Ujian Nasional dan Matinya Kolaborasi Pendidikan
Oleh Ahmad Baedowi Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
KARUT-marut penyelenggaraan ujian nasional (UN) sedikit demi sedikit menyeruak kembali ke permukaan. Praktik-praktik yang dari tahun ke tahun selalu berulang adalah maraknya kecurangan yang dilakukan secara berjamaah, yaitu apakah melalui instruksi institusi maupun oleh individui guru dan siswa. Beberapa daerah di Aceh dan Jawa Barat disinyalir melakukan praktik kecurangan terselubung dengan model instruksi, mulai dari bupati/wali kota hingga kepala dinas yang mengancam para kepala sekolah mereka yang jika mengalami penurunan persentase kelulusan, konsekuensinya adalah mutasi hingga pemecatan. Secara individual banyak juga para guru kita yang tidak percaya diri terhadap kemampuan mengajar dan kemampuan siswa-siswi mereka sehingga praktik mencuri dan membagibagikan jawaban UN kepada siswa juga marak terjadi. Itukah potret visi, misi, dan tujuan pendidikan kita yang sebenarnya? Wirt dan Kirst, dalam The politics of education: Schools in confl ict (1989), mengatakan bahwa dalam perspektif politik pendidikan selalu terdapat dualisme pandangan terhadap performance pendidikan. Di satu pihak, pendidikan secara demokratis memberikan peluang untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi dan keadilan sosial, tetapi di lain pihak pendidikan justru meneruskan tradisinya dalam menumbuhkan kembali hakhak privilese golongan, kelas, dan ras tertentu untuk mendapatkan posisi yang lebih baik. Namun, jika kebijakan sistemik yang dikembangkan suatu negara dalam mengelola pendidikannya mengabaikan aspek kolaborasi, bandul yang lebih memberatkan terjadinya segmentasi kelas akan lebih terbuka untuk terjadi.
Tanda-tanda bahwa UN akan menjadi penyebab matinya kolaborasi pendidikan sangat kuat. Itu terlihat dari bagaimana terpecahnya birokrasi pendidikan hingga manajemen sekolah dalam memaknai UN. Di satu pihak ada birokrasi yang menginginkan UN sebagai indikator meningkatnya kualitas pendidikan. Karena itu, mereka melakukan penetrasi melalui simpul-simpul kekuasaan, sedangkan yang lain ada kalangan birokrasi yang masih memiliki akal sehat dan melihat bahwa kebijakan UN justru membuat birokrasi pendidikan kita menjadi tidak sehat. Hal itu berimplikasi juga pada sikap orang tua dan juga secara diam-diam muncul ketidakpercayaan pasar terhadap dunia pendidikan kita.
Kondisi semacam ini secara perlahan tapi pasti akan mengakibatkan munculnya ambivalensi yang berkarat dan membuat anak didik juga mengalami perkembangan mental yang tidak baik.
Ambil contoh bagaimana munculnya sikap enggan belajar dan bekerja keras.
Karena, mereka berpendapat bahwa pada saatnya nanti ketika UN para guru mereka pasti akan melakukan segala cara untuk membantu mereka lulus.
Belum lagi sikap dan rasa takut kepala sekolah dan para guru karena menganggap bahwa UN adalah satu-satunya indikator yang akan melihat performa mereka masing-masing.
Mungkinkah kebijakan UN dapat mengarah pada matinya sistem kolaborasi pendidikan kita yang terkenal sangat kuat itu? Memaknai kolaborasi pendidikan Praktik kecurangan dalam UN bisa jadi merupakan bentuk negatif dari terma partnership, dalam pengertian kolaborasi pendidikan yang sesungguhnya. Meskipun tak ada terminologi baku untuk memaknai kolaborasi pendidikan yang sebenarnya. Namun, dalam pandangan Huxham (1996:7) kolaborasi pendidikan adalah a very positive form of working in association with others for some mutual benefit. Namun, dalam konteks pendidikan, Bennett et al. (2004) berargumentasi bahwa partnership memiliki kompleksitas arti yang sangat luas, tetapi memiliki karakter yang kuat untuk selalu berbagi tanggung jawab, komitmen, dan kesetaraan dalam berbagi tujuan. Karena itu, kolaborasi dalam pendidikan harus didasari kesadaran moral yang tinggi tentang nilai-nilai yang akan diajarkan dan diserap seluruh yang terlibat dalam proses pendidikan.
Diperlukan kesadaran oleh seluruh stakeholders pendidikan kita, bahwa meskipun kolaborasi dalam pendidikan merupakan sebuah pengalaman ambisius yang penuh dengan paradoks dan kontradiksi, tapi jika dilakukan sebuah kesadaran dan kepercayaan kolektif akan perlunya suatu perubahan, kolaborasi dapat bermakna positif (Huxham and Vangen, 2000). Namun begitu, baik birokrasi maupun masyarakat harus memiliki agenda yang jelas dalam mengawal bentuk-bentuk kolaborasi yang harus dilakukan secara bersama.
Weiss (1987) memberikan sistematika kolaborasi yang baik untuk menilai apakah sebuah bentuk kolaborasi pendidikan dijalankan dengan baik atau tidak oleh suatu sistem. Pertama, para pihak yang terlibat dalam manajemen pendidikan harus mampu menghitung secara cermat bagaimana seluruh stakeholders dapat bekerja sama secara terstruktur berdasarkan aturan main yang disepakat. Kedua, harus disepakati normanorma dan nilai yang akan ditegakkan dalam sebuah proses kolaborasi. Dalam konteks pendidikan, misalnya, nilai mana yang lebih utama, hasil UN atau kejujuran guru dan murid? Kemudian para stakeholders tersebut juga dapat mengelaborasi sebanyak mungkin norma dan nilai dalam skala kecil lingkungan pendidikan mereka masing-masing, yaitu sekolah. Semakin banyak kesepakatan muncul, ikatan dan komitmen untuk menjaga nilai tersebut akan bertambah kuat.
Ketiga, meskipun dalam praktiknya kolaborasi memiliki nilai-nilai politis, nilai-nilai tersebut harus disepakati sebagai ba gian untuk menguji kebersamaan dalam se buah bentuk kola borasi. Dalam ling kup pengalaman pen didikan kita, patut dibuat ko mitmen ter tulis antara, misalnya, komite sekolah yang kuat dengan biro krasi maupun partai politik yang concern terhadap pentingnya makna kolaborasi. Dengan demikian para stakeholders yang akan terlibat akan selalu memiliki kemampuan untuk mengelola segala bentuk internal problem yang mereka miliki sebagai sistematika bangunan keempat dari kolaborasi. Kelima, Wiess juga menyarankan agar para stakeholders yang terlibat dalam suatu kolaborasi pendidikan dapat meminimalisir kondisi lingkungan tertentu yang dapat menyebabkan terganggunya mekanisme kolaborasi. Yang terakhir, keenam, kolaborasi harus dibuat dalam skema formal. Dalam konteks pendidikan kita, melakukan exercise pelaksanaan Undang-Undang BHP di tingkat sosial.
Meskipun disadari bahwa kolaborasi dalam pendidikan memiliki konsekuensi pembiayaan, tetapi jika semangat menegakkan norma dan nilai yang akan disepakati tertuang dalam kesepakatan formal akan menyebabkan semua orang berpikir dua kali dalam melakukan kesalahan dan pelanggaran. Peters (1996) menggambarkan dengan bijak hal ini dengan kalimat collaboration is costly and the costs usually have to be borne before the benefits emerge. Kesadaran semacam ini perlu dibangun dalam konteks budaya gotong-royong kita yang secara tradisi kurang memiliki unsur modal dalam menjalankan suatu kolaborasi.
Jika kita memiliki definisi baru tentang bagaimana memaknai kolaborasi dalam pendidikan, kesadaran bahwa UN bukan merupakan hasil akhir dari sebuah proses pendidikan pastilah akan meningkat. Hanya, yang tidak terlihat hingga saat ini adalah ketiadaan contoh dari birokrasi untuk melakukan inisiasi di tingkat komunitas sekolah untuk membangun kolaborasi pendidikan yang berorientasi pada proses dan mutu proses belajar mengajar itu sendiri.
Karena itu, jika ada penilaian bahwa UN merupakan pertanda dari matinya rasa dan kolaborasi sosial-pendidikan secara positif, hal itu merupakan hal yang wajar.
Kolaborasi pendidikan yang selama ini berjalan hanya merupakan lip service pemerintah, yang seakan-akan masih tumbuh kepedulian masyarakat terhadap pendidikan. Namun, jika dipersempit sudah sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat terhadap kualitas belajar mengajar, dapat dipastikan tak ada bentuk konkret kolaborasi di tingkat masyarakat yang dapat menjamin baiknya kualitas pendidikan di tingkat sekolah di lingkungan mereka masing-masing.
Mattessich and Monsey (1992) mengidentifikasi enam faktor kunci bagi terciptanya kolaborasi pendidikan yang baik di tingkat komunitas sekolah. Pertama, memperbaiki lingkungan sekolah ke arah yang lebih positif dari sebelumnya. Cara yang mungkin dilakukan untuk mengetahui hal ini adalah dengan mengundang jasa konsultan untuk me lakukan assessment terhadap potensi pendidikan di tingkat komunitas mereka. Hasil assessment akan menentukan pihak komunitas sekolah dalam membentuk kolaborasi pendidikan dengan pihak lain maupun masyarakat Kedua, bagaimana memilih anggota komite sekolah yang memiliki karakter dan peduli terhadap kualitas proses belajar mengajar.
Ketiga, penting bagi masyarakat untuk belajar bagaimana proses belajar mengajar seharusnya berlangsung di ruang-ruang belajar, baru kemudian mendesain struktur organisasi yang mampu mengontrol proses tersebut. Keempat adalah menjalin komunikasi yang aktif dengan seluruh stakeholders pendidikan, dalam rangka menjelaskan tujuan kolaborasi yang merupakan saran kelima dari Mattessich and Monsey. Yang terakhir, keenam, adalah melakukan identifikasi secara cermat terhadap sumber daya yang dimiliki.
Dengan kata lain, kata Mattessich and Monsey, “The mission and goals of a collaborative educational group must create a sphere of activity which overlaps significantly but not completely with the spheres of each member organisation.”
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/27/ArticleHtmls/27_04_2009_022_002.shtml?Mode=0
Ujian Nasional dan Matinya Kolaborasi Pendidikan
Written By gusdurian on Rabu, 29 April 2009 | 12.48
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar