BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kartini Sebelum Wahidin Sudirohusudo

Kartini Sebelum Wahidin Sudirohusudo

Written By gusdurian on Selasa, 21 April 2009 | 12.37

Kartini Sebelum Wahidin Sudirohusudo


Selama ini Dr Wahidin Sudirohusodo dianggap sebagai pelopor Kebangkitan Nasional. Namun uraian berikut memperlihatkan bahwa Kartini lebih awal dalam menggagas etnonasionalisme.


Wahidin menggagas berdirinya Boedi Utomo dengan berkeliling Pulau Jawa menebar gagasan untuk memajukan pendidikan. Peristiwa itu terjadi tahun 1907. Setelah pensiun sebagai dokter pemerintah, dalam usia 50, Dr Wahidin berkeliling Jawa mempropagandakan studiefonds bagi pemuda Jawa yang ingin melanjutkan sekolah.

Di Batavia dia bertemu dengan Sutomo, 19, mahasiswa Stovia.Pertemuan itu memberi bekas yang dalam kepada Sutomo: "Suaranya yang merdu dan sarehitu membuka pikiran dan hati saya, mendatangkan cita-cita baru ... gemetar di seluruh tubuhnya ... pemandangannya menjadi luas, perasaan menjadi halus ... orang merasa akan kewajibannya yang maha luhur di dunia ini.

"Setahun kemudian,20 Mei 1908 Sutomo mendirikan Boedi Utomo di Gedung Stovia. Dia pun mengakui, "Dokter Wahidin, benar, sungguh benar kalau orang mengatakan bahwa kamulah yang menjadi pelopor pergerakan kita umumnya." Ide Wahidin tentang beasiswa itu dikembangkan Boedi Utomo dengan menyelenggarakan darmawarasejak 1913. Wahidin lahir tahun 1857 (sumber lain menyebut tahun 1852) di Desa Mlati,Yogyakarta.

Wahidin adalah saudara sepupu Radjiman Wiryodiningrat yang tahun 1945 dikenal sebagai Ketua BPUPKI. Sedari kecil Wahidin termasuk murid pandai yang disenangi teman dan gurunya. Sejak muda sudah tampak jiwa sosial dan pendidik pada dirinya. Sepulang sekolah dia membantu ayahnya dan kemudian mendatangi temantemannya yang belum bersekolah.

Dia menceritakan apa yang diterimanya di sekolah. Setelah menempuh pendidikan ELS di Yogyakarta,dia dikirim ke Batavia untuk masuk Sekolah Dokter Jawa yang lama pendidikannya 4 tahun.Hanya dalam 22 bulan, dia lulus dan diangkat menjadi asisten dosen di sekolah tersebut. Dia kemudian bekerja sebagai dokter pemerintah di Yogyakarta sampai 1899.

Pada 1901 dia menjadi redaktur majalah Retnadhoemilah (Ratna yang berkilauan) yang dicetak dalam bahasa Jawa dan Melayu dan mencerminkan perhatian priyayi terhadap masalahmasalah sosial.Selain seorang intelek berpendidikan Barat,Wahidin adalah seorang pemain gamelan dan dalang wayang yang berbakat. Tahun 1907 dia berkeliling Jawa dengan menumpang kereta api kelas tiga.

Pernah ditanya mengapa sebagai orang terhormat dia bepergian di kelas tiga yang biasanya berisi wong cilik? Jawabannya, "Kalau ada kereta kelas empat, saya naik itu." Berpakaian ala Yogyakarta, dia menginap di rumah sahabat atau kenalannya. Untuk keperluan kampanye studiefonds itu,dia menghabiskan kekayaannya berupa 4 delman dan 18 ekor kuda.Wahidin meninggal tahun 1917.

Pembentukan Bangsa

Memajukan pendidikan seperti digagas Wahidin Sudirohusodo merupakan tonggak utama dalam proses pembentukan bangsa. Pembentukan Indonesia menurut Sartono Kartodirdjo berlangsung tidak seketika, melainkan melalui perkembangan selama berabad- abad di mana “bagianbagiannya secara bertahap terintegrasi ke dalam satu unit tunggal”.

Integrasi itu telah berlangsung sejak zaman prasejarah melalui pelayaran dan perdagangan,perkembangan yang terjadi semasa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit serta monopoli VOC abad ke-17/18. Pax Neerlandica (1800–1942) telah menciptakan jaringan birokrasi, komunikasi, sistem transportasi, agro-industrialisasi, dan sistem pendidikan. Jaringan ini dilengkapi pula dengan rasionalisasi, komersialisasi, urbanisasi dan modernisasi.

Kemudian muncullah organisasi etnonasionalis seperti Boedi Oetomo, Jong Java, Jong Sumatra,Jong Ambon,dst. Secara implisit dinyatakan di sini keberagaman unsur-unsur yang ada di Nusantara yang berevolusi menjadi satu (bangsa).Konsep “bangsa”menurut Sartono mengacu kepada “sebuah komunitas politik yang keberadaannya didasarkan pada keinginan politik bersama yang bertujuan menciptakan masyarakat yang bebas, setara, bersatu yang memberikan kepada warganya kesejahteraan dan martabat dalam kehidupan antarbangsa”.

Bangsa baru jelas membutuhkan identitas nasional. Identitas nasional itu diperoleh melalui rekonstruksi sejarah nasional yang mengungkapkan pengalaman bersama di masa lalu. Masa lalu bersama itulah yang merupakan identitas nasional. Bukan hanya sebagai simbol, tetapi masa lalu bersama itu dapat berperan menguatkan solidaritas dari suatu komunitas.

Dengan asumsi bahwa kebangkitan nasionalisme itu dimulai dari etnonasionalisme, maka (berarti) Kartini telah meletakkan dasarnya sebelum Wahidin Sudirohusodo. Hal ini terlihat pada Nota Kartini yang diuraikan di bawah ini.

Nota Kartini

Buku Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) yang berisi kumpulan surat-surat Kartini menjadikan ningrat Jawa itu sebagai tokoh emansipasi perempuan. Jarang dibahas, dua nota yang dikirimkan Kartini kepada Menteri Jajahan AWF Indenburg dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Willem Rooseboom pada 1903.

Saat itu Menteri Idenburg tengah mempersiapkan undang-undang pendidikan bagi negeri jajahan. Kartini diberi pertanyaan seputar pendidikan bagi perempuan Jawa. “Tindakan apa yang cocok untuk membuat bangsa Jawa lebih maju dan lebih sejahtera? Ke arah mana pengajaran harus diperbaiki dan diperluas?” Jawaban Kartini sangat tajam: “Orang Belanda suka menertawakan dan mengolok-olok kebodohan bangsa kami,tetapi kalau kami mau belajar mereka menghalang-halangi dan mengambil sikap memusuhi kami.”

Kartini menginginkan bangsa Jawa yang setara dengan Belanda. Berbeda dengan ide politik asosiasi yang dikemukakan Snouck Hurgronye. Tentu pengertian “bangsa Jawa” ini dapat dibandingkan pengertian “nasion”yang dikemukan Harsya Bachtiar di mana di dalam nasion Indonesia terdapat berbagai nasion lain yang lebih kecil, yakni nasion Jawa, nasion Minang, nasion Bugis, dan seterusnya.

Dengan kata lain, Kartini dapat dianggap berbicara tentang aspek etnonasionalisme yang dari sini kemudian berkembang nasionalisme. Gambaran di atas memperlihatkan bahwa Kartini tidak hanya tokoh emansipasi perempuan, tetapi juga pelopor kebangkitan nasional.(*)

Asvi Warman Adam
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/231589/
Share this article :

0 komentar: