BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Enabling State No, Welfare State, Yes?

Enabling State No, Welfare State, Yes?

Written By gusdurian on Rabu, 29 April 2009 | 12.47

Enabling State No, Welfare State, Yes?
Oleh Zainuddin Maliki *

Bantuan langsung tunai (BLT) menjadi isu utama perseteruan PDI Perjuangan dan Partai Demokrat. Secara konsisten Partai Demokrat menegaskan sebagai pengawal program ini. Golkar, seperti dikemukakan Jusuf Kalla di depan peserta rapimnasus, juga merasa berjasa dalam soal BLT, bahkan mengklaim sebagai konsep Golkar (JP, 25/4). Adapun PDIP pada awal masa kampanye menyerang kebijakan BLT. Namun, di tengah jalan PDIP mengoreksi strategi itu dengan berbalik mendukung BLT.

Agaknya, kritik PDIP terhadap BLT berpengaruh terhadap penurunan perolehan suara. Koreksi dukungannya melalui iklan di media massa tidak sempat menolong keadaan. Namun, beruntung PDIP memiliki pemilih fanatik. Mereka tidak mudah mempertukarkan pilihan ke partai lain. Karena itu, suara PDIP tetap saja besar meski tidak menjadi pemenang pemilu legislatif. Andaikata PDIP tidak melakukan kritik terhadap program pembagian BLT, agaknya suara PDIP bisa menjadi lebih banyak daripada yang diperoleh sekarang.

BLT: Ideologi Welfare State

Argumen yang dipakai untuk menolak BLT selama ini menyerupai logika kalangan neoliberal atau neokonservatif. Kedua aliran ideologi pembangunan itu menolak kebijakan welfare state. Sementara itu, BLT memang bisa dikategorikan sebagai bentuk dana sosial seperti yang dialokasikan negara-negara welfare state.

Dalam melakukan redistribusi ekonomi, pemerintah welfare state menyediakan dana sosial. Dana itu diberikan secara karitatif untuk melindungi masyarakat miskin dari kekerasan mekanisme pasar. Di negara-negara OECD dana karitas itu diberikan dalam bentuk fasilitas pembebasan biaya pendidikan, kesehatan, perumahan, dan berbagai infrastruktur. Namun, ada juga yang diberikan langsung tunai ke rekening atau tangan penerima.

Di negara-negara welfare state, pemerintah melakukan intervensi untuk mengawal proses redistribusi kesejahteraan hidup supaya lebih adil. Negara membuka peluang bagi masyarakat lemah, lebih besar dibanding yang bisa dilakukan oleh mekanisme pasar. Menurut Jens Alber (1988) bukan berarti welfare state tidak memperhatikan kelompok masyarakat berkecukupan. Mereka tetap didorong untuk tampil menjadi pilar pertumbuhan ekonomi sehingga dengan demikian dapat diperoleh pajak yang cukup untuk menghimpun anggaran dana sosial.

Kritik Welfare State

Pada 1970-an penganut welfare state menuai kritik. Welfare state dinilai telah menimbulkan krisis, seperti ditulis James O'Connor (1973), dalam The Fiscal Crisis of the State, kemudian diikuti Claus Offe (1984), Ramesh Mishra (1984), dan Esping-Andersen (1996). Kritik tajam datang dari protagonis pasar bebas yang menganut pandangan neoliberal dan neokonservatif. Mereka menilai welfare state tidak ekonomis karena mengambil alih insentif pasar, dan mengurangi insentif modal yang diinvestasikan ke lapangan kerja. Dana sosial yang dialokasikan jadi tak produktif karena membesarkan peran birokrasi pemerintah.

Langkah yang menimbulkan monopoli pemerintah ini dalam praktik acap mendorong inflasi. Dalam praktik, kebijakan karitas itu juga tidak efektif. Sebab, meski sudah dialokasikan dana sosial yang besar, alih-alih menghapus kemiskinan dan ketimpangan, yang terjadi justru melahirkan siklus ketergantungan.

Lebih tajam lagi, seperti dikatakan Pierson (1991), kalangan protagonis pasar bebas menuduh pemerintah welfare state despotik, karena birokrasi menjadikan pembagian dana sosial secara karitatif itu untuk memperbesar kontrol sosial terhadap individu dan seluruh masyarakat yang dilayani.

Karena itu, strategi menghapus ketimpangan melalui dana sosial harus dikoreksi. Biarkan ketimpangan diatasi melalui mekanisme pasar. Tentu dengan cara mengurangi pengeluaran dana sosial. Masalahnya, welfare state dalam praktik dinilai berdampak negatif terhadap investasi di negara OECD. Dana sosial yang dialokasikan negara di samping memicu timbulnya praktik 'moral hazard' menghilangkan rasa tanggung jawab.

Penganut neoliberalisme dan neokonservatisme lalu mengajukan konsep enabling state atau post-welfare state. Dalam konsep baru tersebut seperti dikatakan Gilbert (1995), pemberian hak harus disertai kewajiban. Keuntungan ekonomi harus diorientasikan investasi. Prinsip kesederajatan dilaksanakan dengan menggunakan mekanisme pasar, sehingga tidak bisa dilakukan dengan cara memberi privelese kepada mereka yang lemah.

Apakah partai penolak BLT berarti bisa dikatakan sebagai penganut ideologi enabling state atau post-welfare state? Guna menjawabnya masih perlu pengamatan lebih cermat.

Siklus Bisnis Politik

PDIP mengkhawatirkan jangan-jangan penguasa memberikan BLT hanya untuk tebar pesona menjelang pemilu. Jika itu terjadi, birokrasi pada hakikatnya menerapkan apa yang disebut oleh Nordhaus (1975) dengan strategi 'siklus bisnis politik oportunistik'.

Dalam model siklus bisnis politik, terdapat model kebijakan oportunis tradisional. Dalam model ini perilaku partai hanya peduli dengan pemenangan pemilu, sementara pemilih berperilaku naif dan retrospektif. Pemilih dengan mudah memberi reward suara pada saat pemilu terhadap perbaikan ekonomi menjelang pemilu. Pejabat partai cenderung mengembangkan ekonomi sebelum pemilu agar dapat terpilih kembali dan mempertahankan kekuasaan.

Strategi oportunistik ini menurut Nordhous efektif pada pemilih yang berperilaku tradisional. Mereka yang diuntungkan dengan kebijakan perbaikan ekonomi menjelang pemilu, akan ganti memberi reward kepada incumbent dengan memberikan dukungan pada saat pencontrengan di bilik suara.

Pada masyarakat yang berperilaku rasional, pemilih tidak lagi bersikap naif, namun bersikap kritis. Mereka hanya akan memberikan suara untuk incumbent jika diyakini kebijakannya rasional, dalam arti bukan hanya untuk tebar pesona menjelang pemilu. Mereka enggan memberi dukungan kalau kebijakan perbaikan ekonomi menjelang pemilu dinilai bermasalah. Misalnya, menaikkan gaji pegawai dan pembagian dana karitas seperti BLT, tetapi ternyata justru membawa kesulitan pasca pemilu karena timbul inflasi yang tak terkendali.

SBY menolak anggapan dirinya melakukan strategi siklus bisnis politik dengan mengharap sikap naif dan retrospektif dari pemilih tradisional. Sebagai pendatang baru, dia sadar partainya belum memiliki pemilih tradisional. Dia berharap bisa mendulang suara dari swing voters yang rata-rata bersikap kritis. Itulah sebabnya, SBY lalu berusaha meyakinkan bahwa kebijakan pemberian BLT tidak untuk tebar pesona. Kebijakan ini tidak dia maksudkan untuk membangun despotisme, inflasi, dan atau ekonomi biaya tinggi, melainkan satu rangkaian kebijakan dalam meringankan rakyat kecil.

*. Prof Dr Zainuddin Maliki MSi, rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya dan ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur.

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=65813
Share this article :

0 komentar: