya, kesehatan saya baik. Bahkan saya masih menyetir mobil sendiri dan mengoperasi pasien.
Barangkali ini berkat kebiasaan saya berolahraga. Bahkan di usia 69 tahun, saya masih bisa menjadi juara pertama lomba lari 10 kilometer untuk kategori usia 40 tahun ke atas yang diadakan Universitas Indonesia. Kesibukan itu membuat saya kerap dikritik istri dan anak semata wayang di rumah. ”Kerja terus, memangnya mau cari bintang penghargaan?” kata mereka berdua. Saya diam saja.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/04/27/MEM/mbm.20090427.MEM130139.id.html

Mata Rantai yang Hilang Pemersatu Asia

Mata Rantai yang Hilang Pemersatu Asia
Fidel Ramos, Mantan Presiden Filipina, Ketua Boao Forum for Asia sejak 2001
Pertemuan (Boao Forum for Asia 2009) penting bagi Asia karena benua ini tidak memiliki infrastruktur kelembagaan yang padat seperti yang dibangun Eropa selama lima dekade terakhir. Boao Forum tahun ini menjadi lebih penting karena batalnya pertemuan tingkat tinggi Timur Laut baru-baru ini akibat unjuk rasa yang disertai kekerasan. Perusahaan-perusahaan multinasional semakin memperlakukan Asia sebagai suatu ruang ekonomi, setidak-tidaknya sepanjang menyangkut produksi. Ini, pasti, bukan berarti bahwa Asia sudah, atau sedang berkembang menjadi, suatu pasar tunggal, tapi menjadi semacam rantai pemasok pan-nasional yang terjalin erat.
Walaupun Asia sedang berkembang menjadi semacam Eropa dalam arti integrasi ekonomi, dalam arti integrasi politik dan diplomatik, ia masih tertinggal jauh. Karena Asia tidak memiliki pengaturan kelembagaan, itu personal diplomacy yang terwujud dalam Boao Forum, seperti pertemuan tahunan global pada musim dingin di Davos, tetap merupakan pertemuan yang penting.
Sesungguhnya, pada Boao Forum tahun yang lalu, Presiden Cina Hu Jintao sudah menyatakan optimisme publik akan kecenderungan positif hubungan Cina Daratan dan Taiwan. Pendekatan persahabatan ini bisa terjadi karena wakil presiden Taiwan yang terpilih saat itu diizinkan Cina hadir pada forum dan pada pertemuan inilah ia dapat bertemu secara informal dengan Presiden Hu.
Februari lalu, saya memimpin delegasi perdagangan beranggotakan 40 orang ke Taipei. Sisi paling menarik dari misi ini adalah dialog yang saya adakan dengan Presiden Taiwan Ma Ying-jeou, yang menegaskan pentingnya diikutsertakannya Taiwan dalam Kawasan Perdagangan Bebas Cina-ASEAN/China-ASEAN Fee Trade Area(CAFTA), sehubungan dengan makin hangatnya hubungan yang berkembang antara Cina Daratan dan Taiwan. Pada saat gejolak ekonomi di seluruh dunia seperti sekarang ini, meningkatnya hubungan ekonomi Taiwan dengan Cina dan rekan-rekannya di kawasan ini pasti menguntungkan setiap negara, karena efek sampingnya pasti adalah meredanya ketegangan.
Sayangnya, banyak analis mengatakan bahwa suatu Perjanjian Perdagangan Bebas Taiwan-ASEAN semacam CAFTA belum mungkin terwujud. Karena itu, untuk sementara ini, pemerintahan Presiden Ma mengusahakan terwujudnya perjanjian perdagangan bebas tersebut dengan berbagai negara anggota ASEAN. Wajar kalau Partai Progresif Demokrasi (PPP) yang beroposisi telah mengambil sikap bahwa Taiwan harus berupaya membangun hubungan yang lebih erat dengan ASEAN daripada tergantung terlalu banyak kepada Cina Daratan. Namun, Ma tidak melihat kedua upaya ini sebagai sesuatu yang tidak bisa dipertemukan.
Dari perspektif yang lebih luas, Ma dan saya bertukar pandangan mengenai sinergi antara "Poligon Pertumbuhan Sentral Timur Laut/Central East Asia Growth Polygon (CEAGPOL)", yang terdiri atas Filipina, Taiwan, Hong Kong, Makau, serta Provinsi Guangdong dan Fujian di Daratan Cina--plus nantinya Hainan, Okinawa, dan Guam/Marianas.
Dengan kemauan baik semua pihak, manfaat riil bisa diperoleh dari terbentuknya pengelompokan informal semacam ini, karena ia merupakan gerbang menuju pasar Asia Tenggara dan Asia Timur Laut yang sangat besar itu. Bonus ekonominya dari upaya semacam ini untuk keseluruhan kawasan ini adalah bakal dibukanya penerbangan udara dan angkutan laut melintas Selat Taiwan.
CEAGPOL bahkan bisa menjadi blok bangunan ASEAN versi Asia--suatu "Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Timur Laut". Akibat kecurigaan historis antara Cina, Jepang, dan Korea, pemain-pemain ekonomi kelas berat Asia Timur ini merupakan blok kawasan terakhir di dunia yang masih belum memiliki organisasi antarpemerintah seperti ASEAN. Uni Eropa bahkan memberikan contoh yang baik karena ratusan tahun perang, yang berpuncak pada Perang Dunia pada abad ke-20, telah memberi inspirasi, bukan merintangi integrasi ekonomi, politik, dan keamanan Eropa.
Pada saat ketidakpastian di seluruh dunia seperti sekarang ini, para pemimpin Asia-Pasifik harus meningkatkan upaya memanfaatkan kombinasi strategis dan kemitraannya untuk meningkatkan stabilitas dan pertumbuhan. Meredanya ketegangan antara Cina Daratan dan Taiwan mungkin bisa menggerakkan semua negara di kawasan Asia Timur Laut untuk berbuat sama. Pada ulang tahun ke-30 "Pesan kepada Sesama Bangsa di Taiwan" Januari yang lalu, Presiden Hu menawarkan enam usulan untuk memperbaiki dan meningkatkan hubungan:
1. Tinggalkan gerakan kemerdekaan Taiwan
2. Hentikan konfrontasi dan raih perjanjian damai
3. Tingkatkan kontak/saling tukar hubungan
4. Bahas partisipasi Taiwan dalam organisasi internasional di bawah payung "Satu Cina"
5. Bentuk Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif/ Comprehensive Economic Cooperation Agreement(CECA)
6. Majukan peradaban tradisional Cina dengan penguatan hubungan spiritual.
Sekarang terdapat harapan riil bahwa pembicaraan sepanjang alur ini bisa berhasil. Ada rintangan utama menuju peredaan ketegangan ini: usulan dijualnya 30 helikopter serang Apache dan 330 peluru kendali Patriot senilai US$ 6,5 miliar kepada Taiwan oleh Amerika Serikat. Pembicaraan Cina-AS mengenai kerja sama pertahanan sebelumnya sudah tersendat akibat negosiasi persenjataan itu. Tapi pembicaraan ini sudah dimulai lagi--suatu uluran tangan perdamaian yang disampaikan pemerintah Cina kepada pemerintahan Obama.
Ketiga pihak yang terlibat perlu melangkah dengan hati-hati guna memastikan bahwa pencairan hubungan Cina-Taiwan tidak mengalami kemunduran lagi akibat usulan penjualan senjata itu. Sebab, jika Asia ingin mulai membangun semacam infrastruktur kelembagaan yang telah membawa perdamaian dan kemakmuran di Eropa, flashpoint antara Cina dan Taiwan itu perlu ditransformasikan menjadi batu fondasi kerja sama regional.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/28/Opini/krn.20090428.163773.id.html

Insentif PPh dan Problematik Kebijakan Atasi Krisis

Insentif PPh dan Problematik Kebijakan Atasi Krisis
Yustinus Prastowo, Peneliti Senior pada Center for Finance and Taxation Studies, staf di Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan, pendapat pribadi
Artikel Bambang Soesatyo (BS) berjudul "Potensi Selingkuh Insentif Pajak Penghasilan" (Koran Tempo, 23 April 2009, halaman A10) layak didiskusikan lebih lanjut. Penulis berada dalam satu kubu dengan BS dalam hal kepedulian dan empati terhadap kaum pekerja, namun argumen dan asumsi BS layak dijernihkan.
Sebagai pengusaha, BS tentu maklum bahwa insentif pajak penghasilan ditanggung pemerintah (DTP) tidak datang dari langit. Insentif ini bagian dari stimulus fiskal yang disetujui pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat terkait dengan krisis finansial global yang terjadi dan dampaknya juga dialami perekonomian Indonesia. Stimulus ini bertolak dari fakta adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai akibat penurunan tingkat ekspor karena menurunnya permintaan dari negara tujuan ekspor.
Di titik ini lantas terjadi problematik yang berkait kelindan, di satu sisi pengurangan jumlah tenaga kerja adalah solusi untuk menekan biaya produksi, di sisi lain PHK membawa dampak sosial yang berpotensi memicu instabilitas. Pada saat yang sama, perlambatan ekonomi dikurangi dampaknya dengan menaikkan permintaan agregat, yang salah satu caranya dengan meningkatkan daya beli individu. Tentu saja aroma solusi Keynesian amat kental di sini. Pemerintah dan DPR mengambil jalan keluar menghindari PHK massal melalui berbagai insentif di sektor produktif tertentu yang memang rawan. Dalam setting sosial-ekonomi demikianlah kebijakan memberikan insentif PPh Pasal 21 DTP ini lahir.
Substansi kebijakan
Jika pijakan yang dipakai adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 tentang PPh Pasal 21 DTP atas Penghasilan Pekerja pada Kategori Usaha Tertentu dan aturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Dirjen Pajak Nomor 22/PJ./2009 dan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 26/PJ./2009, kita dapat menyoal beberapa hal substansial. Ketiga aturan itu tidak mempermasalahkan kriteria kualitatif terhadap perusahaan yang membayar penghasilan bagi karyawan, tapi mengatur tiga hal pokok, (1) sektor-sektor yang berhak mendapat insentif, yaitu usaha pertanian, termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan; usaha perikanan; dan usaha industri pengolahan, mencakup ratusan sektor, termasuk yang dituding BS tidak diberi insentif, (2) karyawan yang berhak menerima insentif, yaitu yang penghasilan brutonya di atas PTKP dan tidak melebihi Rp 5 juta sebulan, dan (3) tata cara pemberian insentif dan pengawasan terhadap pelaksanaan.
Maka pernyataan bahwa kebijakan ini diskriminatif rasanya salah alamat. Tidak ada instruksi melakukan seleksi kualitatif, tapi melakukan pengawasan agar insentif benar-benar diberikan. Lalu mengapa yang diberi insentif hanya karyawan yang penghasilannya di atas PTKP? Karena karyawan dengan penghasilan di bawah PTKP tidak dipotong pajak. Hemat penulis, dalam konteks insentif perpajakan, kebijakan ini sudah memenuhi rasa keadilan karena diberikan kepada wajib pajak yang rentan terkuras daya belinya. Batasan penghasilan maksimal Rp 5 juta tak lebih perkiraan psikologis di mana di level itu, individu masih memiliki daya beli yang cukup aman.
Kerancuan BS berlanjut ketika ia keliru membedakan penghapusan pajak dengan PPh Pasal 21 DTP. Istilah penghapusan berarti peniadaan dan umumnya bersifat "final". Tapi insentif ini adalah PPh Pasal 21 DTP di mana sejumlah PPh yang seharusnya dipotong pemberi kerja dari karyawan, dikembalikan kepada karyawan sebagai faktor penambah penghasilan tiap bulannya, dan kepada karyawan tetap diberikan bukti pemotongan sehingga pada akhir tahun pajak berhak memperhitungkan PPh Pasal 21 DTP ini sebagai pembayaran pajak di muka (kredit pajak). Di sini PPh tetap dikenakan, hanya bebannya digeser, dari karyawan ke pemerintah.
Kolusi dan manipulasi
BS secara sinis menuding potensi suap. Alasannya, ketika ceruk yang disediakan terbatas sementara peminat tak terbatas, pastilah ada pihak yang tak kebagian dan akan menempuh segala cara agar memperoleh jatah. Sebelum masuk ke hal teknis, kita dapat melihat alasan pemberi kerja memanfaatkan insentif ini, yakni perusahaan berkepentingan menjaga stabilitas internal perusahaan. Pemberian insentif ini akan meningkatkan (setidaknya menjaga) daya beli pekerja dan menciptakan suasana usaha yang kondusif. Maka benarlah para pengusaha akan berbondong-bondong memanfaatkan fasilitas ini. Namun, apakah ceruk yang disediakan sebesar Rp 6,5 triliun ini secara deterministik mengarahkan kita pada praktek sogok?
Paket insentif sebesar Rp 6,5 triliun tentu saja didasarkan pada perhitungan realisasi setoran PPh Pasal 21 melalui pemberi kerja (withholding tax) pada 2008. Dengan asumsi pada 2009 konstan, angka itu cukup aman. Lantas di mana peran petugas pajak? Mereka wajib memastikan: (1) pemberi kerja melaporkan secara benar tentang PPh Pasal 21 DTP meliputi jumlah karyawan, daftar penerima, besarnya PPh Pasal 21 DTP, (2) memastikan bidang usaha wajib pajak benar, melalui pengujian internal, yakni klasifikasi lapangan usaha (KLU) di master file dan pengujian atas dasar fakta di lapangan. Pengawasan dilakukan organisasi secara ketat dalam bentuk laporan berkala dari semua level di Ditjen Pajak.
Apakah lalu praktek kolusi mustahil? Kemungkinan tetap ada, hanya berdasarkan praktek mutakhir rasanya cukup sulit dan riskan bagi petugas pajak untuk berkolusi mengingat jelasnya aturan yang ada, mekanisme pengawasan internal yang ketat, dan sistem administrasi Ditjen Pajak yang sudah mengadopsi praktek good governance. Pastilah harga yang harus dibayar terlampau mahal jika mencoba "bermain api". Tentu ini bukanlah sebuah pembelaan apologetik, melainkan paparan "orang dalam" yang menggumuli dinamika sistem dan mencoba melihat sebagai impartial spectator.
Penutup
Opini BS dalam artikel ini tidak berpijak pada raison d'etre stimulus fiskal secara obyektif dan pembacaan terhadap aturan yang tidak cermat. Tanpa disadari opini yang dikembangkan berpotensi membenturkan kaum pekerja dengan pemerintah, dan menimbulkan kesan artifisial pemihakan pengusaha pada pekerja yang selama ini justru berada dalam hubungan yang timpang. Padahal, jika jernih dicerna, justru kebijakan yang ada harus dipandang secara positif sebagai sebuah solusi jangka pendek yang paling mungkin meski tidak ideal, untuk "meredakan" ketegangan antara pengusaha dan pekerja.
Pemerintah dan DPR tetap wajib mengkaji dan memastikan pemberian insentif ini tepat sasaran dan dijalankan dengan baik, seraya atas nama keadilan stimulus fiskal diberikan kepada yang berhak atas dasar keadilan dan penghargaan pada martabat manusia yang setara. Pajak memanglah tetap menyimpan sebuah imperatif: memaksa, meski itu bukan alasan bercuriga. Seburuk apa pun, rasanya belum ada instrumen yang lebih baik daripada pajak dalam menjawab kemendesakan redistribusi pendapatan di negeri ini. Maka mari kita awasi bersama! *

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/28/Opini/krn.20090428.163772.id.html

Tiga Nenek Sihir

Tiga Nenek Sihir
Tiga nenek sihir muncul di tepi jalan, ketika Jendral Macbeth dan Jendral Banquo melewati hutan yang gelap berkabut itu. Cuaca didera hujan dan guntur. Mereka dalam perjalanan pulang dari sebuah pertempuran yang berhasil. Setengah ketakutan setengah ingin tahu, mereka terpacak di depan ketiga makhluk aneh itu - tiga sosok yang mengelu-elukan Macbeth dengan gelar kebangsawanan yang tinggi, seperti bagian dari sebuah ramalan yang dahsyat: bahwa Macbeth kelak bahkan akan disebut sebagai sebagai raja.
Pada detik itu, bagi perwira tinggi Skotlandia itu, masa depan tiba-tiba tampak berubah. Raja? Tahta? Benarkah puncak itu akan tercapai, jika mengingat, bahwa Duncan, raja yang diabdinya dan dibelanya dalam perang yang baru saja usai, masih kukuh berkuasa? Sahkah keinginan mencapai posisi itu, berada di kedudukan milik baginda?
Bagi saya, penting buat dicacat bahwa Macbeth, lakon Shakespare yang termashur ini dimulai dengan adegan tiga nenek sihir itu. Tiga perempuan yang ganjil, yang hidup disisihkan dari tata sosial dan percaturan kekuasaan, ternyata tak bisa diabaikan.
Justru mereka itulah yang pada akhirnya mengharu-biru tertib yang ada - dan tanpa melalui kekerasan. Di Skotlandia waktu itu tertib yang ada tak akan memungkinkan Macbeth bisa jadi raja. Adat yang berlaku tak membuka peluang bagi Macbeth untuk mengambil-alih tampuk. Tapi malam itu, di hutan berkabut itu, di bawah cuaca buruk itu, tertib, adat dan lambangnya guncang.
Tapi bukan salah para nenek sihir itu jika tertib itu akhirnya jadi keadaan yang dibangun dengan pembunuhan. Sebab Macbeth, begitu ia merasa nasib akan menjadikannya seorang raja, ia pun segera menyisihkan sang takdir. Ia tak sekedar pasif menunggu sampai keberuntungan itu datang.
Ia bertindak menyingkirkan Duncan. Bukan karena petunjuk ketiga perempuan misterius di hutan itu bila ia membunuh sang Raja. Itu sepenuhnya inisiatifnya. Itu dorongan kehendaknya yang kian kuat. Ia bahkan tak perlu lagi dihasut isterinya untuk merebut kekuasaan. Ketika nujum mengatakan bahwa kelak yang akan menggantikannya sebagai penguasa adalah anak-cucu Jendral Banquo, Macbeth pun diam-diam (bahkan tanpa memberi tahu isterinya) menyuruh agar sahabatnya dalam perang itu dibunuh. Banquo mati. Dengan itu Macbeth berharap nujum, atau "takdir", bisa dikalahkannya.
Tapi dengan itu semua terungkap bahwa manusia dan perbuatannya-lah yang akhirnya menentukan. Takdir tak ada artinya. Tertib yang semula ditaati oleh seluruh Skotlandia terbukti bukan tertib yang datang secara alamiah, bukan tatanan yang ditentukan oleh langit. Kedudukan raja bukanlah sesuatu yang secara a priori ditetapkan. Ia seperti kursi kosong yang bisa diisi siapa saja yang bisa merebutnya. Tertib dan adat itu pada akhirnya dibentuk oleh ambisi, akal, dan antagonisme manusia.
Apalagi yang diucapkan nenek sihir itu bukan nubuat: mereka tak pernah dihormati sebagai para nabi. Wibawa mereka praktis tak ada. Ucapan mereka tak berdiri di atas (dan terlepas dari) tafsir subyektif Macbeth sendiri. Dalam adegan ke-3 Babak I sang jenderal secara tak langsung menunjukkan hal itu. Ia menyebut ketiga makhluk itu "imperfect speakers" yang cuma sebentar bicara dan kemudian menghilang ke udara malam yang basah.
Itu sebabnya Macbeth bukan hanya sebuah cerita tentang ambisi. Drama ini juga bercerita tentang kekuasaan yang tak tahu di mana mesti berhenti - dalam arti berhenti menaklukkan yang lain. Kekuasaan itu jadi lingkaran setan karena ia dimulai dengan kekerasan.
Sebelum akhirnya kekerasan itu membinasakan manusia, pada mulanya ia berupa kekerasan terhadap misteri. Macbeth mencampakkan nujum tiga nenek sihir yang sebenarnya diutarakan dalam bentuk puisi yang remang-remang dan belum selesai; ia menggantikannya dengan tafsir dan rencana yang tegar; ia mengertikan kata-kata para nenek sihir dengan harfiah. Ketika ketiga perempuan setengah gaib itu meramal bahwa Macbeth hanya bisa dikalahkan oleh seseorang yang "tak dilahirkan oleh perempuan," jenderal itu yakin tak akan ada manusia akan bisa merubuhkannya. Padahal ternyata ada kemungkinan arti lain dari kalimat itu: Macduff, orang yang akhirnya berhasil membunuh Macbeth, dulu tak dilahirkan dengan cara normal. Ia bayi yang direnggutkan keluar setelah perut ibunya dibedah.
Betapa malangnya Macbeth: ia ambisi yang lempang seperti tombak yang keras dan menakutkan. Ia tak tahu bahwa selalu ada lapis yang tak akan tertembus olehnya. Ketiga nenek sihir itu misalnya, yang tak pernah bisa diperintahkannya dan tak pernah bisa penuh dimaknainya. Juga hutan yang gelap itu. Juga guruh dan cuaca buruk itu.
Juga rasa bersalah yang tak bisa dilenyapkan. Isterinya merasa tangannya selalu berlumur darah; tak ada minyak yang bisa membersihkannya. Macbeth sendiri melihat hantu Banquo yang dibunuhnya datang malam-malam. Kian mengusik rasa bersalah itu, kian paranoid pula ia jadinya, dan makin buas.
Lakon Macbeth akhirnya menunjukkan: betapa destruktifnya ambisi kekuasaan politik ketika ia berkali-kali ingin menembus apa yang tak tertembus, menaklukkan apa yang tak akan tertaklukkan, menghapuskan apa yang tak bisa terhapuskan, ketika ia menyangka dunia bisa dikuasai seperti dalam markas militer.
Maka biarlah di sini saya memperingatkan: Tuan bisa menculik, menyiksa, menggertak - atau, sebaliknya membeli manusia dengan uang - tapi di balik kehidupan selalu tersembunyi nenek-nenek sihir. Kalau Tuan tak tahu kapan harus berhenti, Tuan akan bertaut dengan mala - yang buruk, yang busuk, yang keji, yang akhirnya akan mengenai Tuan sendiri.
Goenawan Mohamad
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/04/27/CTP/mbm.20090427.CTP130180.id.html

Koalisi Oh Koalisi...

Koalisi Oh Koalisi...


MESKI koalisi antarpartai sudah menunjukkan titik-titik terang, semua itu masih mungkin berubah. Politik memang seni ketidakpastian.


Suatu yang hampir pasti ialah Partai Golkar sampai saat ini masih limbung, antara maju terus pantang mundur mendukung Jusuf Kalla sebagai capres atau kembali ke pelukan Partai Demokrat. Nasib Golkar memang menyedihkan, terabaikan di tengah hiruk-pikuk pembentukan koalisi besar yang bersaing, Blok M (Megawati) dan Blok S (SBY).

Mungkin itu karma politik bagi Golkar yang bersifat plin-plan dan tidak sedari awal menentukan arah politik. Berbagai pertemuan internal partai memang sudah memutuskan, PKS akan berkoalisi dengan Partai Demokrat dan PKB. PDIP akan berkoalisi dengan Partai Gerindra dan Partai Hanura. PPP dan PAN, sampai artikel ini ditulis, belum pasti ke arah mana mereka akan berkoalisi walau PAN santer disebut akan merapat ke kubu Demokrat.

Sementara PPP akan ke kubu PDIP. Namun semua itu bisa saja berubah. Di internal Partai Golkar sendiri yang kini sulit mendapatkan kawan sekoalisi,masih ada keinginan agar “perceraian yang sudah talak satu” itu rujuk kembali dengan Partai Demokrat. Partai Golkar tidak mungkin meloloskan calon presidennya jika tidak mendapatkan tambahan dukungan minimal dari Partai Gerindra, Hanura, dan PPP, sebab, Golkar yang hanya akan mendapatkan sekitar 15% suara, masih membutuhkan dukungan tambahan dari partai-partai lain.

Persoalan cawapres sampai saat ini juga masih ramai. Cawapres dari Partai Demokrat, SBY, menyatakan bahwa ia mengantongi 19 nama cawapres usulan masyarakat, baik melalui layanan pesan singkat (SMS) ke nomornya maupun ke nomor istrinya.Capres PDIP, Megawati Soekarnoputri, meski disebut-sebut akan memilih Prabowo Subianto sebagai cawapres, juga masih mendapatkan tentangan dari kelompok di dalam PDIP yang menamakan dirinya Kelompok Penyelamat/Pendukung Megawati (KPM).

Kelompok ini menentang dipilihnya cawapres dari mantan militer yang dulu tersangkut pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjurus pada nama Prabowo dan Wiranto. Prabowo dianggap bertanggung jawab terhadap penculikan para aktivis prodemokrasi masa 1997– 1998, sedangkan Wiranto disebutsebut melakukan crime by omission atas peristiwa yang terjadi di Timor Timur pascajajak pendapat Agustus 1999.

Kita tidak tahu apakah kelompok ini benar-benar “die-hard” pendukung Megawati ataukah justru dipengaruhi oleh kekuatan luar partai untuk mengadu domba PDIP. Di masa Orde Lama,ada pula kelompok yang menamakan dirinya Barisan Pendukung Soekarno (BPS) yang sebenarnya justru bukan “pendukung mati”Soekarno.

Warisan Era Demokrasi Liberal

Meski kita menganut sistem presidensiel, adalah nyata bahwa praktik-praktik politik demokrasi parlementer masih berlangsung. Koalisi bukan disusun atas dasar ideologi, melainkan atas dasar hitung-hitungan angka kemenangan dalam Pilpres 2009 dan bagaimana bangunan kekuatan politik di parlemen nantinya.

Apakah ini warisan era demokrasi liberal 1955–1959 ataukah gaya berpolitik yang baru, sulit untuk dikatakan. Yang pasti, koalisi yang akan terbangun menjelang dan pasca- Pilpres 2009 adalah “koalisi pelangi” dengan beragam ideologi. Ini tentu menyulitkan terbentuknya satu pandangan politik dan platform yang sama dalam menyikapi persoalan yang dihadapi bangsa ini,baik sosial,politik,ekonomi, pertahanan dan keamanan ataupun budaya.

Bangunan ekonomi apa yang akan diperjuangkan oleh koalisi-koalisi partai juga belum jelas, apakah menggunakan pendekatan ideologi liberalisme, nasionalisme dan sosialisme atau atas dasar campuran antara liberalisme dan Islamisme? Bangunan masyarakat Indonesia macam apa yang akan diperjuangkan para politisi yang berkoalisi juga tidak jelas walaupun mereka memiliki kesamaan platform di bidang penegakan hukum, pembangunan ekonomi, politik luar negeri ataupun kesejahteraan rakyat.

Sebagai contoh,apakah cara pandang Partai Demokrat mengenai ekonomi, sosial, dan budaya akan sama dengan pandangan PKS mengenai hal itu? Tentunya tidak.Apakah PKS, misalnya, dapat menerima sistem kapitalisme, sedangkan sendi ekonomi yang akan dibangunnya adalah ekonomi yang bernapaskan Islam?

PKS juga mengulangi gebrakan tuntutannya dengan mengajukan beberapa butir prasyarat yang diajukan kepada Partai Golkar sebagai bagian platform yang akan diperjuangkan koalisi itu nantinya.Pertanyaannya, apakah tuntutan PKS untuk koalisi yang masih sedang berjalan ini (2004–2009) yang dulu diajukan PKS menjelang pembentukan koalisi pada 2004 sudah dilaksanakan?

Hanya PKS yang dapat menjawabnya. Ini patut dikemukakan karena selama 2004– 2008 PKS tidak jarang berseberangan dengan pemerintahan SBYKalla di parlemen.Apakah pendekatan islami antara PKS dan PKB sama dan sebangun? Koalisi yang dibangun PDIP, Partai Hanura, dan Gerindra juga setali tiga uang. PDIP pada era 2001–2004 pernah terperosok ke jurang sistem kapitalisme dan liberalisme ekonomi.

Ini terjadi karena saat itu kondisi politik dan ekonomi internasional memang sangat menekan Indonesia untuk menerima sistem ekonomi tersebut. Kini Indonesia juga sedang mengalami tekanan internasional di tengah kondisi resesi ekonomi yang sedang melanda dunia.Mampukah PDIP,Gerindra,dan Hanura mengeluarkan konsep ekonomi berdikari dan tidak terlalu tergantung pada kekuatan ekonomi asing?

Apakah slogan-slogan kampanye PDIP,Hanura,dan Gerindra akan dengan mudah diterapkan ketika koalisi ini berada di panggung kekuasaan? Ideologi, seperti diutarakan SBY, bukan menjadi yang utama dalam membangun koalisi.Yang terpenting adalah kesamaan platform.

Namun, sekali lagi terpaksa penulis tekankan, ideologi yang berbeda tentunya juga akan memiliki cara pandang dan solusi yang berbeda pula dalam mengatasi persoalan bangsa. Bagaimana mungkin perbedaan ideologi dapat menyatukan platform koalisi? Penulis jadi ingat ketika melakukan penelitian lapangan di negara tetangga,Papua Nugini,yang saat itu sedang mengadakan Pemilu 1987.

Pascapemilu, partaipartai sibuk membangun koalisi. Bedanya, koalisi di dalam sistem parlementer, politik dagang sapinya terjadi menjelang sidang parlemen yang menentukan siapa menjadi perdana menteri, menteri, ketua parlemen, dan jabatanjabatan lainnya. Di Indonesia, dengan sistem presidensiel, koalisi dibangun menjelang pilpres.

Namun, intinya sama, mereka bergabung tanpa memedulikan ideologi yang dianut.Yang penting adalah “perang urat syaraf” dengan kalimat we got the number (kita sudah mendapatkan jumlah yang cukup) untuk memenangi pertarungan di parlemen.

Politisi di Indonesia pun, terlepas dari ideologi yang mereka anut, tingkah lakunya sama dengan politisi di Papua Nugini dua puluh tahun lalu, sangat “freelancing beliefs and a free-wheeling style” alias tanpa ideologi yang jelas dan bagaikan roda-roda liar dapat bergerak tanpa arah.Sayang memang, rakyat yang sudah dewasa dalam berpolitik masih dipermainkan oleh politisi macam itu.(*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/233662/38/