BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mata Rantai yang Hilang Pemersatu Asia

Mata Rantai yang Hilang Pemersatu Asia

Written By gusdurian on Rabu, 29 April 2009 | 12.32

Mata Rantai yang Hilang Pemersatu Asia
Fidel Ramos, Mantan Presiden Filipina, Ketua Boao Forum for Asia sejak 2001
Pertemuan (Boao Forum for Asia 2009) penting bagi Asia karena benua ini tidak memiliki infrastruktur kelembagaan yang padat seperti yang dibangun Eropa selama lima dekade terakhir. Boao Forum tahun ini menjadi lebih penting karena batalnya pertemuan tingkat tinggi Timur Laut baru-baru ini akibat unjuk rasa yang disertai kekerasan. Perusahaan-perusahaan multinasional semakin memperlakukan Asia sebagai suatu ruang ekonomi, setidak-tidaknya sepanjang menyangkut produksi. Ini, pasti, bukan berarti bahwa Asia sudah, atau sedang berkembang menjadi, suatu pasar tunggal, tapi menjadi semacam rantai pemasok pan-nasional yang terjalin erat.
Walaupun Asia sedang berkembang menjadi semacam Eropa dalam arti integrasi ekonomi, dalam arti integrasi politik dan diplomatik, ia masih tertinggal jauh. Karena Asia tidak memiliki pengaturan kelembagaan, itu personal diplomacy yang terwujud dalam Boao Forum, seperti pertemuan tahunan global pada musim dingin di Davos, tetap merupakan pertemuan yang penting.
Sesungguhnya, pada Boao Forum tahun yang lalu, Presiden Cina Hu Jintao sudah menyatakan optimisme publik akan kecenderungan positif hubungan Cina Daratan dan Taiwan. Pendekatan persahabatan ini bisa terjadi karena wakil presiden Taiwan yang terpilih saat itu diizinkan Cina hadir pada forum dan pada pertemuan inilah ia dapat bertemu secara informal dengan Presiden Hu.
Februari lalu, saya memimpin delegasi perdagangan beranggotakan 40 orang ke Taipei. Sisi paling menarik dari misi ini adalah dialog yang saya adakan dengan Presiden Taiwan Ma Ying-jeou, yang menegaskan pentingnya diikutsertakannya Taiwan dalam Kawasan Perdagangan Bebas Cina-ASEAN/China-ASEAN Fee Trade Area(CAFTA), sehubungan dengan makin hangatnya hubungan yang berkembang antara Cina Daratan dan Taiwan. Pada saat gejolak ekonomi di seluruh dunia seperti sekarang ini, meningkatnya hubungan ekonomi Taiwan dengan Cina dan rekan-rekannya di kawasan ini pasti menguntungkan setiap negara, karena efek sampingnya pasti adalah meredanya ketegangan.
Sayangnya, banyak analis mengatakan bahwa suatu Perjanjian Perdagangan Bebas Taiwan-ASEAN semacam CAFTA belum mungkin terwujud. Karena itu, untuk sementara ini, pemerintahan Presiden Ma mengusahakan terwujudnya perjanjian perdagangan bebas tersebut dengan berbagai negara anggota ASEAN. Wajar kalau Partai Progresif Demokrasi (PPP) yang beroposisi telah mengambil sikap bahwa Taiwan harus berupaya membangun hubungan yang lebih erat dengan ASEAN daripada tergantung terlalu banyak kepada Cina Daratan. Namun, Ma tidak melihat kedua upaya ini sebagai sesuatu yang tidak bisa dipertemukan.
Dari perspektif yang lebih luas, Ma dan saya bertukar pandangan mengenai sinergi antara "Poligon Pertumbuhan Sentral Timur Laut/Central East Asia Growth Polygon (CEAGPOL)", yang terdiri atas Filipina, Taiwan, Hong Kong, Makau, serta Provinsi Guangdong dan Fujian di Daratan Cina--plus nantinya Hainan, Okinawa, dan Guam/Marianas.
Dengan kemauan baik semua pihak, manfaat riil bisa diperoleh dari terbentuknya pengelompokan informal semacam ini, karena ia merupakan gerbang menuju pasar Asia Tenggara dan Asia Timur Laut yang sangat besar itu. Bonus ekonominya dari upaya semacam ini untuk keseluruhan kawasan ini adalah bakal dibukanya penerbangan udara dan angkutan laut melintas Selat Taiwan.
CEAGPOL bahkan bisa menjadi blok bangunan ASEAN versi Asia--suatu "Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Timur Laut". Akibat kecurigaan historis antara Cina, Jepang, dan Korea, pemain-pemain ekonomi kelas berat Asia Timur ini merupakan blok kawasan terakhir di dunia yang masih belum memiliki organisasi antarpemerintah seperti ASEAN. Uni Eropa bahkan memberikan contoh yang baik karena ratusan tahun perang, yang berpuncak pada Perang Dunia pada abad ke-20, telah memberi inspirasi, bukan merintangi integrasi ekonomi, politik, dan keamanan Eropa.
Pada saat ketidakpastian di seluruh dunia seperti sekarang ini, para pemimpin Asia-Pasifik harus meningkatkan upaya memanfaatkan kombinasi strategis dan kemitraannya untuk meningkatkan stabilitas dan pertumbuhan. Meredanya ketegangan antara Cina Daratan dan Taiwan mungkin bisa menggerakkan semua negara di kawasan Asia Timur Laut untuk berbuat sama. Pada ulang tahun ke-30 "Pesan kepada Sesama Bangsa di Taiwan" Januari yang lalu, Presiden Hu menawarkan enam usulan untuk memperbaiki dan meningkatkan hubungan:
1. Tinggalkan gerakan kemerdekaan Taiwan
2. Hentikan konfrontasi dan raih perjanjian damai
3. Tingkatkan kontak/saling tukar hubungan
4. Bahas partisipasi Taiwan dalam organisasi internasional di bawah payung "Satu Cina"
5. Bentuk Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif/ Comprehensive Economic Cooperation Agreement(CECA)
6. Majukan peradaban tradisional Cina dengan penguatan hubungan spiritual.
Sekarang terdapat harapan riil bahwa pembicaraan sepanjang alur ini bisa berhasil. Ada rintangan utama menuju peredaan ketegangan ini: usulan dijualnya 30 helikopter serang Apache dan 330 peluru kendali Patriot senilai US$ 6,5 miliar kepada Taiwan oleh Amerika Serikat. Pembicaraan Cina-AS mengenai kerja sama pertahanan sebelumnya sudah tersendat akibat negosiasi persenjataan itu. Tapi pembicaraan ini sudah dimulai lagi--suatu uluran tangan perdamaian yang disampaikan pemerintah Cina kepada pemerintahan Obama.
Ketiga pihak yang terlibat perlu melangkah dengan hati-hati guna memastikan bahwa pencairan hubungan Cina-Taiwan tidak mengalami kemunduran lagi akibat usulan penjualan senjata itu. Sebab, jika Asia ingin mulai membangun semacam infrastruktur kelembagaan yang telah membawa perdamaian dan kemakmuran di Eropa, flashpoint antara Cina dan Taiwan itu perlu ditransformasikan menjadi batu fondasi kerja sama regional.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/28/Opini/krn.20090428.163773.id.html
Share this article :

0 komentar: