Mungkin tidak Ada Pilpres 2009
Oleh Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI
UNDANG-UNDANG Pemilihan Presi-den 2008 menyatakan bahwa peng-usulan presiden dan wakil presiden dilakukan partai politik atau gabung an partai politik yang memiliki minimal 20 kursi di parlemen, atau 25% suara sah dalam pemilihan legislatif. Ketentuan itu sengaja dibuat untuk membatasi jumlah pasangan calon presiden/wakil presiden, dengan asumsi bahwa pemilihan presiden hanya akan diikuti dua atau paling tidak tiga pasangan. Kemungkinan pula pemilihan itu akan berlangsung hanya dalam satu putaran saja.
Namun, ada opsi yang dilupakan pembuat undang-undang tersebut, yakni kemungkinan hanya satu pasangan yang memenuhi syarat. Ini dimungkinkan hasil pemilihan seperti sekarang ini, dengan skenario koalisi tertentu. Kalau dilihat hasil perhitungan cepat (quick count) beberapa lembaga survei dan perhitungan sementara KPU satu-satunya partai yang sudah melewati batas ambang ini adalah Partai Demokrat. Perolehan partai yang lain adalah PDIP 14,8%, Partai Golkar 14,8%, PKS 7,5%, PAN 5,8%, PKB 5,6% , PPP 5%, Gerindra 4,5%, Hanura 3,6%.
Urutan nomor dua dan tiga memang bertukar tempat pada beberapa lembaga survei.
Hanya partai-partai ini (mungkin ditambah satu atau dua partai lainnya) yang akan duduk di DPR yang mematok persyaratan perolehan suara minimal 2,5%. Semua partai tersebut, kecuali partai baru Gerindra dan Hanura, telah ‘berkoalisi’ atau duduk di dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Hanya PDIP yang konsisten menjadi partai oposisi di parlemen dan tidak menempatkan kadernya di dalam kabinet.
Kalau dibandingkan dengan pemilu legislatif sebelumnya, terjadi pelonjakan suara Partai Demokrat (PD) sebanyak hampir 300%. Karena, dalam Pemilu 2004 partai yang didirikan SBY ini hanya meraup 7,45% suara. Tidak banyak kader partai ini yang menonjol dan di dalam parlemen kinerja mereka biasa-biasa saja. Kebanyakan pengamat menilai kemenangan Demokrat berkat popularitas Presiden Yudhoyono. Polling pendapat dari waktu ke waktu memang mengonfirmasi citra positif SBY, walau ada penurunan tapi tet ap masih di atas calon lainnya, seperti Megawati. Peluang koalisi Sementara itu, perhitungan suara legislatif belum usai. Petinggi partai telah melakukan per temuan secara intensif tanpa kenal waktu, siang atau malam, hari kerja atau libur akhir pekan. Dengan dalih membicarakan proses pemilu yang lalu, mereka telah saling menjajaki kerja sama. Mereka masing-masing tentu berhitung, apa yang akan diberikan dan apa yang akan diterima. Partai besar tentu memosisikan kadernya sebagai calon presiden atau wakil presiden, sedangkan partai menengah lainnya berharap dapat jatah di kabinet. Tentu saja mereka mesti menghitung secara masak-masak, kalau koalisi mereka kalah mereka bisa tidak memperoleh apa-apa. Jelas me reka akan memilih pasangan yang peluang menangnya lebih besar.
Persoalan lain adalah penempatan posisi presiden dan wakil presiden. Hampir semua adalah mencalonkan diri menjadi calon presiden hanya sedikit yang bersedia menjadi wakil presiden.
Megawati pernah menjadi Presiden Republik Indonesia. Sejak semula PDIP telah mencanangkannya sebagai calon presiden. Jadi, tidak mungkin Megawati dipasang sebagai RI-2. Sri Sultan Hamengku Buwono X disebut-sebut sebagai salah satu calon, tetapi ia menyatakan dirinya sebagai calon presiden saja bukan sebagai wapres. Kalau masih tetap demikian, tentu tidak bisa keduanya berpasangan. Persoalan lain, apakah Golkar akan mengajukan Sri Sultan, sedangkan Partai Republikan yang mendukung Raja Yogyakarta ini tidak memperoleh suara yang signifikan. Akbar Tanjung disebut sebagai salah satu calon yang tidak mematok target RI-1.
Namun sekali lagi, apakah Golkar bersedia mengusungnya sementara Jusuf Kalla seba-gai ketua umum partai berlambang beringin ini masih ingin meneruskan ka riernya di pemerintahan.
Selain Sultan HB X, Wiranto dan Prabowo juga kader Golkar. Keduanya mendirikan partai sen-diri agar bisa menjadi kendaraan yang mengantarkan mereka ke kursi kepresidenan. Prabowo disebut berpeluang menjadi calon wakil presiden mendampingi Megawati. Namun, apakah suara koalisi PDIP dengan Gerindra bisa mencapai ambang atas 20% suara parlemen.
Tentu saja memenuhi syarat bila terbentuk koalisi PDIP-Gerindra-Hanura. Namun, apakah kedua partai yang terakhir ini (yang dipimpin dua jenderal pur nawirawan yang telah bersaing sebelum 1998) bisa bergabung? SBY di atas angin Kedudukannya sebagai incumbent dan kemenangan besar Partai Demokrat dalam pemilu legislatif ini meneguhkan kedudukan SBY. Baginya, lebih banyak pilihan tersedia. Ia dapat mengusung salah seorang menterinya (seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani) menjadi calon wakil presiden dan maju mengikuti pilpres.
Namun, SBY mesti menghitung pula konfigurasi parlemen yang dipimpin tiga besar (Demokrat, Golkar, PDIP). Lebih aman bila ia berkoalisi dengan partai besar.
Berkoalisi dengan PDIP dalam pilpres tentu mustahil. Karena, kedua tokoh partai ini sama mengincar jabatan RI-1. Sementara itu, koalisi Demokrat dengan Golkar meskipun sempat mengalami pasang surut, dan bahkan kerenggangan belakangan ini. Pengalaman selama empat tahun memperlihatkan bahwa SBY dan Jusuf Kalla bisa bekerja sama dan saling melengkapi. Ketika quick count yang mengunggulkan Demokrat diumumkan, Jusuf Kalla telah meng ucapkan selamat kepada SBY. Jelas ini suatu sinyal dari ketua umum partai berlogo be ringin. PKS tampaknya ingin berkoalisi dengan PD.
Ini diperlihatkan mereka jauh-jauh hari, bahkan Hidayat Nur Wahid disebut-sebut sebagai calon wakil presiden mendampingi SBY. Tentu saja koalisi kedua partai ini sangat mungkin. Namun, bila PD memutuskan tetap berpasangan dengan Golkar, tentu wakil presiden bukan dari PKS.
Jatah menteri, selain Demokrat dan Golkar, akan diperoleh partai lainnya (PKS, PAN, PKB, PPP) bila mereka juga ikut bergabung.
Bila skenario tersebut yang diterapkan, yang diajukan sebagai presiden dan wakil presiden kemungkinan hanya satu pasangan. Bila ini terjadi, apakah perlu diadakan Pemilihan Presiden 2009? Presiden dan wakil presiden yang sekarang akan melanjutkan pemerintahan.
Sementara itu, kabinet dibongkar pasang dengan mengikutsertakan partai peserta koalisi.
Tentunya plus kontrak tertulis bahwa partainya tidak akan melakukan oposisi di parlemen. Oposisi dilakukan partai yang tidak duduk di kabinet.
Bila skenario ini yang berlaku, KPU akan ringan tugasnya dan tidak menerima caci maki lagi. Bagaimana dengan calon presiden alternatif lainnya? Mungkin mereka akan diperhitungkan dalam pemilu lima tahun mendatang. Namun, untuk sekarang ini mereka menjadi alternatif hanya sebatas di layar kaca.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/21/ArticleHtmls/21_04_2009_023_002.shtml?Mode=1
Oleh Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI
UNDANG-UNDANG Pemilihan Presi-den 2008 menyatakan bahwa peng-usulan presiden dan wakil presiden dilakukan partai politik atau gabung an partai politik yang memiliki minimal 20 kursi di parlemen, atau 25% suara sah dalam pemilihan legislatif. Ketentuan itu sengaja dibuat untuk membatasi jumlah pasangan calon presiden/wakil presiden, dengan asumsi bahwa pemilihan presiden hanya akan diikuti dua atau paling tidak tiga pasangan. Kemungkinan pula pemilihan itu akan berlangsung hanya dalam satu putaran saja.
Namun, ada opsi yang dilupakan pembuat undang-undang tersebut, yakni kemungkinan hanya satu pasangan yang memenuhi syarat. Ini dimungkinkan hasil pemilihan seperti sekarang ini, dengan skenario koalisi tertentu. Kalau dilihat hasil perhitungan cepat (quick count) beberapa lembaga survei dan perhitungan sementara KPU satu-satunya partai yang sudah melewati batas ambang ini adalah Partai Demokrat. Perolehan partai yang lain adalah PDIP 14,8%, Partai Golkar 14,8%, PKS 7,5%, PAN 5,8%, PKB 5,6% , PPP 5%, Gerindra 4,5%, Hanura 3,6%.
Urutan nomor dua dan tiga memang bertukar tempat pada beberapa lembaga survei.
Hanya partai-partai ini (mungkin ditambah satu atau dua partai lainnya) yang akan duduk di DPR yang mematok persyaratan perolehan suara minimal 2,5%. Semua partai tersebut, kecuali partai baru Gerindra dan Hanura, telah ‘berkoalisi’ atau duduk di dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Hanya PDIP yang konsisten menjadi partai oposisi di parlemen dan tidak menempatkan kadernya di dalam kabinet.
Kalau dibandingkan dengan pemilu legislatif sebelumnya, terjadi pelonjakan suara Partai Demokrat (PD) sebanyak hampir 300%. Karena, dalam Pemilu 2004 partai yang didirikan SBY ini hanya meraup 7,45% suara. Tidak banyak kader partai ini yang menonjol dan di dalam parlemen kinerja mereka biasa-biasa saja. Kebanyakan pengamat menilai kemenangan Demokrat berkat popularitas Presiden Yudhoyono. Polling pendapat dari waktu ke waktu memang mengonfirmasi citra positif SBY, walau ada penurunan tapi tet ap masih di atas calon lainnya, seperti Megawati. Peluang koalisi Sementara itu, perhitungan suara legislatif belum usai. Petinggi partai telah melakukan per temuan secara intensif tanpa kenal waktu, siang atau malam, hari kerja atau libur akhir pekan. Dengan dalih membicarakan proses pemilu yang lalu, mereka telah saling menjajaki kerja sama. Mereka masing-masing tentu berhitung, apa yang akan diberikan dan apa yang akan diterima. Partai besar tentu memosisikan kadernya sebagai calon presiden atau wakil presiden, sedangkan partai menengah lainnya berharap dapat jatah di kabinet. Tentu saja mereka mesti menghitung secara masak-masak, kalau koalisi mereka kalah mereka bisa tidak memperoleh apa-apa. Jelas me reka akan memilih pasangan yang peluang menangnya lebih besar.
Persoalan lain adalah penempatan posisi presiden dan wakil presiden. Hampir semua adalah mencalonkan diri menjadi calon presiden hanya sedikit yang bersedia menjadi wakil presiden.
Megawati pernah menjadi Presiden Republik Indonesia. Sejak semula PDIP telah mencanangkannya sebagai calon presiden. Jadi, tidak mungkin Megawati dipasang sebagai RI-2. Sri Sultan Hamengku Buwono X disebut-sebut sebagai salah satu calon, tetapi ia menyatakan dirinya sebagai calon presiden saja bukan sebagai wapres. Kalau masih tetap demikian, tentu tidak bisa keduanya berpasangan. Persoalan lain, apakah Golkar akan mengajukan Sri Sultan, sedangkan Partai Republikan yang mendukung Raja Yogyakarta ini tidak memperoleh suara yang signifikan. Akbar Tanjung disebut sebagai salah satu calon yang tidak mematok target RI-1.
Namun sekali lagi, apakah Golkar bersedia mengusungnya sementara Jusuf Kalla seba-gai ketua umum partai berlambang beringin ini masih ingin meneruskan ka riernya di pemerintahan.
Selain Sultan HB X, Wiranto dan Prabowo juga kader Golkar. Keduanya mendirikan partai sen-diri agar bisa menjadi kendaraan yang mengantarkan mereka ke kursi kepresidenan. Prabowo disebut berpeluang menjadi calon wakil presiden mendampingi Megawati. Namun, apakah suara koalisi PDIP dengan Gerindra bisa mencapai ambang atas 20% suara parlemen.
Tentu saja memenuhi syarat bila terbentuk koalisi PDIP-Gerindra-Hanura. Namun, apakah kedua partai yang terakhir ini (yang dipimpin dua jenderal pur nawirawan yang telah bersaing sebelum 1998) bisa bergabung? SBY di atas angin Kedudukannya sebagai incumbent dan kemenangan besar Partai Demokrat dalam pemilu legislatif ini meneguhkan kedudukan SBY. Baginya, lebih banyak pilihan tersedia. Ia dapat mengusung salah seorang menterinya (seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani) menjadi calon wakil presiden dan maju mengikuti pilpres.
Namun, SBY mesti menghitung pula konfigurasi parlemen yang dipimpin tiga besar (Demokrat, Golkar, PDIP). Lebih aman bila ia berkoalisi dengan partai besar.
Berkoalisi dengan PDIP dalam pilpres tentu mustahil. Karena, kedua tokoh partai ini sama mengincar jabatan RI-1. Sementara itu, koalisi Demokrat dengan Golkar meskipun sempat mengalami pasang surut, dan bahkan kerenggangan belakangan ini. Pengalaman selama empat tahun memperlihatkan bahwa SBY dan Jusuf Kalla bisa bekerja sama dan saling melengkapi. Ketika quick count yang mengunggulkan Demokrat diumumkan, Jusuf Kalla telah meng ucapkan selamat kepada SBY. Jelas ini suatu sinyal dari ketua umum partai berlogo be ringin. PKS tampaknya ingin berkoalisi dengan PD.
Ini diperlihatkan mereka jauh-jauh hari, bahkan Hidayat Nur Wahid disebut-sebut sebagai calon wakil presiden mendampingi SBY. Tentu saja koalisi kedua partai ini sangat mungkin. Namun, bila PD memutuskan tetap berpasangan dengan Golkar, tentu wakil presiden bukan dari PKS.
Jatah menteri, selain Demokrat dan Golkar, akan diperoleh partai lainnya (PKS, PAN, PKB, PPP) bila mereka juga ikut bergabung.
Bila skenario tersebut yang diterapkan, yang diajukan sebagai presiden dan wakil presiden kemungkinan hanya satu pasangan. Bila ini terjadi, apakah perlu diadakan Pemilihan Presiden 2009? Presiden dan wakil presiden yang sekarang akan melanjutkan pemerintahan.
Sementara itu, kabinet dibongkar pasang dengan mengikutsertakan partai peserta koalisi.
Tentunya plus kontrak tertulis bahwa partainya tidak akan melakukan oposisi di parlemen. Oposisi dilakukan partai yang tidak duduk di kabinet.
Bila skenario ini yang berlaku, KPU akan ringan tugasnya dan tidak menerima caci maki lagi. Bagaimana dengan calon presiden alternatif lainnya? Mungkin mereka akan diperhitungkan dalam pemilu lima tahun mendatang. Namun, untuk sekarang ini mereka menjadi alternatif hanya sebatas di layar kaca.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/04/21/ArticleHtmls/21_04_2009_023_002.shtml?Mode=1