BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Peta Kekuatan Politik dan Arah Koalisi Pilpres

Peta Kekuatan Politik dan Arah Koalisi Pilpres

Written By gusdurian on Rabu, 29 April 2009 | 12.49

Peta Kekuatan Politik dan Arah Koalisi Pilpres
Oleh Iberamsjah Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia


Semoga koalisi apa pun yang akan terbentuk dan koalisi apa pun yang akan menang, tidak bersifat dagang sapi (sekadar bagi-bagi kekuasaan).
MINGGU ter-akhir bulanApril 2009, dinamika politik In-donesiamenunjukkan perkembangan sangat dinamis denganperubahan-perubahan yang sangat sulit diprediksi. Dinamika ini bermula dari hasil Pemilu Legislatif 2009 (versi hitung cepat berbagai lembaga survei) yang menunjukkan adanya perubahan sangat signifikan pada konstelasi posisi partai politik di Indonesia. Perubahan konstelasi partai politik tersebut menunjukkan adanya pergeseran yang sangat berarti pada peta kekuatan politik Indonesia menjelang pemilihan presiden (pilpres) pada 8 Juli 2009 yang akan datang. Peta kekuatan politik baru ini menjadi sangat penting untuk membaca koalisi-koalisi yang mungkin akan terjadi dengan berbagai variasinya.
Untuk menggambarkan peta kekuatan politik tersebut, dapat kita jelaskan dengan menganalisis perolehan dukungan suara pada dua partai politik besar yaitu Partai Golkar dan PDIP serta lima partai menengah yaitu PKB, PPP, Demokrat, PKS, dan PAN. Hasil pemilu legislatif yang lalu menunjukkan dua partai besar di atas tidak dapat bertahan, atau dengan kata lain telah mengalami penurunan jumlah dukungan suara yang cukup signifikan. Adapun lima partai politik menengah, dua di antaranya yaitu Partai Demokrat dan PKS mengalami perolehan suara yang semakin menaik meskipun dengan gradasi yang berbeda.
Partai Demokrat mengalami perolehan suara spektakuler sedangkan PKS mengalami perolehan suara yang kecil.
Untuk menggambarkan perubahan perolehan suara partai politik di Indonesia, yang telah mengubah peta kekuatan politik dapat kita gambarkan sebagai berikut: Pertama, Partai Demokrat menunjukkan kenaikan sangat spektakuler, pada Pemilu 2004 hanya memperoleh suara 7,45% menjadi 20,6% pada Pemilu 2009, mengalami kenaikan sebesar 13,15%. Apabila ini kita terjemahkan dari posisi awal, Partai Demokrat mengalami penambahan jumlah suara sekitar 185%. Hal ini merupakan suatu kejutan dan pencapaian sangat luar biasa bagi suatu partai politik yang tidak mempunyai basis massa yang loyal. Dengan perolehan suara tersebut, Partai Demokrat bukan hanya memosisikan dirinya sebagai partai politik pemenang Pemilu 2009, melainkan juga menempatkan Partai Demokrat sebagai partai terbesar di peta politik Indonesia sekarang ini.
Kedua, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), juga telah mengalami kenaikan meskipun kecil.
PKS yang pada Pemilu 2004 mendapat dukungan 7,34%, pada Pemilu 2009 ini memperoleh dukungan 8,10%. Dengan kata lain, PKS mengalami kenaikan sebesar 0,76%. Yang dapat kita tangkap bukan dari perolehan suara yang kecil, melainkan kemampuan PKS untuk dapat bertahan dari ketatnya persaingan politik dan dampak dari kenaikan perolehan suara Partai Demokrat yang sangat besar. Analisis selanjutnya kita arahkan pada dua partai politik besar dan tiga partai politik menengah yang telah mengalami penurunan jumlah dukungan pada Pemilu 2009 ini.
Ketiga, Partai Golongan Karya (Golkar) yang merupakan partai pemenang Pemilu 2004 dan sekaligus merupakan partai terbesar di Indonesia.
Golkar adalah partai politik yang mengalami jumlah penurunan terbesar. Pada Pemilu 2004 Partai Golkar memperoleh suara sebesar 21,57% sedangkan pada Pemilu 2009 hanya mendapat 14,60% yang berarti mengalami penurunan sebesar 6,9%. Dengan ini berarti di samping mengalami kekalahan, Golkar juga hanya mampu menduduki posisi kedua di bawah Partai Demokrat pada peta politik Indonesia sekarang ini.
Keempat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), juga mengalami penurunan jumlah dukungan yang cukup signifikan. PDIP yang pada Pemilu 2004 mendapatkan dukungan sebesar 18,53%, pada Pemilu 2009 ini hanya mendapatkan dukungan sebesar 14,1% yang berarti mengalami penurunan sebesar 4,43%.
Posisi ini menggeser PDIP dari posisi kedua menjadi posisi ketiga dalam konstelasi partai politik Indonesia di bawah Demokrat dan Golkar.
Kelima, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ia adalah partai menengah terbesar dengan basis massa yang jelas yang pada Pemilu 2004 yang lalu, memperoleh suara sebesar 10,56%.
Namun pada Pemilu 2009 ini hanya mendapat 5,10%. Ini berarti PKB mengalami penurunan jumlah dukungan yang sangat tajam yaitu sebesar 5,46%. Apabila kita terjemahkan PKB telah kehilangan suara lebih dari 50%. Penurunan suara yang sangat tajam ini adalah buah dari konfl ik berkepanjangan dalam internal PKB sendiri.
Keenam, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), juga mengalami penurunan jumlah dukungan. Pada Pemilu 2004 yang lalu PPP memperoleh 8,15%, sedangkan pada Pemilu 2009 ini hanya memperoleh suara sebesar 5,30% yang berarti mengalami penurunan sebesar 2,80%.
Ketujuh, Partai Amanat Nasional (PAN), salah satu partai menengah yang mengalami jumlah penurunan suara paling rendah. Pada Pemilu 2004 PAN memperoleh dukungan sebesar 6,44% dan pada Pemilu 2009 PAN mendapat 6,20%, artinya terjadi penurunan sebesar 0,24%. Dengan kondisi seperti ini tidak berlebihan bila dikatakan bahwa PAN mempunyai kemampuan untuk dapat bertahan meskipun juga tidak mengalami kenaikan jumlah dukungan.
Arah koalisi Setelah kita membahas peta kekuatan politik yang telah bergeser tersebut dengan membuat perbandingan hasil Pemilu 2004 dengan hasil Pemilu 2009, mari kita mencoba membahas arah koalisi dengan posisi tawar dari setiap partai politik.
Dalam membahas arah koalisi ini beberapa catatan dapat kita buat: Pertama, bahwa varian arah koalisi sangat banyak dan bergerak sangat dinamis dari waktu ke waktu dan sangat tergantung pada hasil lobi serta posisi tawar tiap-tiap partai politik. Kedua, kita juga menyadari bahwa perilaku para elite politik yang selalu didasarkan pada kepentingan-kepentingan yang terkadang sangat tersembunyi, bersifat sulit diramal (unpredictable). Ketiga, selalu ada faktor-faktor yang tidak terduga yang pada saat-saat terakhir sangat berpengaruh terhadap terbentuknya sebuah koalisi.
Berdasarkan pertimbangan ketiga faktor di atas, penulis mencoba untuk menawarkan beberapa kemungkinan varian koalisi politik, yaitu: Varian A. Koalisi yang dimotori oleh Partai Demokrat sebagai partai pemenang Pemilu 2009, yang mungkin akan didukung oleh PKS dan PKB, serta sangat mungkin oleh PAN.
Pecahnya rencana koalisi Partai Demokrat dengan Partai Golkar yang disebabkan tidak adanya titik temu tentang jumlah nama cawapres yang diusulkan, telah mengubah peta koalisi secara fundamental. Perkiraan awal Partai Demokrat yang dimotori oleh SBY akan bersanding dengan Golkar dan JK-nya, yang telah bersanding selama satu periode pemerintahan (20042009), ternyata kedua partai tidak dapat melunturkan egoego partai masing-masing yang pada akhirnya menyinggung martabat dan harga diri partai lainnya. Varian A ini tidak akan mengalami kesulitan untuk maju ke pilpres karena diperkirakan telah mendapatkan dukungan sebesar 33,8% hingga 39% (apabila PAN bergabung), satu permasalahan yang akan muncul dan sangat mungkin akan mengganjal koalisi ini adalah untuk menetapkan cawapres yang akan mendampingi capres SBY dari partai Demokrat karena setiap partai pendukung PKS, PKB, dan PAN telah mempunyai cawapres masing-masing. Dari berbagai kesempatan, masingmasing partai telah mengumumkan cawapresnya untuk mendampingi SBY. PKS, meskipun belum ada kepastian, arah dukungan pada Hidayat Nur Wahid tinggal menunggu waktu. PKB telah sejak awal mencalonkan Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB) untuk menjadi cawapres. PAN yang dimotori oleh Amien Rais telah mencalonkan Mensesneg Hatta Rajasa sebagai cawapres.
Varian B, koalisi Golkar, PDIP, Hanura, dan Gerindra.
Gabungan partai-partai ini menghasilkan 36,6% suara yang telah cukup untuk dapat mengusung pasangan presiden dan wapres. Varian B ini mengalami suatu dilema mengenai siapa yang akan diusung menjadi capres dan cawapres. Karena, seperti yang kita ketahui, Golkar dengan capresnya Jusuf Kalla, PDIP dengan Megawati sebagai capres, Gerindra dengan Prabowo Subianto sebagai capresnya. Begitu pula Hanura dengan Wiranto sebagai capresnya, akan mengalami kesulitan apabila ingin memajukan salah satu capres dan cawapres. Pendukung koalisi varian B ini perlu meninggalkan ego masing-masing demi kepentingan bersama.
Varian C. Varian ini muncul manakala varian B tidak dapat mencapai kata sepakat untuk mengusung salah satu capres dan cawapres. Varian ini terbentuk oleh Golkar, Hanura, PPP, dan sejumlah partai baru yang tidak mencapai parliamentary threshold, yang diperkirakan mendapatkan dukungan sekitar 25% suara. Atau bahkan dapat mencapai 37%, apabila partai-partai baru (kecil) tersebut bergabung. Varian ini juga mengalami kesulitan untuk menentukan cawapresnya sedangkan capresnya adalah Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Varian D. Yang mungkin muncul adalah koalisi antara PPP, PAN, Gerindra, dan sejumlah partai baru yang tidak memenuhi parliamentary threshold. Koalisi partai-partai ini diperkirakan dapat mengumpulkan 25% dukungan suara. Koalisi ini hampir dapat dipastikan akan mengusung Prabowo Subianto sebagai capres dan bermasalah dalam mengusulkan cawapres.
Varian E. Yang mungkin muncul adalah koalisi antara PDIP, PPP, Hanura, dan beberapa partai kecil yang juga diperkirakan akan dapat mencapai 20% dukungan suara. Pada varian ini penetapan capres dan cawapres secara umum tidak akan mengalami kesulitan.
Di samping keempat varian ini, mungkin saja muncul varian baru seiring dengan dinamika politik Indonesia yang terus berkembang. Semoga koalisi apa pun yang akan terbentuk dan koalisi apa pun yang akan menang, tidak bersifat dagang sapi (sekadar bagi-bagi kekuasaan) tapi lebih diarahkan untuk kepentingan bangsa dan negara.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/27/ArticleHtmls/27_04_2009_014_002.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: